Di lereng gunung Kemulan kabut tebal terlihat begitu pekat menyelimuti seluruh tempat itu,hingga sampai menyebar turun sampai ke desa parang sari.Desa parang sari adalah desa kecil yang ada di bawah kaki gunung kemulan, namun kini desa itu menjadi desa mati yang sudah ditinggalkan oleh banyak penduduknya.
Banyak rumah yang kosong dan terbengkalai karena sudah tidak digunakan lagi, bahkan sudah banyak dari rumah rumah itu rusak akibat di makan masa.
Kepergian penduduk dari desa itu disebabkan oleh keadaan desa itu yang sudah tidak aman lagi, karena banyak para perampok yang merajalela merampas hasil panen mereka.Sehingga para penduduk desa memilih untuk pergi mencari tempat baru yang lebih aman.
Walaupun semua orang sudah pergi dari desa tersebut tapi tidak bagi sepasang suami istri yang bernama Nyai Damah dan Ki supa.Mereka berdua tidak merasa terusik dengan para perampok liar yang kerap mengganggunya, karena mereka berdua punya cara untuk mengatasinya.
Sore itu menjelang malam Nyai Dumah merasa gelisah di rumah mengetahui suaminya,Ki supa belum juga pulang dari ladangnya.
"Apakah sesuatu telah terjadi, sampai sore begini kang supa belum pulang padahal diakan tahu kalau hari akan segera malam."ucap Nyai Damah,sambil menyalakan lampu minyak jarak yang terdapat di dinding rumahnya.
Wanita setengah baya itu kemudian duduk di kursi bambu dengan berusaha tenang menunggu kedatangan suaminya.Padahal kegelisahan terpancar jelas di wajahnya.
"Ah..., kalau sampai malam nanti dia juga belum kembali, apa boleh buat terpaksa aku harus menyusulnya,aku tidak mau dia tertidur di ladang seperti yang sudah sudah,"ucap Nyai Damah sambil sesekali menatap kearah pintu.
Dan tidak lama kemudian terdengar pintu rumahnya diketuk oleh seseorang berkali kali.
"Nyaiiii...!!! nyai.. cepat buka pintu...!!!"Teriak orang itu dengan tidak sabar ingin cepat cepat masuk kedalam.
"Kang Supa..."ucap Nyai Damah segera berlari ke arah pintu menyambutnya.
"Cepat buka pintu Nyai."ucap Ki Supa dengan tidak sabar.
"Iya sebentar kakang,"sahut Nyai Damah kemudian bergegas membuka pintu.
"Aduh lama sekali kau membuka pintu nyai.."Kata Ki supa dengan sedikit emosi.
"Memangnya ada apa kakang kenapa begitu terlihat tegang?"tanya Nyai Damah merasa heran dengan sikap suaminya itu.
"Ini lihat aku dapat apa nyai,"ucap Ki supa sambil memperlihatkan sebuah peti yang di bawanya.
Nyai supa pun langsung penasaran dengan peti besar yang dibawa suaminya itu,peti itu berwarna coklat mengkilap dan terlihat sangat bagus dan mewah sekali. Melihat peti sebagus itu nyai Damah tahu kalau peti itu bukan berasal dari daerah sini.
Ki Supa kemudian membuka isi peti itu secara pelan pelan.
Nyai Dumah langsung terkejut begitu melihat isi dalam peti itu ternyata adalah seorang bayi kecil berjenis kelamin laki-laki.Bayi itu terlihat sangat lucu dan menggemaskan.Membuat Nyai Damah langsung jatuh hati padanya.
"Nyai kau akan menjadi ibu mulai saat ini,"ucap Ki Supa sambil memperhatikan wajah istrinya yang terlihat begitu gembira.
"Kakang temukan di mana bayi ini atau jangan jangan kakang mengambil bayi orang lain,"ucap Nyai Damah.
"Kau ini ngawur kalau ngomong,mana ada bayi di sekitar sini .Apa kau tidak tahu kalau tempat ini seluruhnya dikelilingi oleh hutan,"ucap Ki supa,sambil menggelengkan kepalanya mendengar perkataan istrinya yang asal menuduh itu.
"Lalu kakang temukan di mana bayi ini?"tanya nyai Damah masih penasaran.
"ceritanya begini Nyai,waktu itu habis dari ladang seperti biasanya aku pergi ke sungai untuk mandi.Dan waktu saya mandi itu ada peti ini hanyut terbawa arus dan menabrak diriku yang saat itu sedang membersihkan badan.Aku yang penasaran kemudian mengambil peti itu, setelah aku buka alangkah terkejutnya ketika aku mendapati bayi di dalam peti ini dan aku pun memutuskan membawanya pulang.Begitulah ceritanya Nyai,"ucap Ki supa dengan menjelaskan secara jelas kepada istrinya.
"Lalu bagaimana kita merawat bayi ini kang bukankah dia itu masih memerlukan susu dari ibunya, sedangkan aku...
"Sudah sudah jangan kau teruskan,aku tahu kalau kau tidak bisa mengeluarkan air susu karena sedang tidak menyusui,tapi kau jangan kehilangan akal nyai,"potong suaminya.
"Terus bagaimana kita memberi susu untuk bayi ini,"tanya nyai Damah tidak mengerti.
"Bukankah di hutan ini ada singa, harimau dan juga kambing hutan.Kita cari saja dari binatang itu yang sedang menyusui dan kita ambil susunya untuk diberikan pada bayi ini,"ucap Ki Supa.
Nyai Damah mengangguk angguk mendengar penjelasan dari suaminya itu,ia merasa bodoh kenapa tidak memikirkan hal itu.
"Kakang benar,soal cari susu binatang itu serahkan saja pada ku,"ucap nyai Damah.
"Baiklah , tapi kita perlu memberi nama bayi ini nyai,"ucap Ki Supa.
"Nama apa yang pantas untuk anak ini menurut kakang,?"tanya Nyai Damah.
"Aku beri nama anak ini Antasena.Bagaimana menurut Nyai,"tanya Ki supa.
"Nama yang bagus kakang,aku sangat suka dengan nama itu, terdengar sangat gagah dan cocok untuk bayi tampan ini,"ucap Nyai Damah.
"Kalau begitu mulai saat ini kita panggil bayi ini dengan nama Antasena."ucap Ki Supa.
Selepas Ki Supa memberikan nama Antasena kepada bayi itu tiba-tiba terdengar suara petir menyambar duaaarrr....!!!!Dan guruh menggelegar.Dan sesaat kemudian hujan pun turun dengan deras.
Kejadian itu membuat Ki Supa dan Nyai Damah sangat terkejut dengan bunyi petir dan hujan yang tiba-tiba itu.
"Ini pertanda apa Kakang kenapa tiba-tiba ada suara petir dan guruh serta terjadi hujan deras secara bersamaan,"tanya Nyai Damah.
Ki Supa kemudian menggerakkan jari jarinya untuk menafsirkan suara alam itu.Sesaat kemudian laki laki setengah baya itu menganggukkan kepalanya seolah mengerti apa maksud dari tanda alam tadi itu.
"Mmm... tampaknya anak ini bukan anak sembarangan Nyai, sebaiknya kita rawat anak ini baik baik.Aku merasa yakin kalau suatu saat anak ini akan berguna untuk sesama manusia,"ucap Ki Supa.
Sejak saat itu Nyai Dumah dan Ki supa mempunyai momongan yang diimpikan nya karena mereka sudah lama berumah tangga namun tak kunjung juga dikaruniai seorang anak.Mereka yang selama ini merasa kesepian sekarang mempunyai hiburan dengan adanya bayi kecil yang bernama Antasena itu.
Demi memenuhi kebutuhan susu Antasena, tiap hari Nyai Damah harus keluar masuk hutan sambil menggendong bayi itu untuk mencari binatang yang sedang menyusui.Hari itu Nyai Damah kebetulan menemukan singa yang sedang menyusui dua anaknya, tanpa pikir lama wanita itu pun mendekati singa itu dan dengan kesaktian yang dimilikinya ia kemudian membuat singa itu diam di tempat dan patuh kepadanya.
"Antasena sekarang kau bisa minum susu Singa ini mudah mudahan kamu bisa kenyang,"ucap Nyai Damah.
Melihat singa itu sudah kelihatan tenang dan patuh Nyai Damah kemudian mengarahkan mulut Antasena ke puting susu singa itu untuk menyusu padanya.
Nyai Damah menggelengkan kepalanya melihat Antasena begitu lahap menyusu singa itu.
"Jika sudah besar kau harus bisa menjaga singa singa di sini Antasena sebagai balas budi mu,"ucap Nyai Damah.
Kedua anak singa yang masih kecil itu hanya memandang Nyai Damah dan Antasena yang sedang menyusu ibunya.
"Anak singa yang lucu suatu hari nanti Antasena akan menjaga kalian,"Ucap Nyai Damah.
Sesaat kemudian Antasena pun sudah merasa kenyang itu terlihat dari sikapnya yang sudah tidak mau menyusu lagi.
"Singa yang baik aku ucapkan terima kasih padamu atas susu yang kau berikan,besok aku akan datang kemari lagi,"Ucap Nyai Damah kemudian melesat pergi.
Hal itu Nyai Damah lakukan setiap hari.Dan jika Singa itu sudah tidak menyusui lagi ia mencari binatang lainnya karena dengan seperti itu ia dapat memberikan asupan susu untuk bayi keci itu.
Nyai Damah melakukan itu setiap hari sendiri tanpa mengenal lelah atau bosan demi kelangsungan hidup anak asuhannya itu.Sedangkan Ki Supa sendiri sibuk mengurus ladangnya
Sejak kehadiran Antasena, hari-hari Ki Supa dan Nyai Damah menjadi lebih berwarna. Setiap hari, tidak henti-hentinya kedua orang tua itu bercanda dan bermain dengan bayi mungil itu. Kehadiran Antasena membawa kebahagiaan yang selama ini mereka idam-idamkan.
Ki Supa dan Nyai Damah sebenarnya sering mengeluh karena sudah dua puluh tahun menikah namun belum juga dikaruniai keturunan. Mereka kerap berpikir, bagaimana nasib mereka di masa tua nanti jika tidak memiliki anak. Siapa yang akan merawat mereka ketika sudah tua dan tidak berdaya? Itulah yang menjadi beban pikiran kedua orang tua itu.
Namun, tanpa disangka-sangka, jerit hati mereka didengar oleh Tuhan. Seorang bayi mungil yang lucu dan menggemaskan tiba-tiba hadir dalam kehidupan mereka. Kehadiran bayi itu mengubah total kehidupan Nyai Damah dan Ki Supa. Kini, rumah mereka dipenuhi dengan keceriaan, kebahagiaan, dan semangat baru.
"Kang, aku yakin anak itu bukanlah anak sembarangan. Lihatlah peti dan pernak-pernik yang ada bersamanya," ucap Nyai Damah pada suatu malam.
Ki Supa menarik napas panjang, sambil menyandarkan tubuhnya pada dinding dekat jendela. "Saya pikir juga demikian, Nyai. Tapi, dengan kita menemukan anak itu, sepertinya Tuhan sudah berkehendak untuk memberikannya kepada kita. Siapapun orang tua bayi itu, kita tidak perlu terlalu memikirkannya. Karena dia sekarang sudah bersama kita, itu berarti dia sudah menjadi anak kita, Nyai," jelas Ki Supa.
"Kakang tidak salah berkata seperti itu. Namun, jika sudah dewasa nanti, kita perlu menceritakan semua kebenarannya, Kang. Kalau dia itu bukan anak kandung kita," ucap Nyai Damah.
"Itu sudah pasti, Nyai. Tapi sepertinya kita terlalu dini untuk membahas hal itu saat ini," ucap Ki Supa. Kemudian ia berdiri dan melangkah keluar.
"Kakang mau ke mana?" tanya Nyai Damah.
"Melanjutkan pekerjaanku yang sudah lama kutinggalkan, Nyai. Sekarang aku menjadi bersemangat kembali setelah ada Antasena," ucap Ki Supa.
"Jangan terlalu bersemangat, Kang. Jaga kesehatanmu," pesan Nyai Damah.
Namun, Ki Supa tidak menyahuti perkataan istrinya itu. Ia terus melangkah ke belakang menuju sebuah rumah kecil yang terletak sekitar lima puluh tombak dari rumah mereka.
Ki Supa berdiri mematung ketika sampai di depan rumah kecil yang terbuat dari bambu dan beratap ilalang. Meskipun rumah itu tampak tua, namun masih berdiri kokoh dan tidak lekang oleh waktu. Setelah merasa cukup puas memandangi rumah itu, Ki Supa membuka pintu dan masuk ke dalam.
Untuk menerangi ruangan, Ki Supa menyalakan tiga lampu yang terpasang di dinding rumah. Suasana di ruangan itu pun menjadi terang.
"Sudah lama sekali tempat ini tidak pernah kumasuki," gumam Ki Supa, seraya memandangi langit-langit ruangan yang dipenuhi sarang laba-laba.
Ki Supa kemudian membuka peti kayu yang sudah lama disimpannya. Peti itu berdebu karena terbengkalai sejak lama. Panjang peti itu sekitar sepuluh jengkal dengan lebar lima jengkal. Walaupun sudah lama ditinggalkan, peti itu masih dalam kondisi baik karena terbuat dari kayu yang tebal dan keras.
Dari dalam peti itu, Ki Supa mengeluarkan potongan-potongan besi berukuran lima jengkal yang berjumlah empat biji.
Ki Supa kemudian menyalakan perapian untuk menempa besi-besi itu. Sambil menunggu api membesar, Ki Supa membuka gulungan yang terbuat dari kulit rusa. Dalam gulungan itu terdapat gambar pedang yang akan dibuatnya—sebuah pedang berukuran sedang dengan gagang kuning keemasan berbentuk paruh elang.
"Setelah kehadiran Antasena, tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak menyelesaikan pedang ini," ucap Ki Supa.
Setelah melihat perapian membesar, Ki Supa mulai membakar besi sampai merah membara, kemudian menempanya. Traaaang....!!! Traaaang.....!!!! Traaaang....!!!!*
Suara besi berdentang memecah kesunyian malam yang sunyi, hingga terdengar jauh ke seluruh hutan.
Nyai Damah yang mendengar bunyi besi dipukul itu mengerti bahwa suaminya sedang membuat senjata yang dulu sempat dihentikan.
Sejak malam itu, Ki Supa mulai lagi membuat senjatanya yang dulu sempat dihentikan. Ia melanjutkan pembuatan senjata itu untuk bekal Antasena di masa mendatang. Ki Supa yakin bahwa anak yang ia temukan itu suatu hari nanti akan menggemparkan seantero jagat persilatan. Keyakinan itu muncul setelah ia melihat tanda-tanda alam beberapa waktu lalu.
Hari-hari Ki Supa dan istrinya kini dipenuhi dengan kebahagiaan. Sepulang dari ladang, Ki Supa bisa melepas lelah dengan menggendong dan bercanda bersama bayi kecil itu, Antasena.
Nyai Damah, yang dulu merasa gagal sebagai seorang wanita karena tidak bisa memiliki anak, kini tidak lagi merasakan hal itu setelah kehadiran Antasena.
Suatu sore, Nyai Damah melihat Ki Supa, suaminya, sedang menimang-nimang Antasena. Ia hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala. Hatinya dipenuhi kebahagiaan melihat suaminya, yang telah lama merindukan seorang anak, kini terlihat begitu gembira.
Saat itu, Nyai Damah sedang merapikan pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Ia pun bertanya kepada suaminya, "Bagaimana dengan tanaman di ladang kita, Kang?"
"Cukup baik dan subur, Nyai. Mungkin beberapa minggu lagi kita bisa memanen jagung itu," jawab Ki Supa, yang masih asyik menggendong Antasena. "Kau tidak perlu khawatir dengan persediaan makanan kita. Aku jamin, kau dan Antasena tidak akan kelaparan," lanjutnya dengan penuh keyakinan.
"Baguslah kalau begitu. Aku lega mendengarnya," ujar Nyai Damah. "Apakah senjata yang Kang buat sudah selesai?" tanyanya, mengalihkan topik pembicaraan.
"Masih lama, Nyai. Aku masih perlu mencari satu bahan lagi untuk menyempurnakan pedang itu, yaitu batu besi yang ada di lereng Gunung Kemulan," jelas Ki Supa.
Nyai Damah mengangguk-angguk mendengar jawaban suaminya.
"Nyai!" panggil Ki Supa tiba-tiba.
"Ya, Kang," jawab Nyai Damah.
"Sepertinya Antasena mulai mengantuk. Cepat bawa dia masuk ke kamar," ucap Ki Supa.
Nyai Damah, yang kebetulan sudah selesai melipat baju-baju, segera menghampiri suaminya dan membawa Antasena ke dalam kamar.
Karena hari sudah menjelang malam, Ki Supa menutup pintu dan semua jendela rumahnya yang terbuka. Malam itu, ia pergi ke rumah belakang untuk melanjutkan pekerjaannya, yaitu membuat sebuah pedang.
***
Pagi itu, suasana gaduh mewarnai Perguruan Kemuning. Banyak murid dan guru berkumpul di halaman depan, dipanggil oleh ketua perguruan, Jumantara.
Alasan dikumpulkannya mereka tidak lain karena Perguruan Kemuning telah kehilangan kitab pusakanya yang sangat berharga, yaitu Kitab Tapak Dewa Terbalik.
Jumantara, yang mencurigai para murid dan guru di sana, langsung melakukan pengecekan pada mereka semua untuk menemukan siapa pelakunya. Ia sangat yakin bahwa kitab itu dicuri oleh seseorang dari dalam perguruan itu sendiri.
"Dengarkan baik-baik, kalian semua," ucap Jumantara, berhenti sejenak sambil menatap para murid dan guru yang berbaris di depannya. "Aku sengaja mengumpulkan kalian di sini karena perguruan ini telah kehilangan satu barang berharga. Barang yang hilang itu adalah sebuah kitab bernilai sangat tinggi, yaitu Kitab Tapak Dewa Terbalik."
Para murid yang berbaris tampak terkejut mendengar perkataan ketua perguruan itu. Mereka pun bergemuruh, saling bertanya-tanya siapa yang berani mencuri kitab pusaka tersebut.
"Kalian semua nanti akan diminta untuk menyentuh batu kristal hijau yang akan diletakkan di sini. Jika salah satu dari kalian membuat batu kristal hijau itu menyala, berarti dialah pelakunya. Dan pelakunya akan mendapat hukuman berat, yaitu dijemur di bawah terik matahari sampai mati," tegas Jumantara.
Para murid langsung gempar mendengar hukuman yang mengerikan itu. Dijemur di bawah sinar matahari tanpa makan dan minum adalah hukuman yang paling kejam dan menakutkan, bahkan lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri.
"Prangesti, cepat keluarkan batu permata hijau itu!" perintah JumantaraJumantara, dengan suara pelan dan terdengar berat.
"Baik, Guru," jawab Prangesti, yang dari tadi berdiri di belakang Jumantara. Ia segera maju ke depan dan meletakkan batu itu di atas meja yang telah disiapkan.
Batu permata hijau adalah batu sakti yang memiliki kekuatan untuk membongkar kebohongan seseorang. Batu ini merupakan benda langka yang hanya dimiliki oleh Perguruan Kemuning.
"Sekarang, kalian berjalan ke arah batu itu satu per satu dan sentuhlah," perintah Jumantara setelah batu itu siap digunakan.
Para murid pun mengikuti perintah ketua perguruan itu. Mereka berjalan ke arah batu hijau sambil menyentuhnya, satu per satu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!