"Ayo putus!" Seorang perempuan berkata dengan nada serius di hadapan lelaki yang tengah duduk di hadapannya.
Lelaki itu memandangnya dengan tatapan tak percaya. "Hah? Putus? Kamu mutusin aku?"
"Iya! Emang kurang jelas apa yang aku bilang!" ketusnya dengan nada lantang.
"Ta–tapi ... alasannya apa? Salah aku selama ini apa?" Diputuskan secara tiba-tiba tentu membuatnya terkejut. Apalagi hubungan mereka telah terjalin selama dua tahun meski kerap diwarnai dengan putus-sambung.
"Serius, kamu masih nanya salah kamu apa? Kamu tuh udah tiga kali kena tangkap gara-gara make obat! Dan kasus terakhir bikin kamu hampir mendekam di penjara."
"Oke, aku minta maaf dan kali ini janji gak bakal ulang lagi," balasnya santai.
Mulut perempuan itu setengah terbuka, mendenguskan napas kasarnya. "Sebelumnya juga kamu pernah janji gak mau ulang, tapi kenyataannya kamu kena tangkap lagi! Aku itu malu sama teman-teman. Belum lagi wartawan ngintilin aku terus cuma buat nanyain kamu."
"Jadi kamu benar-benar pengen akhiri hubungan ini?" tanya lelaki itu sekali lagi. Ia masih menganggap permintaan kekasihnya hanya sebuah gertakan seperti yang sudah-sudah.
"Iya!" jawabnya lugas.
Perempuan itu mengambil tasnya kemudian bersiap-siap untuk pergi. Detik itu juga, lelaki yang baru saja diputuskan itu segera menahan tangannya.
"Cha, tunggu dulu! Kamu gak bisa main putusin aku gitu aja."
"Kenapa gak bisa?" Perempuan itu menepis tangannya dengan kasar.
"Bukannya kamu pernah bilang, aku adalah rumah bagi kamu, tempat kamu pulang!"
"Iya. Sekarang aku anggap rumah aku dah disita bank! Jadi aku perlu cari rumah baru!"
"Terus kamu pulang ke mana kalo bukan sama aku?"
Di waktu yang sama, perempuan yang berada di hadapannya itu melambaikan tangan seraya tersenyum semringah pada seseorang. Lelaki itu lantas menoleh ke belakang, untuk melihat siapa yang baru saja disapa oleh pacarnya itu. Seorang pria lain dengan penampilan bak CEO dalam drama tengah berjalan ke arah mereka. Perempuan tadi lantas menyambutnya dengan senang. Ia segera menggandeng tangan pria itu di hadapan lelaki yang sudah berstatus sebagai mantannya.
"Kenalin, ini rumah baru aku! Aku dah jalan sama dia selama enam bulan dan merasa lebih cocok," ucapnya memperkenalkan pria bersetelan tuksedo tersebut sambil mengeratkan jemari mereka seolah ingin menegaskan hubungan mereka.
Lelaki di hadapannya lantas melengos sambil tertawa kecil. Ya, sepertinya dia tengah menertawakan dirinya sendiri. Diputuskan dengan cara seperti ini, cukup melukai harga dirinya sebagai seorang lelaki.
"Ini balasan yang kamu kasih buat aku?"
"Emang apa sih yang udah kamu kasih ke aku?" tanyanya balik.
Matanya memicing seketika. "Kamu masih nanya itu? Selama kamu jadi pacar aku, apa sih yang gak aku senengin buat kamu?"
"Emang aku ada minta?" tandas perempuan itu.
"Iya kamu minta. Gak sadar apa? Kamu minta ini itu aku kasih. Bahkan pas dalam penjara pun, aku sampe jual mobil kesayangan aku buat bantuin mama kamu yang lagi renovasi rumah. Itu siapa yang minta kalo bukan kamu?" Suaranya kini meledak-ledak bak petasan.
Pria bersetelan teksedo itu lantas menahan dadanya yang tengah bergemuruh. "Eits, kalo masih main hitung-hitungan kayak gitu, itu tandanya lo belum mampu buat macarin anak orang. Udah, mending lo fokus benerin karir lo sana biar gak nyabu lagi!"
Celetukan sengit pria itu disambut tawa kecil perempuan di sampingnya. Ia merangkul perempuan itu dan mengajaknya pergi. Lelaki itu bergeming beberapa saat seraya memandang kepergian mantan kekasihnya bersama pacar barunya.
Sedih? Itu bukan gayanya! Bahkan tak ada sedikit pun gelayut penyesalan tergambar jelas di wajahnya. Sebab, ia menganut prinsip untuk tidak akan pernah memohon pada cinta yang memilih pergi.
Sepanjang hidupnya, dia telah jatuh cinta dan putus berkali-kali. Apalagi, dengan modal tampang yang rupawan, ditambah popularitasnya sebagai aktor muda berbakat, tidak membuatnya kesulitan mencari pengganti. Buktinya, hanya berselang beberapa menit dari kepergian sang mantan, ia langsung mengambil ponselnya untuk mengetik pesan pada perempuan yang selama ini menjalin hubungan tanpa status (HTS) dengannya.
^^^\[Lagi di mana?\]^^^
\[Di rumah.\]
^^^\[Ketemuan, yuk!\]^^^
\[Kalo gitu, jemput aku dong!\]
^^^\[Sip. Aku ke sana!\]^^^
Dengan mengendarai motor besarnya, ia pun langsung meluncur untuk menjemput gebetannya. Begitu tiba, Perempuan yang menjadi HTS-nya tampak terheran-heran melihat kedatangannya yang berbeda dari biasanya.
"Loh, kok kamu jemput aku naik motor? Mobil kamu mana?"
"Mobil dah aku jual. Sesekali naik motor gak papa, kan? Kayaknya juga lebih asyik!" ucapnya sambil memperbaiki masker wajah, agar tak ada yang melihatnya.
"Tapi kan panas. Ntar makeup aku meleleh, kulit aku jadi hangus, deh! Mana style aku gak cocok buat naik motor kek gini!" omelnya.
"Udah, naik aja! Masih mending aku jemput pake motor, dari pada pake keranda!"
Dengan mimik yang bersungut-sungut, perempuan itu lantas menaiki motor tersebut. Namun, belum panjang perjalanan mereka, ia malah meminta diturunkan di pinggir jalan.
"Stop! Stop!"
"Loh, kafenya kan masih jauh."
"Gak jadi! Aku mau pulang aja!"
"Kenapa? Semalem bukannya kamu nge-chat, katanya pengen ketemuan sama aku!"
Perempuan itu mengembuskan napas sejenak, sebelum kembali berkata, "Gak jadi kangen!"
"Lah kok gitu? Apa karena aku cuma naik motor? Tenang, besok aku beli mobil baru!"
"Ya, udah, seharusnya kamu ngajak aku pas dah beli mobil!" ketusnya kemudian pergi meninggalkan pria itu dengan memanggil taksi yang lewat.
Ditinggal begitu saja, tentu membuatnya mendengus masam. "Ternyata bener, cinta itu buta tapi gak tuli. Bisa bedain suara mobil sama suara motor," gerutunya sembari memandang taksi yang telah membawa pergi gebetannya itu.
Masih menepikan motor di bahu jalan, pria itu kembali mengambil ponselnya, kemudian menghubungi gebetan berikutnya. Dia benar-benar yakin, gebetannya kali ini bisa menerima keadaannya yang sekarang. Apalagi, perempuan itu dulunya merupakan seorang fans militannya.
^^^\[Ketemuan, yuk!\]^^^
Cukup lama ia menunggu balasan pesan dari perempuan ketiga. Setelah hampir setengah jam, perempuan itu pun memberi balasan pesan.
^^^\[Sorry gue UTS.\]^^^
^^^\[Loh, awal semester langsung UTS?\]^^^
^^^\[Yang gue maksud bukan Ujian Tengah Semester, tapi Udah Tidak Sayang.\]^^^
Mata pria itu terbelalak membaca balasan pesan dari seseorang yang dulunya mati-matian mengidolakannya.
^^^\[Kenapa? Bukannya kemarin-kemarin lu sampe ngemis-ngemis cinta sama gue?\]^^^
^^^\[Ya, selama ini aku terpesona sama kamu karena kamu keren, tapi sayangnya sekarang kerennya udah gak pake N. Bye!\]^^^
Membaca pesan itu, membuatnya berpikir beberapa saat. "Keren tapi gak pake N? Kere dong!"
Sebuah umpatan sontak keluar dari mulut lelaki itu. Bagaimana tidak, untuk ketiga kalinya ia dicampakkan oleh tiga perempuan berbeda yang dulunya pernah tergila-gila padanya.
Tusukan terik matahari sore menerjang kulitnya yang putih. Napas kasarnya langsung berembus seketika. Rasanya baru kemarin ia menjadi mahluk yang paling dielu-elukan kaum hawa. Namun, sekarang satu per satu dari mereka malah meninggalkan dirinya di saat sedang terpuruk.
Susah payah mendaki tangga untuk sampai di puncak popularitas, kini dia harus merasakan jatuh terperosok akibat ulahnya sendiri. Mendapatkan ketenaran di usia muda sebagai aktor berbakat, ia malah terjerumus ke dunia gelap yang membuatnya mencicipi obat-obatan terlarang. Kini, seluruh uang tabungannya menipis karena membayar jasa pengacara handal yang mampu membebaskannya dari ancaman penjara tahunan, akibat tertangkap basah memakai narkoba untuk yang ketiga kalinya. Semua job film dan iklan dibatalkan dan telah digantikan dengan aktor lainnya. Koleksi mobil-mobil mewahnya pun ditarik kembali akibat tak mampu membayar cicilan.
Inilah babak baru perjalanan hidup dari pria yang bernama Nicho Javariel. Jika dulu nenek moyangnya mungkin hidup di zaman Majapahit, sekarang giliran dia yang hidup di masa pahit. Ia pun tersadarkan, ada cinta yang layak untuk dijalani dan diperjuangkan. Namun, ada juga yang hanya pantas singgah tanpa perlu dikenang kembali.
.
.
.
Catatan author
Hallo saya Aotian Yu. Ini novel kesembilan saya di Pf ini. Terima kasih pada pembaca setia yang masih mengikuti jejak tulisanku hingga detik ini. Untuk pembaca baru, minimal baca sampai bab 4 untuk memutuskan lanjut atau gak. Jangan lupa tekan love biar notif update masuk. Jangan lupa juga berikan jejak komentar kalian di novel ini sebagai bentuk dukungan.
Menurut sebuah penelitian, manusia hanya merasakan tiga kali jatuh cinta secara tulus di sepanjang hidupnya. Fase pertama, cinta di usia muda atau yang sering disebut cinta pertama. Fase kedua, cinta rumit yang mengajarkan kita arti sakitnya terluka. Dan fase ketiga, cinta yang kehadirannya tak terduga, bahkan meski kita sedang tidak mencari maupun menunggu. Bisa jadi, pada fase ketiga inilah sosok yang akan menemani kita sepanjang usia.
Apakah hal ini juga akan berlaku pada Nicho Javariel? Entahlah ... kenyataannya dia adalah pria yang tergolong mudah jatuh cinta, tapi juga mudah melupakan. Meski telah dicampakkan kekasih dan juga dua gebetannya sekaligus, tidak membuatnya menjadi makhluk paling merana di muka bumi.
Masih berada di kota metropolitan yang tak pernah tidur, Nicho kini menguras habis uang tabungan yang tersisa untuk bisa tinggal di hotel bintang lima bertaraf internasional. Tak tanggung-tanggung, ia memilih kamar presidential suit—kamar yang paling mahal di antara kamar-kamar lainnya—demi dipamerkan ke sosial medianya.
Sebagai aktor, ia sama sekali tak mengenal privasi dalam hidupnya. Slogan hidupnya selama ini "di mana bumi berpijak, di situ harus direkam dan dibagikan". Membuat orang-orang kepanasan dengan seluruh unggahannya menjadi hiburan tersendiri untuknya. Hal ini jugalah yang membuatnya mudah terciduk saat sedang berpesta narkoba.
Selain itu, memilih tinggal di hotel adalah salah satu cara menepis prasangka orang-orang kalau dirinya tengah kesulitan keuangan. Ya, selama berkasus, memang ada banyak berita miring mengarah padanya. Mulai dari kabar menyuap hakim yang menangani kasusnya, hingga tentang dirinya yang tengah dililit hutang dan kesulitan ekonomi. Itulah mengapa para perempuan metropolitan itu mendadak menjauhinya.
Nicho menghabiskan malamnya dengan berpesta seorang diri di kamar hotel. Memutar musik favoritnya sembari berjingkrak-jingkrak layaknya penyanyi rock. Entah sudah berapa kaleng alkohol yang habis ditenggaknya. Hingga tak terasa, malam pun telah tergantikan pagi dan dia sudah terkapar di atas ranjang empuk kamarnya.
**
Seorang pelayan wanita berpenampilan rapi, tengah berjalan masuk dengan langkah pelan sembari mendorong troli yang berisi perlengkapan bersih-bersih. Ia berusaha tidak menimbulkan suara berisik agar tak mengganggu penghuni kamar. Di waktu yang sama, Nicho baru saja terbangun dan duduk bersandar seraya menepis selimut yang membalutnya.
Pada detik itu juga, pelayan wanita yang baru saja masuk itu terhenyak ketika menoleh ke arahnya. Pasalnya, ternyata Nicho hanya memakai celana dalam ketat dengan sesuatu yang menonjol dan berdiri tegak layaknya sebuah rudal siap luncur.
Memang sudah menjadi kebiasaan lelaki itu tidur dengan hampir bertelanjang seperti itu. Namun, hal tersebut tentu mengejutkan pelayan hotel yang dikhususkan untuk melayani segala kebutuhannya.
Sambil memalingkan badan, pelayan itu langsung berkata, "Maaf, saya sudah mengetuk pintu sedari tadi. Anda juga tidak merespon morning call. Jadi Saya pikir—"
"Bersihin dulu kamar mandi. Ada pakaian kotor saya di sana!" potongnya tanpa melihat ke arah pelayan tersebut.
"Baik!"
Pelayan itu bergegas masuk ke kamar mandi. Namun, baru saja membuka pintu, ia tak bisa menahan decakan ketika melihat keadaan kamar mandi yang bagaikan kapal pecah, di mana terdapat beberapa kaleng bir yang mengapung di atas jacuzzi yang masih terisi air sabun. Belum lagi pakaian dan perlengkapan mandi yang juga berserakan di atas lantai berlapiskan marmer mewah.
Sementara itu, masih duduk dengan hanya memakai dalaman, Nicho mengambil ponselnya sekedar mengecek pesan atau panggilan yang masuk. Ternyata tidak ada satu pun pesan atau panggilan untuknya!
Ia lalu membuka akun Instagram miliknya. Sialnya, postingan pertama yang tampil di berandanya saat ini adalah unggahan foto mantan pacarnya bersama kekasih baru yang dikenalkan kemarin. Ia tampak kesal membaca komentar-komentar netizen yang mendukung pacar baru mantannya itu dan mengatakan bahwa putus darinya adalah keputusan yang tepat. Lantas, ia segera mengambil gawai untuk menelepon manajernya.
"Ben, cariin gue job dong! Terserah mau film, iklan, model, atau endorsan yang penting bisa hasilin duit dengan cepat!" ucapnya lewat sambungan telepon.
"Gak ada untuk saat ini," jawab manajernya dengan suara datar.
"Masa gak ada?"
"Kalo lo mau, ada film budget kecil yang lagi butuh pemeran pendukung."
"Hah? Gua jadi pemeran pendukung di film berbudget kecil? Mana ada dalam sejarah!" ucapnya dengan angkuh.
"Apa lo gak sadar? Netizen itu lagi kesel-keselnya sama lo. Dari dua hari yang lalu nama lo tuh trending gara-gara lo bebas cuma dalam waktu lima bulan. Lo jadi bulan-bulanan media. Noh, lihat IG lo penuh hujatan. Bahkan fans lo ikut-ikutan dibully gara-gara belain lo!"
"Biarin aja dah tuh netizen pada ngisep dosa gua! Gua mah tetap tenang walau banyak yang kurang senang!" cetusnya sembari menekuk sebelah lututnya.
"Ckck ... bisa-bisanya lo santai kek gini!" decak manajernya.
"Pokoknya cariin gua job. Gua lagi butuh duit, nih! Stok di ATM gua menipis. Gua butuh buat DP-in mobil baru. Belum lagi mau bayar sewa apartemen. Gak mungkin gua terus-terusan nginap di hotel."
"Gini, sebenarnya gua ada simpan duit lo. Itu semua sisa bayaran lo. Totalnya ada sekitar 1 Miliar."
Mendengar itu, ia yang tadinya tengah bersandar malas-malasan di tempat tidur, lantas segera duduk tegak. "Kenapa baru bilang sekarang?"
"Gua dah bisa nebak hidup lo bakal kek gini. Makanya sengaja gua simpan karena gua tahu lo orang yang super hedon."
"Bodoh, ah. Cepat kirim duit gua!"
"Bakal gua transfer sekarang. Tapi, turuti kata-kata gua. Lo Hiatus dulu dari dunia hiburan. Gak usah ambil Job apa pun. Jangan upload macam-macam dulu di sosmed yang bikin netizen tantrum! Biarkan semuanya kondusif. Minimal setahun!"
"Hah? Setahun?" Pekiknya tak terima.
"Lo masih pengen jadi aktor, kan? Kalo lo vakum dulu, bakal banyak yang ngerinduin elo. Entar gua bakal framing ke media kalo selama setahun itu lo benar-benar sedang berbenah diri. Dengan gitu, publik bakal lebih respek ke elo. Begitu lo muncul dengan film terbaru, pasti bakal meledak. Beda lagi, kalo lo ngotot terus-terusan eksis. Yang ada haters lo makin banyak!"
Ia tertegun sejenak sembari mempertimbangkan saran manajernya. Jujur, ia tidak ingin kehilangan popularitasnya sebagai aktor muda papan atas saat ini. Apalagi, ada banyak aktor baru yang bermunculan setiap tahun. Namun, skandal berturut-turut yang ia lakukan dalam setahun terakhir sudah membuat namanya tercoreng. Apa boleh buat, mengikuti saran manajernya masih lebih baik dibanding dia harus turun kasta sebagai aktor pemeran pendukung.
"Jangan khawatir! Masyarakat kita adalah bangsa yang pelupa dan pemaaf. Asal lo jangan berulah lagi!" imbuh manajernya lagi.
"Ya, udah, cepetan kirim duit gua!"
"Ingat, tuh duit jangan dipakai berfoya-foya lagi. Jangan party mulu! Apalagi sampe nyabu lagi!"
"Iya-iya ... bawel amat kek emak-emak!"
Pelayan yang bertugas sebagai pelayan hotel baru saja keluar dari kamar mandi tepat setelah dia selesai menelepon manajernya.
Nicho menatap perempuan itu, lalu berkata, "Saya mau mandi sekarang! Selagi saya mandi, bersihin ruangan ini! Saya mau suhu ruangan saya pas di 78 derajat Fahrenheit. Terus, gantiin juga sprei dan pengharum ruangannya. Saya gak suka aromanya. Ganti juga dudukan toilet tiap saya pergi. Oh, iya, satu lagi ... semprot seluruh kenop pintu bersih dengan desinfektan tiap dua jam sekali."
"Baik," ucap perempuan tersebut sambil berusaha mengalihkan pandangan.
Melihat pelayan itu seolah enggan menatapnya, lantas membuatnya tersinggung, "Kalo orang lagi ngomong itu ditatap. Apa lo gak kenal siapa gue?!"
"Maaf ... saya gak biasa lihat pria gak berbusana lengkap."
Seketika pandangannya pun turun ke bawah. Akhirnya tersadar juga kalau dirinya cuma memakai kancut dengan menampakkan tonjolan belalai di atas ukuran standar rata-rata orang Indonesia.
"Ups. Sorry!" Dengan santai, ia buru-buru memakai celana pendeknya di depan pelayan perempuan tersebut.
Melihat pelayan itu masih berdiri menunduk canggung di hadapannya, ia lantas berkata, "Kenapa masih di situ?"
Pelayan itu akhirnya menaikkan pandangannya hingga arah tatapan mereka sejajar. Belum sempat sebuah kata keluar dari mulutnya, Nicho malah langsung membuat kesimpulan sendiri.
"Ah, pasti mau minta tanda ta—" Belum genap di ujung kalimatnya, kini giliran perempuan itu langsung menimpali ucapannya.
"Saya hanya ingin menanyakan apa masih ada yang Anda butuhkan? Mungkin ... ada request-an khusus untuk menu makan siang dan malam?"
Mengetahui tebakannya salah, ia lantas mengerucutkan mulutnya lalu berkata, "Belum mikir soal itu."
"Baik." Pelayan itu melanjutkan pekerjaannya dengan mulai membereskan ruangan sekitar yang dipenuhi sampah aneka jajanan makanan ringan.
Pandangan Nicho masih terpaku pada pelayan tersebut. Ia memerhatikan gelagat perempuan berponi lurus itu dengan seksama. Kerutan kecil lantas muncul di area sekitar alisnya.
Ini aneh! Perempuan itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi antusias saat bertemu dengannya. Padahal, setiap menginap di hotel, pasti ada saja petugas yang sekadar meminta tanda tangan atau foto bersama dengannya. Apakah ini menandakan pamor keartisannya mulai redup?
Tidak, tidak, tidak! Ini tidak mungkin! Begitulah ia bergumam dalam hati. Merasa kurang yakin, ia pun mencoba mendekati perempuan itu.
"Yakin, nih, gak mau minta tanda tangan gue?" Ia kembali melayangkan pertanyaan pada perempuan itu.
Pelayan itu berbalik sejenak dengan alis yang bergelombang karena tak mengerti apa yang dimaksud pria itu. "Maaf?"
Responnya membuat mata Nicho melebar dengan amat cepat. "Lo seriusan gak kenal siapa gue?"
Pelayan itu menggeleng saru seraya mencoba mengingat-ingat barangkali mereka pernah bertemu di suatu tempat.
"Pasti lo gak pernah nonton bioskop!"
"Kebetulan saya sudah gak pernah nonton bioskop selama lima tahun terakhir."
"Oh, pantes!"
Lima tahun terakhir adalah masa keemasan untuk karirnya di mana ia membintangi sejumlah film yang berhasil masuk box office. Meski begitu, bukankah setidaknya perempuan itu pernah melihatnya di sosial media maupun iklan?
Tiba-tiba, ia menyengir kuda seiring terbesit ide konyol dalam dirinya. Ia kembali melirik ke arah perempuan yang tengah menjalankan alat vakum.
"Lo mau gua kasih tip gede, gak?" tanyanya dengan sudut bibir yang tertarik kecil.
Pelayan itu menatapnya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun. Nicho menghampirinya lebih dekat, memosisikan berdiri tepat di samping perempuan itu. Ia meraih gagang vakum yang dipegang perempuan itu, lalu mematikan tombol on.
Dengan penuh antusias, ia mulai menjelaskan. "Gini, lo pake kamera hp lo buat foto bareng gua. Terus, abis itu lo unggah di tiktok, Instagram, FB atau apa pun sosmed yang lo punya. Jangan lupa kasih caption yang muji-muji gua gitu. Contohnya 'wah, ternyata Nicho baik dan ramah banget. Gak kayak yang diberitakan selama ini'. Usahain postingan lo mesti sampe FYP. Gimana? Gampang, kan?"
"Maaf, tapi ... saya gak punya akun sosmed apa pun," balas pelayan itu.
"Hah?" Matanya berkedap-kedip dengan cepat diikuti mulut yang termegap-megap. "Lo manusia time travel abad ke berapa, sih? Hari gini masa gak punya sosmed!"
"Dulu memang pernah ada. Tapi, sejak lima tahun terakhir sudah gak pernah saya buka."
"Ada apa dengan lima tahun terakhir. Apa dunia lo berhenti di tahun itu. Ah, atau jangan-jangan lima tahun lalu lo pernah nyaleg terus gagal total," tebaknya asal bunyi dengan mimik melengak.
Pelayan itu hanya bergeming tanpa merespon celotehannya. Ia malah kembali menjalankan tugasnya seolah mengabaikan ide yang baru saja dibicarakan Nicho.
Nicho mendesis meski pandangannya masih terpaku pada pelayan itu. Bagaimana bisa seorang pelayan muda terkesan tak mengacuhkannya seperti ini? Ataukah dia hanya menjalankan profesionalisme kerja?
Nicho lantas berjalan menuju kamar mandi. Namun sebelum masuk, ia kembali menoleh ke arah pelayan tersebut hanya untuk melihat papan nama yang tersemat di dadanya.
"Sera Alia," sebut Nicho berdasarkan nama yang tertulis di papan nama pelayan itu.
Namanya dipanggil, membuat perempuan itu menoleh ke arah Nicho. Di saat yang sama, Nicho langsung melempar kedipan mata, diiringi senyum yang menggoda dengan maksud membuat pelayan itu salah tingkah seperti yang sering dia lakukan ke gadis-gadis lainnya. Sayangnya, lagi-lagi perempuan tanpa garis senyum itu hanya menunjukkan ekspresi datar.
Kesal karena godaannya tak ampuh, ia lantas kembali berkata dengan nada memerintah. "Gua mau minum kopi yang diaduk berlawanan arah dengan jarum jam! Harus ada di atas meja setelah gue selesai mandi!"
"Baik!" jawab perempuan itu.
"Jangan lupa sediain juga air yang diambil dari mata air pegunungan!" tuturnya sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi.
"Air yang diambil dari mata air pegunungan? Apa susahnya ngomong minta air mineral?" gumam pelayan itu sambil menggeleng-geleng pelan.
Selesai membersihkan kamar tamu yang menjadi tanggung jawabnya, pelayan yang bernama Sera Alia itu kembali ke departemen yang dinaunginya. Salah satu rekan kerjanya, menghampirinya dari arah belakang.
"Eh, dengar-dengar kamu jadi butler¹-nya Nicho Javariel?"
"Dia selebritis, ya?" tanya Sera.
"Kamu gak kenal Nicho? Dia kan aktor terkenal. Tuh mukanya!" Temannya menunjuk ke arah dinding kaca, di mana di seberang gedung terdapat sebuah banner iklan besar yang tengah diturunkan.
Sera terkesiap melihat banner iklan yang memuat gambar pria penghuni kamar tadi sebagai brand ambassador produk.
"Jadi dia aktor?" tanya Sera dengan tatapan yang masih terpaku pada banner di seberang jalan sama.
"Emang kamu sama sekali gak pernah nonton satu pun filmnya? Dia lagi naik daun banget loh beberapa tahun terakhir, sayang ... dia malah terjerumus kek artis-artis lain."
Sera menggeleng. "Udah lama banget aku gak nonton film apa pun. Aku juga gak update gosip atau info-info artis terbaru."
"Dia baru selesai direhabilitasi. Sekarang dia lagi rame dihujat di Twitter karena cepat banget keluarnya. Padahal ini udah yang ketiga kalinya loh! Untung aja dia tinggal di negara plus enam dua yang kalo berkasus bakal semakin terkenal. Coba aja kalo dia tinggal di Cina, Korea dan Jepang, bakal tamat tuh karirnya!" celetuk temannya lagi.
"Dia masih kelihatan muda. Sikapnya terlihat kekanak-kanakan."
"Ya, emang masih muda. Dia juga terkenal sebagai aktor yang suka berbuat onar. Dia pernah nantangin haters-nya duel di ring tinju. Sera, mending kamu hati-hati! Jangan sampai bikin kesalahan selama jadi butler-nya. Dia pernah nge-review buruk layanan salah satu hotel di Bali dan itu berdampak besar karena dia seorang aktor dengan followers terbanyak," ujar teman sejawatnya mencoba mengingatkan.
Sera kembali memandang ke seberang jalan. Kali ini banner yang memuat gambar aktor tersebut telah diturunkan sepenuhnya dan akan diganti dengan banner baru yang menampilkan model berbeda.
Sementara itu, Nicho baru saja keluar dari kamar mandi setelah berendam cukup lama di dalam sana. Saat melangkah keluar, ia terperangah melihat keadaan ruangan yang telah rapi dan bersih dalam waktu singkat. Ia mengusap setiap permukaan meja, kaca, hingga gagang pintu. Sama sekali tak berdebu. Semua permintaannya pun telah dilaksanakan. Sudah tersedia segelas kopi di atas meja lengkap dengan beberapa botol air mineral. Di sebelahnya, ada secarik kertas yang bertuliskan dengan tinta hitam.
"Silahkan hubungi saya jika Anda butuh sesuatu."
Membaca pesan itu, sudut bibir Nicho lantas terangkat sebelah. "Mari kita lihat, seberapa profesional pelayan ini."
.
.
.
Jejak kaki
Butler: pelayan pribadi yang bertugas melayani segala keperluan tamu hotel VVIP.
Catatan author
3 chapter awal guys, masih pengenalan karakter dulu. Gimana suka gak? Mau dilanjut nggak nih?
Gak usah divote ya, kalo mau dukung novel ini cukup dengan nonton iklan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!