NovelToon NovelToon

BAD HUSBAND

Bab 1

"Ruka nikah sama El, Pa? Papa tau bukan gimana tu anak?" Ruka menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu dengan kasar, tangannya terangkat memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri.

"Papa tahu, tapi ini demi kebaikan mu sayang."

"Kebaikan?" Ruka mendengus, nyaris tertawa getir. "Kebaikan apa, Pa? Kebaikan Papa, mungkin!" Suara gadis itu mulai meninggi, penuh emosi. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri. Tidak, ia tidak boleh menangis di depan Papa.

Bagaimana bisa? Ruka, yang masih duduk di bangku SMA, dipaksa menikah! Dan tidak tanggung-tanggung, pria yang dipilih Papa untuk menjadi suaminya adalah El Zio—badboy terkenal, anak geng motor yang sukanya tawuran dan balap liar. Dunia Ruka seolah runtuh dalam sekejap.

Andai saja kabur ke Kutub Utara itu semudah membalikkan telapak tangan, ia pasti sudah melakukannya. Hidup bersama kawanan pinguin pun rasanya lebih masuk akal daripada tinggal satu rumah dengan El Zio, si pembawa masalah.

"Ruka..." Mama tiba-tiba muncul dari arah dapur, menghampiri putrinya dengan wajah penuh kasih. Ia duduk di sisi Ruka dan menggenggam jemarinya erat. "Mama yakin, Papa punya alasan untuk menikahkan Ruka dengan El. Mungkin ini bukan sesuatu yang Ruka inginkan sekarang, tapi—"

"Alasan apa, Mah?" potong Ruka dengan suara dingin. "Supaya jaringan bisnis Papa makin besar? Ruka tahu, Mah, keluarga El itu kaya raya. Jangan bilang ini cuma soal uang!"

Mama terdiam, terlihat gelisah. Sejujurnya, ia juga belum sepenuhnya memahami keputusan suaminya. Namun, ia tahu harus ada alasan yang lebih besar di balik perjodohan ini.

"Ruka..." Mama mencoba lagi, tapi gadis itu langsung berdiri.

"Mama gak usah bujuk Ruka, deh. Ruka gak mau dengar apa pun lagi," tukasnya tajam sebelum melangkah cepat menuju kamarnya.

Pintu kamar dibanting keras. Di dalam, Ruka menghempaskan diri ke tempat tidur. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini tumpah begitu saja. Ia menggigit bibir, menatap langit-langit dengan dada bergemuruh. Hidupnya yang dulu terasa begitu damai kini berubah menjadi mimpi buruk.

Ruka tahu satu hal—ini bukan soal "kebaikan" seperti yang Papa bilang. Ini tentang kekuasaan, tentang ambisi yang tidak pernah ia minta untuk terlibat. Tapi bagaimana mungkin ia melawan?

Suara tawa kecil dan bising motor El tiba-tiba terngiang di kepalanya. Pikirannya langsung dipenuhi bayangan masa depan suram: hidup bersama pria itu, pria yang bahkan tidak tahu caranya bersikap sopan.

Hatinya mencelos.

***

"Married, Dad? Are you serious? Why?" El Zio, pemuda tampan dengan gaya urakan yang sudah menjadi ciri khasnya, memprotes keras. Ia menatap sang ayah dengan ekspresi tak percaya, seolah keputusan itu adalah lelucon paling buruk yang pernah ia dengar.

"Biar kamu ngerti apa itu tanggung jawab, El," jawab Daddy, sambil merapikan jas mahalnya dengan gerakan santai, lalu berjalan menuju mobil yang menunggu di depan rumah.

El mengekor, langkahnya panjang-panjang dengan tangan yang terus bergerak, mengekspresikan frustrasinya. "I understand! Gak perlu nikahin El kalau cuma buat ngajarin tanggung jawab, Dad. Lagi pula, El gak hamilin tuh cewek! Kenapa Daddy malah nyuruh El tanggung jawab?"

Daddy menghentikan langkahnya sejenak. Ia memutar tubuh, menatap El dengan tajam. "Ini bukan tentang kamu atau dia, El. Ini soal kamu belajar bertanggung jawab sama hidupmu sendiri. Apa itu balapan? Tawuran? Daddy capek harus bolak-balik ke sekolah buat ngeberesin masalahmu!"

El mendecih, melipat kedua tangannya di dada. "Oh, I get it. Daddy cuma mau buang El kan? Biar gak repot lagi? Nikahin El biar Daddy bisa bebas dari semua masalah yang Daddy bilang El yang bikin?"

"Terserah apa yang kamu pikirkan. Yang pasti, minggu depan kamu nikah. Titik! Kalau kamu menolak, semua fasilitas yang Daddy kasih akan Daddy ambil!"

Tanpa menunggu jawaban lagi, Daddy membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Sosok lelaki paruh baya yang masih terlihat tampan, meski usianya sudah mendekati kepala lima itu dengan gerakan cekatan, memberi isyarat kepada sopir untuk segera pergi.

"Dad, wait!" El mencoba menahan, tetapi suara mesinnya yang menderu memotong protesnya. Mobil itu melesat pergi, meninggalkannya berdiri di halaman, sendiri.

"Haaah..." El mendesah panjang, jemarinya mengacak rambut hitamnya yang sedikit berantakan. "Nikah?" gumamnya, setengah tak percaya. Kepalanya mendongak, menatap langit yang mendung seolah berharap jawaban turun dari atas sana.

Ia tahu ayahnya tegas, bahkan terkadang terlalu keras, tetapi ini? Memaksanya menikah? Dengan Ruka? Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Daddy-nya?

Pikirannya berputar, mencoba mencari alasan di balik keputusan konyol itu. Tapi, semakin ia mencoba, semakin ia merasa frustrasi. Ia memandang ke kejauhan, ke jalan tempat mobil Daddy menghilang. Kali ini, ia tidak bisa hanya mengabaikan atau melarikan diri seperti biasanya.

"Married?" El menggerutu lagi. Sejenak ia memejamkan mata, membayangkan hidupnya yang bebas, penuh keseruan—balapan tengah malam, nongkrong di markas, dan kehebohan tawuran yang selalu bikin adrenalinnya memuncak. Semua itu akan hancur berantakan begitu ia menikah.

Pikiran itu membuat dadanya panas. Apa yang sebenarnya Daddy coba ajarkan dengan ini? Apakah ini cuma soal tanggung jawab, atau ada rencana besar lain yang sengaja disembunyikan?

Satu hal yang pasti, El Zio bukan tipe pria yang bisa dengan mudah dijinakkan. Ia mengangkat dagunya, matanya menyala penuh determinasi. Jika Daddy mau perang, maka ia juga siap bertempur.

Sayangnya, perang yang El sebut-sebut itu tidak pernah benar-benar terjadi. Semangat perlawanan yang ia kobarkan di pikirannya padam begitu saja ketika ia mengingat sesuatu yang jauh lebih berharga dalam hidupnya—kartu kredit tanpa batas, mobil sport yang selalu menarik perhatian, dan motor besar kesayangannya yang sudah menjadi ikon dirinya di jalanan.

El mendecih pelan, menyadari bahwa semua itu adalah hasil kemurahan hati sang Daddy. Jika ia bersikeras menolak menikah, konsekuensinya akan jelas: hidupnya yang mewah dan bebas itu akan lenyap dalam sekejap.

"Brengsek," gumam El, menendang kerikil kecil di halaman rumah. Ia tahu Daddy tidak main-main dengan ancamannya.

"Apa gue benar-benar rela kehilangan semuanya cuma gara-gara nolak nikah?" pikir El keras-keras, menatap kosong ke langit yang semakin gelap.

Dengan berat hati, El akhirnya menyerah pada kenyataan. Ini bukan perang. Ini lebih mirip jebakan, dan ia tidak punya pilihan selain masuk ke dalamnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan amarah dan frustrasinya.

"Fine," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Kalau Daddy maunya gue nikah, gue nikah. Tapi jangan harap gue bakal jadi suami yang baik."

Sebuah senyum kecil yang penuh sarkasme muncul di sudut bibirnya. Jika Daddy ingin bertaruh bahwa pernikahan ini akan mengubah El Zio menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab, maka Daddy telah memasang taruhan di tempat yang salah. Bagi El, ini hanya akan menjadi permainan baru—permainan di mana ia tetap memegang kendali, atau setidaknya mencoba.

Dan di benaknya, satu rencana mulai terbentuk: bagaimana caranya menjalani pernikahan ini dengan tetap menjaga kebebasannya. Kalau itu berarti harus berpura-pura atau menciptakan masalah baru, El tidak keberatan sama sekali. Apa pun untuk mempertahankan motornya, mobilnya, dan, tentu saja, kartu kredit kesayangannya.

***

"Sah!!!"

Suara lantang dari para tamu yang hadir memenuhi ruangan. Suasana penuh khidmat perlahan berubah menjadi sorak bahagia.

"Alhamdulillah..." Kedua orang tua mempelai saling melempar senyum lega, bahagia menjadi saksi dari sumpah sakral yang baru saja terucap. Mereka tahu, momen ini adalah awal baru, tidak hanya bagi kedua anak mereka, tetapi juga bagi keluarga besar.

Namun, di tengah suasana riuh itu, Ruka dan El duduk diam, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Ruka, yang kini resmi menjadi istri El Zio, menunduk dalam. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena rasa bahagia, melainkan campuran dari amarah, cemas, dan ketidakrelaan. Di sudut bibirnya, senyum yang ia paksakan nyaris tak terlihat. Hatinya masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

El, di sisi lain, hanya bersandar santai di kursinya, dengan wajah yang sulit dibaca. Sesekali ia memainkan jari-jarinya, seolah pernikahan ini hanyalah formalitas yang membosankan. Matanya melirik ke arah Ruka, mencoba menebak apa yang ada di kepala gadis itu. Tapi, alih-alih merasa bersalah atau canggung, senyum tipis yang nyaris sinis muncul di wajahnya.

"Selamat ya, Nak," suara lembut Mama Ruka memecah lamunan. Wanita itu menggenggam tangan putrinya dengan erat. "Mulai sekarang, kalian harus saling mendukung, saling belajar, dan saling menerima, ya."

Ruka hanya mengangguk kecil, tanpa suara. Mendukung? Menerima? Bagaimana mungkin ia melakukannya dengan pria yang bahkan tidak ia sukai?

Di saat yang sama, Daddy El menepuk bahu putranya. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan, El," katanya singkat.

El hanya tersenyum miring. "Tentu, Dad. Jangan khawatir." Tapi di dalam hatinya, ia berpikir lain. Apa yang harus ia lakukan? Menjalani hidup seperti suami ideal? Tidak mungkin. Baginya, pernikahan ini hanyalah formalitas yang tidak akan mengubah siapa dirinya sebenarnya.

Sesi foto dimulai, dan tamu-tamu terus berdatangan untuk memberikan ucapan selamat. Senyum dipaksakan. Kata-kata basa-basi diucapkan. Tapi di dalam hati kedua mempelai, perasaan mereka sama—penuh penolakan dan kebingungan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pernikahan ini mungkin telah dimulai, tetapi perang yang sebenarnya baru saja akan dimulai di antara mereka berdua.

"Lo istri gue sekarang! Jadi gue berhak atas lo!"

"El, lo gila? Enyah dari kamar gue!"

Bersambung...

Bab 2

"Enyah dari kamar gue!" Ruka berteriak kencang, wajahnya memerah karena marah dan malu saat melihat El dengan santai memasuki kamarnya tanpa izin.

El, dengan gaya khasnya, menyandarkan tubuhnya di pintu, matanya tajam menatap gadis yang kini menjadi istrinya. "Sekarang lo istri gue, Ruka. Bahkan, gue punya hak untuk..." ia menyeringai, "unboxing lo malam ini."

Wajah Ruka semakin merah, kali ini bercampur dengan ketakutan dan kemarahan yang mendidih. "Berani lo maju, gue..." kata-katanya tertahan, matanya liar mencari sesuatu—apa saja—untuk melindungi dirinya.

El melangkah maju, mendekati Ruka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gue apa? Teriak? Silahkan. Mau manggil nyokap bokap lo? Paling mereka ketawa sambil mikir kalau mantunya ini sangat perkasa, bikin lo teriak-teriak keenakan."

Glek!

Ruka menelan salivanya dengan gugup. Bayangan yang tidak ingin ia pikirkan tiba-tiba melintas di benaknya. Malam pertama. Sepasang suami istri. Adegan-adegan mesum yang hanya ia lihat di drama atau baca di novel dewasa.

El menangkap perubahan di wajah Ruka, dan itu membuatnya semakin percaya diri. "Kenapa lo?" tanyanya sambil berjalan semakin mendekat. "Nafsu sama gue, ya?"

Dengan santai, El menyelipkan jemarinya ke rambutnya, menyugar helai-helai hitam itu ke belakang. Wajahnya yang biasanya terlihat urakan kini tampak berbeda—rapi dan memancarkan pesona maskulin yang sulit diabaikan. Setelan semi-formal yang ia kenakan menonjolkan tubuh atletisnya, membuatnya terlihat seperti model dari majalah pria.

"Jangan mimpi!" Ruka berteriak, mencoba menutupi kegugupannya. Ia mundur selangkah demi selangkah, sampai punggungnya menabrak dinding kamar.

El tertawa kecil, "Tenang aja, gue gak bakal maksa lo... malam ini." Ia menekankan dua kata terakhir itu dengan nada menggoda, membuat Ruka semakin bingung apakah ia harus lega atau justru lebih waspada.

"Keluar! Lo gak punya hak masuk kamar gue tanpa izin!"

El mengangkat bahu, ekspresi santainya seperti tidak memedulikan protes itu. "Kamar lo? Kayaknya lo lupa, ini kamar kita sekarang, Nyonya El Zio." Ia menekankan nama baru itu dengan penuh ejekan, lalu berbalik menuju pintu. "Tapi santai aja, gue gak bakal ngelakuin apa-apa... belum sih, lebih tepatnya."

Sebelum melangkah keluar, El menolehkan kepala, matanya memandang Ruka dari atas ke bawah. "Tidur nyenyak, istri gue yang manis."

Pintu tertutup dengan bunyi klik yang tajam, meninggalkan Ruka berdiri kaku di tempatnya. Dadanya naik turun, mencoba mengatur napas yang tak karuan.

"Brengsek," gumamnya pelan, sembari meremas seprai di sampingnya. Ruka tahu, malam ini El mungkin telah pergi, tapi ancaman kehadirannya akan selalu membayangi. Ia harus memikirkan cara untuk menghadapi pria itu—pria yang sekarang, sialnya, adalah suaminya.

Belum sempat Ruka menemukan cara untuk menenangkan pikirannya, pintu kamar kembali terbuka. Sosok El muncul lagi dengan ekspresi santai, seolah ia pemilik penuh kamar itu.

"Gue lupa," katanya sembari memasuki ruangan tanpa meminta izin. "Bokap nyuruh gue buat gak ninggalin lo sendiri malam ini."

Ruka mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Pergi aja! Gue malah bersyukur kalau lo enyah!"

El hanya tersenyum miring, senyum khas yang membuat darah Ruka mendidih. Dengan santai, ia melepas jas mahalnya, lalu menggantungnya di kursi terdekat. "Mana bisa. Malam ini, kan, malam pengantin kita."

"El, gak lucu ya!" protes Ruka, tubuhnya makin menegang ketika mendengar 'malam pengantin'.

El tidak menanggapi. Ia mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, gerakannya lambat dan penuh percaya diri. "Mau gaya apa? Gue atau lo yang di atas?" godanya.

Wajah Ruka memerah. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, mencoba mempertahankan diri. "Lo mau apa? Kancingin lagi gak tuh baju?!"

"Enggak mau," katanya dengan santai, El tertawa kecil,langkahnya semakin mendekati Ruka. "Kayaknya malam ini gue pengen deh."

"El, lo gila!" pekik Ruka, panik. Ia merapat ke dinding, mencoba menciptakan jarak antara dirinya dan pria itu. Kebaya yang masih ia kenakan membuatnya merasa semakin rapuh, seolah situasinya bisa lepas kendali kapan saja.

El menghentikan langkahnya tepat di depan Ruka, wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah gadis itu. "Kenapa? Lo takut?" ejeknya. "Tenang aja, gak sakit kok. Gue pastiin lo bakalan ketagihan, gue jago goyang."

"Stop!" Ruka menutup telinga dengan kedua tangan. Telinga sucinya benar-benar tercemar oleh kalimat-kalimat seronok yang suaminya keluarkan.

El menyeringai, dia seperti mendapatkan mainan baru. Ruka begitu lucu, dan penuh ekspresif. "Ah, istri gue lucu banget. Belum juga mulai, udah panas aja." El menyambar remote AC dan menurunkan suhunya sampai 16 derajat. Lalu kembali menoleh kepada istrinya yang gemetar ketakutan.

"Berani lo kesini, gue teriak!"

Seolah tak peduli, pria itu melepas kemejanya dan membuang sembarangan dilantai, tonjolan otot-otot perut yang terbentuk sangat sexy terpampang nyata di depan mata Ruka.

"DASAR MESUM!!!" Ruka berteriak sambil menutup kedua matanya. "mata suci gue ternodai, ya Allah.. ah—"

Secepat kilat, El menahan tangan Ruka, "kenapa di tutup? Lo harus lihat dan rasakan, betapa sexy nya tubuh suami lo." seolah terhipnotis, El dengan mudah mengarahkan tangan istrinya untuk menyentuh otot perutnya.

Ruka terperanjat, tapi tak mampu menarik tangannya saat El menggenggamnya dengan erat. "Gila lo, El! Lepasin tangan gue!" teriaknya panik. Pipinya memanas, baik karena marah maupun malu.

Bukannya mendengarkan, El, justru menurunkan pandangannya pada tangan Ruka yang ia arahkan menyentuh perutnya. "Santai, Nyonya El Zio. Lo harus mulai terbiasa menikmati keindahan ini. Gue gak main-main soal ini, tahu?"

"Keindahan apanya? Dasar narsis!" balas Ruka sengit, berusaha menarik tangannya sekuat tenaga. Namun, genggaman El terlalu kuat, seolah pria itu sengaja membuatnya kesal.

El menyeringai, senyum jahat khasnya muncul lagi. "Mata lo tadi aja gak bisa lepas dari gue. Ngaku aja, lo terpesona, kan? Gue udah berbaik hati perbolehin lo pegang perut gue yang sixpack."

"Terpesona apanya?! Gue cuma shock! Beda tipis sama jijik, tahu gak?" Ruka melotot, wajahnya semakin merah. Ia merasa seperti seekor kucing yang dipojokkan oleh seekor harimau besar.

"Jijik?" El mengulang kata itu dengan nada tak percaya. Alisnya terangkat, menandakan rasa tersinggung yang tak ia sembunyikan. "Lo bilang lo jijik sama gue?"

"Iya, gue jijik! Kenapa? Gak biasa dengar orang ngomong jujur ke lo?" balasnya dengan suara lantang, meskipun tangannya sedikit gemetar.

El menatapnya dalam-dalam, matanya menyipit seolah mencoba membaca pikiran Ruka. "Menarik. Lo tahu gak, cewek-cewek biasanya ngantri buat bisa sedekat ini sama gue?"

Ruka mendengus, mencoba menunjukkan ketidaktertarikannya. "Bagus buat mereka. Mungkin lo harus balik ke salah satu dari mereka, dan berhenti ganggu hidup gue."

"Sayangnya, sekarang gue terikat sama lo, Nyonya El Zio. Dan itu berarti, lo harus terbiasa dengan kehadiran gue."

Ruka merapatkan kedua tangan di depan dadanya, seperti ingin membangun perisai dari kata-kata El yang terus menusuk. "Dengar ya, El. Gue gak peduli lo suami gue atau bukan. Gue gak akan pernah terbiasa sama lo, apalagi nerima lo."

El mendekat selangkah, senyum sinis kembali menghiasi wajahnya. "Lo pikir gue butuh diterima sama lo? Gue cuma mau satu hal, Ruka."

"Apa? Lo mau gue cabut dari sini?" Ruka mencoba menyela dengan nada sarkastis.

El menundukkan kepalanya sedikit, sehingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. "Gue cuma mau bibir lo." tanpa aba-aba dan peringatan, El menyambar bibir Ruka dengan kasar.

"Emmmppphhhh...." Ruka berusaha menggerakkan tubuhnya, tapi genggaman El di tengkuknya terlalu kuat. Bibirnya merasakan gigitan kecil yang memaksa, sementara napasnya memburu dalam keterkejutan dan kemarahan.

El mendominasi, gerakannya kasar dan penuh tekanan, seperti ingin menegaskan siapa yang berkuasa. Namun, rasa puas yang biasanya ia rasakan justru terusik oleh ekspresi Ruka. Bukan ketakutan yang ia temui di sana, melainkan kemarahan yang berkobar.

"Lo gila, ya?! Gue bukan boneka lo!" Ruka berhasil mendorong El dengan kedua tangannya setelah berjuang mati-matian. Tubuh El mundur satu langkah, tapi senyumnya masih terukir.

"Gue gak bilang lo boneka. Tapi lo istri gue, dan gue punya hak, kan?" El menyeka bibirnya dengan punggung tangannya, lalu menatap Ruka dengan pandangan menantang. "bibir lo manis juga."

Ruka mengusap bibirnya yang terasa perih akibat gigitan El. Matanya berkilat marah, seperti api yang siap melahap apapun. "Hak? Hak apaan?! Lo pikir nikah itu cuma soal gituan?"

El memiringkan kepalanya sedikit, menatap Ruka seperti seseorang yang mencoba memahami teka-teki rumit. "Ya, emangnya apa lagi?"

Ruka merasa darahnya mendidih. Ia hanya bisa mengutuk takdirnya yang tidak adil ini. Sudah ia duga, menikah dengan El sama saja membeli tiket ekspres ke neraka.

Sial!

Bersambung...

Bab 3

Semalaman El benar-benar tidak keluar lagi dari kamar Ruka, gadis itu memilih tidur di sofa daripada harus berbagi ranjang dengan suaminya. Lihatlah, suami yang tak pengertian itu, tak peduli jika istrinya tengah tidur dalam keadaan tak nyaman. Dia sibuk bermain game di ponselnya seolah tak terganggu dengan situasi ini.

Ruka mendengus kesal, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Sofa sempit dan keras membuat tubuhnya pegal-pegal, namun harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta sedikit ruang di ranjang besar yang kini dikuasai oleh El.

El, seperti biasa, tidak peduli. Ia duduk bersandar di kepala ranjang dengan kaki lurus santai, ponselnya terang menyala memamerkan game yang ia mainkan dengan serius. Sesekali ia tertawa kecil, seolah dunianya hanya sebatas layar itu.

"Kecilin volume nya, berisik tahu!" keluh Ruka akhirnya.

"Hmm?" El menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Jarinya terus menari di layar, menembakkan peluru virtual ke arah musuh-musuhnya dalam game. Tanpa menurunkan volume ponselnya.

"Lo tahu, kan, gue lagi tidur, El?"

"Tahu," jawab El santai. Masih tanpa melihat ke arah Ruka.

"Jadi bisa, tolong kecilkan volumenya?" Nada Ruka mulai naik, kesabarannya perlahan menipis.

El tak menghiraukan, ia asik sendiri dengan dunianya. "Bangsat! Lo mundur, lindungi gue!" ocehnya pada teman game nya.

Tangan Ruka mengepal kuat, sumpah lelaki itu benar-benar menyebalkan. Kesalahan apa yang sebenarnya Ruka lakukan hingga harus menanggung karma sebesar ini.

"El, lo benar-benar keterlaluan ya, udah kasur gue lo kuasai, lo berisikin lagi. Besok gue ada ulangan di jam pertama, gue gak mau ya gara-gara elo, gue telat!"

Akhirnya El menghentikan permainannya, meletakkan ponsel di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia menatap Ruka dengan senyuman tipis yang lebih menyerupai seringai. "Lo sendiri yang pilih tidur di sofa. Gue gak maksa, ya?"

"Ya karena lo gak mau keluar dari kamar gue!" Ruka menurunkan selimutnya dengan kasar, memperlihatkan wajahnya yang merah karena marah. "Lo pikir enak tidur di tempat sekecil ini?"

"Kalau lo gak suka tidur disana, sini tidur bareng gue di ranjang," ucap El sambil menepuk space kosong di sebelahnya. "Bilang aja lo mau tidur sama gue, pake marah-marah segala."

Ruka melotot tajam ke arah El, kedua tangannya mengepal di bawah selimut. "Tidur bareng lo, hah? Gue lebih baik tidur di sofa daripada di ranjang yang sama dengan lo."

"Oke!"

Ruka mendengus, "ini KAMAR GUE! Harusnya lo yang tidur di lantai, bukan gue."

"Yakin lo mau gue turun ke lantai? Lo bisa ngeliat gue tidur topless di situ. Siapa tahu lo malah makin nggak bisa tidur karena kepikiran."

"DASAR MESUM!" Ruka langsung melempar bantal sofa ke wajah El, namun pria itu dengan cekatan menangkapnya dan melemparkannya sembarangan. "Lo berisik, gue mau tidur." ujarnya santai lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Tak memperdulikan Ruka yang terus saja mengomel.

Lelah sendiri, Ruka akhirnya berhenti dan menarik selimutnya sambil membelakangi El. Dalam hati, ia merasa jengkel setengah mati hingga terbawa dalam tidurnya.

***

Keesokan paginya, Ruka membuka mata dengan wajah masam. Seluruh badannya terasa remuk seperti habis dihajar badai. "Aduh, leher gue..." keluhnya sambil memijat tengkuknya yang kaku. Tidur semalaman di sofa kecil benar-benar menyiksa.

Di seberang ruangan, El tampak tidur nyenyak di atas ranjang empuk yang jelas lebih pantas disebut surga dunia. Dada bidangnya naik turun dengan tenang, wajahnya terlihat damai—benar-benar kontras dengan kondisi Ruka yang seperti zombie bangun dari kubur.

Ruka memelototi suaminya yang tertidur pulas. "Gila, enak banget dia tidur di kasur gue. Gue yang pemilik kamar malah jadi korban di sini," gerutunya.

Ia duduk tegak di sofa, mencoba meluruskan punggungnya yang kaku. Di dalam kepalanya, berbagai ide untuk melepaskan diri dari pernikahan ini mulai berseliweran.

"Gue gak bisa terus-terusan begini," gumamnya. Matanya berkilat penuh tekad. Jika dia tidak melakukan sesuatu, El akan terus seenaknya di rumah ini, di hidupnya, bahkan mungkin di hatinya—dan itu adalah hal terakhir yang Ruka takut kan.

Langkah pertamanya? Membuat El menderita, sama seperti dia.

Dengan hati-hati, Ruka bangkit dari sofa, melangkah mendekati tempat tidur. Dia menyipitkan mata, menatap El yang masih terlelap. "Bangunin gak ya? Tapi... kalau dia marah, gue yang ribet." Dia mundur satu langkah, lalu melirik ke arah meja di samping tempat tidur.

Tiba-tiba sebuah ide usil muncul. Ruka mengambil segelas air dingin dari meja itu, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menuangkannya langsung ke wajah El.

"BANGUN, EL! LO KEBANJIRAN!" teriaknya.

El tersentak bangun dengan wajah panik, tangannya mengusap-usap wajahnya yang basah. "RUKA! LO NGAPAIN?!" teriaknya dengan nada serak.

Ruka menahan tawa sambil menyembunyikan gelas di belakang tubuhnya. "Oh, lo udah bangun? Sorry, gue pikir lo butuh penyegaran biar gak kebablasan tidur."

"Lo mulai main api? Lo bener-bener cari masalah sama gue."

Ruka mengangkat bahu dengan santai, bibirnya melengkung dalam senyuman penuh ejekan. "Masalah? Gue cuma memastikan lo gak telat bangun, suamiku." ujarnya santai, sambil berjalan masuk kedalam kamar mandi.

Sebuah peperangan kecil baru saja dimulai. Dan untuk Ruka, ini hanyalah langkah awal dari rencana besarnya untuk membalikkan keadaan.

Namun sayangnya hal itu justru membuat Ruka kelimpungan sendiri, pasalnya saat dia masuk ke kamar mandi dengan cepat El mengikutinya masuk dan menguncinya.

"Sepertinya mandi sama istri akan membuat mood kita bagus."

"El lo mau ngapain?" Ruka memekik, saat El melepaskan kaosnya, dan lagi-lagi memamerkan tubuh atletisnya.

Grep!

El memeluk tubuh Ruka, membuat gadis itu kehabisan napas seketika. Tubuh Ruka membeku dalam pelukan El, sementara pikirannya berteriak panik.

"El! Lepasin gue! Lo gila?!" teriaknya sambil mencoba melepaskan diri.

Namun, bukannya melepaskan, pelukan El justru semakin erat. "Tenang, istri gue ini kenapa sih? Gue cuma mau kita saling akrab. Suami istri harus saling berbagi segalanya, termasuk momen seperti ini."

"Gue gak butuh keakraban model begini, El! Lepasin atau gue—"

"Gue apa, teriak? Siapa yang bakal nolongin lo? Nyokap sama bokap lo bakal ngira kita lagi... yah, ngelakuin sesuatu yang wajar buat pengantin baru."

Wajah Ruka memerah hingga ke telinga. "Lo keterlaluan! Gue gak bercanda, El!"

"Dan lo pikir gue bercanda? Lo lupa kalau gue suami lo?" pria itu mendekatkan wajahnya, membuat Ruka reflek menutup mulutnya dengan tangan.

El tersenyum nakal, matanya menatap langsung ke arah Ruka yang panik. "mikir apa lo? berharap gue bakalan kokop lagi, nagih ya?

Dengan sisa tenaga dan keberanian, Ruka mendorong El sekuat mungkin, berhasil menciptakan jarak di antara mereka. "Denger, El! Gue bukan mainan lo, oke? Gue gak peduli apa arti pernikahan ini buat lo, tapi buat gue, lo gak lebih dari sebuah masalah!" ketusnya, lalu meninggalkan kamar mandi begitu saja.

***

Ruka melangkah menuruni tangga, dengan seragam sekolah dan rambut yang diikat rapi ke belakang. Namun, langkahnya terhenti sejenak di anak tangga terakhir saat mendapati pemandangan yang membuat emosinya mendidih.

Di meja makan, kedua orang tuanya tengah duduk dengan nyaman, menikmati sarapan bersama 'suami kesayangan' mereka—El. Tidak hanya sekadar makan, tetapi mereka juga tertawa-tawa seolah tengah berbagi lelucon terbaik di dunia.

El, dengan gaya santainya, terlihat benar-benar menikmati percakapan itu. Tawa rendahnya yang khas menggema, bersatu dengan tawa Papa yang jarang terdengar di rumah mereka.

"Kamu emang hebat, El. Lain kali Papa mau ikut naik gunung." ujar Papa sambil tertawa kecil, menepuk bahu El dengan akrab.

"Iya, Pa gampang. Nanti kalau ada waktu El temenin papa naik, ke gunung Salak aja yang deket."

"Boleh itu, kita ajak Ruka juga."

"Tapi Ruka kan gak suka naik gunung, Pa."

"Kan ada suaminya, Ma. Mama gak usah khawatir, ada Papa juga nanti yang jagain."

"Iya Ma, El janji bakalan jagain Ruka. El udah khatam sama gunung Salak. Kalau gak, mungkin sekarang El udah jadi hantu penunggu gunung, waktu hilang selama dua hari disana. hehehe," jawab El santai, sambil menyendok nasi ke piringnya.

Tawa Papa pecah, diikuti oleh Mama yang tersenyum simpul. "Anak muda memang sering gitu, suka cari tantangan. Tapi untung kamu sekarang udah dewasa, El."

Ruka memutar matanya tajam. "Dewasa? Dia? Hah! Jauh dari itu," gumamnya dengan suara pelan, meski hatinya sudah bergejolak hebat.

Dengan napas panjang, dia akhirnya melangkah ke meja makan. Suara langkahnya cukup keras untuk membuat ketiganya menoleh ke arahnya.

"Pagi, sayang!" sapa El dengan nada ceria, wajahnya penuh senyum menyebalkan itu.

Ruka menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke kedua orang tuanya. "Pagi, Ma, Pa. Sarapan sudah selesai, kan? Aku mau buru-buru ke sekolah."

"Kamu gak sarapan dulu?"

"Gak usah, Ma. Aku masih kenyang," jawab Ruka sambil berlalu.

Namun, El dengan cepat menyambar tangan Ruka dan menariknya duduk. "Eh, gak bisa gitu, dong. Istri gue gak boleh sekolah dalam keadaan perut kosong. Bener gak, Ma, Pa?"

Papa mengangguk setuju. "Betul itu, Ruka. Apalagi sekarang kamu udah menikah. Kamu harus lebih jaga kesehatan."

"Gue gak lapar, El. Lepasin!" desisnya pelan agar kedua orang tuanya tidak mendengar nada ketusnya.

El malah mendekatkan wajahnya dengan senyum jahil. "Lo makan atau gue suapin? Pilih."

Mata Ruka membelalak lebar, wajahnya langsung memerah karena malu sekaligus marah. "Lo tuh nyebelin banget, El!"

"Gue tahu."

Ruka menahan diri untuk tidak melempar sesuatu ke wajah El di depan orang tuanya. Dengan menahan amarah, dia akhirnya mengambil satu potong roti di piring dan menggigitnya kasar.

"Lihat, kan? Gampang banget bikin lo nurut," goda El lagi, sambil menyeringai.

Ruka memutuskan untuk mengabaikannya, meski amarahnya sudah mendidih. Hari ini baru dimulai, dan El sudah berhasil membuat darahnya naik hingga ke ubun-ubun. "Tunggu aja pembalasan gue," gumamnya dalam hati, sambil menyusun rencana di kepalanya.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!