Matahari baru saja merangkak ke ufuk ketika Alaric Dhaman berdiri di hadapan reruntuhan kuno Sella. Bangunan-bangunan tua itu menjulang dengan nuansa kelabu dan penuh retakan, seolah menceritakan kisah peradaban yang telah lama hilang. Hembusan angin pagi membawa aroma debu dan lumut, mengisi paru-parunya dengan rasa petualangan yang tak tertahan.
“Di sinilah semuanya dimulai,” gumam Alaric, menatap peta yang kusut di tangannya. Peta itu adalah peninggalan terakhir ayahnya sebelum hilang enam bulan lalu. Di salah satu sudutnya tertulis sebuah catatan kecil: “Temukan pintu yang tersembunyi di Sella. Di sanalah jawaban menantimu.”
Dengan hati-hati, Alaric melangkah masuk ke dalam reruntuhan. Batu-batu besar berserakan di sekitarnya, dan bayangan dari dinding yang runtuh menciptakan suasana yang menakutkan. Namun, bagi seorang pemuda yang sejak kecil terbiasa membaca teka-teki dan mengurai misteri, tempat ini adalah surga.
Senter di tangannya menyinari ukiran-ukiran aneh pada dinding. Gambar-gambar itu menggambarkan sosok manusia yang melingkari simbol matahari, dengan garis-garis yang mengarah ke tengah—mirip sebuah peta labirin. Alaric mengernyit, mencoba memahami maknanya.
“Sepertinya aku butuh waktu lama di sini,” ujarnya sambil menekan tombol perekam suara di jam tangannya. Ia selalu mencatat setiap temuan dengan rapi, sebuah kebiasaan yang diwariskan oleh ayahnya.
Bayangan di Balik Batu
Langkah kakinya bergema di dalam ruang kosong. Tiba-tiba, suara seperti sesuatu yang terjatuh bergema dari ujung lorong. Alaric berhenti. Tubuhnya menegang, dan tangannya meraih pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Ia menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikutinya.
“Siapa di sana?” tanyanya, suaranya terdengar lebih berani daripada perasaannya.
Tidak ada jawaban. Tapi suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat. Alaric menyalakan senter, mengarahkannya ke sumber suara. Di balik tumpukan batu besar, ia melihat sesuatu bergerak. Dengan hati-hati, ia mendekat.
Ketika ia mengangkat salah satu batu yang menghalangi pandangannya, seekor makhluk kecil berwarna abu-abu melompat keluar, nyaris mengenai wajahnya. Alaric terjatuh ke belakang, jantungnya berdegup kencang. Itu hanya seekor tikus besar, tapi cukup untuk membuatnya merasa bodoh.
“Bagus,” katanya sambil menghela napas. “Aku hampir mati karena tikus.”
Ia bangkit, mengibaskan debu dari pakaiannya, dan kembali fokus pada tujuannya.
Pintu Misterius
Setelah hampir satu jam menjelajahi reruntuhan, Alaric menemukan sebuah ruangan besar yang dikelilingi oleh pilar-pilar setinggi lima meter. Di tengah ruangan itu, ada sesuatu yang menarik perhatian: sebuah pintu logam besar yang tampak tidak pada tempatnya di tengah reruntuhan batu. Pintu itu berdiri tegak dengan permukaan yang bersih, seolah-olah baru saja dipasang.
“Ini pasti yang dimaksud ayah,” ujar Alaric dengan penuh semangat. Ia mendekati pintu itu, memperhatikan setiap detailnya. Tidak ada pegangan, kunci, atau engsel yang terlihat. Hanya ukiran kecil berbentuk lingkaran di tengahnya.
Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari ranselnya, membandingkan ukiran itu dengan simbol yang ada di peta. Cocok. Ini adalah titik awal yang ia cari.
Namun, pertanyaan besar masih ada: bagaimana cara membukanya?
Alaric mencoba menekan lingkaran itu, tetapi tidak ada yang terjadi. Ia mengetuk pintu, memeriksa sisi-sisinya, bahkan mencoba menggunakan pisau kecilnya untuk mencari celah. Semuanya sia-sia.
“Ada sesuatu yang kurang,” pikirnya keras-keras.
Petunjuk Pertama
Saat sedang mencari cara, sesuatu di lantai menarik perhatiannya. Sebuah garis halus membentuk pola melingkar di sekitar tempatnya berdiri. Pola itu terlihat samar, hampir tidak terlihat kecuali dengan senter. Dengan penasaran, Alaric mengikuti pola itu, mencoba memahami maksudnya.
Ia mengingat ukiran di dinding yang dilihat sebelumnya—manusia yang melingkari matahari. Tiba-tiba, sesuatu mengklik di pikirannya.
“Ini bukan pintu biasa,” katanya sambil tersenyum tipis. “Ini teka-teki.”
Ia berdiri di tengah pola, tepat di bawah lingkaran ukiran di pintu. Dengan hati-hati, ia mengangkat kedua tangannya, mencoba meniru pose manusia dalam ukiran tadi. Seketika itu juga, terdengar suara gemuruh pelan. Lingkaran di pintu mulai bersinar dengan cahaya biru redup.
“Bingo!” seru Alaric.
Namun, cahaya itu hanya bertahan beberapa detik sebelum menghilang lagi. Alaric menghela napas frustrasi. “Tentu saja tidak semudah itu.”
Kejadian Tak Terduga
Saat ia mencoba menganalisis ulang teka-teki itu, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakangnya. Alaric membeku. Kali ini, itu bukan tikus. Langkah-langkah itu terlalu berat dan teratur.
Ia mematikan senter dan bersembunyi di balik salah satu pilar. Dari bayangannya, ia melihat dua sosok berpakaian serba hitam masuk ke dalam ruangan. Mereka membawa senter yang lebih besar, menyinari setiap sudut.
“Seseorang pasti sudah berada di sini,” kata salah satu dari mereka dengan nada rendah.
“Lihat, bekas debu di lantai. Ada jejak kaki,” sahut yang lain.
Alaric merasakan jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu siapa mereka, tapi jelas bahwa mereka bukan teman. Dalam diam, ia meraih pisaunya lagi, berjaga-jaga jika terjadi sesuatu.
“Kita harus menemukan artefaknya sebelum orang lain,” kata salah satu pria itu lagi. “Araziel tidak akan menerima kegagalan.”
Nama itu membuat Alaric bingung. Siapa Araziel? Dan apa hubungannya dengan pintu ini?
Tindakan Berani
Salah satu pria itu mendekati pintu, memeriksa ukiran di lingkarannya. Mereka tampak kebingungan, sama seperti Alaric sebelumnya. Melihat kesempatan, Alaric memutuskan untuk bertindak.
Dengan cepat, ia melempar batu kecil ke arah lain ruangan, menciptakan suara keras yang memecah keheningan. Kedua pria itu langsung menoleh, bersiap dengan senjata di tangan mereka.
“Siapa di sana?!” teriak salah satu dari mereka.
Sementara mereka teralihkan, Alaric merangkak keluar dari persembunyiannya, bergerak menuju pintu. Ia tidak punya banyak waktu. Dengan ingatan yang tajam, ia mencoba mengulangi pose manusia dalam ukiran, tetapi kali ini ia menambahkan sesuatu—ia mengucapkan kata-kata yang tertulis di catatan ayahnya: “Lux Arcanum.”
Pintu itu bersinar kembali, lebih terang dari sebelumnya. Sebuah suara mekanis terdengar, dan perlahan, pintu itu mulai terbuka.
“Hey! Berhenti!” salah satu pria itu menyadari apa yang terjadi dan berlari ke arah Alaric.
Namun, sebelum mereka bisa mendekat, pintu itu terbuka sepenuhnya, memperlihatkan lorong gelap yang memancarkan cahaya biru dari dalamnya. Tanpa berpikir dua kali, Alaric melompat masuk, dan pintu itu tertutup dengan sendirinya di belakangnya, meninggalkan kedua pria itu dalam kebingungan.
Rahasia di Balik Pintu
Di dalam, Alaric terengah-engah, tapi wajahnya dipenuhi rasa penasaran. Lorong itu dipenuhi dengan simbol-simbol bercahaya, menuntunnya ke sebuah ruangan besar yang di tengahnya berdiri sebuah benda misterius.
Benda itu berbentuk seperti kunci, tetapi terbuat dari bayangan yang tampak hidup. Alaric mendekat, tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuhnya. Begitu jari-jarinya menyentuh kunci itu, ia merasakan sesuatu yang luar biasa—seolah-olah seluruh dunia bergetar.
“Apa ini sebenarnya?” bisiknya.
Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara gemuruh kembali terdengar. Tapi kali ini, itu bukan dari luar. Sesuatu yang lebih besar sedang bergerak di dalam. Dan ia tidak sendirian lagi.
Lorong panjang itu terasa tak berujung. Cahaya biru redup yang terpancar dari simbol-simbol di dinding memandu langkah Alaric, tapi tak mampu menenangkan rasa cemas yang perlahan menjalari tubuhnya. Di tangannya, kunci bayangan itu terasa dingin dan aneh, seolah memiliki denyut kehidupan sendiri.
“Apa sebenarnya benda ini?” gumamnya sambil terus melangkah. Jantungnya masih berdetak cepat setelah kejadian di depan pintu. Dua pria berbaju hitam yang menyebut nama Araziel itu jelas tidak membawa niat baik.
Lorong itu akhirnya membawanya ke sebuah ruangan besar berbentuk bundar, dengan langit-langit setinggi dua puluh meter. Di tengah ruangan berdiri sebuah altar batu, di atasnya terdapat prasasti tua dengan ukiran yang hampir memudar. Namun, perhatian Alaric segera tertuju pada sesuatu yang lebih mengerikan: sosok besar yang tergantung di langit-langit.
Makhluk itu tampak seperti patung, tubuhnya seperti campuran antara manusia dan reptil. Sayap besar terlipat di punggungnya, dan sisiknya memantulkan cahaya biru dari dinding. Meskipun tidak bergerak, kehadirannya menciptakan tekanan yang menyesakkan dada.
“Ini pasti bagian dari jebakan kuno,” pikir Alaric. Tapi sebelum ia bisa mendekati altar, suara gemuruh tiba-tiba terdengar.
Gerakan yang Tidak Diinginkan
Alaric melangkah mundur, berjaga-jaga. Gemuruh itu semakin keras, dan langit-langit mulai berguncang. Mata makhluk raksasa itu perlahan terbuka, memancarkan cahaya merah terang yang membuat ruangan seketika terasa lebih panas.
Makhluk itu bergerak. Tali-tali yang menahannya putus satu per satu, dan ia jatuh ke tanah dengan suara yang mengguncang seluruh ruangan. Alaric membeku, matanya tak lepas dari sosok raksasa itu.
“Siapa yang membangunkanku?” suara berat dan serak makhluk itu menggema, bercampur dengan suara geraman rendah.
Alaric mencoba melangkah mundur tanpa suara, tapi gerakan kecilnya sudah cukup untuk menarik perhatian makhluk itu. Kepalanya yang besar menoleh, menatap langsung ke arah Alaric.
“Kau...” suara itu terdengar penuh ancaman, seperti gemuruh badai yang sedang membesar.
Pelarian yang Sulit
Tanpa pikir panjang, Alaric berlari ke arah lorong lain yang terlihat di sisi ruangan. Langkah kakinya bergema, diikuti oleh suara berat makhluk itu yang mulai mengejarnya. Lorong itu lebih sempit dibandingkan yang sebelumnya, membuat sayap besar makhluk itu sulit bergerak.
Namun, Alaric tahu bahwa ia hanya memiliki sedikit waktu. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan kelereng kecil berwarna perak—sebuah alat peledak sederhana yang ia buat sendiri. Ia melemparkannya ke lantai di belakangnya. Ledakan kecil menciptakan gumpalan asap tebal, cukup untuk memperlambat makhluk itu sementara waktu.
Lorong itu berakhir di sebuah pintu kecil. Dengan cepat, Alaric mendorong pintu itu terbuka dan menemukan dirinya berada di tempat yang sangat berbeda: sebuah ruang bawah tanah yang dipenuhi oleh rak-rak penuh buku dan gulungan kuno.
Petunjuk Baru
Ruangan ini terasa seperti perpustakaan rahasia, tempat yang tidak mungkin ada di bawah reruntuhan tua seperti Sella. Di tengah ruangan, ada meja kayu besar dengan sebuah buku terbuka di atasnya. Cahaya biru samar dari simbol di dinding menerangi tulisan di buku itu.
Alaric mendekati meja itu, merasa aman untuk sementara. Buku itu tampak sangat tua, dengan halaman yang mulai rapuh. Tulisan di dalamnya menggunakan bahasa kuno, tapi beberapa simbol terlihat familiar—mirip dengan yang ada di peta ayahnya.
Di salah satu halamannya, sebuah gambar menarik perhatian Alaric: kunci bayangan yang ada di tangannya. Di bawahnya, ada tulisan yang berhasil ia baca: “Hanya pembawa kunci yang dapat membuka rahasia terakhir. Tapi setiap pintu memiliki penjaga.”
“Penjaga... jadi itu tadi adalah—” Alaric tidak sempat menyelesaikan pikirannya.
Suara gemuruh kembali terdengar. Makhluk raksasa itu berhasil melewati lorong dan sekarang berdiri di depan pintu perpustakaan.
Perjanjian dengan Bayangan
“Berikan kunci itu kepadaku!” raung makhluk itu. Suaranya membuat rak-rak bergetar, beberapa buku jatuh ke lantai.
“Apa kau... penjaga yang dimaksud?” Alaric bertanya, mencoba membeli waktu.
Makhluk itu menatapnya dengan mata merah menyala. “Aku adalah penjaga bayangan, pelindung rahasia dunia ini. Kunci itu tidak boleh jatuh ke tangan yang salah.”
“Tangan yang salah? Aku hanya ingin menemukan ayahku!” teriak Alaric, frustrasi.
Penjaga itu berhenti sejenak, seolah menganalisis kata-kata Alaric. “Ayahmu... kau adalah darahnya. Maka kunci itu memang milikmu. Tapi ingat, membawanya berarti membawa beban yang besar.”
Alaric terdiam, tapi ia merasa ada yang lebih besar dari sekadar pencarian ayahnya. “Apa yang sebenarnya tersembunyi di sini? Kenapa ayahku meninggalkan petunjuk untuk menemukan kunci ini?”
Penjaga itu mendekat, tubuhnya tampak lebih besar dalam cahaya redup. “Rahasia ini bukan untuk manusia biasa. Jika kau ingin menemukan jawaban, maka hadapi cobaan pertama.”
Cobaan Pertama
Tanpa peringatan, lantai di bawah kaki Alaric berguncang, dan ia jatuh ke dalam lubang besar. Ia terlempar ke sebuah ruangan gelap dengan dinding penuh cermin. Setiap cermin memantulkan bayangan dirinya, tetapi ada sesuatu yang salah—bayangan itu bergerak sendiri, menatapnya dengan mata hitam kosong.
“Ini... apa lagi sekarang?” Alaric berkata dengan napas terengah-engah.
Suara penjaga terdengar dari kejauhan. “Untuk melangkah lebih jauh, kau harus menghadapi dirimu sendiri. Cermin tidak pernah berbohong.”
Salah satu bayangan di cermin mulai keluar, membentuk sosok yang persis seperti Alaric. Tapi ekspresinya dingin, matanya tajam, dan senyumnya penuh ejekan.
“Jadi, kau pikir kau bisa menyelamatkan ayahmu?” kata bayangan itu. Suaranya terdengar seperti Alaric, tetapi dengan nada sinis. “Padahal kau bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kau cari.”
Alaric mengepalkan tangannya. “Aku tidak punya waktu untuk permainan ini. Jika kau ingin menghentikanku, ayo lakukan!”
Bayangan itu hanya tertawa. “Kau tidak bisa melawanku, karena aku adalah dirimu. Semua keraguan, ketakutan, dan kelemahanmu—aku ada di sini untuk mengingatkanmu bahwa kau tidak sekuat yang kau kira.”
Pertarungan dengan Bayangan
Pertarungan pun dimulai. Alaric berusaha menyerang bayangan itu, tetapi setiap serangannya seperti menembus udara kosong. Sebaliknya, setiap kali bayangan itu menyerang, Alaric merasakan hantaman nyata yang membuatnya terjatuh.
“Semakin kau melawan, semakin kuat aku,” kata bayangan itu sambil tersenyum.
Alaric menyadari sesuatu. Ini bukan tentang kekuatan fisik. Bayangan ini mewakili semua ketakutannya, keraguannya. Jika ia terus melawan dengan amarah, ia hanya akan kalah.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tahu siapa kau,” katanya. “Kau adalah bagian dari diriku, dan aku menerimamu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghentikanku.”
Bayangan itu berhenti, senyumnya memudar. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku tidak perlu melawanmu,” kata Alaric. “Aku hanya perlu menerima diriku apa adanya.”
Sekejap, ruangan itu dipenuhi cahaya terang. Bayangan itu lenyap, dan cermin-cermin di sekelilingnya hancur.
Kembali ke Perpustakaan
Alaric terbangun kembali di ruangan perpustakaan, dengan penjaga bayangan berdiri di depannya. Tapi kali ini, ekspresi makhluk itu lebih tenang.
“Kau lulus cobaan pertama,” katanya. “Tapi perjalananmu baru dimulai. Rahasia yang kau cari akan menuntut lebih dari sekadar keberanian.”
Alaric menggenggam kunci bayangan lebih erat. Ia tahu ini bukan perjalanan yang mudah, tapi ia sudah memutuskan untuk melanjutkannya.
“Baiklah,” katanya. “Tunjukkan apa yang harus kulakukan selanjutnya.”
Penjaga bayangan mengangkat salah satu tangannya, menunjuk ke arah rak buku yang terletak di sudut perpustakaan. Rak itu tampak berbeda dari yang lain, dihiasi simbol-simbol bercahaya serupa dengan yang ada di dinding reruntuhan.
“Di sana kau akan menemukan peta,” kata penjaga itu. “Peta ini adalah kunci menuju tujuan pertamamu. Tapi ingat, setiap langkah yang kau ambil akan diawasi.”
“Diawasi oleh siapa?” tanya Alaric.
Penjaga itu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia perlahan-lahan memudar, tubuhnya larut dalam bayangan yang memenuhi sudut ruangan. Hanya gema suaranya yang tersisa: “Ketahui bahwa kunci itu adalah berkat dan kutukan sekaligus.”
Alaric mendekati rak yang ditunjukkan. Jarinya menyentuh salah satu buku besar yang terbuat dari kulit gelap. Buku itu terasa berat saat ia menariknya keluar, debu berjatuhan dari sampulnya.
---
Buku Peta
Ketika Alaric membuka buku itu, ia terkejut. Halaman-halamannya tidak berisi teks seperti yang ia duga, melainkan peta tiga dimensi yang tampak hidup. Gambar gunung, sungai, dan kota kecil muncul dengan detail menakjubkan. Di bagian tengah peta, ada titik yang menyala terang, seperti bintang kecil.
“Inilah yang ayah cari,” pikir Alaric, matanya terpaku pada cahaya itu. Titik itu berada jauh di utara, di sebuah wilayah yang disebut Nafara, daerah yang dikenal oleh para petualang sebagai tanah terlarang.
Namun, sesuatu yang lain menarik perhatiannya. Di sudut peta, ada gambar kecil berbentuk kunci yang sama dengan kunci bayangan di tangannya. Saat ia menyentuh gambar itu, peta tiba-tiba bersinar lebih terang, dan suara gemuruh menggema di ruangan.
“Lagi-lagi kejutan,” desah Alaric.
---
Pintu Kedua
Dinding di sisi rak buku terbuka perlahan, memperlihatkan lorong baru. Alaric menatap ke dalamnya. Kali ini, lorong itu terlihat lebih rapi, seperti jalan yang baru dibuat. Di ujung lorong, ia bisa melihat sinar terang yang berbeda dari cahaya biru redup yang biasa ia temui di reruntuhan ini.
Ia tahu bahwa peta itu membawa lebih dari sekadar petunjuk lokasi. Alaric menggulungnya dan memasukkannya ke dalam tasnya sebelum melangkah ke lorong. Setiap langkah terasa berat, bukan karena ketakutan, tetapi karena semakin banyak pertanyaan muncul di benaknya.
“Apa hubungan ayahku dengan semua ini? Kenapa ia meninggalkan jejak di tempat seperti ini?” pikirnya.
Di ujung lorong, Alaric menemukan pintu kedua. Pintu itu besar, terbuat dari batu putih dengan ukiran yang lebih rumit dibandingkan pintu sebelumnya. Di tengahnya, ada sebuah lubang berbentuk kunci.
“Kunci ini lagi,” gumam Alaric. Ia mengeluarkan kunci bayangan dari saku jaketnya dan memasukkannya ke dalam lubang itu.
Saat kunci itu berputar, pintu mulai terbuka perlahan, mengeluarkan bunyi gesekan batu yang berat. Di balik pintu, sebuah ruangan yang sepenuhnya berbeda terbuka.
---
Ruang Observatorium
Ruangan itu lebih besar dari yang bisa dibayangkan Alaric. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan peta bintang yang bercahaya, seolah ruangan itu adalah sebuah observatorium kuno. Di tengah ruangan, ada bola besar yang melayang di udara, memancarkan cahaya kuning keemasan.
Alaric mendekati bola itu dengan hati-hati. Saat ia berdiri di hadapannya, bola itu mulai berputar, menampilkan pemandangan yang berubah-ubah. Ia melihat gambar gunung, lautan, dan akhirnya... sebuah menara besar yang berdiri di tengah gurun pasir.
“Menara itu... aku pernah mendengar tentangnya,” kata Alaric. Menara itu disebut sebagai Menara Terselubung, sebuah tempat yang menurut legenda menyimpan rahasia terbesar dunia.
Namun, sebelum ia bisa mengamati lebih jauh, bola itu berhenti berputar. Dari balik bola, muncul sosok lain—pria tua berjubah putih dengan wajah tertutup oleh tudung.
---
Pertemuan dengan Sang Pelihat
“Selamat datang, Alaric,” suara pria itu terdengar tenang, tetapi penuh wibawa.
“Siapa kau?” tanya Alaric, waspada.
“Aku adalah Pelihat. Tugasku adalah memandu mereka yang terpilih untuk membawa kunci bayangan,” jawab pria itu. “Tapi aku tidak bisa memberikan jawaban yang kau cari tanpa ujian.”
“Ujian lagi? Sudah cukup,” keluh Alaric.
“Perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan ayahmu, Alaric. Ini adalah tentang menemukan kebenaran yang lebih besar. Kau harus siap menghadapi segala sesuatu, termasuk dirimu sendiri.”
Pria itu mengangkat tangannya, dan tiba-tiba ruangan itu berubah. Alaric sekarang berada di tengah padang pasir yang luas, dengan matahari terik membakar kulitnya.
“Apa ini? Di mana aku?” teriak Alaric.
“Ini adalah ujian kedua,” suara Pelihat bergema dari kejauhan. “Di sini, kau akan menghadapi rasa kehilangan. Ingatlah, kunci bayangan akan membantumu jika kau tahu bagaimana menggunakannya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!