NovelToon NovelToon

Mergence: Titik Katalis Dunia

Chapter 1. Retakan di langit

Kael Rynhardt tak pernah menyangka hidupnya akan berakhir di reruntuhan. Sebagai seorang insinyur perangkat mekanik, kesehariannya selalu diisi dengan mesin-mesin berkarat dan suara dengung alat berat di distrik industri Novaris. Ia bukanlah seorang tokoh besar atau pahlawan legendaris—ia hanya pria biasa yang mencoba bertahan hidup di dunia yang semakin keras.

Dunia ini sudah lama menunjukkan tanda-tanda kehancuran. Pemanasan global, ketimpangan sosial, dan ketegangan geopolitik semakin memuncak. Namun, meski dunia tampak berada di tepi jurang kehancuran, Kael tetap percaya bahwa solusi akan selalu ditemukan. Ia percaya pada sains dan teknologi, seperti ayahnya dulu.

Ayah Kael, Dr. Elias Rynhardt, adalah seorang ilmuwan yang dihormati. Ia bekerja untuk sebuah proyek rahasia pemerintah yang disebut Project Nexus, sebuah inisiatif yang bertujuan membuka portal ke dimensi lain untuk mencari sumber energi baru. Kael ingat betul bagaimana ayahnya sering berbicara tentang "masa depan yang lebih cerah" di meja makan mereka. Namun, harapan itu pupus pada suatu malam, ketika Elias ditemukan tewas dalam ledakan misterius di laboratoriumnya.

Kematian ayahnya meninggalkan luka mendalam dalam hidup Kael. Ia tumbuh dengan rasa benci terhadap proyek-proyek pemerintah yang selalu mengorbankan manusia demi ambisi mereka. Namun, rasa bencinya itu juga mendorongnya untuk mengikuti jejak ayahnya, menjadi seorang insinyur yang berdedikasi untuk menciptakan teknologi yang membantu masyarakat, bukan menghancurkannya.

Di usia 28 tahun, Kael tinggal sendirian di sebuah apartemen sempit di distrik industri. Ia bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi alat berat, jauh dari sorotan dunia. Namun, ia merasa puas dengan kehidupannya yang sederhana. Baginya, dunia yang penuh kekacauan ini hanyalah teka-teki besar yang suatu saat akan ia pecahkan—seperti mesin yang rusak.

Pada malam ketika segalanya berubah, Kael sedang bekerja lembur di bengkel bawah tanah pabriknya. Udara dingin membawa bau logam dan oli, sementara suara dentingan palu dan dengung bor memenuhi ruang itu. Ia sedang mencoba memperbaiki salah satu mesin yang rusak ketika ia merasa tanah di bawah kakinya bergetar.

"Gempa?" gumamnya, meletakkan alat yang ia pegang. Namun, getaran itu semakin kuat, disertai suara gemuruh yang terdengar dari luar.

Kael bergegas keluar dari bengkel dan mendongak ke langit. Apa yang ia lihat membuatnya terpaku. Langit malam yang biasanya gelap dipenuhi oleh retakan bercahaya biru terang, seperti cermin yang pecah. Dari retakan itu, semburan cahaya dan energi aneh mengalir, menciptakan aurora yang menari-nari di udara.

Ketika ia masih memandang dengan takjub, sesuatu muncul dari dalam retakan itu—sebuah kapal raksasa berbentuk organik, tampak seperti perpaduan teknologi dan makhluk hidup. Kapal itu perlahan melayang turun, memancarkan cahaya hijau yang tampak mematikan.

Kael merasakan ketakutan merayap di punggungnya. Bukan karena pemandangan aneh itu, tetapi karena firasat yang mengerikan. Ia mengenali pola energi yang dipancarkan kapal itu. Pola yang sama pernah ia lihat di buku catatan ayahnya, ketika ia secara diam-diam mempelajari proyek Nexus.

"Ayah... ini semua karena proyek itu, bukan?" bisiknya, suaranya gemetar.

Langit terus memuntahkan kehancuran. Gelombang energi dari kapal itu menyapu kota, memadamkan semua listrik dan membuat teknologi modern menjadi tidak berguna. Bangunan-bangunan runtuh, tanah merekah, dan dari dalamnya muncul akar-akar bercahaya yang tampak hidup. Dunia manusia mulai berubah, seperti ditelan oleh sesuatu yang asing.

Kael hanya bisa berdiri di tengah kekacauan itu, hatinya dipenuhi rasa bersalah. Ia tahu bahwa ayahnya, meskipun telah tiada, mungkin memiliki andil dalam bencana ini. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa hanya berdiri diam. Dunia sedang berubah, dan ia harus menemukan caranya sendiri untuk bertahan hidup—atau setidaknya, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Dengan tekad yang mulai muncul dari dalam dirinya, Kael berlari menuju apartemennya. Di sana, ia menyimpan buku catatan tua milik ayahnya—satu-satunya petunjuk yang mungkin dapat menjelaskan bencana ini. Apa pun yang terjadi, ia harus menemukan jawabannya. Dunia ini mungkin hancur, tetapi Kael Rynhardt tidak akan membiarkan kehancuran itu menjadi akhir segalanya.

Di langit, retakan biru semakin membesar, dan di bawahnya, dunia mulai berubah menjadi sesuatu yang tidak pernah dibayangkan siapa pun. Namun, di tengah kehancuran itu, perjalanan seorang pria biasa dimulai—sebuah perjalanan yang akan menentukan nasib dua dunia.

Kael membuka pintu apartemennya yang kecil dan sempit, dindingnya penuh dengan coretan peta-peta tua dan sketsa mekanik yang ia buat sendiri. Namun, malam itu, ruangannya terasa lebih sempit, seperti dihimpit oleh kehancuran yang terjadi di luar. Ia meraih laci di bawah mejanya, mengeluarkan sebuah buku catatan tua dengan sampul kulit yang sudah kusam. Di sudut kanan bawah buku itu, inisial “E.R.”—Elias Rynhardt—tertulis dengan tinta emas yang hampir pudar.

Kael duduk di lantai, membuka halaman pertama buku catatan itu. Tulisannya berisi diagram dan catatan rumit tentang energi dimensi, portal antar-dunia, dan sebuah proyek bernama Nexus Collider. Di tengah halaman, ada satu frasa yang dilingkari berkali-kali oleh ayahnya: “Energi Interaksi Dimensi Tidak Stabil.”

"Ini semua karena itu," gumam Kael, matanya terpaku pada catatan itu. “Ayah benar-benar berhasil, tapi dia juga menghancurkan semuanya…”

Sebelum ia sempat membaca lebih jauh, suara ledakan besar mengguncang gedung apartemennya. Dinding-dinding bergetar, dan beberapa rak di dekatnya roboh, menumpahkan buku-buku dan alat ke lantai. Kael segera menyambar tasnya, memasukkan buku catatan ayahnya, beberapa alat mekanik, dan botol air sebelum berlari keluar.

Di lorong gedung, ia melihat para tetangga berlarian, beberapa menjerit histeris. Jendela besar di ujung lorong pecah, dan dari sana, Kael melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan.

Di luar, jalanan kota Novaris sudah tidak lagi tampak seperti dunia yang ia kenal. Sebagian besar bangunan runtuh, tertutup debu tebal yang bercampur dengan cahaya biru yang aneh. Di tengah jalanan, akar-akar bercahaya menjalar, memecah aspal dan memunculkan struktur yang tampak seperti cangkang kristal. Di kejauhan, makhluk-makhluk humanoid bersinar perak berjalan dengan langkah kaku, seolah mencari sesuatu.

Kael menatap makhluk itu dengan napas tertahan. Ini bukan makhluk buatan manusia, pikirnya. Bahkan teknologi tercanggih di dunia pun tidak dapat menciptakan sesuatu seperti ini. Namun, firasat buruknya semakin kuat saat ia melihat salah satu makhluk itu mengangkat tangan, memancarkan semburan energi biru yang menghancurkan sebuah gedung tinggi dalam sekejap.

“Kau tidak akan bertahan lama jika hanya berdiri di sana.”

Suara itu membuat Kael menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang wanita dengan rambut perak yang bersinar seperti cahaya bulan.

Chapter 2. Percikan Ditengah Reruntuhan

“Kau tidak akan bertahan lama jika hanya berdiri di sana.”

Suara itu membuat Kael menoleh. Di belakangnya, berdiri seorang wanita dengan rambut perak yang bersinar seperti cahaya bulan. Pakaian lusuh namun bercahaya yang ia kenakan membuatnya tampak seperti berasal dari dunia lain. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah tongkat panjang dengan kristal bercahaya di ujungnya.

“Siapa kau?” Kael bertanya dengan nada gugup.

“Namaku Lysara,” jawabnya singkat. “Aku berasal dari dunia yang sekarang sudah mati. Dunia ini akan bernasib sama jika kita tidak segera bertindak.”

Kael mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Apa hubungan semua ini dengan proyek Nexus?”

Lysara menatapnya tajam, seperti melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. “Jadi kau tahu tentang Nexus? Itu menjelaskan banyak hal. Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan semuanya, tapi dengar ini: dunia kita tidak seharusnya bertemu. Retakan itu bukan hanya bencana—itu panggilan.”

“Panggilan? Dari siapa?”

Lysara tidak sempat menjawab. Salah satu makhluk bercahaya tadi sudah memperhatikan mereka. Makhluk itu berbalik dengan gerakan tiba-tiba, matanya yang bercahaya biru terang terkunci pada mereka.

“Kita harus pergi sekarang!” seru Lysara, menarik lengan Kael.

Kael tersentak, tapi ia tidak punya waktu untuk protes. Bersama-sama, mereka berlari menuruni jalan yang penuh reruntuhan, menghindari makhluk-makhluk yang mulai mengejar mereka. Setiap kali makhluk itu memancarkan semburan energinya, Lysara mengangkat tongkatnya, menciptakan perisai energi yang menahan serangan tersebut.

“Apakah tongkat itu semacam teknologi?” tanya Kael sambil terus berlari.

“Sihir,” jawab Lysara singkat.

Kael hampir tersandung mendengar jawaban itu. Ia ingin membantahnya, tapi situasi ini tidak memberikan ruang untuk debat.

Setelah berlari tanpa henti, mereka sampai di sebuah gedung tua yang sebagian besar sudah runtuh. Lysara mendorong pintu yang setengah hancur, membawa mereka masuk ke dalam ruang bawah tanah yang gelap.

“Kita aman untuk sementara,” katanya sambil menyalakan kristal di tongkatnya, menerangi ruangan kecil itu.

Kael duduk di lantai, mencoba mengatur napas. “Kau bilang dunia kita tidak seharusnya bertemu. Lalu bagaimana ini bisa terjadi?”

Lysara menatapnya serius. “Karena seseorang mencoba memainkan peran sebagai dewa. Dunia kita, Orania, dihancurkan oleh eksperimen yang sama. Aku datang ke sini untuk memperingatkan kalian, tapi sudah terlambat. Portal itu sudah terbuka, dan sekarang kedua dunia ini terikat. Dan ketika dua dunia tidak bisa hidup berdampingan, hanya satu yang akan bertahan.”

Kael terdiam, pikirannya berputar-putar. Apakah ayahnya tahu ini semua akan terjadi? Apa hubungannya dengan kematian ayahnya?

Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, tanah di bawah mereka bergetar lagi. Lysara berdiri cepat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

“Mereka menemukan kita,” katanya.

Kael menatap Lysara dengan tekad baru. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?”

Lysara mengangkat tongkatnya, dan kristal di ujungnya berkilau lebih terang. “Kita melawan, atau kita mati.”

Kael dan Lysara berlari keluar dari ruang bawah tanah, menuju lorong sempit yang hanya diterangi oleh kilau kristal di ujung tongkat Lysara. Setiap langkah mereka bergema dalam keheningan yang mencekam, sementara suara gemuruh dari luar semakin keras, menandakan kedekatan makhluk-makhluk bercahaya yang kini mengepung kawasan kota.

Kael merasa setiap serat tubuhnya tegang. Adrenalin mengalir deras, dan meskipun rasa takut meliputi dirinya, ada sesuatu yang lain—sebuah dorongan yang tidak bisa ia jelaskan. Sesuatu dalam dirinya merasa terhubung dengan dunia yang tengah berubah ini. Dunia yang, meskipun penuh kehancuran, juga menawarkan sebuah misteri yang belum terpecahkan.

Lysara bergerak cepat di depan, matanya tetap fokus ke depan, meski mereka tahu bahwa mereka dikejar. "Jangan berhenti," katanya, nadanya datar, namun penuh ketegasan.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Kael, hampir tersandung saat berlari.

Lysara tidak menoleh, tetapi suaranya tetap tenang. "Ada sebuah tempat, di luar kota. Sebuah tempat yang aman—untuk sementara."

"Tempat aman? Di tengah kekacauan ini?" Kael mengernyit, hampir tidak bisa mempercayai kata-katanya. Bagaimana mungkin ada tempat yang aman ketika seluruh dunia sudah runtuh?

Namun, ia tahu saat itu bukan waktu untuk bertanya lebih banyak. Mereka sampai di ujung jalan, dan di sana berdiri sebuah kendaraan besar, terlihat seperti sebuah alat transportasi militer, tetapi jauh lebih kuno dan memiliki elemen-elemen organik yang tidak bisa ia pahami. Kendaraan itu dipenuhi dengan orang-orang yang tampaknya sudah siap untuk berangkat.

Lysara langsung mendekat ke salah satu penumpang, seorang pria bertubuh besar dengan kulit hitam yang berkilau seperti batu obsidian. Kael mengenali pria itu sebagai salah satu penjaga yang dilatih di dunia Lysara.

“Kita harus pergi sekarang,” kata Lysara, suaranya tanpa emosi.

Pria itu mengangguk, membuka pintu kendaraan, dan memberi isyarat agar mereka naik. Kael melangkah ragu, namun Lysara sudah terlebih dahulu masuk, menariknya agar ikut. Begitu mereka berada di dalam, pintu kendaraan tertutup dengan cepat, dan mesin yang terdengar seperti desisan udara mulai hidup.

Di dalam kendaraan, Kael duduk di sebelah Lysara yang duduk dengan tenang, seolah-olah situasi ini bukanlah hal yang luar biasa. Di sekitar mereka, para penumpang lain—semuanya tampak seperti berasal dari dunia yang berbeda—berbicara dengan bahasa yang tidak Kael pahami. Beberapa mengenakan pakaian bersalut logam berkilauan, yang lain dengan jubah sederhana yang tampak kuno. Semuanya tampak siap untuk berperang.

Sementara kendaraan itu bergerak, Kael memandangi luar jendela. Di sana, reruntuhan kota Novaris semakin jauh, digantikan oleh padang luas yang dipenuhi oleh tanaman dengan akar bercahaya dan pohon-pohon besar yang tampaknya tidak berasal dari dunia ini. Begitu banyak hal yang tidak bisa ia jelaskan. Segalanya tampak asing, tapi juga familiar, seolah dunia ini adalah potongan puzzle yang hilang dari kehidupan sebelumnya.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," kata Lysara, menatap Kael dengan tajam. "Dunia ini tidak seperti yang kau kenal. Tidak lagi. Dunia kita—Orania—sudah punah karena kesalahan manusia. Sekarang, dunia kalian akan menjalani nasib yang sama."

Kael menelan ludah, kata-kata Lysara terasa seperti cambuk yang menyentuh kesadarannya. Dunia yang dikenalnya sudah tidak ada lagi, dan yang tersisa adalah kegelapan yang tak terduga. "Tapi… bagaimana dengan mereka? Mereka yang masih hidup di kota?"

Lysara menghela napas. "Hanya sedikit yang akan selamat. Dunia kita sudah dilahap oleh dimensi lain. Yang tersisa hanyalah kehancuran, dan kalian akan merasakannya juga."

Kael menatap ke luar jendela, tak tahu harus berkata apa. Ia sudah melihat bagaimana bangunan-bangunan besar runtuh, bagaimana teknologi yang mereka banggakan selama bertahun-tahun menjadi tak berarti di hadapan kekuatan yang tak terdefinisikan. Tapi masih ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikirannya.

"Apa yang menyebabkan semua ini? Mengapa dunia kita harus bertemu? Apa tujuan sebenarnya dari eksperimen Nexus itu?"

Lysara diam sejenak, lalu menoleh kepadanya. "Tujuan Nexus bukan untuk menyatukan dunia kita dengan dunia kalian. Tujuan mereka adalah untuk mengeksplorasi energi tak terbatas yang ada di dalam dimensi lain. Tetapi mereka tidak memperhitungkan bahwa setiap dimensi itu terhubung, dan energi yang diambil dari satu dimensi akan merusak keseimbangan di dimensi lainnya."

Kael berusaha memahami apa yang baru saja dikatakannya, tetapi semakin banyak ia mendengar, semakin banyak juga kebingungannya. "Jadi, mereka… mereka membukakan portal ini dengan tujuan mengambil energi?"

"Ya. Dan mereka tidak pernah memperhitungkan konsekuensinya. Sekarang dunia kalian sudah terikat dengan dunia kami, dan dunia yang lebih besar—yang tak terlihat oleh mata manusia—akan mulai bangkit. Dimensi ini bukan satu-satunya yang akan terpengaruh. Ada dimensi lain yang lebih gelap, lebih tua, yang mulai membanjiri kedua dunia."

Suaranya mulai terdengar lebih berat. Kael menyadari bahwa ancaman yang mereka hadapi jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Mereka bukan hanya menghadapi teknologi yang rusak, atau makhluk asing dari dunia lain. Mereka menghadapi kekuatan yang berasal dari jauh di luar batas pemahaman mereka—sesuatu yang jauh lebih tua dan lebih kuat.

Setelah beberapa jam dalam perjalanan, kendaraan itu berhenti di sebuah kawasan hutan yang dikelilingi oleh gunung-gunung besar. Tempat ini tampak jauh lebih aman, jauh dari kehancuran kota. Di sini, tidak ada tanda-tanda retakan biru yang memecah langit.

Namun, Kael tahu bahwa kedamaian ini hanya sementara. Dunia yang baru saja dimulai ini akan mengubah segalanya.

Lysara turun dari kendaraan, diikuti oleh Kael. Mereka berjalan menuju sebuah tempat terbuka di tengah hutan, di mana sebuah bangunan besar berdiri—terlihat seperti sebuah benteng kuno yang berasal dari dunia yang jauh berbeda. Kael merasakan getaran energi yang kuat di dalamnya. Di sinilah mereka akan memulai langkah mereka untuk menghadapi dunia yang kini terikat oleh takdir yang lebih besar.

"Kau siap?" tanya Lysara.

Kael mengangguk, meski dalam hatinya, ada ketidakpastian. Tapi satu hal yang ia tahu: perjalanannya baru saja dimulai, dan apa pun yang terjadi, ia tidak bisa mundur.

Chapter 3. Sisa Reruntuhan Dunia Lain

Kael melangkah mengikuti Lysara ke dalam benteng yang tampak seolah ditelan oleh waktu. Bangunan itu berdiri kokoh, meskipun tampak telah lama ditinggalkan. Dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran asing, dan udara di sekitar tempat itu terasa berbeda—berat, penuh dengan energi yang membuat Kael merinding. Tempat ini bukan sekadar tempat perlindungan. Ini adalah pusat kekuatan, tempat yang sepertinya telah lama dilupakan oleh dunia.

"Ini adalah markas terakhir kami," kata Lysara, suaranya teredam dalam keheningan yang tebal. "Tempat ini dibangun jauh sebelum dunia kami hancur. Kami menyebutnya Eryndor. Ini adalah tempat perlindungan bagi mereka yang selamat dari kehancuran Orania."

Kael melirik ke sekeliling. Benteng ini tidak tampak seperti tempat tinggal bagi orang-orang yang terperangkap dalam kehancuran. Justru, semakin ia mengamati, semakin ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik tempat ini—sesuatu yang berhubungan dengan retakan yang menghancurkan dunia mereka.

Mereka melangkah melewati pintu besar yang terbuka otomatis, menuju ke ruang tengah yang luas. Di sana, sekelompok orang dengan pakaian seragam pelatihan militer sedang duduk, beberapa di antaranya tampak sedang berbicara dengan serius, sementara yang lainnya mempersiapkan persenjataan. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Kael—di tengah ruangan, sebuah altar besar dengan ukiran yang serupa dengan yang ada di luar benteng, memancarkan cahaya biru redup.

"Tempat ini berfungsi lebih dari sekadar perlindungan," kata Lysara saat ia menuntun Kael lebih dekat ke altar. "Di sini, kami menjaga *Pintu Kehancuran*. Sebuah portal yang lebih tua dari Nexus. Ini adalah pintu menuju dimensi yang jauh lebih gelap—dimensi yang tidak pernah seharusnya dibuka."

Kael menatap altar itu, merasakan kekuatan aneh yang memancar darinya. "Pintu Kehancuran?" tanyanya, suara Kael bergetar sedikit. "Jadi, kalian tahu tentang ini sejak lama?"

Lysara mengangguk. "Kami tahu bahwa ada entitas di balik semua ini. Entitas yang tidak hanya ingin menghancurkan dunia kami, tetapi juga mengambil alih dunia kalian. Dulu, kami berusaha untuk menutupnya. Tapi kekuatan yang terkandung di dalamnya jauh lebih besar dari apa yang bisa kami tangani. Dan sekarang, retakan itu telah membuka segalanya."

Kael menggigit bibirnya, berpikir sejenak. "Jadi, semua ini dimulai dengan proyek Nexus. Orang-orang di dunia kami mencoba mengeksplorasi energi dari dimensi lain, dan mereka tanpa sengaja membuka portal ini?"

"Benar," jawab Lysara. "Tapi mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mereka hanya melihat energi sebagai sumber kekuatan yang tidak terbatas, dan tidak memperhitungkan akibatnya. Mereka terobsesi dengan penguasaan, dan kini, mereka telah memanggil sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan."

Kael merasa amarah tumbuh di dalam dirinya. "Jadi, semua ini—kehancuran yang terjadi, dunia yang hancur—semua salah mereka?"

Lysara menatapnya dengan tajam, matanya penuh penyesalan. "Bukan hanya salah mereka. Kami juga ikut terlibat. Proyek Nexus itu diciptakan oleh para ilmuwan kami, yang merasa bisa mengendalikan kekuatan itu. Mereka membuka portal, tetapi entitas yang ada di dalamnya—sesuatu yang kami sebut *Nyx*—adalah kekuatan yang tidak bisa dipahami. Ketika mereka menghubungkan dunia kami dengan dunia kalian, Nyx menggunakan kesempatan itu untuk masuk."

Kael tidak bisa berkata apa-apa. Ia merasa seolah-olah seluruh hidupnya telah dibentuk oleh keputusan-keputusan yang salah, baik oleh ayahnya, pemerintah, maupun para ilmuwan lainnya. Tapi di hadapannya kini, ia tidak bisa lari dari kenyataan—dunia yang dikenalnya sedang hancur, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah menghadapi ancaman yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.

"Sekarang, kita harus menutup portal ini," kata Lysara. "Tapi itu tidak mudah. Nyx telah mempengaruhi dimensi ini. Dan semakin lama kita membiarkannya, semakin kuat pengaruhnya. Dunia kalian dan dunia kami... akan terhubung sepenuhnya, dan tidak ada yang akan bisa menghentikan kehancuran."

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kael, merasa bahwa ini adalah titik tanpa balik. Jika ia ingin bertahan hidup, jika ia ingin menyelamatkan dunia yang tersisa, ia harus melangkah lebih jauh daripada yang ia bayangkan.

Lysara mengangkat tangannya, menunjuk altar. "Ada kekuatan di dalam altar ini yang bisa menutup portal, tetapi untuk melakukannya, kita membutuhkan dua hal: pengorbanan dan waktu. Dan kami tidak punya banyak waktu."

Kael mengerutkan kening. "Pengorbanan? Apa maksudmu?"

Lysara menarik napas dalam-dalam, lalu menatap Kael dengan serius. "Untuk menutup portal ini, seseorang harus memberikan sebagian dari dirinya—sebuah jiwa. Jiwa yang tak terikat oleh dimensi ini. Itu artinya, satu di antara kita harus siap mengorbankan diri mereka."

Kael merasa darahnya seperti membeku. "Apa—apa yang kau maksud? Jika seseorang harus mengorbankan jiwa mereka, siapa yang akan melakukannya? Kami... kita tidak bisa membiarkan itu terjadi."

"Tidak ada pilihan lain," jawab Lysara dengan suara pelan namun penuh keyakinan. "Kau tahu lebih baik daripada siapa pun bahwa jika kita membiarkannya, dunia kita akan hancur. Semua orang di dunia kalian akan jatuh ke dalam kegelapan yang tidak terbayangkan. Tapi jika kita menutup portal ini, satu dunia akan selamat."

Kael merasa hatinya terhimpit. Bagaimana bisa ia memilih antara hidup dan mati? Ia tidak tahu siapa yang harus menjadi pengorbanan itu, tapi satu hal yang jelas—jalan keluar dari kehancuran ini bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh tanpa harga yang sangat tinggi.

Di luar, langit kembali bergetar, dan Kael bisa merasakan getaran yang semakin kuat, semakin dekat. Dunia ini sedang terikat pada sesuatu yang lebih besar dan lebih jahat daripada yang bisa ia bayangkan. Dan dalam waktu yang sangat singkat, mereka harus membuat pilihan yang akan menentukan takdir dunia mereka—dan mungkin takdir dunia lain.

Saat mereka berbalik, suara gemuruh itu semakin keras. Pintu Kehancuran terbuka, dan dari dalamnya, sesuatu yang lebih gelap mulai merembes keluar—sesuatu yang tidak akan bisa mereka hentikan, kecuali dengan harga yang sangat tinggi.

Kael berdiri di depan altar yang berkilau, matanya terpaku pada medan energi yang memancar dari dalamnya. Getaran dari luar semakin mendekat—sebuah konvergensi antara dunia yang terancam hancur dan sesuatu yang jauh lebih gelap. Dunia mereka kini benar-benar berada di ambang kehancuran, dan Kael tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghindari malapetaka adalah dengan menutup Pintu Kehancuran. Namun, harga yang harus dibayar begitu tinggi—sebuah pengorbanan jiwa.

Lysara berdiri di sampingnya, wajahnya tampak serius. "Kael, ini tidak mudah. Aku tahu kamu masih ragu, tapi ini satu-satunya cara kita bisa mengakhiri semua ini."

"Jadi, siapa yang akan mengorbankan dirinya?" Kael bertanya, suaranya bergetar. Ia tidak ingin mendengar jawaban yang sudah ia takutkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!