NovelToon NovelToon

SECOND WIFE

Pernikahan

"Saya terima nikahnya Andine Sadiqah bla...bla.... dengan mas kawin tersebut dibayar tunai....," suara Aleandro menggema di seluruh ruangan masjid yang terletak di samping rumahku.

"Sah... Sah...," suara itu saling sahut, menguatkan apa yang telah diikrarkan oleh pria tadi.

Aku yang berada di ruangan lain, tersadar setelah ditepuk bahuku oleh salah satu keluarga dekatku.

"Sambut suami kamu Andine," katanya.

"Suami?" ucapku melongo.

"Iya, suami kamu," serunya menandaskan.

Dengan diantar olehnya aku bergerak maju untuk mendekat ke arah pria yang telah sah menjadi suamiku.

Di belakangnya nampak seorang wanita cantik nan anggun tersenyum ke arahku.

Wanita yang baru aku kenal kemarin, yang merupakan istri pertama dari pria yang kini telah menjadi suamiku juga.

Tak ada sambutan dan senyuman hangat dari sosok pria itu. Jangankan memeluk, senyum saja menjadi hal yang mahal buatnya.

'Bisa-bisanya aku menikah dengan pria balok es seperti ini? Salahkah keputusan ku ini? Maafkan anakmu bu, aku melakukan karena terpaksa. Hiks,'' sesalku dalam benak.

"Kita pulang!" katanya singkat.

Entah siapa yang diajak olehnya?

Istri pertamanya, atau aku pun diajak serta.

Tak ada kata yang diucapkan lagi. Dia pergi begitu saja, dan menjauh dari posisiku berdiri.

Tak ada acara salim ataupun kecupan kening seperti pasangan yang barusan menikah pada umumnya.

Aku berdiri mematung.

"Nona Andine, anda ditunggu tuan muda di mobil," sapa pria yang sepertinya pantas untuk dipanggil bapak olehku.

"I... I... Iya," jawabku gugup.

Tak ada kata pamitan dariku untuk keluarga dan tetanggaku.

Ibuku sendiri saat ini tengah berjuang di rumah sakit sekarang.

Itulah yang menjadi alasan utamaku untuk menerima tawaran gila dari pria dingin itu untuk menjadi pabrik pembuat anak untuk dia dan istrinya.

.

Aku terpana saat memasuki rumah mewah itu, jiwa miskinku tentu saja meronta.

"Tundukkan pandanganmu!" sambut Michelle ketus. Bertolak belakang dengan sikapnya saat akad nikah tadi.

"Jangan sombong! Dan ingat, statusmu di sini sebagai apa!" tandasnya. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.

"Besok kita akan membawamu ke rumah sakit. Semakin cepat dilakukan, akan semakin baik," celotehnya tanpa mau dibantah.

Tanpa menunggu jawabanku, sebuah amplop tebal hampir mengenai wajahku.

"Itu uang yang kita janjikan sebelumnya," sambung Michelle.

Sementara Aleandro hanya diam tanpa menyela.

Toh tak ada ruginya bagi dia. Anggap Aleandro.

Meski menikah, dirinya tak akan sekalipun menyentuh wanita yang telah sah menjadi istri keduanya.

Mereka berdua hanya membutuhkan rahim wanita yang kini duduk menunduk di hadapannya.

"Baik nyonya, terima kasih," aku meraih amplop yang mendarat manis di depanku.

Biarlah, mau dianggap cewek matre pun aku tak peduli.

"Tapi... Bolehkah saya ijin hari ini? Saya mau ke rumah sakit, menunggu ibu di sana," kataku perlahan.

"No, selama terikat kontrak dengan kita. Tak akan kuijinkan kamu keluyuran semaunya," tolak Michelle.

Wanita cantik ini sepertinya tak ingin aku mengingkari perjanjian.

"Kenapa nggak boleh nyonya? Tak ada kewajiban saya harus tinggal di sini bukan?" seruku.

"Karena hari ini aku akan menambah pasal perjanjian kita, bahwa kamu tak boleh keluar dari rumah tanpa seijin kami. Iya kan sayang?" ucap Michelle sambil menggelayut manja di lengan sang suami.

"Makanya sekarang saya ijin dengan anda nyonya. Saya musti pamit ke ibu, agar ibu tak mencari. Dan uang yang anda berikan akan langsung saya bayarkan ke rumah sakit," ucapku.

"Biarkan saja sayang. Toh ada sopir dan pengawal. Tak akan kubiarkan dia melarikan diri," suara pria itu pun terdengar.

"Oh iya ya," sambut sang istri terkekeh.

Bibir mereka saling bertaut tanpa perduli jika aku masih duduk di hadapan mereka.

'Iishhhhh, mereka tak tau malu sekali. Aku aja risih melihatnya,' hatiku ngedumel.

'Apa peduliku, toh mereka pasangan suami istri,' batinku terkekeh.

Aku beranjak karena tak ingin melihat adegan mereka selanjutnya.

"Eh, mau kemana kamu? Emang sudah tahu kamar kamu di mana? Jangan harap dapat kamar mewah ya, meski sudah menikah dengan suamiku," ucap Michelle.

Ingin rasanya meremas tuh bibir.

'Sabar.... Sabar... Kontrakmu hanya tinggal 364 hari lagi,' rutuk Andine dalam hati.

Andine dan Aleandro terikat kontrak selama setahun.

"Mari saya antar anda ke kamar nyonya," seorang asisten rumah tangga menghampiri Andine yang belum beranjak dari tempatnya semula.

"Tunggu apalagi, pergi sana!" kata Michelle seolah mengusir keberadaan Andine.

Andine melangkah mengikuti wanita setengah tua itu.

"Ini kamar anda nyonya," tunjuknya ke sebuah kamar yang ada di pojok.

"Panggil Andine saja," pinta Andine.

"Jangan nyonya. Saya tak mau dipecat hanya karena memanggil nama anda," tolaknya halus.

Andine menghela nafas.

'Padahal status kita sama bi...,' pikir Andine tanpa menyangkal lagi.

Sesuai niat awal, Andine pergi ke rumah sakit dengan diantar sopir dan beberapa pengawal.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Mencoba berkarya lagi setelah hiatusss lamaaaaaa.

Semoga bisa diterima oleh readers semua.

Terlalu sayang untuk berpindah ke platform lain, karena terlalu sayang dengan aplikasi ini.. Heleh...🥰🥰🥰

Padahal karena tak mau mulai dari awal lagi... He... He....

Tak Sesuai Perjanjian

Semalaman aku tidur di samping ibu yang terbaring di ruang ICU. Itupun setelah para pengawal memastikan ku mendapat ijin dari bosnya.

"Lekas sehat ya bu, Andine sayang sama ibu," meski tak ada respon, aku elus punggung tangan wanita yang telah melahirkan ku ke dunia.

"Apapun akan Andine lakukan untuk melihat senyum ibu kembali," janji Andine.

"Maafkan Andine, beberapa hari ini Andine akan sibuk bekerja. Tapi Andine janji bu, kalau ada waktu luang Andine pasti ke sini," ujar Andine.

Ponsel Andine berdering, ada nomor tak dikenal di layar.

Andine mengernyitkan dahi, "Siapa nih?" tanya Andine dalam benak.

Yaelah, kalau ingin tahu ya tinggal angkat aja Ndin, seru author dari balik layar.

"Halo," sapa Andine sesuai saran author.

"Siapkan dirimu! Pagi ini kita ke rumah sakit," terdengar suara seseorang yang sudah tidak asing di telinga Andine.

Andine membuang nafasnya kasar.

Tok... Tok... Bersamaan itu pintu diketuk dari luar.

"Iya," balas Andine.

Orang suruhan Aleandro pun masuk.

"Anda sudah ditunggu tuan muda di lobi rumah sakit," beritahunya.

"Hah? Sekarang?" tanya Andine memastikan.

Pria itu pun mengangguk.

"Aku belum mandi? Apa ini nggak kepagian?" Andine melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. Masih menunjukkan jam enam pagi.

"Tak ada bantahan nyonya muda," sambung pria itu.

"Isshhhhhhh," Andine membuang nafas kasar.

.

Andine mengikuti langkah lebar pengawal yang ada di depannya.

'Jalan kok kayak dikejar setan aja,' batin Andine ngedumel.

"Silahkan nyonya muda," pengawal itu membuka pintu mobil bagian belakang.

"Loh..., kok di sini? Aku di depan aja tuan," Andine berusaha menolak.

Bagaimanapun Andine tahu diri, tak mungkin dirinya duduk sejajar dengan tuan Aleandro. Di sana pasti sudah ada nyonya Michelle yang menemani.

"Masuk!" terdengar suara Aleandro dari dalam.

"Duduk sama balok es... Hiii takut," Andine berdiri dengan begidik ngeri.

"Ngapain kamu, kegatelan?" suara Aleandro terdengar karena melihat Andine mengoyangkan tubuh.

"Ti... Tidak tuan," jawab Andine gugup.

Gimana tidak gugup melihat pria tanpa senyum itu.

"Duduk!" tegas Aleandro.

Mau tak mau Andine meletakkan pantatnya untuk duduk di samping pria yang boleh dikatakan sebagai suaminya itu.

'Nyonya Michelle kemana? Kok malah aku yang diajak?" tanya Andine dalam benak.

"Nona Andine, kita akan ke rumah sakit. Untuk melanjutkan perjanjian yang telah ditandatangani. Tuan dan nyonya Aleandro tidak akan mengulur waktu. Semakin cepat semakin baik," jelas sang asisten.

'Emang dia saja yang ingin cepat selesai,' cibir Andine tanpa mengeluarkan suara apapun.

"Bagaimana Nona? Anda mengerti?" sambung asisten Aleandro.

Andine mengangguk.

.

Aleandro dan Andine sudah duduk di depan seorang dokter yang sebelumnya hanya bisa dilihat Andine di TV.

"Anda dokter Jerome bukan?" tanya Andine antusias.

Dengan senyum penuh wibawa, dokter Jerome mengangguk.

"Nggak usah tebar pesona! Cepat jelaskan!" seru Aleandro.

Seketika senyum di wajah sang dokter pun lenyap.

"Oke... Tapi setelah mendengar semuanya, jangan harap kamu membantah Ale," tukas dokter Jerome yang ternyata sahabat dari Aleandro.

"Aku nggak mau ikut permainan yang kamu buat bersama istri gilamu itu," tegas dokter Jerome.

"Jelaskan saja!" tuntut Aleandro yang terlihat tak suka saat Jerome melibatkan Michelle.

"Hasil pemeriksaan Nona Andine sebelumnya memang tak menunjukkan ada masalah. Tapi ada satu hal yang terlewat," Jerome mulai menjelaskan.

Aleandro menaikkan sebelah alisnya.

"Ada satu obat yang jika diberikan ke dalam tubuh Nona Andine maka akan berakibat fatal buat tubuhnya," imbuh Jerome dengan mimik serius.

"Nggak usah berbelit-belit?" Aleandro menatap Jerome dengan mata memicing.

"Intinya, Nona Andine tak akan bisa ikut program bayi tabung," Jerome menambahkan.

Kena kau Aleandro, batin Jerome terbahak.

Jederrrrrrrrr....

Andine terpaku mendengar penjelasan dokter Jerome.

'Kalau tak bisa bayi tabung, apa aku harus mengembalikan semua uangnya. Gimana ini? Uangnya sudah aku pakai buat pelunasan biaya rumah sakit ibu," gejolak hati Andine.

"Ada satu cara Aleandro," tegas Jerome yang merupakan seorang spesialis infertility.

"Apa?" tukas Aleandro seperti tak sabar.

"Cara alami," tandas Jerome.

"Jangan gila kamu Jerome," ucap Aleandro dengan mimik marah.

"Ya terserah kamu aja. Semua keputusan ada di kamu," ejek Jerome yang tahu kelemahan Aleandro.

"Sial," umpat Aleandro seraya beranjak dari duduk.

Aleandro menarik lengan Andine mengajaknya pergi.

"Ingat Ale, lo harus sukses," cibir Jerome.

Jerome yakin, Aleandro pasti akan melakukan apa yang dia minta.

Tuntutan sebagai pewaris tunggal sebuah keluarga konglomerat yang ingin mempunyai penerus berikutnya tak bisa Aleandro elakkan.

.

Pov Aleandro

"Tuan besar ingin bertemu dengan anda tuan muda," beritahu Martin, sang asisten.

"Huh, mau buat onar apalagi pak tua itu," Aleandro membuang nafasnya kasar.

"Sepertinya tuan besar ingin segera menimang cucu tuan," bilang Martin dari balik kemudi.

"Aiissssshhh... Padahal aku sudah jelaskan semuanya," Aleandro menghela nafas panjang.

Tiga tahun pernikahan belum waktu yang lama menurut Aleandro. Kenapa pak tua itu terus mendesakku. Kesal Aleandro dalam hati.

"Kali aja nyonya Michelle setuju tuan," kata Martin yang hafal dengan kegalauan bosnya.

Aleandro menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya.

Berbicara dengan Michelle, apalagi urusan anak pasti akan berujung ribut.

Michelle selalu berkilah tak ingin hamil dulu. Takut badannya rusak, tak mau repot dengan merawat bayi atau alasan apapun.

Saat masuk mansion, tuan besar sudah menunggu di ruang tengah.

"Masih ingat pulang?" sambut sang tuan besar.

'Katanya suruh pulang?' gumam Aleandro dengan hati dongkol.

Aleandro hendak balik kanan tanpa mengucapkan apapun.

"Duduk kamu!" kata tuan besar dengan nada memerintah.

Kalau tidak dihalangi Martin, ogah Aleandro menuruti perkataan tuan besar.

"Ingat Aleandro, papa sudah semakin tua," kata tuan besar menurunkan nada suaranya.

"Tuh, sudah sadar," sela Aleandro.

Tuan besar melotot ke arah Aleandro, putra semata wayangnya itu selalu saja menguji kesabarannya.

"Papa sudah menuruti semua kemauan kamu. Bahkan menyetujui kamu menikah dengan wanita tak jelas itu. Sekarang papa tunggu imbal balik darimu Ale," tandas tuan besar.

"Namanya Michelle Pah," Aleandro tak bisa menerima jika sang papa selalu menyebut wanita tak jelas pada istrinya.

"Papa mau apa?"

"Jangan buat papa menjelaskan lagi," seru papa mulai jengah.

"Jika dalam setahun ini, kamu belum kasih cucu ke papa maka jangan harap perusahaan kamu teruskan," tegas tuan besar.

Meski Aleandro bisa saja membantah, tapi Aleandro tak ingin penyakit jantung ayahnya kambuh karena ulahnya.

Sampai di kediamannya, Aleandro berbicara serius dengan Michelle.

Seperti saat sebelumnya, Michelle tetap saja menolak hamil. Tapi juga tak mau jika Aleandro kehilangan aset perusahaan.

Maka, muncullah ide gila untuk mencari ibu pengganti.

"Gimana? Kamu setuju nggak sayang? Kamu tak perlu menyetubuhi wanita itu," kata Michelle. Aleandro mengerutkan dahi belum paham.

"Teknologi kedokteran sudah semakin canggih loh. Kita bisa lakukan dengan bayi tabung. Jadi kamu tak perlu berhubungan dengannya," sambung Michelle dengan antusias.

Entah karena kebucinan akut tingkat dewa atau karena otak Aleandro yang loading lama, usul Michelle diterima begitu saja.

Dan mereka pun mendatangi dokter Jerome untuk memperlancar rencana mereka.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Gile nggak tuh idenya author.....

Tapi namanya dunia halu, ya harap maklumin aja deh. Daripada kegileannya nggak tersalurkan. Bisa berabe semuanya... 🤫🤫🤫🤫🤫

Author harap, smoga karya ini lolos retensi..., dan tidak hanya kerja bakti tanpa upeti... 😭

Cara Alami

"Martin, kita ke apartemen!" perintah Aleandro.

Aku yang duduk di samping sang tuan bos hanya duduk sambil memainkan layar ponsel.

'Hatiku galau... Hatiku galau.....,' batinku membayangkan lagu dangdut yang kadang lewat di fyp ku.

Otakku sedang dipaksa keras untuk memikirkan cara bagaimana mengembalikan uang yang sudah terlanjur aku pakai untuk biaya rumah sakit ibu, jika saja perjanjian batal.

Kruk... Kruk....

Aku tersenyum kecut sambil memegang perut.

'Dasar cacing-cacing nggak bersahabat, demo di saat yang tak tepat lagi,' batinku yang sebenarnya menahan malu.

'Gimana tak demo, dari bangun tidur tak ada asupan apapun,' seru yang ada di dalam perut.

"Martin, mampir resto langganan," ucap Aleandro tanpa menoleh dan terlihat sibuk dengan ponselnya.

'Di balik wajah dingin, perhatian juga dia,' batinku sedikit kepedean.

Ponsel Aleandro berdering.

"Halo sayang," sapa Aleandro membuatku mencibir, meski tak terlihat oleh pria di samping ini.

.........

"Iya, kalau nggak percaya tanya aja Jerome," Aleandro sedang menjelaskan hal yang sedikit banyak bisa aku tangkap arah pembicaraan mereka.

..........

"Kalau kamu nggak setuju, bisa kita batalkan perjanjian ini," lanjut Aleandro.

...........

"Apa? Lanjut? Mana mungkin sayang? Itu semua tak ada di list perjanjian kita sama wanita ini," imbuh Aleandro yang terdengar menolak permintaan sang istri.

.............

Deg. Batalkan? Itu artinya aku harus mengembalikan semua.

Kuacak rambutku kasar, membuat kedua netra pria tampan nan dingin ini menoleh ke arahku yang terlihat frustasi.

..............

"Apa? Memaksanya? Mana mungkin aku melakukannya? Kasihan dia sayang" tolak Aleandro.

.............

Mereka terlihat masih saja berdebat, sementara pikiranku kalut memikirkan cara mengembalikan uang.

Aleandro menutup panggilan dari sang istri. Kudengar sepihak kalau nyonya Michelle mau pergi ke luar negeri siang ini juga.

Martin membelokkan mobil ke sebuah resto.

Tak ada drama lagi, mereka bertiga sibuk dengan sendok yang berperang dengan piring masing-masing.

"Tuan...," Martin menjeda ucapannya.

"Antarkan wanita ini ke apartemen, baru selanjutnya kita ke perusahaan," perintah Aleandro.

"Baik tuan muda," jawab Martin sopan.

.

Bingung mau ngapain, akupun melihat-lihat isi apartemen milik pria yang dipanggil tuan muda oleh asistennya itu. Daripada bengong sambil dilihat tivi, batinku.

"Mewah sekali apartemen ini," gumamku mengagumi semuanya.

Kubuka lemari pendingin, ternyata penuh sekali isinya.

"Memasak kayaknya asyik juga.... Anggap saja hobiku butuh penyaluran," gumamku senang karena menemukan harta karun. Harta karun berupa bahan makanan lengkap beserta bumbu-bumbunya.

"Oke dech... Lets go chef Andine" seruku sendirian seraya mengulum senyum.

Kupasang apron untuk memasak.

Dengan hati riang, semua bahan yang akan kupakai aku keluarkan dari lemari pendingin.

Tak butuh waktu lama, beberapa menu terhidang di atas meja makan.

Kulanjutkan beberes untuk membersihkan alat-alat makan yang terpakai barusan.

Aku terlonjak, saat membalikkan badan. Sosok Aleandro sudah duduk dengan tenangnya di meja makan.

"Ma... Maaf tuan muda," kataku tergagap karena terpergok membuat berantakan apartemennya.

"Kakimu nggak pegal berdiri terus?" tanyanya sembari menatapku tajam.

"Nggak tuan, saya sudah terbiasa begini," kataku jujur.

Selama bekerja sebagai karyawan toko, tentu saja dituntut untuk banyak mengandalkan kedua kaki daripada pantat.

'Kenapa dia tiba-tiba ke sini? Apa mau membatalkan perjanjiannya?' tanyaku dalam benak.

"Duduklah!" serunya.

Akupun menuruti apa yang Aleandro minta.

"Sebagai wanita dewasa, kamu pasti tahu apa yang dibacarakan dokter Jerome tadi pagi," katanya seakan menjelaskan sesuatu.

"Apa itu artinya perjanjiannya batal tuan?" keluar juga pertanyaan itu dari mulutku.

Mata Aleandro memicing.

"Apa kamu menginginkan itu?"

"Kalau batal, apa saya kena pinalti?" tanyaku serius.

"Pinalti? Emang kita main bola?" balas Aleandro.

"Maksudku, apa saya harus mengembalikan semua uang yang telah nyonya Michelle berikan?" tanyaku polos, karena itulah yang membebani pikiranku seharian ini.

"Hhhmmm tentu saja" tegas Aleandro.

Aleandro menunggu reaksi wanita yang ada di hadapannya ini.

Sejak Michelle membuka lowongan aneh, yaitu mencari istri kedua untuk Aleandro. Hanya wanita di depannya ini yang menarik perhatian Aleandro.

Aleandro pun telah menyuruh Martin untuk menggali informasi tentang wanita yang sedang terduduk dan terlihat gugup di depannya ini.

Hal ini semakin memantik Aleandro untuk mengerjainya.

"Tapi tuan muda. Anda tak bisa menuntut uang anda kembali. Saya tak membatalkan perjanjian sepihak loh," seruku mencari cara agar tak mengembalikan uang kepadanya.

Aleandro sedikit menyunggingkan senyum, meski tak bisa dilihat oleh Andine yang menunduk.

"Itu artinya kamu menolak perjanjian ini dibatalkan?" ucap Aleandro.

"Eh... Eh...," Andine dalam dilema antara menerima atau menolak.

Kalau dilanjut, itu artinya dirinya harus berhubungan badan dengan pria yang sebenarnya telah sah menjadi suaminya itu.

"Ha... Ha...," Aleandro tak sanggup lagi menahan tawa melihat reaksi wanita yang terlihat galau ini.

Andine melongo, baru pertama kalinya melihat tawa renyah dari Aleandro.

'Tawa sampai segitunya, emang aku anggota Srimulat,' Andine ngedumel dalam hati.

"Ayo makan!" ajak Aleandro menetralisir suasana.

"Ba... Baik tuan muda," Andine masih saja gugup jika bersuara.

Aleandro nampak menikmati makanan yang dibuat oleh Andine.

'Enak juga. Tak kalah loh sama resto,' puji Aleandro dalam hati.

Mana mungkin dia puji langsung, bisa besar hati wanita ini. Gengsi Aleandro lebih dominan saat ini.

Setelah minum air yang ada di dekatnya, Aleandro beranjak dan segera masuk kamar yang paling besar di apartemen meninggalkan Andine sendirian di meja makan.

"Huh," Andine membuang nafas lega.

Andine meneguk air dingin yang telah disiapkan tadi dan beranjak ke kamar yang telah ditunjukkan asisten Martin tadi pagi.

"Hoammmmm, habis makan...kenyang...terus tidurrrr...., oh nikmatnya dunia," Andine menguap dan langsung merebahkan badannya di ranjang.

"Urusan perjanjian, pikirkan nanti saja," mata Andine mulai menutup perlahan.

.

Andine menggeliatkan badan.

"Selimut di sini berat banget," gumam Andine dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya.

Andine berusaha menyibakkan sesuatu yang menindih bukit kembarnya.

"Isshhh... Guling ini," Andine mengibaskan tangan untuk memindah sesuatu yang dikira guling.

"Apaan sih? Gangguin orang tidur aja," gerutu seseorang.

"Haaaa........," Andine teriak dengan kencang.

"Pagi-pagi bikin ribut aja," gerutu orang itu.

Suasana remang dalam kamar membuat netra Andine sedikit rabun.

"Siapa kamu?" sepertinya nyawa Andine belum sepenuhnya balik. Selain karena posisi orang itu masih tengkurap di ranjang.

Andine meraba tubuhnya, "Ha....," semakin terkejutlah Andine.

Tubuhnya kini polos dan hanya berbalut selimut.

Andine menggoyangkan tubuh itu dengan keras.

"Siapa kamu? Apa kamu memperkosaku?" kata Andine sembari memukul-mukul orang itu dengan sekuat tenaga.

Sosok pria itu menggeliat.

Andine menutup kedua matanya, karena pria itu pun bertubuh polos tanpa sehelai benang menutupi.

"Dimana ini?" serunya sambil melihat sekeliling.

"Tuan? Apa yang anda lakukan di sini?" Andine menarik selimut menutupi dada setelah menyadari jika pria itu adalah Aleandro.

"Hei... Apa kamu menjebakku? Dasar murahan!" umpat Aleandro setelah menyadari situasinya.

"Enak saja. Ngapain tuan ke kamar ini? Tuan lah yang menjebakku," tegas Andine tak mau dituduh sembarangan.

"Ini tak ada di perjanjian tuan. Saya akan menuntut anda," lanjut Andine.

"No... Pasti kamu yang menjebakku," tuduh Aleandro.

"Jelas-jelas kemarin kamu menolak menghentikan perjanjiannya," sambung Aleandro tak mau kalah.

Andine terjepit.

"Tapi bukan berarti saya merelakan keperawananku untuk anda tuan Aleandro yang terhormat," kata Andine mulai terisak.

Aleandro bingung menghadapinya.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Ide itu butuh penyaluran, syukur-syukur ada yang kasih penghargaan.

Ketik-ketik di keyboard hape, eh jadi deh satu part terbaru

Semoga suka

Jangan lupa kasih bintang lima ya guysss.

Kalau tak suka, tinggal skip aja. Oke? Aman kok. Author tak mungkin menghujat, karena menghujat itu dilarang di dunia halu... He.... He... He...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!