📍Mvvo Entertaiment
-Ruangan Konsultasi-
Anne duduk dengan tangan terlipat di atas meja, pandangannya tajam tertuju pada Emily yang berdiri di depannya dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
“Karena gosip itu, runway-mu ditunda, Emily,” ucap Anne dengan nada dingin, tatapan matanya tak bergeming.
Emily meneguk ludah, kedua tangannya meremas tas yang digenggam erat. Wajahnya terlihat tegang, tetapi matanya memancarkan harapan.
“Bu Anne, saya mohon percaya pada saya. Saya tidak melakukan itu. Saya bukan perempuan simpanan,” suaranya bergetar, namun tetap mencoba terdengar tegas.
Anne menghela napas panjang, meletakkan tangannya di dagu.
“Kami sedang menyelidiki kasus ini, dan semoga saja pelaku penyebaran fitnah ini segera tertangkap,” jawab Anne, suaranya terdengar lebih lembut, meski tetap tegas.
Emily melangkah maju, nadanya berubah lebih memohon.
“Bu, saya harus tetap berkarir. Adik saya tahun ini masuk kuliah, dan Ibu tahu kontrak saya dengan perusahaan ini masih tiga tahun lagi. Saya tidak bisa kehilangan pekerjaan ini.”
Anne menggeleng pelan, matanya menunjukkan rasa simpati, namun posisinya tetap tegas. “Soal ini, Pak Presdir belum bisa dihubungi, Emily. Kita harus menunggu.”
Air mata hampir membasahi sudut mata Emily, tetapi ia menahannya. Ia mencoba menarik napas panjang untuk mengendalikan diri. “Bu, saya mohon… Tolong bantu saya agar karir saya tidak hancur. Saya yakin Pak Presdir mau menolong saya,” pintanya, suaranya hampir berbisik.
Anne bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Kita berharap seperti itu, Emily. Tapi beliau tidak akan bertindak sampai semua bukti sudah jelas,” jawab Anne dengan nada akhir yang memberi isyarat percakapan telah selesai.
Emily mengangguk lemah, kemudian berbalik menuju pintu. Wajahnya terlihat kusut, matanya menatap lantai sepanjang jalan keluar.
**
Langkah Emily melambat saat ia melewati lobi. Wajahnya penuh resah, seperti membawa beban berat. Dari kejauhan, Reymond memperhatikan. Pandangannya terpaku pada sosok wanita itu sebelum akhirnya ia memutuskan melangkah ke ruangan konsultasi.
-Ruangan Konsultasi-
Anne tengah menata berkas di mejanya ketika Reymond mengetuk pintu.
“Permisi, Bu Anne,” ucapnya, sambil sedikit membungkukkan badan.
Anne mengangkat pandangannya, tersenyum singkat.
“Oh, Pak Reymond. Silakan duduk,” katanya, menunjuk sofa di seberang meja.
Reymond melangkah ke sofa dan duduk dengan postur tegap.
“Saya melihat Emily tadi. Dia terlihat… berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya, alisnya mengerut.
Anne duduk kembali di kursinya, meletakkan tangan di atas meja.
“Emily baru saja keluar dari sini. Dia sedang terlibat gosip tidak menyenangkan,” jawab Anne dengan nada serius.
Reymond bersandar sedikit, matanya menyipit. “Gosip apa?”
Anne menghela napas. “Dia digosipkan sebagai perempuan simpanan calon kepala kepolisian yang akan dilantik bulan depan.”
Reymond tampak tercengang. “Bagaimana mungkin? Apakah dia mengenal orang itu?”
Anne mengangkat bahu, ekspresinya tampak lelah. “Saya tidak tahu dari mana hubungan itu muncul. Tapi gosip ini sudah membuat runway-nya ditunda, dan saat ini kami sedang menyelidiki penyebarnya,” jelasnya.
Reymond mengangguk pelan, matanya menatap tajam ke arah Anne. “Apakah sudah ada langkah lanjutan?”
Anne menatap Reymond dengan serius. “Sudah, itulah mengapa saya meminta Anda datang. Sayangnya, Pak Presdir masih belum merespons. Saya rasa beliau sedang sangat sibuk,” jawab Anne.
Reymond menggenggam dagunya, berpikir dalam diam. “Baik. Kalau begitu, saya akan coba cari informasi tambahan. Kita tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut,” katanya akhirnya.
***
“Pak presedir, nama Emily terus-terusan naik.” Ucap seorang pria yang berdiri di hadapan Mattheo yang sedang duduk santai.
Pria itu terlihat tersenyum menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Raut wajahnya terlihat menyimpan senyum licik yang tergambar jelas.
“Hhhhh … Emily, bukannya dia asli keturunan Tiongkok?” Ucapnya sembari menyender.
“Benar sekali pak presedir.” Jawab Endrick yang dikenal sebagai sekretaris Mattheo.
“Dia disini dengan siapa? Keluarganya?” tanya Mattheo kembali, penasaran.
“Keluarganya hanya adik perempuannya saja.” Jelas, Endrick memberikan informasi singkat itu.
“He’em.” Mengangguk dengan senyum licik.
***
📍Apartement
Suara pintu yang berderit pelan memecah keheningan ruang tamu apartemen kecil itu. Emily meletakkan tasnya di sofa sebelum berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Baby, adiknya, sudah duduk di meja makan dengan buku pelajaran berserakan di depannya.
“Cece, kenapa pulang lebih awal?” tanya Baby, alisnya mengernyit.
Emily menghela napas sambil membuka lemari, mencari camilan. “Hanya... aku lagi gak ada kerjaan.”
“Gak ada kerjaan? Bukannya cece sibuk akhir-akhir ini? Ah! Cece juga, bukannya mau mempersiapkan runway, cece gak latihan?” Baby menatap Emily penuh selidik.
Emily tersenyum kecil, menutup lemari tanpa mengambil apapun. “Kamu sudah daftar ulang, Baby?”
Baby mengangguk cepat. “Ah, aku sudah melakukannya.”
“Ya sudah,” ujar Emily, duduk di kursi seberang Baby. “Katakan kepadaku kalau kamu perlu yang lain.”
Baby menundukkan kepala, jemarinya bermain dengan ujung buku. “Maaf ya, Ce, kalau aku membuat tanggungan cece lebih banyak. Padahal cece juga lagi menyelesaikan S1, membayar keperluan lain, dan belum lagi sewa apartemen.”
Emily mengulurkan tangan, menepuk punggung tangan adiknya lembut. “Gak usah pikirkan itu. Itu urusanku. Kamu hanya perlu belajar yang rajin. Jangan sia-siakan semuanya.”
Baby mendongak, menatap Emily dengan mata berkaca-kaca. “Aku gak akan menyia-nyiakannya, Ce. Aku akan buat cece bangga denganku.”
Emily tersenyum, matanya hangat. “Terima kasih, Baby.”
Dering telepon tiba-tiba memecah suasana hangat itu. Emily menghela napas, bangkit dari kursinya. “Cece angkat telepon dulu.”
“Iya, Ce,” sahut Baby, memperhatikan kakaknya yang berjalan menjauh menuju jendela apartemen.
Emily mengangkat telepon. “Iya?”
“Emily, saya Endrick, sekretaris Pak Mattheo.”
Emily menegakkan tubuhnya. “Iya, Pak Endrick?”
“Pak Mattheo ingin bertemu denganmu malam ini,” ujar suara itu dengan nada tegas.
Wajah Emily berubah serius. Baby, yang mengamatinya dari meja, bisa merasakan ada sesuatu yang penting. Dia merapikan bukunya perlahan, mencoba menangkap percakapan itu tanpa terlihat mencuri dengar.
“Iya, saya mengerti,” jawab Emily singkat sebelum menutup telepon. Dia berbalik dan tersenyum tipis pada Baby, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.
“Kamu baik-baik saja, Ce?” tanya Baby, suara kecilnya penuh kekhawatiran.
Emily mengangguk, kembali ke meja makan. “Iya, semuanya baik-baik saja. Kamu selesaikan tugasmu dulu ya. Cece cuma ada sedikit urusan nanti malam.”
Baby menatap Emily penuh tanya, tapi memilih tidak berkata apa-apa. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi, tapi ia tahu kakaknya tak akan membahasnya kecuali benar-benar perlu.
***
📍Rai’s House
Pintu depan terbuka, membiarkan hembusan angin sore masuk ke dalam ruang tamu yang nyaman. Reymond masuk sambil melepaskan dasinya dengan gerakan santai. Di ruang tengah, Rein sedang duduk di sofa dengan buku kecil di tangannya. Ia menoleh begitu mendengar langkah Reymond.
“Sayang, kamu sudah pulang?” sapanya lembut, matanya berbinar.
“Hm, saya sudah pulang,” jawab Reymond sambil menatap sekeliling ruang tamu. “Dimana Papa mertua?” tanyanya, suaranya datar, namun penuh maksud.
Rein meletakkan bukunya di atas meja. “Papa belum pulang. Kenapa, sayang?”
Reymond duduk di kursi dekat jendela, menyandarkan tubuhnya. “Saya mau bicara dengan Papa mertua, soal model yang ada di perusahaan Papa.”
Rein mengerutkan dahi. “Model? Siapa?”
“Emily,” jawab Reymond singkat.
Rein mengangkat alisnya, tampak teringat sesuatu. “Ah! Aku melihat berita itu. Katanya dia seorang simpanan calon kepala kepolisian. Itu benar?”
“Saya juga tidak tahu soal itu, Rein,” jawab Reymond sambil menghela napas panjang.
Rein mendesah. “Aku harap itu tidak benar. Kalau iya, saham perusahaan bisa kena imbasnya.”
“Ya,” Reymond mengangguk pelan, pandangannya menerawang. “Gosip ini saja sudah merugikan banyak brand yang dipegang Emily.”
“Tuh kan,” sahut Rein, nadanya khawatir.
Reymond mencondongkan tubuhnya, menggenggam tangan Rein lembut. “Jangan dipikirkan, fokus saja pada kandunganmu.” Ia mengusap perut Rein yang masih terlihat rata.
Rein meringis sedikit, menekan perutnya. “Aku mual lagi,” ujarnya dengan wajah cemberut.
Reymond tersenyum kecil, mencoba mengalihkan perhatian. “Tadi, Kak Michael datang ke rumah?”
Rein mengangguk. “Hm, dia datang sebentar. Memberikan aku buket bunga, katanya selamat untuk kehamilanku.”
“Begitu ternyata,” gumam Reymond sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Saya belum bertemu dengannya.”
Rein menatap Reymond dengan tenang. “Katanya dia sangat sibuk. Tadi saja kebetulan satu arah, jadi dia menyempatkan mampir sebentar, kasih bunga, lalu pergi.”
Reymond hanya mengangguk, tetapi pikirannya terlihat berputar-putar. Tangannya tetap berada di perut Rein, memberikan kenyamanan, sementara matanya menatap ke arah jendela dengan tatapan yang sulit ditebak.
***
📍Mvvo Entertaiment
-Ruangan Presedir-
“Pak presedir, Emily ada diluar.” Ucap Endrick berdiri di hadapan Mattheo.
“Suruh dia masuk dan kamu boleh keluar.” Tegasnya.
“Baik pak.” Endrick menunduk sejenak dan beranjak keluar.
Endrick beranjak keluar dan meminta Emily untuk masuk ke dalam ruangan.
Emily pun masuk ke dalam ruangan presedir, dimana ini untuk pertama kalinya dia masuk ke dalam ruangan itu.
“Emily?” panggil Mattheo, menatap lekat Emily .
“Iya pak presedir.” Jawab Emily dengan nada pelan, yang masih berdiri.
“Silahkan duduk.” Pinta Mattheo mempersilahkan.
“Terima kasih pak presedir.” Emily beranjak duduk disofa berwarna putih di ruangan itu.
“Saya langsung saja ke intinya.” Tegas Mattheo.
“Baik pak.” Ucapnya dengan wajah yang resah saat hatinya gelisah.
“Saya sudah mendengar semuanya, Emily. Soal gosip itu, saya juga sedang sibuk dengan model baru yang mau saya debutkan.”
“P-pak presedir, pelakunya bukan saya. Saya bersumpah, kalau saya tidak punya hubungan apapun dengan calon kepala kepolisian.”
“Saya percaya itu, tapi Emily apa kamu tahu dunia hiburan bekerja seperti apa?”
Sejenak pertanyaan Mattheo membuat Emily diam. Gadis itu mencari jawaban di dalam otaknya sendiri.
“Dunia hiburan itu bekerja untuk orang-orang yang tahan banting dan memiliki backingan yang kuat dibelakangnya. Apa kamu memilikinya? Seseorang yang kuat dibelakangmu, untuk melindungi karirmu?” Mattheo terus memperhatikan Emily.
Emily menggelengkan kepalanya dan menunduk.
“Karirmu akan redup kalau kamu tidak bisa menjaganya dengan cara mengorbankan apa yang kamu miliki.”
“A-apa yang harus saya korbankan pak presedir? Saya sendiri hanya terlahir dari keluar—,”
“Dirimu.”
Ruangan itu hening saat Emily menatap Mattheo.
“Berikan dirimu untuk saya. Saya pastikan, karirmu akan naik besok pagi.”
“S-saya gak paham dengan apa yang bapak katakan.”
“Berlutut dihadap saya dan puaskan saya sekarang juga.”
DEG! Jantung itu berdegup cepat saat Emily mendengarkan kalimat yang sangat menjijikan baginya.
“Ayo.”
“P-pa—,”
“Kalau kamu tidak mau, saya pastikan adikmu tidak akan melanjutkan kuliahnya dan saya pastikan lagi, karirmu hancur dan kamu akan menerima sanksi sosial dimana pun kamu berada.”
Tubuh itu gemetaran, pikirannya bercampur aduk.
“Saya tidak ingin menunggu lama Emily. Kamu bukan anak kecil lagi yang harus saya paksa. Datang kemari dan puaskan saya sekarang juga.”
“P-pak pre—,”
“KEMARI ATAU SAYA MUSNAHKAN KAMU! Saya tidak akan segan-segan melemparmu, Emily.”
Pria itu menarik Emily dengan kasar.
“Akhh,” dia bahkan meringis kesakitan saat lengannya ditarik kuat.
“Berlutut!” Ucap Mattheo yang memaksa Emily berlutut di hadapannya.
Tubuhnya gemetaran dengan hebat, matanya berkaca-kaca menahan tangisan.
“Kamu tak perlu menangis! Ingat berkorbanlah.” Dia menarik tangan Emily ke atas pangkuan pahanya. “Buka dan nikmatilah sampai aku mengeluarkannya di dalam mulutmu.”
Pria itu menggeram, dia menarik tangannya dan membuat Emily membuka resleting celana hitam yang dia kenakan. Dan saat itu, dengan jelasnya Emily melihat milik pria yang disebut sebagai presedir itu.
“Kulum.” Perintah Mattheo yang menekan kedua pipi Emily hingga terbuka dan memasukan miliknya dengan paksa di dalam mulut gadis itu. “Jilat sampai aku mengerang puas, sayang.”
📍Apartement
-Dalam Kamar-
Deringan telepon tiba-tiba memecah keheningan pagi. Emily tersentak dari tidurnya, matanya langsung terbuka lebar. Napasnya masih berat saat ia terduduk, menyibakkan selimut yang melilit tubuhnya.
Tanpa membuang waktu, tangannya meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Nama Yubin eonnie tertera di layar. Emily mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan rasa kantuk, lalu menggeser layar untuk menjawab panggilan.
-In Calling-
“Emily?” suara Yubin terdengar tegas namun sedikit panik di seberang.
“Iya, Yubin eonnie?” jawab Emily dengan suara serak.
“Kamu baru bangun?”
“Iya, eonnie. Ada apa?” Emily duduk lebih tegak, merasa ada yang tidak beres dari nada suara manajernya.
“Kamu harus lihat berita hari ini,” kata Yubin singkat namun penuh tekanan.
Emily terdiam sesaat, kerutan kecil muncul di dahinya. “A-ada apa?” tanyanya, suaranya berubah pelan. Ada rasa takut yang perlahan merayap masuk.
“Lihat aja,” ujar Yubin sebelum memutuskan panggilan tanpa penjelasan lebih lanjut.
Emily menatap layar ponselnya yang kini kembali gelap. Jantungnya mulai berdebar. Ia dengan cepat membuka aplikasi berita seperti yang dikatakan Yubin. Jemarinya bergerak cepat di layar, mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Begitu halaman berita terbuka, matanya langsung terpaku pada sebuah judul yang besar dan mencolok.
"Apa ini..." bisiknya, nyaris tak terdengar.
Emily tahu, ini lebih besar daripada yang ia bayangkan.
Deringan telepon kembali terdengar, memecah keheningan yang menggantung di kamar Emily. Ia tersentak, ponselnya hampir terlepas dari tangan. Masih dalam kondisi terpaku setelah membaca berita, ia buru-buru menjawab panggilan itu, menekan layar dengan tangan gemetar.
-In Calling-
“I-iya, eonnie,” jawab Emily, suaranya bergetar.
“Emily, aku akan menjemputmu jam 9 nanti,” kata Yubin dengan nada tenang namun terdengar sibuk. “Ah! Aku lupa bilang, runway-mu dilanjutkan. Minggu depan kita akan berangkat ke Milan untuk fashion week Y*l.”
Emily terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Yubin. “B-bukannya mereka membatalkan undangan itu?” tanyanya pelan, suaranya dipenuhi rasa tak percaya.
“Tidak jadi. Mereka sudah meminta maaf. Staff mereka menghubungiku pagi ini,” jelas Yubin, nadanya sedikit lega. “Katanya, ada banyak hadiah yang dikirim oleh penggemarmu, juga dari beberapa brand ternama, sebagai tanda permintaan maaf karena sudah menuduhmu melakukan hal menjijikkan itu.”
Emily menggenggam ponselnya lebih erat. Raut wajahnya berubah. Matanya membesar, penuh rasa kaget bercampur haru. Ia menggigit bibirnya, seakan mencoba memastikan bahwa ini bukan mimpi.
“Eonnie, jadi... namaku sudah bersih?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti berbisik.
“Ya, Emily. Berita yang membersihkan namamu sudah tersebar pagi ini. Semuanya baik-baik saja sekarang,” jawab Yubin.
Emily memandang layar ponselnya yang redup, merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Tangan bebasnya menyentuh dadanya, mencoba meredakan debaran jantung yang tak terkendali. Ia menatap ke jendela, melihat cahaya matahari pagi yang mulai menerangi apartemennya.
Kenyataan ini, seolah terlalu baik untuk dipercaya, tapi ia tahu... ini bukan mimpi.
***
“Pagi, Cece,” suara lembut Baby terdengar dari dapur kecil apartemen.
Emily yang baru saja keluar dari kamar mengangguk pelan sambil menyapu rambutnya yang berantakan. “Pagi, Baby.”
Baby menoleh, membawa dua piring berisi sarapan sederhana ke meja makan. “Aku baru lihat berita tentang Cece pagi ini. Ah! Cece baik-baik saja, kan? Sangkin sibuknya dengan belajar, aku bahkan gak tahu apa-apa sampai kemarin.”
Emily menarik kursi dan duduk. Senyumnya tipis, lelah namun tulus. “Aku baik-baik saja, Baby.”
“Syukurlah,” ucap Baby lega. “Aku buatkan sarapan pagi untuk Cece. Ayo, kita nikmati.”
“Hm,” jawab Emily singkat, mengambil sendok dengan gerakan lambat.
***
-Dalam Mobil Van-
Pagi itu terasa aneh bagi Emily. Hidupnya seperti dipermainkan. Kemarin, ia dihujat habis-habisan, menerima caci maki atas sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Tapi pagi ini, semuanya berubah drastis. Orang-orang yang dulu mencacinya kini berlomba-lomba meminta maaf, bahkan mencoba mendekatinya.
Emily duduk di dalam van hitam mewah yang menjemputnya. Matanya menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan jalan yang berlalu dengan cepat. Pikirannya penuh dengan kontradiksi.
“Mengerikan...” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Sangat mengerikan ketika uang dan kekuasaan mengalahkan segalanya.”
Yubin, yang duduk di kursi depan, menoleh ke belakang. “Emily, bagaimana dengan van ini? Kamu menyukainya?”
Emily mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Yubin sebentar. “Ini hanya sebuah mobil, eonnie,” jawabnya datar, lalu kembali menatap ke luar.
Yubin tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. “Ini bukan sembarang mobil. Ini van keluaran terbaru. Kamu satu-satunya model yang menggunakannya. Bahkan artis, aktor, atau idol terkenal belum diberi akses oleh CEO perusahaan.”
Emily menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Suaranya pelan namun dingin. “Apa aku harus mengucapkan terima kasih?” tanyanya sambil tetap memandang ke luar.
Yubin terdiam, bingung harus menjawab apa.
Emily menggenggam tangan di pangkuannya, jemarinya sedikit gemetar. “Yang benar saja... Aku bahkan berada di tahap di mana aku merasa sangat menjijikkan dengan diriku sendiri. Rasanya, aku ingin berkumur sampai mulutku berdarah.” Ia berhenti sejenak, suaranya pecah. “Dan aku berharap ini hanya mimpi buruk.”
Matanya terlihat berkaca-kaca saat ia berbisik, hampir tak terdengar. “Tapi kenyataannya, ini nyata. Dan itu... jauh lebih mengerikan.”
****
📍Rai's House
-Ruang Makan-
“Ini sangat mengejutkan,” ucap Rein sambil menatap layar televisi yang menampilkan berita pagi. “Bagaimana bisa semua ini berubah hanya dalam waktu semalam?”
Reymond duduk dikursi makan, matanya serius memandang layar iPad yang terbuka di depannya. Ia sedang membaca berita yang sama dengan istrinya.
“Dia tidak bersalah. Kebenaran selalu menemukan jalannya sendiri,” ujar Mattheo sambil tersenyum kecil dikursi makan.
Rein mengangguk. “Papa benar. Ah! Lihat ini, saham perusahaan kembali naik dan meningkat pesat,” ucapnya dengan nada lega, mengalihkan pandangannya pada grafik yang terlihat di layar televisi.
Mattheo mengangguk perlahan. “Kamu benar, Rein. Keadaan sudah kembali membaik.”
Rein tersenyum lembut, wajahnya menunjukkan kepuasan. Suasana paginya tampak lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.
“Hari ini kamu ada kerjaan di luar kota, kan?” tanya Mattheo sambil melirik Reymond.
“Iya, Papa Mertua,” jawab Reymond sopan.
“Menginap?” Mattheo melanjutkan, menyesap kopi dari cangkirnya.
“Sepertinya begitu, Pa,” jawab Reymond sambil mengangguk.
“Kalau begitu, sebaiknya menginap saja. Jangan memaksakan diri pulang larut malam. Pastikan kamu istirahat cukup,” ujar Mattheo dengan nada penuh perhatian.
“Baik, Papa Mertua.”
Mattheo beralih menatap putrinya. “Serein, kalau kamu masih merasa mual, katakan pada Bibi untuk menyiapkan makanan yang kamu inginkan.”
“Iya, Papa,” jawab Rein sambil tersenyum kecil.
Suasana pagi di rumah itu terasa hangat, penuh perhatian seolah hubungan keluarga mereka sempurna. Mattheo tampak seperti sosok ayah yang ideal, memperhatikan setiap kebutuhan anak dan menantunya.
Namun di balik senyumnya yang lembut, tersembunyi sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak orang. Pria itu bukan sekadar ayah penyayang—dia adalah iblis dalam balutan perhatian dan kebaikan. Setiap sikapnya adalah topeng, menutupi sifatnya yang menjijikkan, yang hanya diketahui oleh sedikit orang, atau mungkin, belum diketahui sama sekali.
Mattheo menyesap kopi lagi, senyumnya masih tergambar di wajahnya, tetapi pikirannya sedang bermain di tempat lain.
***
📍Mvvo Entertainment
Emily berdiri di luar gedung Mvvo Entertainment, matanya tertuju pada Reymond yang sedang berjalan menuju pintu masuk. Sejenak, dia terhenti di tempatnya, gelisah. "Pak Reymond? Apa sebaiknya aku bicara dengannya?" pikirnya dalam hati, menatap lelaki itu dari kejauhan.
Reymond Deonart Lee, seorang pengacara berusia 30 tahun, juga berperan sebagai pengacara pribadi di perusahaan yang dimiliki oleh Mattheo, ayah mertuanya. Jarak usia yang cukup jauh antara Reymond dan Serein, istrinya, menjelaskan sedikit banyak tentang perbedaan usia mereka yang mencolok.
“Emily, ayo masuk,” suara Yubin memecah lamunan Emily.
“Iya, eonnie,” jawab Emily, masih tampak ragu.
Dia melangkah maju, memasuki gedung perusahaan itu, namun langkahnya terhenti di depan pintu masuk. Emily menatap kosong ke arah koridor di dalam, merasakan kekhawatiran merayap dalam dirinya.
“Ini mimpi, kan?” gumamnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. “Hhh…”
••••
Di ruang latihan, Emily duduk bersama Yubin, masih memikirkan langkah yang akan diambilnya.
"Eonnie?" panggil Emily ragu.
"Hm?" jawab Yubin tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Aku… ingin bicara sesuatu dengan Pak Reymond," ucap Emily, suaranya terputus-putus karena kegelisahan.
"Kalau itu hal yang random, sebaiknya tidak usah," kata Yubin tanpa menoleh.
"Kenapa?" Emily merasa bingung, tidak mengerti alasan Yubin.
"Dia nggak akan menggubrisnya, Emily. Sikapnya itu… dingin untuk siapapun. Bahkan kalau hanya untuk bicara hal sepele sekalipun," jawab Yubin, menatap Emily sekilas.
Emily terdiam, merenung sejenak. "Aku sudah lama di sini, dan aku sudah lama melihatnya. Tapi aku nggak pernah bicara dengannya."
Yubin menghela napas pelan. “Itu karena dia cenderung hanya melibatkan orang-orang tertentu dalam percakapan. Jadi, kalau kamu mau bicara dengannya, ya harus punya alasan yang serius.”
"Kalau begitu, apa aku harus punya pertanyaan serius agar dia mau bicara denganku?" tanya Emily, terdengar putus asa.
"Yap! Pembicaraan serius. Emangnya, kamu mau ngomong apa sama Pak Reymond? Kenapa tiba-tiba?" Yubin menatap Emily dengan tatapan tajam.
Emily terdiam. Di dalam hati, dia bertanya-tanya. Mana mungkin aku mengatakan semua yang terjadi dengan Yubin eonnie? Semuanya nggak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Aku nggak punya bukti. Kalau aku mengatakan semuanya, karirku bisa hancur berantakan.
"Emily?" Yubin memanggil dengan suara lembut.
"Huh?" Emily terperanjat, kembali tersadar dari lamunannya.
"Dari tadi kamu melamun terus."
"Enggak kok," jawab Emily cepat, berusaha tersenyum.
“Ayo, kita siap-siap. Banyak sekali jadwalmu. Sangat padat. Aku bahkan harus menulis ulang jadwalmu, Emily,” kata Yubin dengan nada cekatan.
“Iya, eonnie,” jawab Emily, meski hatinya masih penuh keraguan.
Dua bulan telah berlalu, dan dengan setiap hari yang lewat, karir Emily semakin meroket. Namun, kesuksesan itu membawa tantangan baru—dia kesulitan mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Pekerjaan datang silih berganti, namun di balik itu semua, kehidupan Emily semakin membaik. Keuangan yang melimpah memungkinkan dia untuk membeli penthouse pribadi hanya dalam waktu satu bulan setelah kesuksesan karirnya dimulai.
Tak hanya itu, dirinya kini menjadi incaran berbagai brand terkenal dan pusat perhatian banyak orang. Di usianya yang masih 20 tahun, Emily telah mencapai lebih dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
Saat melangkah masuk ke dalam van hitam mewah yang baru saja diberikan kepadanya, Emily menghela napas berat. "Hhhhh… aku ngantuk sekali, eonnie," ucapnya sambil duduk di kursi belakang van.
"Kamu bisa tidur, Emily," jawab Yubin dengan nada lembut, memandang Emily yang mulai tampak kelelahan.
"Aku mau," Emily menjawab, memejamkan matanya. Seketika itu, tubuhnya terkulai dalam tidur yang lelap, melepaskan beban dari hari-harinya yang sibuk.
Namun, deringan telepon yang masuk tidak mampu membangunkan Emily. Yubin, yang duduk di sampingnya, meraih ponsel dari tas Emily dan mengangkatnya.
"Hallo?" suara Yubin terdengar ramah.
"Emily?" terdengar suara dari ujung telepon.
"Ah, Emily sedang tidur, Pak Endrick," jawab Yubin, sedikit bingung dengan alasan mengapa sekretaris Pak Mattheo menghubungi Emily.
"Begitu?" suara Endrick terdengar sejenak terdiam. "Ya sudah, kalau dia sudah bangun, suruh dia menghubungi saya."
"Baik, Pak," jawab Yubin singkat, merasa semakin penasaran.
Setelah menutup telepon, Yubin meletakkan ponsel itu kembali ke dalam tas Emily. Raut wajahnya berubah kebingungan, bertanya-tanya mengapa sekretaris Pak Mattheo, yang biasanya hanya menghubungi orang-orang tertentu, tiba-tiba menghubungi Emily.
***
📍Mvvo Entertaiment
- Ruangan Presedir -
“Kamu baru pulang, Reymond?” tanya Mattheo yang duduk dikursi kerja.
“Iya pa, saya langsung datang kemari.” Sahut Rey, yang berdiri di hadapan Mattheo dibatasi meja kerja.
“Kamu pasti sangat lelah, harus bulak balik keluar kota.” Mattheo pun beranjak berdiri.
“Itu sudah menjadi pekerjaan saya pa.” Jawabnya dengan lembut tapi terdengar tegas.
“Duduk nak.” Mattheo mempersilahkan Rey duduk disofa panjang, begitu pun dengan dirinya.
Reymond beranjak duduk disofa yang menghadap Mattheo.
“Kamu tidak ada niat untuk mengisi posisi CEO?” ucap Mattheo tanpa basa-basi.
“Maksudnya?” kening Rey, langsung mengernyit kebingungan.
“Papa ingin membuang Amanda, Reymond.” Mattheo mengatakan dengan nada santai yang terdengar tidak merasa bersalah.
“M-membuang?” ucapnya ragu dengan tatapan speechless.
“Ya, dia sudah tidak berguna menjadi CEO di perusahaan ini.”
Sejenak, Reymond diam setelah mendengarkan kata ‘membuang’ dari mulut mertuanya sendiri.
“CEO harusnya seorang pria, bukan seorang perempuan. Hanya karena dia memiliki prestasi disini, saya mengangkatnya menjadi CEO dan … para petinggi yang lain benar, kalau dia tidak bisa.”
“Prihal itu, saya tidak punya pemikiran untuk menjadi CEO pa.”
“Ayolah, CEO lebih baik, seseorang yang dekat dengan papa.”
“Itu…”
“Kamu bisa memikirkannya, mulai dari sekarang Reymond.”
Sekali lagi, Reymond hanya diam dan tidak membalas ucapan Mattheo yang terakhir.
Suara ketukan terdengar dari luar, dimana seseorang itu beranjak masuk.
“Emily?”
“Iya pak presedir.”
“Sudah lama tidak bertemu denganmu. Saya ingin bicara denganmu setelahnya.”
“Iya pak presedir.”
“Kalau begitu, saya permisi pak presedir.”
“Iya Reymond.”
Reymond beranjak keluar, dia melewati Emily dimana jari itu sengaja menyentuh punggung tangan Reymond yang sejenak, menghentikan langkahnya ketika dia merasakan jari itu menyentuh punggung tangannya.
Sekilas itu, Reymond mendengar kalau Mattheo terlihat menyapa Emily.
“Bagaimana kabarmu? saya lihat, kamu begitu banyak kerjaan akhir-akhir ini.”
“Iya pak presedir, anda benar.”
Reymond beranjak keluar, mencoba untuk mengalihkan pikirannya disaat dia bertanya dengan dirinya sendiri; kenapa Emily berlaku seperti itu.
“Come here baby.” Ucap Mattheo meminta pada Emily, gadis muda yang akhir-akhir ini dia kagumi.
Gadis itu terlihat nurut dengan permintaan sang presedir perusahaan entertaiment yang menaungi dirinya.
Tepatnya, dia tidak punya kekuatan untuk melawan dan membrontak keinginan sang presedir.
“Bagaimana pekerjaanmu sayang?” tanya Mattheo yang membiarkan Emily duduk di atas pangkuan pria itu.
“Semuanya baik-baik saja.”
“Benarkah?”
“Iya pak presedir.”
Dielusnya pipi itu, ditariknya dagu itu dan seketika itu juga dia melumat bibir puan yang ada dipangkuannya.
Emily hanya bisa diam menjadi penurut dengan permintaan presedir itu.
Bahkan ketika ciuman itu berpindah dilehernya, dia harus mendongak dan mengeluarkan desahan kecil agar sang presedir bergairah dengannya; ya, itulah permintaan sang presedir, jika dia tidak nurut, dia akan dihukum dengan ancaman-ancaman yang mengerikan.
Tangan itu dituntun memegang miliknya yang sudah mengeras sejak tadi. Tangan itu juga dituntun untuk mengeluas dan memegang secara langsung daging tak bertulang itu.
Dielusnya dan dimainkannya sampai sang pemilik merasa puas.
Tanpa berkata apapun, sang puan bahkan dituntun untuk berlutut dihadapannya. Dengan mulutnya, dia melahap milik sang presedir. Kali ini air mata itu tidak lagi keluar.
“Good job baby girl.” Dimana sang presedir puas dengan layanan yang diberikan oleh perempuan berusia muda yang jelas, lebih cocok mendapatkan peran sebagai anaknya.
***
- Parkiran Basement -
“Emily?” suara husky yang memanggil nama itu, langsung membuatnya menoleh ke belakang.
“Pak Reymond?”
Dan seseorang yang memanggil itu adalah Reymond. Dimana dia, sengaja menunggu puan itu keluar.
“A-ada apa?” tanya Emily yang sedikit gugup saat Reymond menatap tajam pada dirinya.
“Bagaimana kerjaanmu?”
“Kerjaan saya baik, pak Reymond.”
“Begitu?”
“Iya.”
Hening; itulah yang terjadi diantar keduanya. Emily diam tanpa mengeluarkan pertanyaannya dan Reymond yang diam tanpa melanjutkan pertanyaannya.
“S-saya permisi pak Reymond.”
“Iya.”
Puan itu pun, beranjak masuk ke dalam mobil merah miliknya pribadi. Dan mobil sedan merah berjenis ferarri itu melaju keluar dari basement parkiran gedung perusahaan.
“Hhhh…” dan pria itu, hanya menghela napasnya dengan berat.
***
📍Rai’s House
“Sayang, kamu sudah pulang?”
“Hm.” Singkatnya yang sembari melonggarkan dasi yang tersemat dikerah kemejanya.
“Bagaimana hari ini?”
“Cukup baik.”
“Baguslah kalau begitu. Ah! sayang, temanku, membutuhkan pengacara, apa kamu bisa mengambilnya?”
“Untuk sekarang, saya tidak bisa menambah klien.”
“Kalau begitu, aku akan meminta kak Michael untuk mengambilnya.”
“Hm.” Singkatnya lagi dan beranjak dari hadapan Serein.
“Apa yang terjadi?” tanya Rein pada dirinya sendiri, “dia terlihat berbeda akhir-akhir ini.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!