"Assalamualaikum." Adiba mengucap salam seraya melangkahkan kakinya memasuki rumah.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh," sahut beberapa suara dari dalam.
Adiba tertegun, melihat tamu yang tidak ia kenal. Ia berpikir, pastilah itu teman bapaknya. Pak Mustofa, atau malah bundanya, Bu Sawitri. Tapi ada yang aneh, mereka terlihat sangat antusias menatap nya. Dan bundanya itu, sangat tak biasa menyambut dengan wajah yang sangat cerah.
"Nah, ini anaknya, baru pulang sekolah," seru Bu Sawitri berdiri dan menarik Adiba duduk sisinya. Adiba menurut saja walau ia menatap bingung.
"Ini Adiba. Adiba Khanza Az-Zahra. Tahun ini 18 tahun. Bulan tujuh."Bu sawitri memperkenalkan, seraya tangannya memegang lembut bahu Diba.
Adiba menatap bingung bunda dan ayahnya. Ia berganti memandang tamu-tamu yang duduk di seberang sana. Seorang pria muda berusia sekitar 28 tahun, tampan, dan berkulit putih. Jika tersenyum langsung tampak lesung pipinya.
Sepasang paruh baya yang duduk mengapit pria muda itu. Yang wanita berwajah teduh, berpakaian serta berhijab lebar, dan yang pria berwibawa dan tampak sangat religius. Terlihat mereka dari keluarga terpandang dan agamis tentunya.
Adiba berganti memandang kedua orang tuanya dengan kebingungan yang memuncak.
"Ada apa ini, Bunda, Ayah?" tuntutannya meminta penjelasan.
Bu Sawitri tersenyum membalas pandangan anak gadisnya. Sembari tangannya mengusap lembut kepala Adiba.
"Adiba, beliau-beliau ini datang dari Pakis." Pak Mustofa mulai menjelaskan.
"Beliau ini namanya Kyai Rauf dan istrinya Nyai Atiyah," lanjut pak Mustofa menunjuk sepasang paruh baya dengan jempolnya. Kyai Rauf dan Nyai Atiyah tersenyum hangat. Adiba membalas walau bingung apa yang terjadi.
Lalu pandangan mata pak Mus berganti pada pria muda yang duduk di tengah. "Dan yang ini, namanya mas Satria Habiburrahman. Usianya 28 tahun dan masih lajang. Maksud kedatangan mereka ini untuk melamar kamu, Adiba."
"Apa?" Seketika Adiba berdiri.
Bu Sawitri tersenyum kikuk, merasa tak enak karena reaksi Diba yang dianggap berlebihan.
"Diba, duduk. Duduk dulu, nak," suruhnya menarik tangan sang anak agar duduk kembali.
Diba masih sangat syok dan tak percaya. Ia merendahkan tubuhnya lagi sampai bokong menyentuh sofa.
"Nak Diba pasti kaget sekali ya?" Nyai Atiyah tersenyum lembut pada gadis yang masih memakai seragam SMA itu.
"Kami tidak langsung meminta jawaban. Nak Diba bisa istiqarah dulu."
Diba diam karena masih sangat syok dirinya dilamar. Bagaimana bisa ia dilamar seorang ustadz?
***
Adiba memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Ia tak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang langsung menerima lamaran dari pihak Kyai Rauf. Aneh bukan? Seorang dari keluarga terpandang tiba-tiba datang dan melamarnya. Dia hanyalah seorang gadis yang baru berusia 18 tahun. Baru saja lulus sekolah dan akan menikmati indahnya masa kuliah. Kenapa tiba-tiba ada yang melamarnya? Yang lebih mencengangkan lagi kedua orangnya langsung setuju, meski Adiba sudah menolak mentah-mentah.
"Ya ampun keluarga itu. Apa mereka kekurangan calon wanita Solehah sampai melamar gadis sepertiku?" gumam Adiba tak habis pikir."Ini sangat aneh, aneh banget. Apa pria itu punya kelainan?"
Adiba sudah memikirkan yang tidak-tidak. Ditambah lagi ia sudah berpacaran dengan Arga. Cowok yang sudah lama ia sukai dan kagumi.
"Aarrggg! Gimana nih? Mana Ayah sama Bunda asal nerima aja lamaran mereka." Adiba bergumam makin kesal dan frustasi. Gadis itu terus mengacak rambutnya.
Adiba berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Otaknya terus berpikir mencari jalan keluar. Saat terlintas satu ide, Adiba menjentikkan jarinya. "Aku ke rumah Yana saja sekarang."
Gegas Adiba menyambar jaket dan kunci motor. Tak lupa ia meminta uang bensin pada bundanya.
"Mau kemana?" Bu Sawitri bertanya seraya mengambil uang lima puluh ribu dari dompet berlogo sebuah toko emas.
"Ke rumah Yana, bun," sahut Diba tanpa berdusta.
"Jangan main terus, pulang sebelum magrib!" pesan Bu Sawitri mengulurkan yang langsung disambar Diba.
"Iya, bunda. Diba pergi dulu," pamit Diba mencium tangan bundanya.
Diba menarik tuas gas motor matiknya ke rumah Yana, sahabat dekatnya. Sesampainya di rumah Yana, gadis yang memakai jilbab bergo warna coklat susu itu melongo mendengar Adiba telah dikitbah seorang pria tak dikenal.
"Yang benar? Kamu dikhitbah?" seru Yana masih tak percaya. Matanya sampai berkedip beberapa kali saking tak percayanya. Diba yang blangsak tiba-tiba dilamar seorang pria alim? Entah kemana mata orang alim itu. Ya memang sih, Diba cantik. Tapi, bukan itu yang jadi tolak ukur mereka, melainkan akhlak nya.
"Kondisikan tuh mulut, ntar lalet masuk lagi," Gerutu Adiba mengibaskan tangan di depan wajah Yana,"Lagian khitbah apaan, sih?"
"Ya dilamar. Katamu, kamu dilamar sama cowok alim. Siapa namanya?" tanya Yana sembari menyedot es teh di gelasnya.
"Satria," jawab Diba malas. Menarik gelas di depan Yana dan ikut menyeruput.
"Ooohh, satria." Yana manggut-manggut."Terus Arga mau kamu gimanain?"
"Iihh, ya itulah yang aku pusingin. Bantuin dong!" ujar Adiba mengacak rambut frustasi.
"Kamu mau aku bantuin apa?"
"Ya bantuin apa kek, mikir kek. Nyingkirin Mas Satria kek, apapunlah!" rajuk Diba cemberut. "Yang penting aku nggak jadi nikah sama si Satria itu."
“Kalau aku sih, memding sama Si Satria itu, Diba. Udah jelas dia ada maksud baik dengan melamar kamu. Daripada sama Arga, Apalagi dia itu…” Yana tidak menyelesaikan kata-tanya karena ia sendiri masih ragu.
“Arga kenapa? Aku sih Ogah sama Si Satria itu. Masih belum jelas juga bagaimana orangnya. Kalau Arga kan, aku udah tau bagaimana orangnya, udah kenallah!” sambar Adiba mempertahankan pemikiran ya.”Entar ajalah ngomongin Arga. Yang penting gimana caranya nyingkirin Satria.”
Yana tak lantas melanjutkan kalimatnya karena sudah dipotong oleh Adiba.’ Biarlah urusan Arga nanti saja, lagipula mungkin saja aku salah lihat waktu itu," batin Yana. Ia memilih diam dan ikut memikirkan menyingkirkan Satria saja.
"Siapa nama calonmu? Maksudku yang maksa nglamar kamu itu." Yana mengoreksi karena mendapat pelototan dari Adiba.
"Kan udah kubilang tadi, Satria!" tukas Adiba jengkel.
"Ya maksudnya, nama panjang dia, orang mana? Terus gimana orangnya, kek gitu-gitulah," ujar Yana lebih menjelaskan maksudnya.
"Mmmm... Namanya Satria Habiburrahman, udah tua, 28 tahun. Orang Pakis," jawab Adiba malas. Mata Yana melebar seketika, tubuh gadis itu condong ke arah Adiba dan mencengkram tangannya.
"Maksud mu, Ustadz Satria? Anaknya Kyai Rauf?" Mata Yana melebar tak percaya.
Dahi Adiba mengernyit, "Kok kamu tau?"
"Gila! Nggak kaleng-kaleng yang nglamar kamu, Adiba!" ujar Yana sambil tangannya menggoncangkan tubuh sahabatnya itu.
"Maksudnya?" Adiba makin tak mengerti dan menepis tangan Yana. Pusing kepalanya digoncang sedemikian kuatnya oleh sang sahabat.
Yana pun mulai menuturkan tentang ustadz Satria yang ia ketahui. Mulai dari seorang anak Kyai yang memiliki pondok pesantren yang cukup kondang. Sampai seberapa berkarisma dan hebatnya Ustadz Satria. Terlihat jelas jika Yana sangat mengagumi ustadz tersebut.
"Kamu tau kenapa beliau nglamar kamu?"
"Kamu tau kenapa beliau nglamar kamu?" tanya Yana antusias.
"Ya nggak Taulah." Adiba mengangkat bahu.
"Kamu nggak nanyain?" Yana makin penasaran.
"Nggak. Ngapain? Isshh, itu nggak penting. Yang penting sekarang, gimana caranya supaya dia membatalkan lamarannya. Udah itu aja. Ayah sama Bunda udah terlanjur mengiyakan. Dan kami diberi waktu dua minggu untuk saling mengenal," jelas Adiba panjang lebar,"Jadi, selama dua minggu itu, lamaran harus batal dan jangan sampai Arga tau."
"Terus kamu kemari buat nyari solusi, kan?"
"Aku datang kemari buat ngajak kamu ke rumah si Satria itu," tegas Adiba sangat yakin.
Akhirnya, Yana menemani Adiba ke desa Pakis. Perjalanan ke sana ditempuh kurang lebih satu jam. Melalui jalan yang berliku, menikung, menanjak dan beberapa turuan. Di sisi kiri dan kanan kebanyakan masih berupa ladang, persawahan dan hutan jati.
"Cukup seram jika lewat sini di malam hari," celetuk Yana di tengah perjalanan, sambil bergidig ngeri. Ia yang membonceng di belakang.
"Makanya aku ngajakin kamu pagi gini. Biar nanti sebelum sore kita sudah pulang," sahut Adiba yang tengah mengendarai motornya. Tetap fokus di depan tanpa menoleh.
Sesampainya di desa Pakis, Adiba dan Yana masih harus mencari di mana Rumah Satria atau rumah kyai Rauf. Adiba mencoba mencari warga sekitar untuk ditanyai. Sayangnya ia tak menjumpai. Sampai, mereka masuk lebih dalam ke desa Pakis dan melihat beberapa santri. Adiba pun memutuskan untuk bertanya, karena ia sudah malas jika harus tersesat.
"Oohh, rumah Ustad Satria?" sahut seorang pemuda tanggung.
"Iya, iya." Angguk Adiba antusias. Sangat berharap nantinya dapat petunjuk dan bisa bertemu si ustadz.
Santri itu memindai Adiba yang hanya mengenakan kaus putih bergambar tengkorak dan celana jeans yang robek di bagian lututnya. Rambut Adiba pun tampak hanya di Cepol tanpa memakai jilbab seperti Yana yang lebih sopan dan tertutup. Aneh, gadis seperti ini mencari Satria.
"Ada perlu apa, mbak sama ustadz Satria?" tanya pemuda itu sopan.
Adiba menghela napas frustasi mendengar pertanyaan yang seperti ikut campur itu. "Tinggal kasih tau ajalah, mas. Kami nggak ada niat jelek kok," sahutnya menggerutu dan bermuka masam.
"Udah WA beliau?"
Adiba makin dibuat kesal oleh pertanyaan itu. Jika ia punya nomor kontaknya, tak perlu ia susah-susah mencari seperti ini.
"Aku nggak punya nomornya, Mas," ujar Adiba jengkel. Yana malah terkikik,"Aneh kamu emang. Masa nomor calon suami sendiri nggak punya?" ledeknya menutup mulut menahan tawa.
"Diemlah kamu." Adiba mendelik kesal sama temannya.
"Ada apa, Cil?" Suara tanya dari salah satu teman santri yang Adiba tanya, di kejauhan.
"Ini Yas, ada yang nyariin Ustadz Satria," sahut yang disebut Cil.
"Eeh, tamunya Ustadz Satria." Santri yang disebut Yas itu mendekat. "Kok malah dibiarin berdiri di situ. Mari neng, sini!" seru Yas. Adiba melengos, dengan cepat menaiki motor matiknya di susul Yana mengikuti Yas.
Yas membawa Adiba masuk ke perkampungan yang cukup padat penduduknya untuk ukuran desa. Meski masih tampak tanah lapang di sana sini. Mereka lalu menyusuri jalan yang dicor beton dan berakhir pada sebuah rumah yang di depannya terdapat pohon mangga.
Rumah bergaya Limasan dengan lantai yang berkeramik merah bata dan tanaman hias di pinggiran terasnya, itu terasa begitu adem. Yas turun dari motornya dan mempersilahkan Adiba dan Yana untuk duduk lebih dulu di kursi yang tersedia di teras.
"Duduk dulu, Neng. Biar saya panggilkan Ustadz Satria," ucap Yas sopan menunjuk kursi kayu dengan jempolnya."O iya, nama Neng berdua siapa, ya?"
"Saya Adiba, dan ini Yana. Bilang aja sama mas Satria kalau yang nyari Adiba. Adiba anaknya pak Mustofa," jelas Adiba lalu duduk di kursi kayu.
Yas tampak cukup paham dan mengangguk, lalu menghilang ke sisi rumah. Yana mengedarkan pandangan kesetiap sudut tempat itu.
"Adem ya, Adiba," celetuk Yana.
"Namanya juga di desa, ya ademlah," sahut Adiba santai.
"Enggak, ini lebih adem, Adiba. Yaah, namanya juga rumah kyai, ya?" sanggah Yana.
Setelah menunggu beberapa menit, ustadz Satria muncul dari dalam rumah.
"Adiba?"
Adiba tersenyum kaku, dan melambai tangan dari tempat duduknya. Karena ia juga cukup tau, Satria tidak bersentuhan dengan lawan jenis. Satria dan Yana juga hanya saling melempar senyum sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Ada apa? Bunda sama Ayah nggak ikut?" tanya Satria menjatuhkan bobotnya di kursi single dekat pintu.
"Aku mau bicara, Mas," ucap Adiba yang tak mau berbasa-basi.
"Iya, Mas dengarkan," sahut Satria.
"Kita ke dalam aja deh Mas, yang lebih privasi." Adiba mengajak.
"Di sini aja, di dalam nggak ada orang," tolak Satria halus.
"Ya itu, yang nggak ada orang. Makanya kan, tadi kubilang privasi," ujar Adiba gemas.
"Adiba, kita ini dua orang baligh yang berlainan jenis. Jika kita berada di tempat yang katamu privasi itu. Bisa aja kita tergoda dan berbuat zina. Selain itu bisa menimbulkan fitnah juga," jelas Satria tetap lembut dan halus.
"Ya ampun, Mas, ya nggak mungkinlah. Itu bisa terjadi kalau kita saling suka. Kita ini baru aja kenal loh. Kita juga nggak saling suka," bantah Adiba keberatan.
"Adiba, yang namanya khilaf itu nggak kenal suka atau tidak. Lagi pula, apa salahnya kita menjauhi hal yang bisa menimbulkan fitnah." Dengan lembut Satria memberi penjelasan.
"Ya ampun, Mas. Siapa lagi yang mau fitnah? Nggak ada kerjaan banget deh," sanggah Adiba makin jengah.”Yaa kalik ada yang mau memfitnah Ustad sama cewek blangsak kek Diba.”
“Nah, itu udah ngakuin blangsak,” celetuk Yana menyela, Adiba langsung melotot tak suka, “Diam kamu!”
Satria tersenyum geli, "Memangnya mau ngomongin apa, sih?" ucap Satria masih tetap bernada lembut meski Adiba sudah tampak meletup-letup.
Adiba mendengus, ia tak memiliki kesabaran lebih menghadapi ustadz Satria yang tenang dan lembut ini. Lagipula Yana juga sudah tau, ia pikir tak masalah jika mereka membicarakannya di teras dengan Yana di sini. "Aku mau, Mas Satria membatalkan lamaran, Mas."
"Kenapa?" Satria mengerutkan kening.
"Aku nggak suka sama Mas," lontar Adiba cepat dan jujur.
"Kita bisa mulai pacaran dan saling jatuh cinta nanti setelah menikah." Satria memberi solusi.
"Iihh, ya nggak bisa begitu dong! Kalau nggak cocok gimana?" omel Adiba gemas. Karena Satria sedikitpun tak goyah.
"Ya dicocok-cocokin," sahut Satria enteng.
"Hiiihh," rasanya Adiba sudah sangat kesal dengan Satria, tapi ia tak bisa apa-apa. Gadis itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya. "Mas Satria, sebenarnya, aku udah punya pacar."
"Terus?"
"Ya Mas mundurlah, kan aku udah punya pacar," sergah Adiba gemas.
Satria tersenyum geli, "kamu mau, Mas mundur berapa langkah?" tanya Satria sambil menggeser kursinya ke belakang.
"Hiihh, bukan mundur gitu, Mas Sat-tri-a!" geram Adiba tak sabar menghadapi Satria. Sementara Yana terus membekap mulutnya menahan tawa.
"Adiba Khanza Az-Zahra, pacaran itu nggak boleh. Itu dilarang sama agama. Udah membuka peluang untuk berbuat zina juga. Kalau pacar kamu serius, dia bakal memantaskan diri dan melamarmu," ucap Satria dengan lembut.
"Aaahh, udahlah mas. Nggak usah ceramah." Adiba mengibaskan tangan di udara.
"Namanya juga Ustadz, Diba, wajarlah kalau ceramah," celetuk Yana menyela. Adiba menatap protes padanya,"Iihh, kok kamu malah belain dia, sih." Omel Adiba tak suka.
Adiba pun terus menyuarakan keberatannya. Terus menegaskan penolakannya pada Satria. Satria tetap bersikap lembut dan sabar meski kadang Adiba sampai meletup-letup.
"Aaahh, sudahlah! Susah ngmong sama Mas Satria. Nglamar kok maksa, sih!?" sungut Adiba beranjak dari duduknya.
"Eh? Mau ke mana?" tanya Satria ikut beranjak dari duduknya.
"Pulang! Percuma mah, ngomong sama Mas Satria." Omel Adiba kesal, melangkahkan kakinya dari teras. Yana mengekori saja.
"Eeh, bentar." Satria masuk ke dalam dengan cepat dan kembali lagi dengan membawa jaket. Adiba sudah memasang helm dikepalanya.
"Nih," ucap satria menyodorkan jaket berwarna hitam pada Adiba,"Kalau sore menjelang malam, biasanya hawa di jalan lebih dingin. Pakailah."
"Ogah!" tolak Adiba ketus. Yana yang sudah membonceng menepuk pundak Adiba,"Eehh, jangan gitu."
Adiba berdecak kesal, dan tetap tak mau menerima jaket dari Satria. Dan mulai menarik tuas gas motornya.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh," ucap Satria meski Adiba tak mengucap salam dan langsung pergi.
Sepanjang jalan, Adiba terus mengomel dan menggerutu. Kenapa Satria sangat tebal muka dan tetap meneruskan lamaran. Sangat aneh, pikiran buruk jika Satria seorang pedofil ataupun memiliki kelainan membuat Adiba makin merinding sendiri. Di tengah Adiba yang mengomel tak karuan, gadis itu mulai merasakan hawa dingin menusuk kulitnya. Sedikit banyak, Adiba merasa menyesal sudah menolak jaket dari Satria karena gengsi.
"Kenapa, mbak?"
"Bocor," jawab Adiba dan Yana sambil mendorong motor.
Dua orang pemuda yang memakai sarung serta peci, dan berboncengan itu berhenti untuk melihat kondisi ban motor Adiba yang kempes.
"Tambal ban di sini jauh, mbak," kata pemuda yang berkulit gelap. Perkiraan usianya sekitar 17 tahun.
Adiba menghela nafasnya susah. Sudah posisi pas tanjakan, malah bocor pulak. Rasanya, ia ingin menangis saja. Si Abang malah bilang tak ada tambal ban. Nasib!
"Mbak berdua keknya asing, bukan warga sini, ya?" tanya pemuda yang berkaus hijau.
"Bukan. Kami dari Sabtosari." Yana menjawab.
"Oohh, Sabtosari. Jauh dari sini, mbak. Ada saudara?"
"Bukan saudara sih mas, calon suami." Yana menahan senyuman dengan menutup mulut dan perutnya yang sakit. Cubitan kecil langsung ia dapatkan di lengan, tak lupa mata yang melotot dari Adiba.
"Calon suami?"
Dengan santai Yana menjawab, "Itu mas, Ustadz Sat..."
"Udah deh, malah keterusan," omel Adiba kesal mencubit perut Yana yang terus terkekeh.
Kedua pemuda itu saling berpandangan, "Ustadz Satria?"
"Mas kalau nggak mau bantu, kami lanjut dorong deh. Makin sore juga, nih!" sela Adiba dengan muka jutek.
"Tambal ban jauh, mbak. Kami ada alatnya kok. Tunggu bentar, ya?" ucap mas yang berkulit gelap, yang berganti memandang temanya yang berkaus hijau."Ambil sana, To."
"Oke," sahut si Yanto yang berkaus hijau. Lalu melesat dengan motor bebeknya.
"Tunggu sini dulu aja, mbak," ucap mas yang berkulit gelap itu sambil mendorong motor matik Adiba lebih ke tepi. Lalu berjongkok di atas rumput dan mengecek lagi kondisi ban.
Adiba mendesah pelan, merasa hari ini sangat sial. "Makin gelap kita nanti pulang nya, Yan."
"Iya, serem ya jalan ke sini. Mana banyak hutan ma sawah lagi." Yana bergidik ngeri.
"Jadi mbak berdua ini tamunya Ustadz Satria?" Pertanyaan yang mengalihkan percakapan Adiba dan Yana.
"Iya, Mas." Yana yang menjawab.
"Oohh, iya, tadi sempet ada yang ngomong sih," celetuk pemuda itu melirik Adiba. "Ustadz Satria dicariin sama cewek."
Tak lama si Yanto datang, dengan perangkat tambal ban. Rupanya ia tak datang sendiri, di belakangnya, mengekor ustadz Satria yang membawa ember yang berisi air dan pompa. Keduanya mengendarai motor.
Adiba melongo tak percaya, kesel juga, tapi Yana justru cengar-cengir menyenggol lengan Adiba. Adiba mendelik sebal padanya.
"Ini yang bocor?" tanya Satria turun dari motor dan si mas berkulit gelap itu menyalami dan mencium tangannya.
"Iya, Mas. Kok bisa ketemu sama Mas Satria?" tanya si mas-mas.
"Kebetulan tadi pas ambil tambal ban, Mas baru selesai nambal punya Mbak Novi," sahut Satria.
"Oohh,"
Ketiga pria itu sibuk menambal ban motor Adiba dan bercakap-cakap ringan. Adiba dan Yana yang menunggu sedikit jauh dari mereka hanya jadi pendengar aja. Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit, beberapa kali Adiba menggosok lengan atasnya karena ia hanya hanya mengenakan kaus lengan pendek. Hal itu tidak luput dari pengelihatan Satria meski pria itu sibuk menambal ban. Ia berdiri mengambil jaket yang ia simpan di jog motornya dan menyerahkannya pada Adiba.
"Udah mulai dingin, pake nih," ucap Satria.
Adiba melihat ke jaket hitam milik Satria, lalu berganti melihat Yana yang cengengesan. Jelas sekali jika Yana sedang menertawainya. Akan tetapi, Adiba kedinginan dan membutuhkan jaket itu. Dengan terpaksa, ia mengambil dan memakainya. Ia melirik sahabatnya yang menutup mulut dan cekikikan. Karena kesal, Adiba menginjak kaki Yana. Sementara Satria sudah kembali berkumpul dengan Yanto dan temannya menambal ban.
"Udah," ucap Satria setelah urusan menambal ban selesai.
"Makasih," ucap Adiba sedikit ketus.
Satria mengulas senyuman, "Ayo."
Adiba tersentak, begitupun dengan Yana sampai mengangkat kepala dan saling pandang dengan Adiba. Apa maksudnya kalimat ajakan itu.
"Ayo ke mana?" seru Yana dan Adiba bersamaan.
"Udah petang, jalan di sini juga sepi kalau malam. Penerangan juga minim. Jarang ada rumah penduduk kalau ada apa-apa sulit nyari bantuan. Jadi, Mas kawal kalian sampai rumah," jelas Satria memasang helm, begitupun dengan Yanto.
"Eehh?!" Adiba makin terperangah mendengar penuturan Satria. "Kawal sampai rumah?"
"Ayo jalan, keburu malam." Satria mulai menstater motornya. Lalu ia berganti berbicara dengan si hitam manis,"Mas pergi dulu sama Yanto kalau nanti ada yang nyari. Bilang aja ke kota bentar."
"Iya, Tadz." Angguk si pria berkulit gelap itu.
"Alat tambal bannya, tolong disimpan di tempat biasa. Makasih ya, Ki."
Mau tak mau, Adiba melakukan perjalanan dengan dikawal Satria dan Yanto di belakang. Begitu masuk kota, dan mereka sempat berhenti di lampu merah. Adiba menyarankan Satria untuk pulang saja.
"Mas Satria pulang aja deh, ini udah masuk kota kok." Adiba mengangkat kaca helemnya.
"Nggak apa," tolak Satria halus.
"Nggak apa gimana?" tanya Adiba dengan muka masam.
"Kawal sampai rumah," jawab Satria enteng menatap lurus ke depan.
Hal yang Adiba paling takutkan, karena ia tak mau pak Mustofa dan bu Sawitri tau. Apalagi sampai bertemu dengan Satria.
"Adiba, aku langsung balik ke rumah aja deh," pinta Yana dalam perjalanan pulang.
"Eeh, kenapa?"
"Nggak enak nih," bisik Yana.
Adiba cemberut, dan terpaksa mengantar Yana ke rumah.
"Aku ikut main sini dulu aja deh," celetuk Adiba setelah sampai di depan rumah Yana. Ia menoleh pada Satria yang masih mengawal, lalu berkata,"kalian pulang aja deh, Mas. Aku masih mau main di sini."
"Eeh, nggak bisa. Sana balik," usir Yana yang merasa tak enak pada Satria yang sudah mengawal sedari Pakis tadi.
"Enggak, ah, aku main sini aja!" pinta Adiba memelas."Plis!"
"Balik, balik, nggak ada main-main," usir Yana mendorong tubuh Adiba kembali ke motor. Dengan wajah yang cemberut dan ditekuk, Adiba terpaksa pulang karena Yana tidak membiarkan dirinya main.
Pikiran tentang pak Mustofa yang mungkin akan meledeknya membuat Adiba cemas bukan main. Pasalnya, Adiba terus menolak keras Satria. Tetapi, ia sendiri malah pulang dikawal Satria. Akan lebih mengelikan lagi jika sampai bapaknya itu tau jika dia sampai datang ke rumah Satria. Adiba mendesah dengan wajah memelas.
Sesampainya mereka di depan rumah pak Mustofa. Adiba langsung mengusir Satria.
"Udah sampai rumah, kan. Udah, Mas Satria pulang aja," usirnya cemas jika sampai pak Mustofa sampai memergoki Satria yang mengantarnya pulang. Sudah pasti pertanyaan beruntun bakal keluar dari mulut bapaknya.
Belum sempat Satria membuka mulutnya, pintu rumah Adiba sudah dibuka.
"Adiba? Siapa itu?" Pak Mustofa celingukan melihat samar wajah Satria di tengah gelap malam dan cahaya lampu seadanya."Loh, Mas Satria?!"
"Assalamualaikum, Pak," sapa Satria turun dari motornya diikuti oleh Yanto.
"Wa'alaikum salam, beneran Mas Satria to ini!?" Pak Mus keluar dari ambang pintu hingga ke teras. Dengan santun, Satria mendekat bersama Yanto. Lalu menyalami Pak Mus bergantian.
"Kok bisa sama Mas Satria pulangnya, Diba?" Pak Mus heran,"Ayo, masuk dulu," ajaknya,"Buk, ada tamu. Mas Satria ini loh, calon mantu!" serunya dengan suara lebih keras pada sang istri."Bikinkan kopi tiga."
Adiba yang kesal karena sudah terlanjur kepergok hanya bisa menghentak kaki dengan raut masam. Menyusul Satria dan bapak nya masuk ke dalam rumah. Bertepatan dengan bu Sawitri yang keluar membawa minuman untuk tamunya.
"Ibuk masuk lagi ya, Mas Satria, masih ada kerjaan di belakang," pamit bu Sawitri setelah meletakkan tiga gelas kopi panas di meja beserta sepiring gorengan.
"Iya, Buk. Mangga," ucap Satria dan Yanto ramah dan kompak senyum.
Adiba memilih duduk disisi dalam dekat pak Mus, ia harus memastikan Satria tidak mengatakan hal-hal yang berbahaya dan memalukan dirinya.
"Kok bisa bareng sama Adiba?" tanya pak Mus akhirnya setelah sempat berbincang ringan dengan Satria.
"Tuh, kan?!" omel Adiba dalam hati mulai ketar ketir. "Jangan sampai deh Mas Satria ngomong Aku yang nyamperin ke sana."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!