“Halo…” Suaranya terdengar serak tatkala menjawab panggilan telepon. Meskipun setengah mengantuk pemuda itu memaksakan diri untuk tetap siaga. Dia tidak perlu memastikan siapa yang kelewat rajin menghubunginya. Sebab dia sudah memastikan satu nada dering tersendiri yang membedakan antara entitas yang menghubunginya dengan kontak yang lain. Itulah mengapa keberisikan, dan raungan nada dering di pagi buta sama sekali tidak menganggu buatnya.
“Masih tidur ya? Ah… seperti biasa,” ujar suara manis disebrang sana. Hanya dengan mendengarnya saja si pemuda layaknya mendengar harpa yang dimainkan oleh bidadari. Kantuknya sirna seketika hanya dalam hitungan detik saja. Pria itu langsung duduk tegak diatas ranjang busanya. Mengabaikan berat tubuhnya sendiri yang membuat kasurnya tertekan kebawah. Selimut yang menutupi seluruh tubuh langsung tersibak sepenuhnya. Padahal sesaat yang lalu hawa dinginnya pagi masih cukup mengusik kulitnya. Karena seperti biasa, dia memang selalu rutin tidur dalam keadaan tak berbusana. Ah… tidak telanjang sepenuhnya dan masih bisa di bilang berbusana sebetulnya. Sebab masih ada celana pendek diatas lutut dengan motif garis-garis yang menutupi bagian privasi miliknya.
“D-Dizza?” Pemuda dengan surainya yang termasuk dalam kategori gondrong tersebut kini agak sedikit gugup. Padahal bukan pertama kalinya dia dibangunkan dengan cara seperti ini. Panggilan itu juga tidak mendefinisikan bahwa dia tidak tahu identitas dari si pemilik suara yang menurutnya berbunyi layaknya lonceng surga. Tetapi lebih kepada terkejut sekaligus menebak alasan, mengapa si gadis yang biasanya selalu cuek dan dingin itu menghubunginya pagi-pagi. Seingatnya, jika terjadi hal seperti ini biasanya selalu karena sesuatu yang mendesak.
“Iya, ini aku bodoh,” sahut suara itu lagi. Kali ini nada bicaranya agak sewot tapi bagi si pemuda itu tidak pernah jadi masalah. Malahan, dia suka dengan apapun dari gadis itu. Sampai jeda waktu hingga beberapa lama, si pemuda tetap menanti dengan sabar. Dia memang sengaja membiarkan adanya jeda diantara mereka. Lebih menghemat waktu bila gadis itu angkat bicara lebih dulu, karena kalau dia bertanya biasanya akan terjadi sesuatu yang bising diantara mereka berdua.
“Jadi kau ini sebetulnya sudah bangun atau mau tidur lagi? Aku harap kau tidak lupa janjimu padaku kemarin, Tuan Levin,” imbuh gadis itu mengisi jeda yang sempat berisi kekosongan agak panjang tadi.
Si pemuda yang dipanggil Levin tersebut langsung menepuk dahinya. Ah… iya, dia baru ingat. Untung saja dia cukup bijak untuk tidak bertanya apa tadi.
“Aku sudah bangun dan bahkan sangat segar,” timpalnya dengan percaya diri. Namun belum habis dia membanggakan diri, tetiba rasa kantuk menyerang lagi. Membuat si pemuda menguap lebar-lebar tanpa bisa dia tahan. Dia yakin Dizzajuga mendengar hal itu disebrang line telepon.
“Pembual ulung!” balas Dizzadari sana yang langsung mengundang kekehan dari Levin. Merasa sudah tertangkap basah, akhirnya dia merenggangkan tubuhnya sebebas mungkin dan berhenti berpura-pura keren.
“Memangnya apa? Maafkan aku, tapi aku lupa pernah membuat janji denganmu. Kenapa kau meneleponku? Apa terjadi sesuatu?” sahut pemuda itu lagi.
Kali ini Levin sudah kembali pada sisi normalnya. Sisi dimana kasualitas mengalahkan segalanya. Sisi yang dikenal Dizza, sahabat masa kecilnya.
“Memangnya harus terjadi sesuatu dulu baru aku boleh menghubungimu? Kita kan sudah sering begini Levin.” Terdengar nada sebal dari si gadis. Levin tersenyum sendiri membayangkannya. Pasti sangat imut dan lucu sekali air muka sahabatnya itu sekarang.
“Ya, kau benar juga sih. Tapi tetap saja tidak biasanya kau meneleponku, apalagi sepagi ini. Tingkah lakumu sekarang ini agak tidak biasa loh.” Levin kali ini turun dari ranjangnya yang empuk. Mulai melangkah ke jendela dan membukanya, membiarkan udara segar di pagi hari masuk kedalam ruangan. Pemuda itu menghirup kesegeran yang dia dapatkan secara mendalam. Menutup matanya rapat-rapat sebagai bentuk dari ekspresi kenikmatan terhadap nikmat alam. “Nah.. jadi ada apa sebenarnya Dizza? Sebelumnya kau bilang aku pernah janji padamu. Memangnya janji tentang apa yang kau singgung diawal itu hm?”
“Hei!”Dizza sekarang benar-benar terdengar kesal. Dia sepertinya sedang memprotes perkataan Levin yang tersampaikan tanpa dosa. Entah gadis itu marah karena Levin lupa soal janjinya atau hal lain seperti barangkali dirinya yang bertingkah seperti oranglain misalnya? “Cara bicaramu itu merepresentasikan seolah aku hanya menghubungimu saat aku perlu sesuatu. Aku tidak suka itu.”
Benarkan? Dizzamemang terkadang selalu mudah ditebak walaupun untuk menduganya Levin perlu lebih dari dua opsi cadangan.
“Bukannya memang selalu begitu kan? Aku tidak pikun loh.” Levin terbahak setengah membercandai lawan bicaranya.
Ia sekali lagi bisa membayangkan bagaimana ekspresi wajah sahabat masa kecilnya itu dari balik percakapan mereka. Sudah bisa dia duga bahwa gadis itu pasti sedang memberenggut kesal. Level terparah paling Dizzamencak-mencak dikamarnya. Namun, yang paling Levin sukai adalah ketika pipi gadis itu mengembung secara otomatis untuk menegaskan rasa sebalnya dengan posisi tangan terlipat didepan tubuhnya. Begitulah gaya gadis itu ketika dia sedang kesal. Sebagian menganggap bahwa Dizza yang marah adalah sebuah petaka tapi khusus untuk Levin justru pemandangan itu cukup menggemaskan.
“Kau benar-benar menyebalkan Levin! Kau juga lupa janji kita kemarin?!”
Tuh kan, Dizza betulan kesal padanya sekarang. Levin tertawa lagi. Dihubungi oleh sahabatnya di pagi buta adalah sebuah hiburan terbaik yang Levin maknai sebagai anugrah.
“Iya aku lupa.”
“Tunggu sampai aku memukul kepalamu supaya tidak pelupa kalau kita bertemu nanti!”
“Kalau kau mengancamku begitu aku malah jadi tidak mau bertemu denganmu loh Dizza.” Levin tertawa lagi saat dia mendengar Dizza mengeluh dari sebrang panggilan. Tawa Levin semakin kencang saat mendengar perempuan itu merapalkan kata-kata kasar dengan cepat seperti sebuah mantra.
“Oh, tidak bisa begitulah. Kita akan bertemu bagaimanapun caranya, dan lagi segera!”ujar Dizzacepat. “Kita ketemu di stasiun kota satu jam lagi. Tidak boleh ada keterlambatan. Tidak ada toleransi untuk itu.” Setelah mendengar pesan yang lebih banyak diisi oleh perintah dan ancaman dari Dizza. Sambungan telepon diantara mereka terputus. Levin hanya bisa tersenyum sambil melirik kearah ponselnya yang telah mati ditangan. Pria itu bersiul lalu meraih handuk. Janji temu ini akan dia maknai sebagai kencan walaupun itu secara sepihak.
“Dasar pemarah!” Levin menggerutu, tetapi dia tidak keberatan dan tak marah sama sekali soal itu.
Dia justru kian semangat menjalani hari, tak sabar untuk bertemu muka dengan sang gadis walaupun pertemuan mereka terjadi hanya satu alasan.
Kicau burung diluar sana jadi terdengar dua kali lipat lebih merdu. Kepalanya mulai merangkai banyak diksi indah yang tersusun apik nan puitis. Aneh sekali. Apa yang sebenarnya terjadi pada Levin?
Jeda empat puluh menit.
Levin berdiri didepan stasiun sambil memainkan ponselnya sendiri. Menunggu sosok yang memintanya datang dan bertemu melalui panggilan telepon di tadi.
Dizza, dia adalah satu-satunya gadis yang telah menghabiskan waktu sekitar lima belas tahun hidup disisinya sejak pertama kali mereka dipertemukan di angka tujuh. Waktu itu Dizzatidaklah seterbuka sekarang. Gadis itu banyak diam, tatapannya tajam, dan juga irit kata. Tapi karena mereka secara alami berada dalam satu lingkungan yang sama dan selalu disatukan oleh keadaan lama kelamaan mereka saling mengenal dan dekat satu sama lain. Hingga tiba dalam beberapa kata definisi yang tepat untuk menggambarkan keduanya.
Akrab, sahabat sejati, dua sejoli. Dimana ada Levin pasti ada Dizza dan begitu pula sebaliknya.
Meski akhir-akhir ini rasa melindungi, rasa ingin selalu disisi gadis itu berganti menjadi sesuatu yang asing. Levin tidak akan mangkir bila dirinya untuk saat ini menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar sahabat dengan Dizza. Ia menyukai Dizza, bukan sekadar suka. Sebab tanpa dia sadari, rasa itu malah makin bertambah seiring waktu hingga sudah ditahap lebih serius dan akut. Ya, Levin mencintai sahabat masa kecilnya. Namun hingga kini rasa itu tidak pernah terungkap. Levin terlalu takut untuk melangkah kearah yang lebih. Kemungkinan tertolak dan tidak bisa kembali pada titik ini membayangi dan memberatkan pemuda itu untuk bergerak maju. Dia takut hanya karena sebuah kata cinta yang ringan bisa mengubah seluruh bentuk tali hubungan yang telah terikat sekian lama menjadi sesuatu yang canggung bagi mereka. Levin tahu bahwa dia telah menjelma menjadi sosok seorang pria yang pengecut, karena hanya sanggup menyimpan perasaan itu sendirian sedalam-dalamnya di lubuk hati tanpa diketahui oleh siapapun. Kepengecutannya itu malah berakhir menjadi satu hal. Levin tidak menyadari bahwa sikapnya yang bak pecundang tersebut malah mengantarkannya pada satu bentuk rasa sakit yang asing.
Gadis itu, Dizza-nya, miliknya. Ya, biarkan dia berkata demikian sebab gadis itu tidak punya kekuatan untuk membaca hati dan pikirannya. Bagi Levin itu aman-aman saja.
Namun sekarang Dizza-nya malah menemukan seseorang. Oranglain yang bukan dirinya. Gadis itu bahkan makin hari terlihat memiliki hubungan yang dekat dengan seorang pemuda yang Levin nilai lebih berwarna dibanding dirinya. Si pemilik senyum secerah sinar mentari. Seorang pemuda yang meski dengan berat hati Levin akui lebih cocok bersanding dengan Dizza-nya dibanding siapapun atau bahkan dirinya sendiri. Meskipun hingga kini mereka berdua belum sampai hingga tahap itu.
Mereka hanya kebetulan dipertemukan di satu hari pada hari-hari kampus dan kemudian hingga kini menjadi sahabat. Yang membuat bertambahlah, anggota kubu ini secara otomatis. Meski cemburu, tapi Levin sedikit lega lantaran barangkali pemuda itu bisa membantu menemani Dizza, menggantikan Levin saat dia tidak bisa selalu bersama gadisnya dalam beberapa kesempatan.
Pemuda itu bernama Edzhar, seorang calon seniman dengan masa depan gemilang dikemudian hari. Namanya kerap dielu elukan lantaran hasil karyanya pernah nangkring dalam sebuah pagelaran seni dipusat kota. Pemuda itu terbilang orang yang masuk jajaran manusia baik, walau kadang dia dan pemuda itu kerap terlibat dalam cekcok yang tidak perlu. Dia juga tipikal orang yang peduli kepada oranglain, dan yang terpenting dari semua kriteria itu adalah Edzhar menyayangi Dizza sama takarannya seperti dirinya.
Levin tidak bisa memprotes apalagi menjauhkan mereka berdua meskipun dia terkadang tergoda melakukannya. Sayang sekali untuknya sebab dia tidak berhasil menemukan hal-hal yang berpotensi menghancurkan hubungan mereka lantaran Edzhar tidak memiliki poin minus untuk dikeluhkan.
Levin memang pecundan. Dia bahkan tidak akan melawan seseorang yang berkata demikian terhadap dirinya jika ada. Sebab dibanding secara gentle mengakui isi hati. Pemuda itu malah lebih suka mundur teratur dan kembali pada zona nyaman meskipun statusnya berada dalam ‘Friendzone’. Tapi tenang saja, hal itu bukan salah siapa-siapa. Sebab Levin malah menikmati suasana friendzone-nya dengan Dizza.
“Oy Levin!”
Panggilan itu nyaring terdengar. Lamunan pemuda itu terputus seketika. Dia menoleh kearah sumber suara. Mendapati Dizza, sang sahabat melangkah mendekat kearahnya. Setengah berlari malah. Rambutnya yang pendek sebahu berayun diterpa angin. Penampilannya ya sama saja tidak ada yang istimewa.
Levin tersenyum miris. Memang apa yang dia harapkan? Dizza yang berdandan habis-habisan untuk bertemu dengannya dan menganggap keluarnya mereka berdua sebagai sebuah kencan ? don’t kidding me, crazy thing like that will not ever happen in my life. Dia membuat sebuah kalimat macam itu dalam kepala sendiri. Hanya sekadar untuk menamparnya dengan keadaan yang ada didepan mata agar tidak terluka oleh bayangan yang terkadang memang terlalu jauh untuk dapat terealisasikan. Sebetulnya bisa saja, tapi sekali lagi Levin tidak mau mengambil resikonya sama sekali.
“Bisa-bisanya kau selalu datang lebih dulu dibanding aku. Padahal aku sudah berusaha untuk datang lebih dulu darimu? Jangan-jangan kau tidak mandi ya untuk curi start duluan ya?” tuduh Dizza sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah muka si pemuda. Menunjuk-nunjuknya dengan sedikit kesal karena sekali lagi dia merasa terkalahkan. Levin tersenyum, hal sesederhana ini saja sudah bisa menghangatkan hatinya.
Pemuda itu tidak merespon lebih selain mengangkat bahunya acuh tak acuh. Kasualitas harus lebih terlihat disini seperti biasa harus senatural mungkin agar sahabatnya itu tidak menyadari apa yang dia sembunyikan didalam hatinya.
“Kau kan tau sendiri kalau aku ini tipe pria yang paling semangat dalam segala hal. Kompetisi apapun bisa aku menangkan.” Levin terlihat cukup percaya diri ketika berkata demikian. “Kecuali dalam kompetisi mendapatkan hatimu” tambahnya dalam hati.
Sudah rahasia umum memang bahwa Levin memang tipe orang yang selalu bagus dalam setiap hal. Satu-satunya orang yang bisa menantangnya dan menang tipis darinya hanyalah Edhzar. Dia benar-benar lawan yang cukup sepadan.
Oke baik mari kembali pada topik. Alasan mengapa Levin selalu menjadi yang pertama tiba dalam setiap pertemuan mereka adalah karena Levin memang akan selalu menjadi orang pertama bagi Dizza. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu perlu menunggu dan tentu saja lebih nyaman baginya menjadi seseorang yang menunggu, bukan ditunggu.
“Kau memang selalu terlalu bersemangat dalam segala hal.” Dizza membeo. Bibirnya melengkung membentuk sebuah kurva. Senyuman yang manis. Senyum yang Levin nantikan untuk saksikan hari ini. Tapi sayang sekali, Levin tahu jelas alasan mengapa gadis itu tersenyum. Senyum macam itu hanya akan selalu tercipta bila mengenai hal seputar orang itu. Dizza pasti sedang memikirkan pemuda itu sekarang. Levin mengalihkan pandangannya sebentar kearah lain. Memang ya, kepekaannya pada Dizza terlalu tinggi sehingga manisnya senyum gadis itu bahkan tidak bisa dia nikmati lagi lantaran tahu jelas alamatnya kemana. Hatinya jadi sedikit sakit.
“Oke jadi sekarang sudah clear ya. Aku datang lebih awal, jadi soal janji itu dan pukulannya kita lupakan saja,” sahut Levin.
Dizza mengangguk. “Sudah terpenuhi juga kok janjinya. Kan kemarin kau hanya janji akan menemaniku membeli kado hari ini.” Dizza tersenyum lagi ketika bertutur demikian.
“Hah? iyakah? Memangnya kado untuk apa?”
Levin berpura-pura bodoh di depan Dizza. Meskipun sebetulnya dia justru paling tahu soal itu. Kini ingatan samar semalam membuatnya mengerti mengapa dia sempat melupakan soal janjinya. Dia pasti minum lagi, karena cemburu buta setelah Dizza memintanya untuk menemani membeli kado itu untuk Edzhar. Teman mereka yang akan berulangtahun. Sembilan September. Besok.
“Untuk Edzhar,” tukas Dizza lagi. Nada bicaranya terdengar sangat riang gembira. Dia memang selalu selepas itu bila segala halnya berkaitan soal Edzhar. Dizza akan menjelma menjadi sosok gadis cilik polos yang bisa tersenyum selebar itu. Ya, setidaknya Levin lega. Walaupun hatinya sekarang dihujam oleh ribuan jarum tak kasat mata. Sakit juga rasanya.
“Kurasa kita tidak perlu memberinya kado, Dizza. Dia kan sudah punya segalanya. Tuan muda seperti dia tidak membutuhkan apa-apa,” ujar Levin.
Kata-kata itu tanpa sadar terucap, cemburu adalah penyebab mengapa dia bisa berkata sedemikian terus terang itu. Alhasil perkataannya barusan sukses membuat semangat si gadis menguap tak bersisa. Apalagi ketika gadis itu menengadah untuk melihat tepat kearah matanya. Dia seperti tidak setuju, dan Levin tahu bahwa Dizza memang tidak akan pernah setuju bila dia mengatakan sesuatu yang buruk soal Edzhar didepan gadis itu. Rasa bersalah langsung bersarang seketika. Andai Levin bisa mengusirnya dengan caranya sendiri tanpa perlu melibatkan Edzhar. Dia pasti akan mengusirnya jauh dari mata cantik gadis itu sekarang juga.
“Aku tahu itu makanya… aku ingin memberikan sesuatu untuknya. Apalagi dihari ulangtahunya. Kita kan sahabatnya masa kau tidak mau memberikan tanda persahabatan kita untuk dia?” bibir mungil gadis itu berkata pelan. Mengiba.
“Dizza, tapi kan dia—”
“Kumohon Levin… temani aku ya.”
Selalu begitu. Levin akan menjadi pihak yang kalah dalam sebuah perdebatan yang bila disana ada Dizza. Dia tidak bisa menolak permohonan sahabat masa kecilnya itu sama sekali. Apalagi bila dia sudah memasang tampang memelas andalannya. Sedikit menghela napas panjang. Pria itu mendecakan lidah. Hari ini akan jadi lebih panjang. Dan dia mungkin perlu persiapan tempur mumpuni kedepannya. menemani gadis ini belanja apalagi demi Edzhar adalah sebuah tantangan paling berat.
“Baiklah… aku temani.” Sedikit sesal dia utarakan. Anehnya hal itu menguap begitu saja ketika Dizza tersenyum sumringah dan menggenggam tangannya. Apa Levin sebegitu gampangannya kah?
Setelah banyaknya jejeran toko yang telah dilewati. Levin sepertinya harus sedikit mengeluh sekarang, terlebih ketika kakinya mulai merasa pegal meskipun gadis dihadapannya terlihat sama sekali tidak terpengaruh apapun. Jika dihitung mereka mungkin telah memasuki toko ke sebelas, atau bahkan lebih ?
Jujur saja walaupun semembosankan itu dan semelelahkan itu, sialnya Levin terus mengekor dibelakang Dizza layaknya seekor anak ayam yang patuh terhadap induknya.
Sebetulnya Levin tidak secara mentah-mentah hanya mengekor dibelakang. Beberapa kali, oh tidak… bukan! Puluhan kali, Levin sudah menyarankan beberapa benda yang menurutnya cocok bila hanya sekadar untuk hadiah ulangtahun. Sesuatu yang menurut pandangan logisnya cukup berguna dan bisa digunakan sehari-hari sesuai kebutuhan. Namun sebanyak itu pula sang gadis yang merangkap sahabat masa kecilnya itu menggelengkan kepala. Bahkan untuk urusan saran dan solusi saja Dizza dengan mudahnya menolak. Apalagi bila berhubungan dengan soal rasa bukan? Levin memukul kepalanya sendiri secara spontan lantaran untuk beberapa saat kepalanya terkontaminasi beberapa adegan drama picisan yang sering kali sang mama tonton di akhir pekan.
Kini tiba ditoko yang kedua puluh, Levin tidak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja. Akhirnya naluriah alaminya untuk merapal sumpah serapah sebanyak mungkin tidak lagi terbendung. Namun tentu saja Levin berani begitu setelah memastikan dia tidak mendapatkan atensi dari Dizza. Untungnya lagi Levin pandai menganalisasi sekitar, sebab si gadis nampak masih sibuk dengan barang antah berantah yang tidak ada hubungannya dengan Edzhar.
Setelah dirasa terlalu membuang waktu akhirnya keluhan, gerutuan, bahkan sampai pada titik suruhan untuk segera mengambil putusan dan pilihan dalam kegiatan yang dinamakan membeli satu buah barang dengan alasan lapar dan butuh makan siang Levin koarkan. Tapi tetap saja, si keras kepala Dizza tidak menghiraukan dan malah bilang ingin mengitari lagi toko yang pertama kali mereka masuki.
“Aku lapar Dizza, kakiku rasanya mau copot.” Ini adalah rengekan Levin untuk yang kesekian kalinya.
“Kau kan memang selalu lapar setiap saat Levin. Jangan merengek disaat aku sedang fokus mencari barang,” sahut Dizza cuek. Tangannya penuh dengan pernak-pernik yang tidak berguna. Ketika jemari gadis itu terhenti disatu barang, Levin bernapas lega. Sungguh, dia berharap itu adalah pilihan akhir dari Dizza agar mereka bisa segera keluar dari toko itu dan mengisi perut Levin yang kelewat lapar.
“Ada yang kau suka Dizza?” Levin lebih tanggap. Kali ini dia tidak peduli berguna atau tidaknya hadiah yang akan Dizza berikan. Dia hanya berharap segera menyudahi acara bodoh ini secepatnya.
“Bagaimana menurutmu dengan ini?” dia mengangkat salah satu patung yang berjejer apik di toko tersebut. Levin mengenalnya sebagai Dewa Hefaistos- dewa teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi. Hefaistos diceritakan dalam mitologi Yunani sebagai dewa yang pincang dan langkahnya terputus-putus- kurang lebih seperti itulah yang dia ketahui dari benda yang dimintai Dizza sebagai hadiahnya.
“Kau berharap Edzhar jadi pincang? Tidakkah kau sedikit tidak berperasaan untuk hari ulangtahunnya?” Memang dasar mulut Levin itu gatal. Agak puas juga dia meledek orang itu dengan hadiah yang hendak Dizza berikan. Levin bahkan mengingkari apa yang dia hendak lakukan. Mulut sialannya malah menyanggah pilihan Dizza dengan cepat. Harusnya biarkan saja kan? Bukannya bagus?
“Hei, kesampingkan soal itu! coba kau perhatikan makna lain. Dia itu dewa pengrajin, dia banyak membuat benda-benda ajaib untuk para dewa bahkan sebagian besar benda berkekuatan khusus. Kau melupakan yang satu itu ya?” balas Dizza tak terima dengan pendapat Levin yang menilai benda itu hanya dari fisiknya.
“Bukannya lebih cocok yang itu?” Levin menunjuk kearah sebuah patung besar wanita yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Patung yang menggambarkan seorang wanita dengan aura kecerdasan yang kuat, mengenakan baju perang lengkap dengan pelindung kepala dan memegang perisai serta tombak. Athena. Sejujurnya ini bukanlah sebuah saran yang betul-betul dia ingin berikan. Hanya sebatas becandaan.
Dizza mendekati patung dewi Athena yang Levin tunjuk setelah meletakan patung dewa Hefaitos ketempat semula. Dia terlihat menganggukan kepalanya. “Well, kau benar ini ide yang bagus. Dewi Athena adalah penggambaran yang sempurna untuk sosok Edzhar. Seorang yang bijaksana dan dikenal dengan dewi seni. Tapi… akan sulit untuk membawanya kemana-mana.” Ia menggumam.
“Hoi! Kau tidak Benar-benar akan mempertimbangkan ideku yang ini kan? Oh ayolah Dizza aku cuma bercanda!”
Cepat-cepat Levin menarik tangan Dizza menjauh dari sana. Lebih tepatnya menyeretnya secara paksa sebelum sahabat karibnya itu mempertimbangkan membeli benda tak berguna macam itu. Levin tahu bahwa bila dia jadi membeli benda itu, maka dialah yang akan kerepotan nantinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!