NovelToon NovelToon

TARGET OPERASI

Bab 1 : Arga Dirgantara Putra

Arga berdiri dengan penuh kebanggaan di tengah lapangan upacara yang panasnya mampu menyaingi wajan penggorengan di warung pecel lele. Seragam polisi barunya yang masih berbau pabrik membungkus tubuhnya dengan kaku, membuatnya tampak seperti patung lilin di museum, tetapi siapa peduli? Hari itu adalah momen puncak dalam hidupnya—cita-cita masa kecilnya untuk menjadi polisi akhirnya tercapai.

Di sampingnya, berdiri kedua orang tuanya, dengan ekspresi yang benar-benar kontras. Ibunya, Bu Ratmi, tampak hampir pingsan antara haru dan kelelahan setelah seharian menunggu di bawah terik matahari. Namun, tidak ada yang bisa mengalahkan senyumnya yang lebar, seperti baru memenangkan undian arisan terbesar di kampung. Di sisi lain, Pak Komar, ayah Arga, berdiri gagah—atau setidaknya berusaha terlihat gagah—dengan kemeja batik yang sepertinya sudah lebih kecil satu ukuran sejak terakhir kali dipakai.

"Eh, Pak, foto dulu sama Arga! Jangan kaku gitu!" seru Bu Ratmi, dengan antusias seperti sutradara dadakan. Ia langsung mengambil ponsel dari tasnya yang lebih mirip gudang berjalan. Dalam beberapa detik, ia mulai memotret tanpa ampun, sampai Pak Komar yang tadinya diam mulai protes.

"Bu, ini panas, Bu! Nanti fotonya gelepotan keringat saya!" keluh Pak Komar sambil mencoba menyeka wajahnya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup.

Sementara itu, Arga hanya berdiri diam dengan senyum yang mulai terasa seperti kram wajah. Satu-satunya hal yang membuatnya tetap tegar adalah bayangan makan tumpeng di rumah setelah ini. Tapi, semua rasa lelah dan panas itu sirna sejenak ketika ibunya tiba-tiba mulai menangis haru.

"Arga, kamu itu anak yang selalu bikin Ibu bangga," ucapnya dengan suara bergetar. "Dulu kamu bilang mau jadi polisi karena pengen bawa senjata mainan, eh sekarang malah jadi beneran polisi. Ibu nggak nyangka!"

Arga tersenyum kikuk, menggaruk-garuk tengkuknya. "Iya, Bu. Tapi sekarang beneran ya, jangan kasih aku pistol air lagi buat latihan!" candanya, mencoba mencairkan suasana.

Mereka bertiga akhirnya tertawa bersama, meski keringat tetap bercucuran di wajah masing-masing. Hari itu mungkin sederhana, tapi bagi Arga, itu adalah awal dari perjalanan panjang sebagai penjaga keadilan—dan penikmat candaan keluarga yang tak pernah habis.

...****************...

Saat pembawa acara mengumumkan nama Arga sebagai lulusan terbaik, seluruh lapangan mendadak senyap. Beberapa detik kemudian, tepuk tangan bergemuruh seperti konser dangdut dadakan. Arga, yang awalnya sibuk membetulkan posisi topinya agar tidak miring, langsung melongo. Bibirnya terbuka lebar, cukup untuk menampung seekor lalat yang kebetulan lewat.

"Arga, maju ke depan," suara pembawa acara terdengar lagi, membuatnya sadar kalau ini bukan mimpi. Ia berusaha melangkah dengan gagah, tapi sepatu barunya yang masih licin membuatnya hampir terpeleset. Untung saja ia berhasil menjaga keseimbangan, meskipun beberapa orang di barisan depan mulai cekikikan.

Saat menerima piagam dari Kapolda, Arga menunduk sopan. Tapi begitu ia membaca namanya di piagam itu, air matanya hampir tumpah. Bukan karena haru, melainkan karena fontnya terlalu kecil dan hampir membuatnya mengira itu bukan namanya.

Namun, momen puncak benar-benar terjadi ketika Kapolda melanjutkan pengumuman. "Dan sebagai lulusan terbaik, Arga akan langsung bergabung di Mabes Polri, bekerja bersama Kompol Gunawan!"

Sekali lagi, Arga melongo. Kali ini lebih lama. Gunawan! Sang legendaris! Polisi yang diidolakan Arga sejak ia masih bocah SD yang main kejar-kejaran sambil berteriak, “Tangkap penjahat!”

Di sudut lapangan, Bu Ratmi langsung menjerit kecil. "Ya Allah, anakku kerja bareng Gunawan! Ini beneran mimpi, Pak!" katanya sambil mencubit lengan Pak Komar yang sedang sibuk mencoba mengelap keringat dengan ujung kemejanya.

Pak Komar, yang masih belum sepenuhnya mengerti siapa Gunawan, hanya mengangguk. "Iya, Bu, iya. Yang penting anak kita kerja, bukan malah jadi pengangguran."

Sementara itu, Arga berusaha keras menahan diri agar tidak terlihat terlalu norak di depan para pejabat. Tapi dalam hatinya, ia sudah membayangkan dirinya dan Gunawan mengejar penjahat di jalanan, melompat pagar, dan berakhir dengan aksi slow motion seperti di film-film.

Saat kembali ke barisan, seorang temannya berbisik, "Ga, lu tau nggak? Gunawan itu galak, loh. Dikit-dikit push-up. Siap-siap aja!"

Arga hanya tersenyum kecut. Tapi di dalam hatinya, ia tetap yakin. "Ah, ini kesempatan emas. Mau push-up 100 kali juga nggak apa-apa. Yang penting bisa jadi partnernya idola!"

Hari itu, Arga tidak hanya pulang dengan gelar lulusan terbaik, tetapi juga dengan harapan besar—dan sedikit ketakutan akan otot pegal.

...****************...

Setelah nama Arga diumumkan sebagai lulusan terbaik, suasana di lapangan berubah bak pasar malam. Teman-temannya langsung menyerbu ke arahnya seperti anak-anak berebut permen gratis. Arga, yang baru saja menenangkan dirinya, tiba-tiba dikerubuti bak selebritas dadakan.

"Ga, lu keren banget sih! Gua sih udah tau lu bakal juara, dari cara lu makan di kantin aja udah beda aura!" seru Toni, sambil menepuk bahu Arga keras-keras, hampir membuatnya kehilangan keseimbangan.

"Ih, Arga! Jangan lupa sama kita ya kalau udah sukses di Polda. Kali-kali traktir kita bakso," tambah Edo, yang entah kenapa selalu memikirkan makanan di setiap kesempatan.

Namun, semua itu tak seberapa dibandingkan momen ketika suara yang ditunggu-tunggu akhirnya terdengar.

"Selamat ya, Arga. Aku tahu kamu pasti bisa," kata Rindang, dengan senyum yang membuat dunia Arga mendadak blur seperti kamera lupa fokus.

Rindang, polwan yang sejak awal masuk Akpol sudah diam-diam mencuri perhatian Arga. Rambutnya yang selalu terselip rapi di balik topi, caranya berjalan dengan langkah tegap, bahkan cara dia membetulkan name tag di seragamnya—semuanya telah tertanam di memori Arga. Dan sekarang, dia berdiri di depan Arga, mengucapkan selamat.

Arga panik. Bukan karena terharu, tapi karena otaknya mendadak seperti laptop hang. Yang keluar dari mulutnya hanya suara tidak jelas, "Eh... eh... iya, makasih. Eh, kamu juga selamat ya... maksudnya... ya... gitu deh."

Toni dan Edo yang berdiri di dekat situ langsung terkikik melihat ekspresi beku Arga. "Ga, ngomongnya yang bener, napa? Ntar doi kabur baru nyesel!" bisik Toni, sambil menyikut Arga pelan.

Rindang hanya tersenyum, sedikit geli melihat Arga yang biasanya tegas tiba-tiba jadi canggung. "Semoga kita bisa satu tim nanti, ya," katanya sebelum berlalu.

Arga tidak menjawab, hanya berdiri dengan senyum kaku seperti patung di taman kota. "Gila, gua cuma denger suaranya aja udah bikin deg-degan. Apalagi satu tim!" pikirnya dalam hati.

Setelah Rindang pergi, teman-temannya langsung menyerbu lagi, kali ini dengan lebih banyak candaan.

"Ga, serius deh, jangan sampai lu gagal nembak doi. Gimana mau nembak penjahat nanti?" seru Edo, disambut gelak tawa yang membuat Arga ingin segera kabur ke planet lain.

Hari itu, Arga tidak hanya diakui sebagai lulusan terbaik, tetapi juga merasa hidupnya seperti drama komedi romantis. Dan di tengah keriuhan itu, satu hal yang ia tahu pasti: perjalanannya baru saja dimulai, dan hati yang dag-dig-dug karena Rindang akan menjadi tantangan terbesarnya.

...****************...

Bab 2: Nama Baik itu Mahal

Ketika mobil pick-up tua Pak Komar akhirnya berhenti di depan rumah dinas pegawai perhutani, Arga melompat turun dengan lega, meskipun tulang belakangnya protes habis-habisan setelah perjalanan penuh guncangan. Rumah itu masih seperti dulu—klasik, bergaya 80-an, dengan cat tembok warna krem yang sebagian sudah mengelupas dan genteng merah yang mulai diselimuti lumut. Bahkan, lonceng angin dari bambu di teras masih berdenting lembut, meskipun sekarang bunyinya lebih seperti keluhan daripada melodi.

Di dalam rumah, suasana sudah meriah. Keluarga besar Arga berkumpul dengan gaya yang lebih cocok untuk pesta ulang tahun anak daripada sekadar menyambut lulusan baru. Ada sepupu-sepupu kecil yang sibuk lari-lari sambil menjerit, tumpukan piring di meja makan penuh dengan berbagai macam makanan—dari opor ayam sampai kerupuk yang diwadahi baskom plastik merah—dan tentunya kakak perempuan Arga, Sinta, yang sudah berdiri di tengah ruangan dengan tangan berkacak pinggang seperti seorang komandan perang.

"Arga! Baru pulang kok lelet banget sih? Udah pada nunggu dari tadi tahu!" seru Sinta dengan nada yang begitu galak sampai pintu rumah bergetar. Suaminya, Mas Budi, hanya duduk tenang di sofa sambil memainkan ponselnya, seolah-olah sudah kebal dengan suara keras istrinya.

"Maaf, Mbak. Tadi banyak macet," jawab Arga sambil menunduk sedikit, lebih karena kebiasaan takut sama kakaknya daripada rasa bersalah yang sebenarnya.

Dua anak kembar Sinta, Tono dan Tini, langsung menyerbu ke arah Arga. "Om Arga! Om Arga! Om sekarang jadi polisi ya? Punya pistol nggak? Bisa tangkap maling nggak?" Mereka menghambur dengan semangat seperti arus deras sungai, membuat Arga hampir jatuh ke belakang.

"Tono, Tini, jangan ganggu Om Arga! Dia pasti capek!" bentak Sinta, sebelum melanjutkan dengan lebih pelan, "Nanti kalau mau main, gantian. Tapi ya, Arga, kalau ada penjahat di komplek, tolong langsung tangkap ya. Soalnya tetangga sebelah tuh, kayaknya nyolong jemuran saya kemarin."

Bu Ratmi yang sedang sibuk di dapur keluar membawa piring besar berisi nasi kuning dan langsung berteriak, "Sini, Arga! Makan dulu sebelum makanannya habis diserbu yang lain. Ini hari kamu, jadi makan yang banyak!"

Pak Komar, di sisi lain, sudah duduk nyaman di kursi kayu tua favoritnya sambil menyeduh teh. "Wah, rumah kita rame begini enak ya. Tapi jangan lupa, habis makan piringnya langsung cuci sendiri, Arga!"

Di tengah kekacauan itu, Arga hanya bisa menghela napas sambil tersenyum kecil. Rumah memang tidak pernah berubah. Baik itu suara ribut kakaknya, tingkah laku kembar yang menggemaskan, atau bahkan keusilan sepupu-sepupu yang mulai mencoba memakai topinya.

Malam itu, di antara obrolan, gelak tawa, dan suara piring yang beradu, Arga merasa benar-benar di rumah. Bukan karena dekorasi jadulnya atau bau khas perabot kayu tua, tapi karena orang-orang yang selalu berhasil membuatnya tertawa—dan sedikit pusing di saat bersamaan.

...****************...

Malam itu, rumah itu akhirnya kembali tenang. Suara keramaian keluarga besar sudah berganti dengan bunyi jangkrik dan derak kursi kayu tua di ruang tamu. Pak Komar duduk di kursinya yang khas, posisi miring sedikit ke kanan, dengan teh hangat di tangan. Di sebelahnya, Bu Ratmi sibuk merapikan sisa makanan di meja, meskipun sebenarnya sudah hampir bersih sejak setengah jam lalu. Sementara itu, Arga duduk di sofa, mencoba santai, tapi tahu ada sesuatu yang serius akan dibicarakan.

Di sudut ruangan, Sinta sedang memarahi Tono dan Tini yang rebutan remote TV, sementara Mas Budi asyik mengunyah keripik dengan ekspresi damai seperti hidupnya sempurna.

"Ga," suara Pak Komar memecah keheningan. Suaranya rendah tapi tegas, jenis suara yang tidak bisa diabaikan.

"Iya, Pak," jawab Arga, langsung duduk lebih tegak.

Pak Komar menatapnya dalam-dalam, seperti mencoba membaca pikiran Arga. "Kamu sekarang udah jadi polisi. Bukan cuma kerjaan biasa, ini tanggung jawab besar. Kamu pegang amanah dari negara, dari rakyat. Kamu ngerti itu, kan?"

Arga mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saya paham."

"Tapi ngerti aja nggak cukup," lanjut Pak Komar, sambil meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati. "Kamu harus jadi polisi yang baik. Yang jujur. Jangan tergoda sama duit haram, jangan ikut-ikutan kalau ada yang curang. Dunia ini udah banyak yang rusak, Ga. Jangan tambah rusak gara-gara kamu."

Suasana mendadak serius. Bahkan Bu Ratmi berhenti menyusun piring dan duduk di dekat Pak Komar, mendukung penuh pidato suaminya.

"Pak, nggak usah khawatir. Arga kan anak kita. Dia pasti nggak bakal kayak gitu," ujar Bu Ratmi sambil tersenyum bangga.

Tapi Sinta, yang mendengar dari dapur, langsung menyahut dengan gaya galaknya. "Eh, itu ngomong gampang. Ga, inget ya, kalau sampe kamu korupsi, aku nggak bakal segan dateng ke kantor kamu buat ngamuk. Dan aku serius. Malu-maluin keluarga tuh jangan!"

Tono dan Tini yang tadinya sibuk berebut remote langsung berhenti dan menatap Arga dengan mata besar penuh rasa penasaran. "Om Arga nggak boleh jahat, ya? Kalau Om jahat, nanti kami nggak main sama Om lagi!"

Arga menelan ludah. Seketika, dia merasa seluruh dunia—dari ayahnya yang tegas, ibunya yang penuh harapan, kakaknya yang galak, sampai keponakan kecilnya yang polos—semua menaruh kepercayaan penuh padanya.

Pak Komar melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi tetap penuh makna. "Kamu tahu, Ga, hidup ini nggak selalu gampang. Akan ada orang yang ngajak kamu berbuat salah, orang yang bikin kamu ragu sama prinsipmu. Tapi inget satu hal: nama baik itu mahal. Dan kalau kamu sampai kehilangan itu, kamu nggak cuma rugi sendiri, tapi juga keluarga kita."

Ruangan itu hening sejenak. Bahkan Mas Budi yang tadinya sibuk ngemil kini menatap serius ke arah Arga, meskipun dengan tangan masih memegang keripik.

Akhirnya, Arga mengangguk tegas. "Iya, Pak. Saya janji, saya bakal jadi polisi yang baik. Saya bakal jaga nama baik keluarga."

Pak Komar tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Bagus. Nah, sekarang tidur sana. Besok kerjaanmu banyak."

Sinta yang duduk di ujung sofa menambahkan dengan nada sarkastik, "Iya, tidur cepet, biar nggak ngantuk pas menangkap maling."

Tono dan Tini langsung berteriak, "Om Arga pasti jago nangkep maling! Om pahlawan kami!"

Arga tertawa kecil, mengacak rambut kedua keponakannya. Malam itu, meskipun penuh dengan tekanan dan ekspektasi, dia merasa lebih kuat. Di balik semua lelucon dan canda, Arga tahu: dia punya tanggung jawab besar, tapi dia juga punya keluarga yang percaya padanya. Dan itu cukup untuk membuatnya melangkah dengan tegap ke hari esok.

...****************...

Bab 3: Siap tidak siap, harus siap

Pagi itu, rumah dinas perhutani lebih sibuk dari biasanya. Bahkan ayam jago tetangga yang biasanya menjadi alarm andalan tampak kebingungan karena manusia-manusia di rumah Arga sudah bangun jauh lebih awal dari kokokannya.

Di dapur, Bu Ratmi sibuk dengan kompor, memasak nasi goreng yang wanginya sudah menyebar sampai ke jalanan depan rumah. Dengan semangat membara, ia juga menyiapkan telur dadar, irisan tomat, dan kerupuk warna-warni yang entah kenapa selalu menjadi pelengkap wajib. Sementara itu, Sinta duduk di meja makan sambil menggiling cabai di cobek seperti ingin menyalurkan seluruh energi galaknya ke sambal.

"Bu, santai aja, kenapa sih kayak mau masak buat kondangan?" tanya Sinta, yang meskipun galak, tetap tidak bisa menahan diri untuk ikut membantu.

"Eh, mana bisa santai! Ini hari pertama Arga kerja jadi polisi. Harus ada tenaga dari sarapan yang bergizi. Kalau nggak, nanti dia pingsan di lapangan gimana? Malu-maluin keluarga!" jawab Bu Ratmi sambil membalik telur dadar dengan ketangkasan seorang master chef.

Di kamar, Arga berdiri di depan cermin, memandangi dirinya sendiri dengan seragam lengkap. Seragam cokelatnya bersih tanpa cela, lengkap dengan topi polisi yang diposisikan sempurna di kepalanya. Nama “Arga Dirgantara Putra” terpampang di dada kirinya, membuatnya merasa seperti karakter utama di film aksi.

Namun, perasaan bangga itu sedikit terusik ketika Tono dan Tini tiba-tiba masuk tanpa permisi.

"Om Arga! Om Arga kelihatan kayak di TV! Tapi… kok kayaknya serem ya?" komentar Tono dengan polos, sambil memiringkan kepala seperti sedang menilai karya seni abstrak.

"Iya, Om. Jangan-jangan nanti Om tangkap kita kalau kita nggak makan sayur," tambah Tini, membuat Arga terkekeh.

"Ya ampun, kalian ini! Om nggak bakal tangkap kalian, kecuali kalian jadi ketua geng penjahat," balas Arga, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Ketika Arga akhirnya keluar dari kamar, Bu Ratmi langsung berteriak seperti pelatih militer. "Cepetan duduk! Sarapan dulu! Jangan ada yang berani ninggalin rumah ini tanpa makan nasi goreng buatan Ibu!"

Sinta melirik Arga dengan ekspresi sok serius. "Wah, sekarang udah resmi jadi Ipda, ya. Tapi inget, tanggung jawabmu berat. Jangan pulang ke rumah sambil bawa masalah. Kalau nggak, aku siap nyemprot kamu tiap hari."

Arga tersenyum kecil. "Tenang, Mbak. Nanti kalau ada masalah, yang pertama aku telepon pasti kamu," jawabnya sambil bercanda, yang langsung membuat Sinta mendelik.

Di meja makan, suasana sedikit mereda ketika semua mulai sibuk dengan piring masing-masing. Namun, Bu Ratmi tidak bisa menahan rasa harunya. "Arga, Ibu bangga banget sama kamu. Dulu kamu lari-larian main polisi-polisian, sekarang beneran jadi polisi. Jangan lupa jaga diri, ya."

"Siap, Bu," jawab Arga sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa harunya.

Ketika akhirnya waktunya berangkat, Bu Ratmi dan Sinta berdiri di depan rumah untuk melepas Arga. Tono dan Tini melambaikan tangan dengan antusias. "Om Arga, tangkap maling yang banyak, ya! Jangan lupa jadi polisi superhero!"

Dengan langkah tegap, Arga berjalan menuju motor dinasnya yang sudah siap. Tapi sebelum naik, ia berhenti sejenak, menoleh ke arah keluarganya. "Bu, Mbak, doakan ya. Saya janji bakal bikin kalian bangga."

Bu Ratmi mengusap matanya yang mulai basah. "Pergi sana, nanti telat. Tapi jangan lupa makan siang!"

Dan dengan itu, Arga memutar kunci motornya, meninggalkan rumah dengan hati penuh semangat—dan perut kenyang berkat nasi goreng terbaik yang pernah ada.

...****************...

Sesampainya di Mabes Polri, Arga merasa seperti memasuki dunia lain. Bangunan besar dengan suasana sibuk itu penuh dengan orang berseragam yang berjalan cepat ke sana kemari, membawa dokumen atau sekadar bercakap serius. Di sudut-sudut ruangan terdengar bunyi telepon yang terus-menerus berdering, diselingi suara laporan yang disampaikan dengan nada formal.

Arga menegakkan punggungnya, berusaha terlihat tenang meski hatinya sudah seperti drum band saat karnaval. "Oke, Arga. Ini hari pertama. Jangan bikin malu," pikirnya sambil menatap dirinya sendiri lewat pantulan di kaca pintu. Tapi baru dua langkah, ia terhenti karena dua polisi senior masuk sambil menyeret seorang pria bertato yang berteriak-teriak.

"Saya nggak salah, Pak! Ini cuma salah paham!" teriak pria itu, sementara seorang polisi menukas, "Oh, salah paham? Jadi laptop di ransel ini tiba-tiba teleport ke tas kamu?"

Melihat itu, Arga merasa adrenalinnya naik, meskipun hanya berdiri di tempat. "Wah, gini ya kerja polisi. Serius banget!" pikirnya, sambil tanpa sadar berdiri di tengah jalan, membuat orang-orang harus menghindar dengan tatapan heran.

"Hei, baru ya?" sebuah suara memecah lamunannya. Arga menoleh dan melihat seorang pria berseragam sama dengannya, lengkap dengan senyum ramah. "Perwira baru, kan? Kelihatan banget dari wajah tegangmu."

"Eh, iya, baru. Saya Arga," jawabnya sambil menjabat tangan pria itu.

"Saya Rahmat. Santai aja, Bro. Kalau kebanyakan tegang, nanti nggak fokus. Kalau nggak fokus, bisa tersesat. Kalau tersesat, senior bakal ngamuk. Kalau senior ngamuk, wah—pokoknya kamu nggak mau tahu." Rahmat menyeringai, membuat Arga sedikit tertawa meski tetap gugup.

"Lihat tuh," Rahmat menunjuk ke arah seorang pria tegap yang duduk di meja besar di pojok ruangan. "Itu Kompol Gunawan. Kalau kamu ditempatkan di timnya, siap-siap aja. Orangnya terkenal galak, tapi jago banget. Jangan bikin dia kesal."

Arga menoleh ke arah yang ditunjukkan. Kompol Gunawan sedang membolak-balik dokumen dengan wajah serius. Sorot matanya tajam seperti sedang menginterogasi kertas yang ada di depannya. Di sebelah meja, ada beberapa borgol, peta, dan cangkir kopi hitam yang terlihat seperti sudah menjadi senjata andalannya.

"Jadi, saya harus ke sana sekarang?" tanya Arga dengan nada ragu.

"Ya iya, siapa lagi? Jangan lama-lama, nanti dibilang lelet. Ingat, kesan pertama itu penting!" Rahmat menepuk bahunya, membuat Arga hampir terlonjak.

Dengan napas dalam, Arga melangkah ke arah meja Kompol Gunawan. Setiap langkah terasa seperti ujian. Baru beberapa meter, ia nyaris tersandung kabel charger yang tergeletak di lantai. Untung tidak ada yang memperhatikan, kecuali Rahmat yang tertawa kecil di belakang.

Saat sampai di depan meja, Arga berdiri tegap dan memberi hormat. "Selamat pagi, Kompol Gunawan. Saya Ipda Arga Dirgantara Putra, melapor untuk bertugas."

...****************...

Gunawan menatap Arga dengan pandangan yang lebih tajam dari pisau dapur. Seperti seorang detektif yang baru saja menemukan bahwa saksi kunci berbohong, matanya menyelidik Arga dari ujung rambut hingga sepatu bot, seolah-olah ia bisa melihat langsung ke dalam hatinya. Arga merasakan panasnya tatapan itu, seperti ada laser yang menembus jantungnya.

"Saya diberi polisi baru tanpa pengalaman lagi," Gunawan mengeluh, suara seraknya terdengar seperti suara seseorang yang baru bangun tidur setelah semalam begadang. "Padahal saya sudah minta yang berpengalaman. Tapi ya, kamu pasti tahu kan? Di sini, semua serba cepat, serba beres-beres, nggak ada waktu buat pelatihan panjang."

Arga mencoba untuk tetap tenang, tapi dadanya berdebar seperti drum band yang sedang latihan. "Saya siap belajar, Kompol," jawabnya, meski dalam hati dia sudah mulai meragukan kemampuannya untuk bertahan hidup di tim ini.

Gunawan mengangkat alis sejenak, seperti tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Belajar? Di sini? Hah, kamu pikir kita punya waktu buat ngajarin kamu? Kalau kamu nggak ngerti, kamu akan tercecer di tengah jalan. Terus siapa yang rugi? Ya saya, tentu saja."

Arga hanya bisa mengangguk cepat-cepat. "Siap, Pak!"

Tanpa banyak basa-basi, Gunawan langsung berdiri dan berjalan ke papan tulis besar di pojok ruangan, menggambar sesuatu yang tampaknya sangat penting. Tapi, dari sudut mata Arga, itu lebih mirip gambar rumah dan pohon—yang mana tentu saja membuatnya sedikit bingung. "Lihat sini," suara Gunawan yang datar, namun tegas, kembali menarik perhatian Arga.

"Jadi gini, Arga. Kamu mau jadi polisi? Keren. Tapi di sini, kita nggak main-main. Lihat peta ini. Ini area rawan. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus ingat tiga hal: kecepatan, ketepatan, dan... kebersihan. Maksudnya, kebersihan itu jangan sampai kamu kena kasus yang bikin kamu kotor. Paham?"

Arga mengernyit, bingung. "Eh, Pak... kebersihan?"

Gunawan menghela napas panjang. "Iya, kebersihan! Kamu nggak mau kan, tiba-tiba ketahuan ada barang bukti yang 'terjatuh' di tas kamu? Itu yang saya maksud dengan kebersihan."

"Ah... Iya, Pak!" Arga menjawab, berusaha untuk tidak terlihat bingung.

Gunawan menyeringai, seakan melihat keraguan yang terlukis jelas di wajah Arga. "Lihat, kamu ini masih baru. Jadi, belajar cepat atau... kamu bisa keluar. Nggak ada yang bakal sayang."

Arga langsung merasakan darahnya berdesir. Gunawan mungkin tidak berbicara dengan nada mengancam, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti petir yang menggelegar.

"Untuk sementara saya akan lihat kemampuan kamu, sebelum memutuskan kamu bisa bertugas di lapangan." Gunawan mengangkat bahu, menandakan bahwa ia tidak terlalu peduli dengan jawaban Arga.

Arga hanya bisa berdiri kaku, tubuhnya terasa kaku, sementara di dalam hatinya, ia mulai merasa sedikit terintimidasi. "Siap, Pak...," jawabnya, meskipun dalam hati dia sudah merencanakan untuk menghafal setiap detail briefing ini agar tidak kelihatan seperti pemula yang tidak tahu apa-apa.

Gunawan menatapnya satu detik lagi, lalu berbalik dan berjalan menuju meja kerjanya, menyarungkan tangannya ke saku celana dengan santai. "Oke, itu saja. Kalau ada yang masih kamu bingungin, tanya Rahmat. Jangan tanya saya. Saya nggak punya waktu buat kasih penjelasan."

"Siap, Pak," jawab Arga, sambil merasa sedikit lebih rendah dari semalam.

Ketika Arga berbalik untuk pergi, dia sempat melirik ke arah Rahmat yang kini tersenyum lebar, seakan menantikan reaksi Arga yang baru saja diberi "wejangan" oleh Gunawan.

"Sabar ya, Bro. Itulah Gunawan. Dia nggak pernah gampang." Rahmat melambaikan tangan, sambil berbisik, "Tapi jangan khawatir, kamu bakal tahan. Setidaknya sampai kamu mulai ngerti cara kerja di sini."

Arga menghela napas panjang, menenangkan diri. "Ya, mudah-mudahan."

Namun, saat langkahnya semakin jauh, Arga tahu satu hal: hari-hari selanjutnya akan penuh tantangan. Dan mungkin juga sedikit... kekonyolan.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!