Tahun kedelapan...
Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon. Lantainya dari batu putih sampai ke pelataran. Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang kokoh melengkapi singgasanaku.
Pohon itu memancarkan pendar adikodrati yang setiap tahun, setiap waktu kehilangan kecemerlangannya. Kuntum bunga yang tersisa berkedip lemah, yang lainnya telah layu dan padam. Setiap bunga mewakili satu jiwa seseorang di luar sana. Satu bunga adalah jiwa seseorang yang mengakui keberadaanku.
Ketika semua bunga kehilangan pendarnya, maka pohonku akan padam dan bersamanya aku akan sirna karena dilupakan.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara yang mana hal itu benar. Penjara ibu, tidak berada dimanapun dalam bentang peta manusia. Penjara ibu berada di ambang fana dan keabadian yang mengabaikan waktu. Seperti penjaraku yang hanya memiliki siang abadi. Semua ibu memiliki penjara bagi putra iblisnya. Walau demikian ibu mempersembahkan singgasana yang dibuat seperti tempat tinggal para dewa. Setitik oase di tengah samudera awan, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Olehkarena itu dulu ibu memberiku nasihat mulia agar dikelahiranku dilalui dengan hal-hal baik mungkin dengan mengumpulkan seribu kebaikan aku bisa jadi dewa seperti yang ibu inginkan.
Saat kelahiranku delapan tahun lalu, ibu berkata, "Putraku, kau tidak memerlukan pedang yang tajam, jika di tempatmu terlalu banyak orang yang menorehkan luka, harus ada yang menyembuhkan luka."
Aku sudah mengikuti nasihat ibu namun dikemudian hari aku malah melukai orang-orangku dan membuat kekacauan di alam manusia. Jadi tidaklah benar kalau aku menyalahkan ibu yang mengunciku disini hingga eksistensiku perlahan memudar.
Ya, pohonku kini makin redup. Ibu berdiri di bawah naungannya dan tidak lebih dekat ke singgasanaku. Ibu merasakan keberjarakan ini dengan kebekuan hatiku. Wajah ibu menyiratkan bahwa ibu menanggung kepedihan atas apa yang telah kami lalui dimasa lalu.
Ibu berparas lembut, muda dan sangat menyayangiku, aku tidak percaya dulu aku nyaris melahap jiwanya. Walau begitu aku tahu tujuan ibu menyambangiku. Ibu tidak pernah takut kepadaku, sebaliknya ibu menginginkan kebangkitanku kembali.
Setelah kebungkamanku yang panjang, akhirnya aku berkata. "Aku tidak akan mencampuri manusia lagi."
Kesedihan, kehampaan dan kenangan yang bukan milikku mendera batinku.
"Setelah apa yang kulakukan pada ibu, ibu masih ingin mempertahankan hidupku? Tidak ibu, aku tidak berhak mendapatkan itu, aku pantas membeku selamanya disini."
Aku teringat awal-awal kesunyian rumahku. Tidak terdengar lagi denting lembut genta angin setiap kali pohonku berbunga dan merekah atau bagaimana jiwaku menghangat setelahnya.
"Kau putraku, aku tidak ingin kehilanganmu."
"Ibu."
Ibu menatap mataku, menyelami kedalamannya untuk segala hal yang ingin kubagi dengan ibu. "Benar," aku berkata. "Mereka sudah mulai melupakanku, aku tidak sekuat dulu. Secemerlang pada saat kelahiranku, aku sudah meredup."
"Tapi aku tidak akan pernah membiarkannya padam." ucap ibu sendu.
"Putraku," ibu mengambil jeda sangat panjang, aku mengira ibu hanya ingin meratapiku, tapi kemudian ibu kembali buka suara. "Rasanya aku tahu bagaimana cara menyelamatkan pohonmu tanpa melukaiku atau siapapun."
"Benarkah?"
Ibu mengangguk. "Ceritakan sesuatu," pinta ibu. "Katakan semua apa yang telah membuatmu berakhir seperti ini."
"Untuk apa?"
"Putraku terkasih, aku penjual kisah, aku akan membantu menuliskan kisahmu. Membuatmu mendapatkan eksistensimu. Semua yang membaca kisahmu akan menyimpan semua tentangmu dihati mereka suka ataupun tidak. Bukankah dengan begitu bungamu akan mekar?"
Di tahun kedelapan ini aku teringat akan janji yang belum kutepati bertahun-tahun yang lalu. Ada banyak yang bertanya mengenai siapa diriku yang sesungguhnya. Tentu saja dulu aku tidak berani mengatakan asal usul dan jati diriku.
Dulu aku berkata akan membongkar identitasku kalau aku meninggalkan daratan merah hanya karena dulu aku teramat tidak ingin mereka meninggalkanku begitu tahu aku bukan manusia.
Kini haruskah kuceritakan diriku demi keberlangsungan hidupku?
Baiklah aku akan mencobanya. Akan kuceritakan tentang diriku sebelum aku benar-benar hilang dan dilupakan...
Daratan Merah, Tahun ketiga ...
Setelah begitu lama, aku memutuskan pulang ke rumah. Inilah rumah yang kutinggalkan tiga tahun lalu.
Setelah sekian lama, gilda Phoenix mengalami banyak perubahan, dari jumlah anggota, peraturan, hingga kepengurusan. Banyak hal telah kulewatkan selama aku menggelandang di luar sana. Setelah kembali seharusnya aku merasa 'rumah' ini memiliki suasana asing, tapi dia, gadis itu membuat semua ini terasa sama, waktu seakan tidak pernah berjalan, petualangan yang kulalui selama di luar gilda Phoenix seakan tidak nyata dan pupus begitu dihadapannya.
Phoenix menyambut kepulanganku dalam pakaian nuansa merah emas yang memberinya kesan sebagai figur penguasa. Sosoknya tidak akan salah dikenali sebagai wanita pemangku kedudukan tertinggi di gilda. Tapi gadis itu masih seperti yang kuingat, hatiku mencelus melihat kehangatan senyumnya yang tidak asing, ada perasaan bergejolak tapi aku coba menekan dan mengabaikan itu. Kali ini tidak, jangan lagi.
Phoenix tiba-tiba cemberut dan memarahiku. "Akh... aku kangen tahu."
Kubiarkan dia memukuli dadaku, sambil pura pura kesakitan aku memikirkan lelucon yang biasanya selalu membuat gadis-gadis cekikikan. Belum lagi mengatakan apa-apa, gadis lain yang tidak kukenali ternyata memperhatikan kami. Phoenix berhenti bercanda padaku lalu sebelum pergi menemui gadis itu dia berkata begini;
"Tunggu sebentar ya."
Aku angkat bahu. "Oke."
Dari balik punggung Phoenix, gadis yang tidak kukenal itu mendelik padaku. Beberapa gadis memang seperti itu, menarik.
Selain Phoenix tidak ada yang menyambutku atau tepatnya tidak ada yang mengenalku, sayang sekali padahal aku ini menyilaukan macam matahari. Yah, yang lain-lain pasti bergabung menjadi anggota setelah aku pergi termasuk gadis yang sedang bicara dengan Phoenix.
Pembicaraan mereka tak kunjung selesai, dari raut wajah keduanya mereka pasti sedang membicarakan sesuatu yang serius. Ketika akhirnya Phoenix menangkap tatapanku, aku lebih dulu memberi isyarat padanya bahwa sebaiknya aku jalan jalan saja.
Ada begitu banyak orang, tapi yang menarik perhatianku adalah pemuda berpakaian mewah dengan aksen biru laut yang sedang bercakap-cakap dikelilingi beberapa gadis cantik. Cemerlang, tampan itulah Ling. Ternyata dia masih disini. Amat disayangkan kenalan lama itu tidak melihatku. Lalu aku belum melihat Jendral Erlang. Wah, wah, abang payah itu kemana?
Saat ini seharusnya dia tahu kepulanganku ini. Setelah bertemu dengannya, aku penasaran apa yang akan dia katakan.
"Sialan, dasar bocah nakal, kemana aja kau selama ini?"
"Orang kabur kagak bilang kemana mereka pergi."
"Sialan kau ..."
Aku meliukkan badan, menghindar dari kepalan Jendral Erlang yang tiba-tiba melayang hendak menjotos lenganku. Bersedekap, aku mengikik. "Meleset, bang."
Sesaat berikutnya, aku menghindari rentetan serangan Jendral Erlang dengan santai.
Aku tertawa ketika tidak satupun serangan mengenaiku, lalu aku balas mengepalkan tinju dan mulai menerjang. Jendral Erlang sama luwesnya menghindar, menangkis seranganku. Dalam beberapa saat kami saling serang ala bocah. Phoenix malah tersenyum melihat kekonyolan kami.
Diam-diam aku menyeringai padanya. Benar, Lagi-lagi jantungku bedegup, rasanya benar-benar dejavu.
Pletak, Jendral Erlang berhasil menjitak kepalaku.
"Apa?" kata Jendral Erlang menaikkan alisnya sambil menahan tawa. "Lagi-lagi kau lengah karena cewek."
"Sembarangan, memangnya kau tidak... " Sambil berkata begitu aku kembali melayangkan serangan. Jendral Erlang mengelak. "Memangnya aku tidak tahu berapa banyak gadis yang kau simpan?"
Aku nyaris terbahak begitu melihat raut wajah Jendral Erlang yang terkejut lalu Jendral Erlang yang hendak melayangkan serangan, menurunkan tangan dan mulai ikut tergelak. Kami sama-sama mengingat masa masa itu.
"Akh, sial! Aku kangen sama kau."
Jendral Erlang menepuk lenganku, kali ini aku sengaja tidak menghindar.
"Hehe iya bang, adikmu ini juga." kuusap usap lenganku sambil meringis.
Phoenix berjalan ke arah kami.
"Kagak asik dah, kau main pergi aja."
"Iya bang, iya, minta maaf dah." Kutangkupkan kedua tanganku di depan dada dan sedikit membungkuk dengan memasang wajah semenyesal mungkin. Tapi dia tahu aku hanya menggodanya.
"Maap, maap apa, kagak, kagak ada."
"Jangan begitu bang," aku merengek seperti bocah.
"Sialan kau, mana oleh-oleh buatku."
"Gak ada oleh-oleh, aku bukan dari wisata. Harusnya kau yang kasih hadiah atas kepulangan adik kesayangan ini."
"Hadiah? Ini hadiah."
Jendral Erlang menjitak kepalaku lagi dan aku lagi lagi tidak menghindar, membiarkan Jendral Erlang memiting dan memukuli bokongku.
"Bocah ini harus diberi pelajaran." kata Jendral Erlang begitu Phoenix telah bergabung bersama kami.
"Siap senior," ledekku.
Sekali lagi Phoenix menggeleng melihat tingkah unfaedah kami, kalau penglihatanku tidak keliru, saat itu Phoenix kelihatan berkaca-kaca.
Phoenix benar-benar sibuk, beberapa hari mendatang gilda akan mengadakan even perburuan. Sebagai ketua, Phoenix tentulah harus mengecek segala persiapan, jadi Jendral Erlang bersedia menunjukkan kamarku, lalu kami berjalan beriringan tanpa bicara.
"Nah, semoga kau kagak keberatan tidur disini." kata Jendral Erlang begitu kami sampai di depan sebuah pintu geser berpelitur.
Jendral Erlang menepuk bahuku sebelum kami berpisah. Dia membiarkanku untuk beristirahat.
Ini memang bukan kamarku tiga tahun lalu, tapi tidak apa-apa, malah sekarang lebih nyaman tanpa embel-embel jabatan yang digantung di depan pintu. Kamar ini lebih terbebas dari beban dan aku merasa jadi seorang bocah tanpa diawasi orang tua untuk tidak atau harus melakukan kewajiban ini itu.
Beberapa saat kemudian, dalam kesendirian, aku memikirkan tentang keberadaanku kembali disini. "Sialan apa yang kulakukan disini? Bisa bisanya aku datang ke sini lagi. Apa yang membawaku kembali?"
Tanpa tedeng aling-aling, aku menonjok kasur yang sedang kududuki. "Sialan!"
Sambil merebahkan diri aku tahu jawabannya.
Phoenix. Ah, tentu saja gadis itu! Sial! Kenapa dia masih begitu cantik! Dari dulu gadis itu memang memikat, seperti namanya 'Phoenix' jiwanya, energinya begitu berapi-api, pesonanya membakarku.
Tidak! Belum. Sebelum dia kembali membakarku dalam angan, tiba-tiba aku teringat anak-anak perempuan manis yang kutinggalkan di Meloxia. Walau aku merasa bersalah, untuk sementara aku sama sekali tidak berniat memberitahu mereka bahwa aku pulang ke gilda lamaku, karena tentu ini adalah penghianatan.
"Sudah berapa banyak penghianatan yang kulalukan?"
Dalam waktu yang sama aku teringat gadis lainnya Niken, mantan partnerku.
"Sialan, aku ini buaya."
***
Di dunia ini, orang hidup dalam kelompok yang dinamakan gilda, ketika seseorang memutuskan untuk tidak bergabung dalam gilda manapun, mereka menamai diri dengan sebutan orang bebas. Meloxia salah satu tempat tak bertuan, belakangan bersama beberapa pengikutku yang tersisa aku hidup disana dengan aturan yang kami buat, sebelum kedatangan pesan naga dari Phoenix.
Pesan naga adalah cara di dunia kami berkomunikasi jarak jauh. Orok naga, hijau, gembret seperti habis nelan telur gajah akan melayang layang dengan sayapnya yang kecil di depan hidung kita, baru akan menjadi kata-kata apabila kita sentuh. Yah naga naga hijau ini bukan hewan dan bukan naga sungguhan.
Orok naga hijau kiriman Phoenix meletus jadi serangkaian kata yang melayang saat kucolek.
Yang bunyinya;
"Dewandaru kau masih hidup?"
Aku mengirim naga hijau balasan.
"Hehe masih."
Naga hijau berikutnya terlalu lambat datang.
"Dewandaru pulang ya, kumohon."
Aku tidak perlu mengatakan bagaimana perasaanku saat itu, yah intinya betapa payahnya diriku jika menyangkut tentangnya.
Selama tiga tahun terakhir aku berusaha menghindari dia, tapi hari itu aku telah mengambil keputusan.
"Iya, aku akan pulang."
Bukannya aku menunggu dia memintaku agar aku pulang maka aku akan pulang, sejak kepergianku dulu, dia telah berusaha menahanku agar tidak pergi tapi aku tetap dengan pendirianku. Hingga setelah tiga tahun tidak ada komunikasi dan dia tiba-tiba kembali membujukku, mau tidak mau aku jadi berpikir apa ada yang sedang terjadi di gilda Phoenix? Sesuatu yang mendesak?
Terlepas apapun yang direncanakan Phoenix, toh aku sudah bersedia ada disini lagi. Alasan lainnya juga bisa kukatakan. Ketika pertama kali menginjakkan kaki lagi di sini aku merasa inilah akhir dari petualanganku, rasanya tiga tahun sudah cukup bagiku dibangkitkan, dan merasakan kehidupan seperti manusia, sudah banyak hal yang kulakukan disana sini (maksudnya kekacauan disana sini). Disinilah akhir petualanganku, dimana dulu semua petualangan berawal ditempat ini juga.
Perburuan membawa atmosfir berbeda ke dalam gilda. Orang-orang penting dalam anggota lah yang selalu sibuk, entah apapun itu yang mereka rundingkan, sementara anggota biasa terutama para gadis membicarakan tokoh-tokoh ternama yang berpeluang mendapatkan harta paling banyak dengan antusias dan pipi merona.
Sementara itu aku menyibukkan diri mempelajari tetek bengek aturan baru yang diberlakukan di gilda Phoenix. Peraturan kini memiliki banyak sekali poin (yang ingin sekali kulanggar untuk membuat Phoenix kesal) nyaris memenuhi dinding aula keanggotaan.
Administrator masih diduduki Jendral Erlang bersama satu pemuda lain yang tidak kukenali namanya. Lalu ada beberapa nama anggota elite yang juga di ukir di dinding. Dulu posisi penting ini tidak ada.
Ada beberapa nama anggota lama yang kukenal, tapi nama yang kucari tidak kutemukan. Aku memutuskan untuk berhenti lalu pergi dari aula saat Jendral Erlang berjalan ke arahku. Lelaki itu tidak tampak punya beban apapun, malah dia kelewat cerah dipagi ini.
"Apa kau lagi mikir gimana caranya mendepakku dari sana?" Jendral Erlang berdiri disampingku, bersedekap sambil mengusap usap dagunya, menghadapi seribu lebih nama yang terukir di dinding. Dia satu dari sedikit nama-nama di dinding yang merupakan orang lama, jauh sebelum gilda Phoenix berkembang sebesar ini, karena itu Phoenix menjadikannya orang kepercayaannya, orang nomor dua di gilda setelah dirinya.
"Kenapa tidak?" balasku sok pongah.
Jendral Erlang tertawa lepas dan santai, seolah tahu aku tidak sungguh-sungguh. "Bagaimana? Apa kau tidur nyenyak?"
"Dari sekian banyak pertanyaan, apakah itu yang sangat membuat kau penasaran?"
"Ah, sebenarnya..." Jendral Erlang menyodorkan sesuatu yang tadinya tersembunyi di balik pakaiannya. "Nah..."
Aku menunduk menatap apa yang dia berikan. Sebilah pedang yang dibuat dengan desain khusus. Pedangku, hadiah dari Phoenix. Aku nyaris melupakannya. Dulu dia teramat kecewa karena aku menolak hadiahnya tapi pada akhirnya kuterima juga. Pedang ini sepasang dengan miliknya. Saat meninggalkan gilda, aku sungguh ceroboh karena lupa membawa serta hadiahku.
"Terimakasih," gumamku. "Tapi kenapa?"
"Kenapa apanya?" Tanpa menunggu jawaban, Jendral Erlang melanjutkan. "Aku tahu kau menolak hadiah dari Phoenix tapi dia kagak tahu kau mencampakkan hadiahnya. Pedang itu bukankah kau tinggalkan di kamarmu, aku bermaksud menyelamatkanmu."
Aku meringis. "Terimakasih sudah menyimpannya."
"Aku tahu kau bakal balik."
Aku menyipitkan mata pada Jendral Erlang, dan dia balas menatapku dengan geli.
"Aku tahu kau bukannya terlalu peduli sama perasaan Phoenix, kau sangat ingin lihat aku pakai pedang ini kan?"
"Kok betul."
"Begini, apa sebaiknya kubilang padanya kalau sang Jendral mengatai ketua gilda yang termasyur kagak punya selera bagus?"
"Menurutku pedang kau sangat estetik."
"Yak, makasih."
"Jadi simpanlah baik-baik. Kau pasti membutuhkan itu, mau bertaruh?"
"Tidak."
"Ah, itu dia orangnya, Ren, kemari!"
Aula keanggotaan merupakan aula terbuka yang menjadi penghubung beberapa bangunan penting di komplek inti. Jadi banyak orang lalu lalang dan secara dramatis orang yang dibutuhkan Jendral Erlang lewat.
Orang yang bernama Ren berhenti kemudian tampak berunding singkat dengan beberapa pemuda yang menyertainnya lalu menyuruh mereka pergi. Ren berjalan hingga bergabung bersama kami, memberi gestur salam untuk Jendral Erlang dan barulah menghadapku.
Pemuda ini bukan tipe kacung atau gampangan. Dia menghormati Jendral Erlang untuk alasan sopan santun usia dan kedudukan.
"Kau sudah ketemu? Nah ini dia legenda gilda Phoenix kita yang terkenal, nah Dewandaru ini Ren, partnerku administrator 2."
Legenda gilda Phoenix? Kupikir julukan itu tidak berlebihan, itu bisa kuterima.
Ren dan aku sama-sama mengangguk. Hanya itu saja.
Kupikir Jendral Erlang merasakan ketegangan diantara kami, lantas dia mengambil sikap seolah-olah guru yang hendak mendamaikan dua murid yang telah jadi rival abadi.
Jendral Erlang menyalip ketengah-tengah dan menepuk pundak kami. "Dua kesatria tangguh milik Phoenix, betapa beruntungnya kita hahaha."
Ketika aku maupun Ren sedang tidak berselera untuk ikut tertawa, Jendral Erlang buru-buru melanjutkan.
"Waduh, garing ya?"
"Ren apa kau pernah dengar kehebatannya, nah menurutmu buat apa dia sekarang ada disini, di aula keanggotaan? Betul, dia mencoba mendepak posisimu, karena dia tahu betul keberadaanmu sudah menggantikan posisinya."
Aku nyaris tersedak mendengar pernyataannya yang suka-suka dia. Abang sialan! Aku mencoba menyela tapi Jendral Erlang dengan sengaja menginjak sepatuku.
"Kudengar dia ingin menantangmu atau apa tadi kau bilang..." Jendral Erlang mencubit perutku demi melancarkan bualannya. "Mengujimu, ah ya, menguji apakah kau memang layak berada di posisimu sekarang?"
"Aku menerima tantangannya." Ujar Ren tanpa memandangku. Pedang Phoenix digenggamanku pasti yang membuat perkataan Jendral Elang terdengar masuk akal.
"Kalau begitu bersiaplah, mari kita ke lapangan."
Ren meninggalkan aula lebih dulu dan aku masih punya urusan mendesak dengan om-om ini. Aku berdehem, merapikan pakaian dan urung meninggalkan tempat.
"Aku tidak mau ah bang."
Jendral Erlang menggaet leherku tanpa belas kasih. "Aduh, aw, aw..."
"Jangan bilang kalau kau kagak berani melawannya."
"Kagak ada bilang begitu."
"Bagus kalau begitu."
"Bang, bang, tunggu," aku menggeliat mencoba membebaskan diri secara elegan. "Begini saja, pernah dengar istilah ini? Jika jalan damai bisa ditempuh kenapa harus memilih pertumpahan darah eh?" aku menaikkan alis.
"Jalan damai apa yang kau maksud, apakah dua pemuda yang saling lempar teka-teki atau kontes berapa banyak gadis yang berhasil masing masing rayu?"
Aku berhasil merebut kembali kewibawaanku begitu kami meninggalkan aula dan berjalan menyusuri lorong terbuka.
"Omong-omong, yang kedua itu kau telah kalah dariku."
"Ya, kau rajanya pembual."
"Lagi pula..." aku mendekat dan berbisik. Hanya aku dan jendral Erlang yang boleh mendengarnya. "Seandainya pun ada yang ingin kudepak itu adalah kau bang. Bukankah aku adalah administrator utama dimasa lalu?"
"Si bajingan ini."
Aku menghindar tepat waktu saat jendral Erlang hendak membekukku. Aku tidak bisa menahan godaan untuk terbahak. Aku berbalik, meninggalkan Jendral Erlang di tempatnya.
"Bocah nakal kembali kau!"
Sebagai jawaban aku mengangkat sebelah tangan.
Aku masih tertawa ketika berpapasan dengan seorang gadis yang mengenaliku.
"Kak Dewandaru?"
"Ah, yak, Ji-La kan?" Pelajaran pertama untuk memenangkan hati wanita, jangan pernah lupakan nama mereka. "Apa kabar?"
"Baik kak, kok ada kakak?"
Aku angkat bahu. "Eh, mau kemana kok kelihatan buru-buru?"
"Ke lapangan, katanya ada yang menantang wakil admin, kita semua penasaran memangnya siapa yang berani menantangnya?"
Aku mengangguk. "Kalau begitu, Ji-La yang manis bertaruh di sisi yang mana?"
"Aku harus lihat dulu siapa lawannya."
"Kusarankan jangan pilih Ren Ren itu."
"Lah memangnya kenapa?"
"Karena dia akan kalah."
Area penonton sudah dipadati orang-orang yang penasaran, sungguh berita ini menyebar sangat cepat seperti wabah. Gumaman dan bisik-bisik berdengung. Beberapa gadis di kerumunan menyerukan nama Ren dan bersorak sorai meski pemuda itu bersikap dingin.
Sudah jelas duel spektakuler ini ide sinting jendral Erlang. Phoenix tampak berdebat dengannya tapi pada akhirnya mau duduk di kursi kehormatan.
"Bolehkah aku lewat sini nona-nona?" Ucapku dengan nada sedikit menggoda.
"Ah, eh... ya silakan."
"Kakak baru disini ya? Kami pertama kali melihatmu, ya kan?"
Gadis-gadis lain yang diajaknya bicara mengangguk gugup dan tidak pula memandangku.
"Aku tiba kemarin siang." jawabku. "Bolehkah aku permisi dulu?"
"Ah tunggu," Gadis ini menahan lenganku, "Tinggalah dengan kami, kita lihat duelnya dari sini. Bukankah kita dapat posisi yang bagus?"
"Aku mau-mau saja tapi sepertinya sebentar lagi seseorang akan mencariku."
"Begitukah?"
"Bocah nakal dimana kau, ayo masuk!" Melalui pengeras, suara jendral Erlang menusuk telingaku seperti tombak petir, sampai-sampai aku meringis. Meskipun dia tidak menyebutkan nama, aku tahu akulah yang dimaksud.
Gadis ini akhirnya mengalihkan perhatian dariku dan berkata pada teman-temannya. "Masih belum muncul kah orang itu?"
"Mungkin dia menciut."
"Kalau Ren begitu hebat bukankah sebaiknya orang itu kabur?" kataku.
"Itu benar-benar pecundang."
Aku menjentik kan jari. "Tepat sekali, sampai jumpa lagi kalau begitu?" Aku menyampirkan satu tangan di dada lalu membungkuk.
"Bocah..." Jendral Erlang bersiap memanggilku lagi saat dia melihatku di sisi lain arena. "Nah para hadirin, nampaknya penantang kita sudah tiba."
Disaksikan hadirin, aku membawa diri memasuki arena. Keadaan di sekitarku berubah senyap sampai nyaris rasanya langkah langkahku bergema. Aku menapaki beberapa anak tangga seirama dengan detak jantungku. Pedang Phoenix terasa berat digenggamanku.
Aku legenda gilda Phoenix, dengan gagasan itu aku mengenyahkan ide pergi ke toilet untuk buang air karena Jendral Erlang pasti akan menyeret bokongku sampai aku bersedia melawan Ren.
Praktisnya Ren lah yang benar-benar menantangku jika keadaannya tidak diplintir om-om merepotkan itu. Rupanya Jendral Erlang memang sudah merencanakan ini dan sekarang berhasil dengan amat gemilang.
"Katakan peraturannya Jendral," Renn berkata, begitu aku berdiri tepat di hadapannya.
Jendral Erlang berseru. "Kagak susah, yang pertama tumbang dialah yang kalah."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!