NovelToon NovelToon

Setitik Pelita Di Kegelapan

Keputusan yang Terpaksa

Langit sore tampak sendu, membiaskan warna keemasan di antara awan kelabu. Di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, Nayla menutup laptopnya perlahan. Tugas akhir yang baru setengah selesai terpampang di layar. Skripsinya harus dikumpulkan dalam waktu dua minggu, tetapi pikirannya tak pernah tenang cukup lama untuk menyelesaikan satu paragraf pun.

Dari dalam kamar ibu, terdengar suara batuk lemah yang membuat hati Nayla semakin teriris. Ia memalingkan pandangan ke arah dapur, tempat adiknya, Raka, sedang mencuci piring setelah mereka selesai makan.

Nayla menghela napas berat dan beranjak dari kursi. Ia melangkah ke kamar ibu, di mana sang ayah duduk di kursi tua di samping ranjang. Wajah ayah yang dulu tegar kini terlihat lelah, dengan kerutan mendalam di dahinya. Botol obat yang hampir kosong tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur.

“Ibu tidur lagi, Yah?” tanya Nayla pelan.

Ayah mengangguk tanpa menoleh. “Iya, baru saja. Tapi tadi sempat bilang, badannya makin berat. Obatnya harus dibeli lagi.”

Nayla menggigit bibirnya, menahan emosi. Ia tahu persis berapa uang yang tersisa di rekeningnya. Gajinya dari kerja paruh waktu sebagai asisten dosen sudah habis untuk membayar biaya kuliah bulan ini.

“Kakak,” panggil Raka dari dapur, suaranya memecah lamunan Nayla. Adiknya muncul dari pintu dengan wajah penuh perhatian. “Obat ibu tinggal sedikit. Aku bisa ke apotek nanti malam kalau Kakak capek.”

Nayla memandang Raka, merasa perih di dadanya. Anak laki-laki itu baru enam belas tahun, tetapi sikapnya sudah seperti kepala keluarga. Sejak dua kakak mereka memilih pergi meninggalkan tanggung jawab, Raka rela berhenti sekolah demi membantu Nayla merawat ibu dan ayah.

“Raka,” Nayla mulai, suaranya bergetar. “Kamu harusnya nggak begini. Harusnya kamu di sekolah, belajar, bukannya ikut mikirin obat atau dapur.”

Raka menggeleng pelan. “Kalau aku sekolah, siapa yang bantu Kakak? Kakak udah cukup capek, kuliah, kerja, ngurus semuanya sendiri. Kalau ada yang harus ngalah, biar aku aja.”

“Tapi aku kakakmu,” balas Nayla, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku yang harusnya melindungi kamu, bukan sebaliknya.”

“Kita nggak punya pilihan, Kak,” ujar Raka tegas. “Kakak harus selesai kuliah. Itu satu-satunya cara supaya kita bisa keluar dari semua ini. Kalau kakak berhenti sekarang, buat apa semua pengorbanan ini?”

Nayla terdiam, menatap mata adiknya yang penuh keteguhan. Ia tahu Raka benar. Mimpi menyelesaikan kuliah adalah satu-satunya jalan untuk membawa keluarganya ke tempat yang lebih baik. Namun beban itu terasa begitu berat, seolah seluruh dunia berada di pundaknya.

“Kamu percaya Kakak bisa, Ka?” tanya Nayla akhirnya, dengan suara kecil.

“Aku selalu percaya, Kak,” jawab Raka tanpa ragu. “Ibu dan ayah juga pasti percaya. Mereka nggak pernah minta kamu berhenti.”

Sebuah suara lemah terdengar dari ranjang. “Nayla…”

Nayla segera mendekat. Ibu membuka mata perlahan, menatap Nayla dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. “Lanjutkan, Nak. Jangan pikirkan ibu. Kamu harus selesai kuliah. Itu mimpi kita semua.”

Air mata Nayla akhirnya jatuh. Ia memegang tangan ibunya erat, berusaha menyerap kekuatan dari wanita yang kini terbaring tak berdaya.

“Aku nggak akan berhenti, Bu,” janji Nayla dengan suara bergetar. “Aku akan selesai kuliah, untuk ibu, untuk ayah, dan untuk kita semua.”

Raka berdiri di sampingnya, menepuk pundaknya pelan. “Aku akan bantu, Kak. Apa pun yang terjadi, kita bakal lewatin ini bareng-bareng.”

Malam itu, saat duduk kembali di depan laptopnya, Nayla merasa sedikit lebih kuat. Beban di pundaknya masih berat, tapi ia tahu ia tidak sendiri. Di tengah gelapnya cobaan hidup, ia dan Raka adalah pelita satu sama lain. Dan meski jalannya masih panjang dan penuh duri, Nayla berjanji ia akan bertahan—demi keluarganya, dan demi mimpinya

Tangan yang Tak Terulurkan

Minggu pagi yang biasanya menjadi momen untuk beristirahat kini berubah menjadi hari yang penuh perasaan tak menentu bagi Nayla. Setelah menyiapkan sarapan untuk ayah dan ibu, ia melipat tangan di meja makan. Hari ini ia berencana melakukan sesuatu yang selama ini enggan ia coba: meminta bantuan dari kedua kakaknya.

“Kakak yakin mau ke sana?” tanya Raka, yang sedang mengelap meja makan dengan kain usang.

Nayla mengangguk, meskipun hati kecilnya penuh keraguan. “Aku harus coba, Ka. kak Ahmad dan kak Arsad juga anak ibu dan ayah. Ini bukan cuma tanggung jawab kita.”

Raka menggeleng pelan. “Kamu tahu Kak Ahmad ada di luar pulau. Dia selalu bilang susah buat kirim uang karena keluarganya sendiri juga butuh. Kak Arsad? Dia nggak beda jauh. Kerjanya di perusahaan besar, tapi alasan ‘sibuk’ selalu jadi tameng.”

Nayla menghela napas, tapi tetap berdiri. “Aku tetap harus bicara, Ka. Aku nggak bisa menyerah sebelum mencoba.”

Raka hanya menatapnya dengan ragu, tapi ia tak mencoba menghentikan kakaknya. Nayla mengenakan tas kecil dan melangkah keluar rumah, bertekad memulai dari kak Arsad, yang tinggal di pinggiran kota.

Rumah Kak Arsad berdiri di kompleks perumahan sederhana yang cukup terawat. Sebuah mobil bekas terparkir di halaman depan, bukti bahwa kehidupan kak Arsad jauh lebih stabil daripada keluarganya. Ketika Nayla mengetuk pintu, wajah kak Arsad muncul dari celah jendela samping.

“Nay? Tumben ke sini,” sapa kak Arsad datar. Ia membuka pintu, mengenakan kemeja lusuh yang menunjukkan ia baru saja bangun tidur.

“Aku mau bicara soal ibu dan ayah,” jawab Nayla langsung.

kak Arsad mempersilakannya masuk, tapi hanya sebentar. Ia memilih duduk di sofa dengan tubuh bersandar santai, mendengarkan cerita Nayla tanpa menunjukkan banyak emosi.

“Kak,” ujar Nayla akhirnya, setelah menjelaskan situasi ibu yang makin lemah dan ayah yang tak mampu bekerja. “Aku tahu Kakak punya pekerjaan bagus di perusahaan itu. Aku nggak minta banyak. Kalau Kakak bisa bantu sebagian untuk obat ibu atau kebutuhan rumah, itu akan sangat membantu.”

kak Arsad tertawa kecil, suara yang terdengar tak sepantasnya dalam situasi itu. “Nay, kamu tahu kan kerja di perusahaan sawit itu nggak segampang yang kamu bayangkan. Gajinya memang lumayan, tapi aku juga ada cicilan motor, bayar kontrakan, dan kebutuhan lain. Lagian, aku cuma karyawan biasa, bukan bos.”

“Tapi ini soal ibu dan ayah, Kak,” Nayla mencoba menahan suaranya agar tak pecah. “Mereka juga yang dulu nyekolahin kita, termasuk Kakak, sampai bisa kerja di sini.”

“Aku tahu,” sahut kak Arsad, kali ini lebih serius. “Tapi keadaan sekarang beda, Nay. Aku juga punya hidup sendiri. Kamu pintar, Nayla. Kamu pasti bisa cari solusi tanpa harus bergantung ke orang lain.”

Jawaban itu seperti tamparan keras bagi Nayla. Ia menatap kakaknya, berharap menemukan sedikit rasa iba di wajahnya. Tapi kak Arsad tetap tak bergeming, pandangannya bahkan seolah mengusir Nayla pergi lebih cepat.

Dengan hati berat, Nayla akhirnya berdiri. “Terima kasih, Kak. Kalau Kakak berubah pikiran, aku harap Kakak tahu di mana harus mencari aku.”

Kak Arsad hanya mengangguk tanpa banyak reaksi. Nayla melangkah keluar dengan langkah berat, berusaha menahan air mata.

Dari rumah Kak Arsad, Nayla mencoba menelepon Kak Ahmad yang tinggal di luar pulau. Beberapa nada sambung terdengar sebelum suara Ahmad menjawab dari ujung telepon.

“Nayla? Ada apa?”

“Aku mau cerita soal ibu dan ayah, Kak,” Nayla mulai, berusaha terdengar tegar.

Ia menjelaskan semua kesulitan yang mereka hadapi, mulai dari kondisi ibu yang semakin memburuk, kebutuhan obat-obatan, hingga ayah yang tak mampu bekerja lagi. Di sisi lain, ia juga menekankan betapa ia dan Raka berusaha mati-matian untuk mengurus semuanya sendiri.

“ kak Ahmad,” Nayla akhirnya memohon, “Kalau Kakak bisa bantu sedikit, kami benar-benar butuh. Aku nggak bisa terus sendiri.”

Namun, seperti yang sudah ia takutkan, jawaban kak Ahmad membuat hatinya hancur.

“Nay, kamu tahu sendiri, aku udah pindah ke sini buat kerja. Keluarga aku juga butuh. Anak-anak harus sekolah, istri juga lagi nggak enak badan. Aku nggak ada uang lebih buat dikirim sekarang.”

“Tapi ini soal ibu, Kak,” desak Nayla. “Ibu yang dulu ngasih kita semua yang dia punya, termasuk buat Kakak.”

“Aku ngerti,” jawab Ahmad, meskipun terdengar terburu-buru. “Tapi aku cuma manusia biasa, Nay. Aku nggak bisa bantu kalian sekarang. Aku harus tutup telepon, aku ada urusan.”

Klik. Telepon terputus, meninggalkan Nayla berdiri di pinggir jalan, terkejut oleh keheningan yang tiba-tiba. Ia ingin menangis, tapi merasa terlalu lelah bahkan untuk air mata.

Ketika Nayla sampai di rumah, Raka menyambutnya di pintu. Melihat ekspresi kakaknya, Raka tak perlu bertanya apa pun.

“Mereka nggak peduli, kan?” katanya pelan.

Nayla hanya mengangguk, berusaha menelan kenyataan pahit itu. “Kita cuma punya diri kita sendiri, Ka,”

Malam itu, setelah semua tugas rumah selesai, Nayla kembali ke depan laptopnya. Tugas akhir yang belum selesai menatap balik padanya, seolah menantang. Meski hatinya penuh kekecewaan, ia tahu tak ada gunanya terus menunggu tangan yang tak akan pernah terulur.

Dalam hati, Nayla bersumpah. Ia akan menyelesaikan kuliahnya, bagaimanapun caranya. Ia akan menjadi pelita bagi keluarganya, meski harus menyalakan cahaya itu sendirian.

Keteguhan dalam Hujan

Langit sore itu gelap, menyimpan hujan yang siap tumpah kapan saja. Di ruangan kecil di kampus, Nayla duduk dengan lelah sambil memeriksa laporan mahasiswa. Sebagai asisten dosen, tugas ini biasa ia lakukan, tetapi hari ini rasanya lebih berat. Kepalanya berdenyut, pikirannya terpecah antara tugas, kondisi di rumah, dan rasa kecewa yang belum hilang setelah pertemuan dengan kakak-kakaknya.

“Nayla,” panggil Pak Irman, dosennya, sambil mendekat. “Kamu nggak apa-apa? Kelihatannya kamu capek sekali.”

Nayla memaksa tersenyum. “Saya baik-baik saja, Pak. Mungkin cuma kurang tidur.”

Pak Irman menatapnya penuh perhatian. “Kalau kamu butuh waktu istirahat, bilang saja. Jangan sampai terlalu memaksakan diri.”

Ucapan itu terdengar tulus, tetapi Nayla tahu ia tak punya pilihan untuk berhenti atau beristirahat. Gaji kecil dari pekerjaan ini sangat penting untuk menutupi kebutuhan di rumah. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Nayla pamit pulang. Hujan mulai turun saat ia keluar dari kampus, tapi ia tak membawa payung.

Di rumah, suasana terasa berbeda. Raka, yang biasanya menyambut Nayla dengan senyum, duduk diam di ruang tamu sambil menatap kosong ke arah televisi yang tidak dinyalakan.

“Kamu kenapa, Ka?” tanya Nayla sambil meletakkan tasnya.

Raka menoleh perlahan. “Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma capek.”

Nayla duduk di sampingnya, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. “Raka, kalau ada yang kamu pikirkan, cerita ke aku. Jangan dipendam sendiri.”

Raka menggeleng. “Aku cuma mikir, Kak. Sampai kapan kita harus begini? Aku nggak apa-apa berhenti sekolah, tapi... rasanya nggak ada yang berubah. Ibu masih sakit, ayah masih nggak bisa kerja, dan kita nggak punya siapa-siapa.”

Nayla terdiam. Kata-kata Raka menyentuh luka yang sama yang ia rasakan setiap hari. Tapi ia tahu, sebagai kakak, ia harus kuat.

“Kita nggak tahu sampai kapan, Ka,” jawab Nayla pelan. “Tapi selama kita tetap berjuang, aku percaya akan ada jalan. Kita cuma perlu bersabar.”

Namun, Nayla tahu kata-katanya terasa hampa. Bahkan ia sendiri mulai merasa goyah.

Malam itu, setelah membantu Raka menyelesaikan pekerjaan rumah, Nayla mencoba kembali ke laptopnya untuk melanjutkan tugas akhir. Namun pikirannya terus melayang. Ia merasa tubuhnya berat, seperti seluruh beban dunia ada di pundaknya.

Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang terus menghantui: Apakah aku terlalu egois? Haruskah aku menyerah?

Di luar, hujan deras mulai mengguyur, membuat suara gemuruh yang memenuhi malam. Nayla berdiri di dekat jendela, memandang tetesan air yang berjatuhan tanpa henti. Ia merasa seperti hujan itu, jatuh dan hancur tanpa arah.

Tiba-tiba, suara langkah pelan mendekat. Raka berdiri di belakangnya dengan segelas teh hangat di tangan.

“Kak,” ujar Raka pelan. “Kamu nggak apa-apa? Aku tahu kamu juga capek.”

Nayla menoleh, melihat wajah adiknya yang penuh perhatian. Seketika, ia merasa malu. Ia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sampai lupa bahwa Raka juga membutuhkan dukungan.

“Aku cuma sedang berpikir,” jawab Nayla jujur.

“Kakak nggak boleh menyerah,” kata Raka dengan suara yang lebih tegas dari biasanya. “Kalau Kakak menyerah, aku nggak tahu harus bagaimana.”

Kata-kata itu membuat Nayla tercekat. Ia menatap Raka yang kini berdiri di hadapannya, menggenggam teh hangat itu dengan kedua tangan.

“Kita udah jauh, Kak,” lanjut Raka. “Aku tahu ini berat, tapi aku percaya sama Kakak. Kita pasti bisa melewati semua ini.”

Dalam hening, Nayla merasakan kehangatan dari adiknya, meskipun di luar hujan terus mengguyur. Ia menyadari bahwa Raka selalu menjadi pelitanya—cahaya kecil yang terus menyala meskipun dunia mereka begitu gelap.

Nayla akhirnya tersenyum, meskipun matanya berkaca-kaca. Ia menerima teh itu dari tangan Raka dan memeluknya erat.

“Terima kasih, Ka,” bisiknya. “Kita pasti bisa.”

Malam itu, setelah hujan mereda, Nayla kembali duduk di depan laptopnya. Dengan semangat yang baru, ia mulai mengetik, huruf demi huruf, seolah menggambarkan keteguhan hatinya yang perlahan tumbuh kembali. Hujan mungkin telah berhenti, tapi perjuangannya masih jauh dari selesai. Dan kali ini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berhenti, apa pun yang terjadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!