NovelToon NovelToon

Benih Pak Dokter

Malam kelam

"Tolong bantu saya. Saya janji saya akan bertanggungjawab" Pinta pria yang kini sudah mengungkung Naya di bawah tubuh kekarnya.

Nafas pria yang Naya kenal sebagai dokter spesialis saraf di rumah sakit tempatnya bekerja itu tampak terengah-engah sepertu habis berlari puluhan meter. Tapi matanya terlihat berkabut dan seluruh wajahnya tampak merah.

"Dokter, saya mohon lepaskan saya dok!" Naya memohon dengan air matanya yang sudah tumpah ruah. Dia begitu ketakutan saat ini.

Kedua tangannya terkunci di atas kepalanya sementara kedua kakinya di jepit dengan kedua kaki milik dokter tampan dan berkarisma itu. Naya pun tak bisa berkutik sama sekali saat ini.

"Saya mohon, saya sudah tidak kuat lagi. Saya akan bertanggungjawab untuk perbuatan bejat ini. Saya minta maaf karena menyakitimu!"

"Tidak dokter!! Ini tidak be...mmbbhtttt"

Terlambat, bibir naya sudah terlanjur di bungkam oleh dokter idola di rumah sakitnya itu. Dokter yang selama Naya bekerja di sana sebagai perawat terlihat seperti pria yang dingin namun penuh karisma. Kehebatannya menangani pasien menjadi nilai plus tersendiri bagi dokter yang sekaligus menjabat sebagi Direktur rumah sakit itu.

Tangisan Naya yang begitu pilu sama sekali tak menghentikan aksi bejat yang di lakukan oleh dokter dari keluarga Natawira. Dia adalah Mahesa Natawira. Pria berusia tiga puluh tahun yang tampan dan berasal dari keluarga kaya.

Pria itu justru terus menjelajahi tubuh Naya hingga tanpa rasa iba sedikitpun. Naya sendiri merasa begitu kotor saat ini. Dia tidak mau membuka matanya. Tak mau melihat bagaimana pria itu mengambil kesuciannya yang telah ia jaga selama dua puluh satu tahun ini.

Naya pun tak menyangka jika dia akan berakhir mengenaskan di ranjang yang sama dengan seorang pria yang menjadi atasannya itu.

Seakan dunia Naya benar-benar runtuh saat ini. Dia baru saja lulus kuliah beberapa bulan yang lalu dan baru saja bekerja di rumah sakit dr. Catra Natawira dua bulan yang lalu.

Tapi kini dia harus mengalami kejadian kelam seperti itu. Dia tidak tau lagi nasibnya setelah ini bagaimana. Masa depan yang Naya impikan justru hilang begitu saja dari pikirannya saat dokter tampan itu sudah melepas satu persatu kain yang menempel pada tubuhnya.

"Ini akan sakit, tapi ini tak akan berlangsung lama. Sungguh aku minta maaf tapi aku tak bisa lagi menahan gejolak ini"

Naya seakan tuli, dia tak ingin lagi mendengarnya. Bahkan des ahan kenikmatan dari dokter itu membuat Naya semakin jijik pada dirinya sendiri.

Andai saja dia tak datang ke acara seminar itu untuk menggantikan rekannya, dia pasti tidak akan terjebak dengan dokter yang sedang menggagahinya itu.

Tapi nasi telah menjadi bubur, penyesalan tinggal penyesalan. Naya tak dapat memutar waktu, dia juga tak bisa menghindar lagi apalagi saat ini dia tengah merasakan sakit yang luar biasa di bawah sana ketika benda asing milik dokter itu telah mengoyak bagian bawahnya.

"Jangan menangis, aku pasti akan bertanggungjawab. Pegang janjikuhhhhh!!"

Naya menggeleng dengan pelan diiringi dengan air matanya yang tiada henti. Bagaimana mungkin dokter itu mengumbar janji dengan diiringi suara des ahan seperti itu. Saat ini Naya benar-benar merasa begitu hina.

Hentakan deki hentakan di berikan pria di atasnya itu dengan kuat sampai seluruh tubuh Naya tersentak berkali-kali. Naya hanya bisa pasrah di bawah sana karena tak ada tenaga lagi. Seluruh tubuhnya juga sudah lemah. Dia terus mengigit bibir bawahnya dengan kuat.

Tak dapat di pungkiri, walah awalnya menyakitkan tapi tubuhnya tak bisa mengelak lagi saat ini. Tubuh bagian bawahnya mulai bereaksi. Dia ingin mengeluarkan sesuatu yang mendesak ingin keluar. Semakin pria itu menghentakkan pinggulnya, semakin kuat juga rasa membuncah itu ingin meledak dari tubuh Naya.

Hingga akhirnya Naya tak berdaya lagi, tubuhnya melengkung dengan tangannya yang mencengkeram kuat selimut di putih bersih yang menjadi alasnya saat ini.

"Aku benar-benar menjijikkan" Teriak Naya dalam hatinya.

"Akkhhhh!!" Pekik suara berat itu tak lama setelah berhasil membuat Naya lemas.

Tubuh kekar itu pun ambruk di sisi Naya. Nafasnya yang terengah-engah itu justru semakin menyakiti hati Naya.

Wanita yang kini telah rapuh itu membalikkan tubuhnya yang remuk untuk membelakangi pria itu.

Meski dia baru bekerja dua bulan di rumah sakit itu, tapi dia tau betul siapa pria itu. Dia adalah Mahesa Natawira. Pewaris dari rumah sakit yang ia jadikan tempat mengais rejeki. Dia sudah lama mengenal pria itu sebagai Kakak Gisel, sahabatnya waktu SMA.

Dulu dia sering datang ke rumah Gisel dan pernah sesekali bertemu dengan pria itu, tapi itu sudah sekitar empat tahun yang lalu. Pasti pria itu jiga lupa dengannya. Namun yang dari dulu Naya tau, pria itu adalah pria yang baik dan sangat menyayangi Ibu serta adiknya. Tapi yang ada di belakangnya saat ini, justru terlihat mengerikan.

"Kamu perawat di bangsal apa?"

Naya masih diam saja sata pria itu bertanya. Pasti pria itu tau tentang dirinya yang berprofesi sebagai seorang perawat di rumah sakitnya karena Naya memang menggunakan seragam perawat milik rumah sakit itu.

"Sekali lagi aku minta maaf karena merenggut kesucian mu. Kalau dalam keadaan sadar tentu aku tidak akan melalukan perbuatan bejat seperti ini. Ada seseorang yang sengaja menjebak ku dengan menambahkan obat di minuman ku sehingga aku kehilangan kendali. Tapi kamu tidak usah takut, aku pasti akan bertanggungjawab. Pegang janjiku" Terdengar penyesalan yang cukup jelas dari setiap kata yang Hesa ucapkan. Begitulah sapaan yang di berikan untuk dokter tampan itu.

Dia benar-benar tidak akan memaafkan orang yang berani bermain-bermain dengannya itu.

"Jangan pergi dulu, tunggu aku bersih-bersih. Nanti ku antar pulang" Ucap Hesa sebelum beranjak ke kamar mandi.

Tangis Naya justru pecah setelah Hesa tak terlihat lagi. Dia menggosok kulitnya yang telah terjamah pria itu dengan kasar. Dia benar-benar merasa kotor saat ini. Otaknya sudah buntu, dia tak tau apa yang harus ia lakukan setelah ini.

Tak mungkin juga dia keluar dari rumah sakit itu karena dari dulu impiannya adalah bekerja di sana. Rumah sakit yang terkenal akan dedikasinya yang baik untuk masyarakat serta mensejahterakan semua tenaga medis yang bekerja di sana.

Selain itu, mencari pekerjaan di rumah sakit tidak mudah untuk saat ini. Naya juga sedang butuh uang banyak untuk melunasi hutang Ayahnya. Tapi kalau dia tetap berada di sana. Sanggupkan dia terus bertemu dengan dokter itu setelah semua yang mereka alami?

Naya beranjak dari ranjang yang menjadi saksi bisu untuk perbuatan hinanya itu dengan tertatih.

Dia memakai bajunya lagi dengan tergesa-gesa. Dia harus segera pergi dari sana sebelum Hesa keluar dari kamar mandi. Dia tak ingin berhadapan dengan pria itu lagi saat ini.

Sementara Hesa yang keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk sebatas pinggang itu tampak kebingungan karena tak mendapati wanita yang baru saja ia tiduri.

Tapi matanya tertuju pada ID card yang pastinya tak sengaja terjatuh di sana karena benda itu berada di dekat pintu kamar hotel.

"Kanaya Nafisa" Gumam Hesa membaca nama yang ada di bena itu.

Sahabat lama

Naya sampai di rumahnya hampir pagi buta. Dia sebenarnya tak ingin kembali ke rumah saat ini. Dia tak ingin mendapatkan tatapan tajam dari kedua orang tuanya. Dia juga enggan mendengarkan ocehan kedua orang tuanya yang selalu membuat telinganya berdengung. Tapi dia tak tau lagi harus pergi ke mana selain ke gubuk derita itu.

Rumah yang katanya orang menjadi tempat pulang dan berlindung dari kerasnya dunia, tapi bagi Naya rumah itu layaknya gubug derita yang selalu membawa air mata.

Cklek...

Naya membuka pintu rumahnya sepelan mungkin. Dia memang membawa kunci cadangan di rumahnya itu karena dia sering pulang larut malam setelah bekerja.

Dia hanya berdoa semoga saja Ibunya tidak mendengar suaranya karena dia sedang tidak baik-baik saja saat ini untuk mendengar amarah Ibunya.

Terkadang Naya berpikir apa dia bukan anak kadung orang tuanya. Kenapa dari dulu mereka tidak memberikan kasih sayang layaknya orang tua pada anak mereka.

Wanita berusia dua puluh satu tahun itu langsung luruh di balik pintu kamarnya. Tangisnya kembali pecah kala mengingat kejadian yang baru saja ia alami.

"Tanggung jawab?" Lirih Naya di sela tangisannya.

"Apa benar dia akan tanggung jawab. Sementara dia adalah seorang Direktur rumah sakit dan aku?" Naya membenamkan wajahnya di sela kedua lututnya.

Seandainya saja dokter Hesa mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, Naya merasa tak pantas untuk bersanding dengan pria itu.

Apalagi tak ada cinta di antara mereka. Pernikahan yang dilandasi dengan cinta saja bisa hancur apalagi cinta tanpa ada cinta yang mengikat di dalamnya.

Naya memegang perutnya. Dia hanya bisa berharap kalau dia tidak akan hamil hanya dengan satu kali perbuatan dosa itu. Kalau di ingat, saat ini bukanlah masa suburnya. Jadi kemungkinan besar hasil hubungan kelamnya tidak akan meninggalkan benih yang tumbuh di rahimnya.

Semalaman Naya tak memejamkan matanya sama sekali hingga kini dia harus segera berangkat untuk dinas pagi.

Seperti biasa dia akan menyiapkan sarapan untuk kedua orang tuanya yang masih terlelap meski matahari sudah menampakkan sinarnya.

"Pulang jam berapa kamu?!!"

Naya sempat terkejut dengan kedatangan Ibunya yang tiba-tiba.

"Naya pulang malam Bu, tapi lupa jam berapa"

"Pulang hampir subuh Bu, aku tadi dengar saat dia pulang" Sahut seorang remaja pria berseragam putih abu-abu. Dia adalah adik Naya satu-satunya sekaligus anak kebanggan Ayah dan Ibu Naya.

"Kelayapan ke mana kamu?"

"Naya sudah bilang sama Ibu kemarin kalau Naya ikut seminar Bu. Acaranya selesai tengah malam, jadi Naya pulang hampir subuh karena jarang sekali ojek jam segitu" Naya harus mencari berbagai macam alasan agar Ibunya tak lagi memperpanjang masalah itu. Lagipula masalahnya akan selesai dari tadi andai saja Wisnu tak ikut campur.

Adiknya itu memang mengikuti kedua orang tuanya yang tak menyukai Naya. Sudah Naya bilang, rumah itu memang gubug derita untuknya. Tak ada yang menyayanginya di rumah itu. Mau pergi dari sana pun Naya selalu di tuntut dengan alasan balas budi oleh Ayahnya yang pengangguran itu.

"Awas ya kalau kamu berani kelayapan nggak jelas!"

"Iya Bu, Naya berangkat dulu. Assalamualaikum"

Naya sengaja menghindari Ibunya dengan cepat-cepat berangkat kerja sebelum Ibunya semakin panjang menceramahinya. Padahal Naya juga belum sarapan sama sekali.

Tapi, sama saja Naya saat ini tak ada selera makan. Jadi dia langsung saja berangkat ke rumah sakit.

"Di mana ID card ku?" Naya mencari benda itu di dalam tasnya ketika ia telah sampai di depan rumah sakit.

"Kok nggak ada?"

Naya ingat betul kalau dia belum mengeluarkan apapun dari tasnya itu. Tapi kemana benda yang wajib dikenakannya saat bertugas sebagi tenaga medis di rumah sakit dr. Catra itu.

Deg...

Jantung Naya seperti berhenti berdetak. Dia seolah ingat di mana benda itu berada.

"Pasti dokter Hesa sudah menemukannya"

Naya kembali ketakutan. Dia takut jika nanti akan berhadapan lagi dengan Direkturnya itu.

"Naya!"

Naya tersentak karena kedatangan Rendra yang begitu tiba-tiba.

"Eh, dokter Rendra ngagetin aja" Naya berusaha menyembunyikan keterkejutannya.

"Kamu kenapa? Kok pucat gini? Mata kamu juga capek banget kayaknya. Nggak tidur semalaman ya?"

"E-enggak dokter. Cuma agak nggak enak badan aja" Naya cukup terkejut karen Rendra bisa menebak jika dirinya tak tidur semalaman.

Dokter muda itu adalah dokter umum yang baru saja masuk ke rumah sakit itu bersamaan dengan Naya. Sbelumnya Rendra bertugas di rumah sakit yang berada di bandung.

"Nggak enak badan? Kamu udah periksa? Atau biar aku yang periksa kamu ya?"

"Nggak usah dok. Saya udah minum obat kok"

"Ya udah kalau gitu, tapi ngomong-ngomong aku mau kenalin seseorang sama kamu"

"Siapa dok?" Naya terlihat penasaran.

"Dia sepupu ku, mulai hari ini dia akan jadi dokter koas di sini. Sebentar lagi dia da... Itu dia!!" Rendra melambaikan tangannya pada wanita cantik yang berjalan dengan anggun ke arahnya.

"Gisel??" Gumam Naya.

"Naya??" Wanita itu juga sama terkejutnya.

"Jadi kalian saling kenal?" Rendra menatap sepupunya juga pada Naya secara bergantian.

"Naya, astaga Nay. Akhirnya kita ketemu lagi" Wanita bernama Gisel itu langsung memeluk Naya.

Dia adalah sahabat Naya waktu di bangku SMA dulu. Mereka sempat loss kontak karena Gisel mengambil kuliah kedokteran di luar kota. Kesibukan mereka masing-masing membuat mereka tak lagi berhubungan.

"Gisel, kamu apa kabar?" Naya membalas pelukan wanita yang semakin hari semakin terlihat cantik itu.

"Aku baik Nay. Aku kangen sama kamu tau. Kamu kerja di sini juga?" Gisel melepaskan pelukannya.

"Iya sudah dua bulan ini aku jadi perawat di sini"

"Kalau tau kamu kerja di, aku minta sama Kakak buat masukin aku ke sini sejak awal"

Deg...

Tubuh Naya menegang ketika Gisel menyebut kata Kakak. Pasalnya Naya tau betul siapa Kakak dari Gisel itu.

"Jawab dulu pertanyaan ku, kalian kok bisa saling kenal?" Rendra protes karena sejak tadi melihat drama kangen-kangenan dua wanita di depannya itu.

"Gini loh Ren, Naya sama aku itu satu SMA. Tapi kita udah lama nggak saling tukar kabar. Makanya aku kaget banget lihat dia ada di sini" Jelas Gisel membuat Rendra mengangguk mengerti.

"Ya udah Nay, aku masuk dulu ya. Aku harus ketemu Kak Hesa dulu ya. Takutnya dia ngamuk kalau aku belum menemuinya dulu. Nanti siang aku cari kamu. Kita makan siang bareng ya? "

"Iya, aku juga harus bekerja Gisel. Saya duluan ya dokter Rendra"

"I-iya. Jadi kalian ninggalin gue sendirian nih?" Rendra pun mulai pergi ke ruangannya. Menyusul kedua wanita yang telah meninggalkannya dengan berbeda arah itu.

Sementara Naya langsung menuju ke bangsalnya. Yaitu di bangsal penyakit dalam. Meski Naya adalah perawat junior di sana, namun keuletannya serta sikapnya yang ramah membuat dia di sukai banyak pasien yang ada di sana.

"Selamat pagi Suster Sita, selamat pagi semua" Sapa Naya pada kepala perawat di bangsal itu terlebih dahulu.

"Pagi suster Naya" Sahut Sita. Wanita yang sudah menginjak kepala empat itu mendekat pada Naya.

"Suster Naya, sebenarnya masalah apa yang kau perbuat sampai dokter Hesa memintamu datang ke ruangannya sekarang juga?"

Deg...

"A-apa Suster Sita? Dokter Hesa meminta saya ke ruangannya?"

Keras kepala

Naya tampak ragu untuk mengetuk pintu ruangan Direktur rumah sakit itu. Dia benar-benar ketakutan saat ini karena Naya tentu saja tau apa alasan dokter Hesa memanggilnya. Pasti itu tak jauh-jauh dari peristiwa tadi malam.

Naya terus meremas jari-jarinya. Dia ingin berlari pergi dari sana dan mengurungkan niatnya untuk memenuhi panggilan dokter Hesa. Tapi bagaimana jika nanti dokter Hesa memecatnya.

Tok..tok..

Wanita berparas ayu itu mengetuk pintu ruangan bertuliskan Direktur RS. dr. Catra Natawirya itu.

"Masuk!"

Naya sudah merinding seluruh badan ketika mendengar suaranya saja. Kakinya terasa begitu berta untuk melangkah masuk.

Telah berselang beberapa detik dari Naya yang mengetuk pintu, tapi wanita itu masih diam berdiri di depan pintu.

Cklek...

Naya tersentak saat pintu itu justru terbuka lebih dulu dari dalam.

"S-selamat pagi dokter" Naya menunduk tak berani menatap pria yang tinggi menjulang di hadapannya.

"Masuk!!" Titah Hesa pada Naya seolah tak ingin di bantah. Dia pun segera menggeser tubuhnya untuk memberi jalan pada Naya.

"Permisi dokter" Naya masih menunduk saat melewati Hesa yang masi berdiri di pintu.

"Duduklah!" Pinta Hesa pada Naya yang masih berdiri sambil menundukkan kepalanya terus-menerus.

"M-maaf Pak dokter. Tapi ada perlu apa ya Pak dokter memanggil saya?" Naya yang merasa was-was tentu saja tak mau berlama-lama di dalam ruangan itu, apalagi untuk sekedar duduk.

Hesa tampak membuang nafasnya dengan kasar. Dia pun menatap Naya yang berdiri agak jauh darinya.

"Nama kamu Kanaya Nafisa?"

"B-benar dokter" Jawab Naya terbata.

Tak heran jika Direktur rumah sakit itu begitu mudah menemukannya bahkan mengetahui namanya.

"Berhenti berpura-pura nggak terjadi apa-apa di antara kita. Saya yakin kamu pasti ingat dengan apa yang terjadi tadi malam"

Sudah Naya duga kalau Hesa memanggilnya pasti karena masalah tadi malam.

"Saya akan menepati janji saya tadi malam. Ayo kita menikah!"

Deg....

Naya merasa udara di sekitarnya telah habis tak tersisa hingga dia kesusahan mengambil nafas. Naya tak menyangka jika Hesa benar-benar akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Maaf sebelumnya dokter. Tadi malam dokter melakukan itu karena ada yang sengaja menjebak dokter. Bukan niat dokter sendiri yang merenggut kesucian saya. Jadi lebih baik lupakan saja kejadian tadi malam dokter. Anggap saja itu hanyalah sebuah kecelakaan. Saya tidak akan menuntut tanggungjawab dari dokter. Sa..."

"Segampang itu kamu merelakan kesucian kamu?" Potong Hesa menatap Naya dengan heran.

"B-bukan begitu dokter. Saya cuma tidak mau menuntut tanggungjawab dari dokter untuk menikahi saya karena saya tau menikah karena tanggungjawab semata itu hanya akan membebani dokter saja. Saya sendiri juga belum siap menikah dok"

Bohong jika Naya tak butuh tanggungjawab itu. Dia sudah kehilangan kesuciannya dan masa depannya. Tapi dia tidak mau menikah dengan konglomerat itu hanya karena sebatas tanggungjawab. Naya tidak akan tau akan di bawa kemana rumah tangganya nanti jika itu yang menjadi alsan mereka menikah.

Naya juga yakin kalau Hesa pasti punya wanita yang di idam-idamkan. Dia juga tak akan bisa masuk ke dalam lingkungan orang-orang kaya itu dengan jalur tanggungjawab.

Naya tentu saja malu dan tak pantas, keadaan dirinya dan keluarganya menjadi beban tersendiri. Dia tidak mau keberadaannya di sisi Hesa justru akan mempermalukan Hesa suatu saat nanti.

"Lalu bagaimana jika kamu hamil?"

Naya di buat terkesiap karena Hesa mengingatkannya tentang satu hal itu.

"Dokter tenang saja. Saya tidak akan hamil karena seingat saya sekarang bukan masa subur saya" Jawab Naya dengan yakin.

"Masih ada kemungkinan nol sampai lima persen untuk kamu hamil walau kita melakukannya tidak di masa subur mu suster Kanaya!"

Naya melupakan kemungkinan kecil itu. Meski presentasenya sangat amat kecil, namun kemungkinan itu masih ada. Naya hanya berharap jika Naya tidak akan berada di kemungkinan kecil itu.

"Saya yakin tidak akan hamil dokter!" Naya masih mencoba meyakinkan Hesa. Di benar-benar terlihat tidak mau terikat dengan pria itu.

Padahal di luaran sana banyak sekali wanita yang ingin di ajak ke pelaminan oleh Hesa. Tapi seorang Kanaya Nafisa. Wanita berusia dua puluh satu tahun itu justru menolak.

"Yang saya tanyakan, gimana kalau kamu hamil!!" Tegas Hesa ingin sekali mematahkan keyakinan Naya itu.

Biar bagaimana pun dia bersalah, dia yang memaksa wanita di hadapannya itu untuk melayani naf su bejatnya.

Tapi niatnya untuk bertanggungjawab justru di tolak mentah-mentah oleh Naya. Jadi sekarang dia semakin bingung ketika niat baiknya di tampik begitu saja.

"Kalau kamu sampai hamil, saya tidak menerima penolakan dari kamu lagi!"

"Sekali lagi maaf dokter, kalaupun saya hamil, saya janji saya tidak akan meminta tanggungjawab dokter dengan ikatan pernikahan. Saya akan membesarkan anak itu sendiri tanpa bantuan dokter. Saya yakin saya mampu dok"

Hesa meraup wajahnya dengan kasar. Baru kali ini dia menghadapi orang yang begitu keras kepala seperti Naya.

"Kamu pikir saya akan diam saja saat melihat wanita di luar sana hamil anak saya? Kamu seperti menganggap saya ini pria yang tidak punya tanggungjawab"

"B-bukan begitu maksud saya dokter. Saya cu.."

"Jadi apa yang membuat kamu tidak mau menerima pertanggungjawaban saya?" Potong Hesa.

Tapi Naya hanya bisa bungkam, tak mungkin dia mengatakan alasan yang sebenarnya. Yaitu karena status sosial mereka yang berbeda, juga karena cinta yang tak ada di hati mereka berdua.

"Saya akan tetap menikahi kamu baik hamil atau tidak hamil!!" Tegas Hesa.

"Kalau kamu khawatir soal rumah tangga kita yang tidak di dasari dengan cinta, kamu tenang saja, cinta itu bisa datang seiring dengan berjalannya waktu. Saya serius mau menikahi kamu. Jadi tolong terima niat baik saya"

Naya terkejut karena Hesa bisa tau salah satu alasan yang ada di dalam pikirannya. Tapi itu saja menurutnya tidak cukup. Naya akan tetap pada pendiriannya. Dia yakin kalau dia tidak akan hamil dan tidak perlu menikah dengan pria yang amat sangat jauh untuk ia gapai itu.

"Tapi dok, sa..."

"Ini ID card kamu. Kembalilah bekerja karena pembicaraan kita sudah selesai" Hesa menyerahkan ID card milik Naya yang ia simpan di kantung jasnya.

Naya pun mengambilnya dengan tangan gemetar, memang itulah reaksi tubuhnya saat ini jika berhadapan dengan Hesa.

"Terimakasih Pak"

"Kenapa kamu gemetar seperti ini? Kamu sakit hmm?" Tanya Hesa dengan lembut, dia menahan tangan Naya yang masih menggantung di udara namun Naya buru-buru melepasnya.

"Maaf dokter sa..."

"Kakak??!!" Suara perempuan yang tiba-tiba masuk ke ruangan Hesa membuat Naya begitu terkejut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!