Hujan deras mengguyur malam itu, menenggelamkan suara langkah kaki yang bergegas di jalanan berbatu. Langit gelap menggantung rendah, seakan hendak menelan seluruh desa kecil di lembah itu. Desiran angin membawa bau tanah basah, bercampur aroma bunga mawar yang tiba-tiba terasa begitu menyengat.
Arjuna, seorang pria muda yang dikenal penduduk desa karena keberaniannya, berlari menembus badai. Dia tidak mempedulikan pakaian basah kuyup atau dinginnya angin yang menusuk tulang. Di tangannya tergenggam lentera yang redup cahayanya, hampir padam oleh hujan. Dia tidak punya waktu untuk kembali ke rumah, meski ibunya sudah memperingatkan agar malam ini tidak keluar.
"Jangan pergi ke bukit itu, Jun!" seru ibunya sebelum badai datang. "Ada cerita yang tak pernah bisa dijelaskan. Jika kau mendengar suara lonceng, jangan ikuti."
Namun, peringatan itu justru menjadi alasan Arjuna berada di sini sekarang. Suara lonceng itu… Ia mendengarnya lagi. Samar, melengking di antara gemuruh petir, memanggil dari arah hutan tua yang terlarang. Suara itu seperti undangan, sebuah jeritan minta tolong yang menggema di kepalanya.
---
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah tua yang terbengkalai di tengah hutan. Rumah itu besar, berarsitektur kolonial dengan jendela-jendela tinggi yang pecah di beberapa sisi. Mawar liar tumbuh merambat di dinding batu, menyelimuti hampir seluruh bangunan. Anehnya, mawar-mawar itu tetap merah cerah meski di tengah badai yang menggila.
Pintu kayu besar yang sudah lapuk berdiri sedikit terbuka, mengeluarkan bunyi derit setiap kali tertiup angin. Arjuna menarik napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang salah di tempat ini, tapi dorongan untuk masuk terlalu kuat untuk diabaikan.
"Lonceng itu..." gumamnya. Dia mendengarnya lagi, lebih keras kali ini, berasal dari dalam rumah.
Dia mendorong pintu, yang terbuka dengan mudah, memperlihatkan interior gelap dan penuh debu. Udara di dalam terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Namun, yang paling mencolok adalah aroma mawar yang semakin pekat, hampir membuatnya pusing.
Cahaya lentera di tangannya menari-nari di dinding ruangan, memperlihatkan potongan-potongan kenangan yang tertinggal. Ada foto keluarga yang usang, sebuah piano tua yang salah satu tuts-nya patah, dan cermin besar dengan bingkai emas yang berkarat. Tapi cermin itu... ada sesuatu yang salah dengannya.
Arjuna berhenti di depan cermin, menatap pantulannya yang buram. Namun, alih-alih melihat dirinya sendiri, ia melihat seorang wanita dalam gaun merah berdiri di belakangnya. Wajahnya tertutup rambut panjang yang kusut, tetapi ada setitik cahaya di mata gelapnya yang membuat Arjuna terpaku.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara serak.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya menatapnya melalui cermin, sebelum perlahan-lahan mengangkat tangan, menunjuk ke arah sebuah pintu di sudut ruangan. Pintu itu terkunci dengan rantai besi, dan di atasnya tergantung sebuah lonceng kecil yang terbuat dari perak.
"Lonceng itu..." bisik Arjuna, tubuhnya gemetar.
Seketika, pintu di belakangnya tertutup dengan keras, membuat lentera di tangannya hampir terjatuh. Wanita itu menghilang dari cermin, tetapi lonceng di pintu rantai mulai berdenting pelan, seolah ada angin yang tak kasat mata menyentuhnya.
Arjuna melangkah mundur, tapi kakinya tersandung sesuatu. Dia terjatuh, dan lentera yang digenggamnya padam. Kini dia benar-benar dalam kegelapan.
"Jangan pergi..." Suara wanita itu tiba-tiba terdengar, begitu lembut namun penuh kepedihan, seperti seseorang yang menangis di kejauhan. "Tolong aku..."
Rasa takut bercampur rasa penasaran membuat Arjuna bangkit berdiri. Meski akalnya berkata untuk pergi, hatinya berkata lain. Ada sesuatu di balik pintu itu, sesuatu yang membutuhkan pertolongannya.
Dengan tangan gemetar, dia meraba dinding, mencari sumber cahaya lain. Tangannya menyentuh sebuah lilin besar di atas meja dekat piano. Dia menyalakannya dengan korek api yang selalu ia bawa di saku. Cahaya kecil dari lilin memperlihatkan lebih banyak detail ruangan.
Di meja itu, Arjuna melihat sesuatu yang aneh. Sebuah buku catatan kulit, dengan lembaran yang sudah menguning. Judulnya tertulis dengan tinta merah: "Kisah Pengantin Mawar."
Dia membuka halaman pertama, dan membaca dengan suara pelan:
"Pada malam bulan purnama, seorang pengantin merah akan kembali untuk mencari mempelai yang hilang. Ia menangis untuk cinta yang terputus, untuk janji yang tak terpenuhi. Mawar merah adalah tanda keberadaannya, dan darah adalah harga yang harus dibayar untuk membebaskannya."
Arjuna terdiam. Kisah itu seperti legenda yang pernah ia dengar waktu kecil, tentang seorang wanita yang bunuh diri karena ditinggalkan oleh kekasihnya di hari pernikahan. Namun, ia tidak pernah percaya cerita itu nyata—sampai sekarang.
Suara lonceng kembali berbunyi, kali ini lebih keras, memecah keheningan. Pintu berantai di sudut ruangan tiba-tiba terbuka sendiri, rantainya jatuh ke lantai dengan suara berdentang.
---
Dengan lilin di tangan, Arjuna melangkah masuk ke ruangan di balik pintu itu. Ruangan itu jauh lebih gelap dan dingin. Aroma mawar semakin menyengat, membuatnya mual.
Di tengah ruangan, ada sebuah altar kecil yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah meleleh. Di atas altar itu, ada sebuah gaun pengantin merah, tergantung tanpa tubuh yang memakainya. Darah mengering di sekitar pinggang gaun itu, dan di atasnya, ada seikat mawar merah yang tampak segar.
"Darah untuk membebaskan..." gumam Arjuna, mengingat tulisan di buku tadi.
Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, bayangan wanita itu muncul lagi, kali ini berdiri tepat di depan altar. Wajahnya kini terlihat jelas. Kulitnya pucat seperti mayat, bibirnya membiru, dan matanya menangis darah. Tapi di balik semua itu, ada kesedihan yang begitu dalam, seperti jiwa yang kehilangan segalanya.
"Tolong aku..." katanya lagi, suaranya hampir tak terdengar.
Arjuna merasa lututnya lemas, tapi dia tidak mundur. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, suara gemetar.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya, menunjuk pada mawar di atas altar. Saat itulah Arjuna menyadari bahwa jarinya berlumuran darah, dan darah itu menetes ke lantai, membentuk pola seperti lingkaran ritual.
---
Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, pintu di belakangnya tertutup dengan keras, membuatnya terperangkap di ruangan itu. Cahaya lilin di altar mulai bergetar, seperti hendak padam.
"Tolong aku... atau aku akan terus di sini, menangis selamanya."
Suara itu kini terdengar seperti teriakan, memenuhi seluruh ruangan. Arjuna tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia merasa tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, dia mengambil mawar dari altar.
Namun, saat dia menyentuhnya, duri mawar itu menembus kulitnya, membuat darahnya menetes ke gaun pengantin di bawahnya. Seketika, ruangan itu bergetar hebat. Lilin-lilin di sekitarnya padam, dan bayangan wanita itu mulai memudar.
Arjuna terjatuh, pingsan karena rasa lelah dan takut yang bercampur menjadi satu. Sebelum semuanya menjadi gelap, dia mendengar bisikan terakhir dari wanita itu:
"Terima kasih... tapi ini baru permulaan."
Ketika Arjuna sadar, dia sudah berada di luar rumah tua itu, basah kuyup oleh hujan yang entah sejak kapan berhenti. Namun, mawar merah yang tadi dia pegang kini ada di tangannya. Dan di kejauhan, suara lonceng itu berbunyi lagi, kali ini lebih lembut, seolah menyambut sesuatu yang baru saja bangkit.
Arjuna duduk di tepi tempat tidurnya, tatapan matanya kosong menatap mawar merah yang kini tergeletak di meja kayu usang di sampingnya. Cahaya matahari pagi yang lembut mencoba menembus tirai jendela, tapi ruangan itu terasa tetap suram, seperti ada bayangan yang terus mengintai.
Semalaman dia tidak tidur. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah wanita itu muncul lagi, memanggilnya dengan suara lirih yang menembus mimpi. “Tolong aku... ini baru permulaan.” Kata-kata itu terus terngiang di telinganya, menggema, membuatnya semakin gelisah.
“Apa yang kau inginkan dariku?” Arjuna bergumam, mengusap wajahnya yang lelah.
Pikirannya berkecamuk. Peristiwa malam sebelumnya terasa seperti mimpi buruk, tapi luka kecil di jarinya, bekas duri mawar yang menusuk, membuktikan semuanya nyata. Tidak ada yang tahu dia pergi ke rumah itu—bahkan ibunya yang selalu khawatir pun tidak curiga saat dia kembali pagi buta, basah kuyup dan gemetar.
Namun, Arjuna tahu bahwa dirinya tidak bisa terus mengabaikan ini. Mawar merah di meja itu... kenapa tidak layu sama sekali? Kenapa aromanya masih tetap sama kuatnya seperti malam itu?
Ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.
“Jun, kau sudah bangun?” suara ibunya terdengar, lembut seperti biasa.
“Sudah, Bu. Masuk saja.”
Pintu berderit saat dibuka. Wajah ibunya langsung berubah cemas saat melihat kondisi Arjuna. “Kau sakit? Wajahmu pucat sekali.”
Arjuna memaksakan senyum. “Tidak, Bu. Hanya kurang tidur. Banyak pikiran.”
Ibu Arjuna duduk di tepi tempat tidur, menatap putranya dengan sorot penuh kasih. “Kau masih muda, Jun. Jangan terlalu banyak menanggung beban sendiri. Kalau ada yang mengganggumu, ceritakan pada Ibu.”
Arjuna ingin menceritakan semuanya—tentang suara lonceng, wanita di gaun merah, dan rumah terkutuk itu. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak mengerti?
“Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya mimpi buruk.”
Namun, saat itu juga, suara lonceng samar terdengar lagi. Arjuna membeku. Itu adalah suara yang sama seperti malam sebelumnya. Ia menoleh ke jendela, tapi tidak ada apa-apa di luar sana kecuali angin yang menggerakkan daun-daun.
“Jun? Kau kenapa?”
“Tidak, Bu. Tidak apa-apa.”
Ibunya memiringkan kepala, memperhatikan Arjuna dengan tatapan curiga. “Kalau kau lelah, istirahat saja dulu. Ibu buatkan teh hangat, ya?”
Arjuna mengangguk, berusaha mengalihkan perhatian ibunya. Begitu ibunya keluar dari kamar, dia kembali menatap mawar merah itu. Suara lonceng semakin jelas, seperti memanggilnya lagi.
Arjuna tidak bisa bertahan lebih lama. Panggilan dari rumah tua itu terlalu kuat. Suara lonceng, bisikan wanita, dan bayangan gaun merah terus menghantuinya. Dengan membawa lentera yang sama seperti malam sebelumnya, dia berjalan lagi ke arah hutan, meskipun hatinya dipenuhi keraguan.
Hutan itu lebih gelap dari yang dia ingat. Suara jangkrik dan burung malam seperti lenyap, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang berusaha menahannya untuk tidak melanjutkan.
Namun, saat ia tiba di depan rumah tua itu, pintunya sudah terbuka, seolah menunggunya.
“Sudah tahu aku akan datang,” gumam Arjuna sambil melangkah masuk.
Ruangan itu tidak berubah, masih sama gelap dan berdebu. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—di tengah ruangan, tepat di depan cermin besar, berdiri sebuah kursi kayu dengan sebuah kotak kecil di atasnya. Kotak itu terbuat dari kayu gelap, dihiasi ukiran bunga mawar.
Arjuna ragu-ragu, tapi langkah kakinya terus mendekat, seperti ada kekuatan tak terlihat yang mengarahkannya. Dia membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya ada sebuah kalung dengan liontin berbentuk mawar kecil, terbuat dari perak.
Saat dia menyentuh kalung itu, suara wanita itu kembali terdengar, kali ini lebih dekat.
“Kenakan... dan kau akan tahu kebenarannya...”
Arjuna mengangkat kalung itu, menatapnya dengan hati-hati. Cahaya lentera yang redup memantul di permukaan perak liontin, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Dengan hati-hati, dia mengenakan kalung itu.
Seketika, dunia di sekitarnya berubah. Rumah tua yang gelap dan suram berubah menjadi megah, dipenuhi dengan cahaya lilin dan suara tawa tamu-tamu yang berpakaian mewah. Arjuna berdiri di tengah pesta yang ramai, tapi tidak ada yang memperhatikannya.
Di sisi lain ruangan, dia melihat wanita itu—wanita dengan gaun merah. Tapi kali ini, dia tidak terlihat menyeramkan. Dia terlihat hidup, cantik, dan penuh kebahagiaan. Senyumnya memancar saat dia berdansa dengan seorang pria muda yang tampak memujanya.
“Vera...” suara pria itu memanggil nama wanita tersebut.
Vera... nama itu terasa familiar. Arjuna mengamati dengan saksama. Tapi tiba-tiba, suasana pesta berubah. Tawa berubah menjadi teriakan. Lilin-lilin padam, dan ruangan itu dipenuhi dengan suara kaca pecah.
Vera berlari keluar dari ruangan, wajahnya penuh air mata. Arjuna mencoba mengejarnya, tapi kakinya terasa berat. Dia hanya bisa menyaksikan Vera berlari ke taman di luar, di mana pria tadi berdiri menunggu. Tapi yang mengejutkan, pria itu mengeluarkan pisau dari sakunya.
Vera menangis, memohon sesuatu, tapi pria itu tidak mendengarkannya. Dengan sekali gerakan, pria itu menusukkan pisau ke tubuh Vera, menjatuhkannya ke tanah. Mawar merah yang sebelumnya dia pegang kini berguguran, terkena darah yang mengalir dari tubuhnya.
“Kenapa... kenapa kau lakukan ini?” Vera berbisik sebelum napas terakhirnya terputus.
Penglihatan itu tiba-tiba hilang, dan Arjuna kembali ke ruangan gelap di rumah tua itu. Tubuhnya gemetar, dan keringat dingin membasahi wajahnya.
Wanita itu—Vera—muncul lagi, kali ini berdiri di depan cermin besar. Tapi wajahnya tidak lagi penuh kesedihan. Tatapannya penuh dendam.
“Kau harus membalaskan kematianku,” katanya, suaranya tegas. “Dia masih ada di sini. Dia tidak pernah pergi.”
“Siapa... siapa dia?” tanya Arjuna, bingung.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya menunjuk ke arah pintu lain yang berada di sudut ruangan, pintu yang sebelumnya tidak ada.
Arjuna tahu dia tidak bisa mundur lagi. Jika dia ingin memahami semuanya, dia harus melangkah ke pintu itu. Tapi di balik pintu itu, dia tahu bahwa tidak ada jalan kembali.
Dengan langkah berat, dia membuka pintu tersebut, dan aroma mawar yang lebih pekat menyeruak, bersama dengan suara lonceng yang kini berbunyi tanpa henti.
Pintu kayu itu terbuka perlahan, menimbulkan bunyi derit panjang yang menusuk telinga. Udara dingin menyeruak keluar dari dalam, menyelimuti tubuh Arjuna seperti kabut yang mengintai mangsa. Aroma mawar yang sebelumnya menenangkan kini berubah aneh—ada campuran anyir darah yang menusuk hidung, membuat perutnya terasa mual.
Lorong di balik pintu tampak gelap gulita. Dinding-dindingnya lembap, penuh lumut, dan sesekali terdengar tetesan air yang jatuh dari langit-langit. Namun, meskipun suasana begitu sunyi, suara lonceng aneh itu tetap bergema, memantul di setiap sudut, seolah-olah datang dari arah yang tidak dapat dijelaskan.
Arjuna berdiri di ambang pintu, kaki-kakinya berat untuk melangkah. Namun, ada sesuatu yang memaksanya bergerak maju, bukan kehendaknya sendiri. Seolah-olah kekuatan tak terlihat menariknya masuk. Lentera di tangannya bergoyang, cahaya kuningnya bergetar seperti takut menghadapi kegelapan di depan.
Langkah demi langkah, udara semakin menyesakkan. Suara lonceng yang semula samar kini terdengar lebih tajam, lebih menusuk, seolah-olah lonceng itu berbunyi di dalam kepalanya.
"Arjuna..."
Suara itu muncul lagi. Kali ini lebih jelas, lebih dekat, seperti bisikan yang langsung masuk ke telinganya.
"Siapa kau?!" Arjuna memberanikan diri bertanya, suaranya bergetar, dipenuhi ketakutan yang sulit ia sembunyikan.
Namun, tidak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah gema langkahnya sendiri yang berat, bercampur dengan bunyi lonceng yang semakin memekakkan telinga.
Setelah berjalan tanpa henti, yang terasa seperti berjam-jam, Arjuna akhirnya tiba di ujung lorong. Di sana, ia menemukan sebuah ruangan besar yang kosong, dikelilingi kegelapan yang hanya diterangi oleh lilin-lilin kecil yang berkedip di sudut-sudut ruangan.
Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri kokoh. Permukaannya tertutup kain merah tua yang sudah usang, dengan noda gelap seperti darah kering yang melekat di atasnya.
Namun yang paling menarik perhatian adalah buku besar di atas altar itu. Sampulnya hitam, dihiasi dengan ukiran mawar berduri yang mencuat ke luar. Lingkaran besar yang terbuat dari kelopak mawar merah dan bercampur dengan darah kering mengelilingi altar itu, memberikan aura mengerikan.
Arjuna tidak bisa melepaskan pandangannya dari buku itu. Ada sesuatu yang memanggilnya—bukan dengan kata-kata, tapi dengan perasaan yang dalam, seolah-olah buku itu memiliki jiwa yang ingin menyampaikan sesuatu.
Langkahnya mendekat. Tapi sebelum dia bisa menyentuh buku itu, sebuah suara berat menggema di belakangnya.
"Jangan sentuh!"
Arjuna berbalik dengan cepat. Lentera di tangannya hampir terjatuh saat ia melihat sosok itu—Vera.
Wanita dengan gaun merah itu berdiri di ujung ruangan, wajahnya putih pucat seperti mayat, dengan garis air mata darah yang menuruni pipinya. Matanya yang merah menyala menatap langsung ke arah Arjuna, menusuk jiwanya.
"Vera..." Arjuna berusaha mengendalikan suaranya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kau inginkan dariku?"
Wanita itu tidak menjawab langsung. Sebagai gantinya, ia perlahan berjalan mendekat, langkahnya nyaris tidak bersuara, seolah-olah ia melayang.
"Aku tidak punya banyak waktu," katanya akhirnya, suaranya rendah dan dalam, penuh kepedihan. "Dia sudah tahu kau ada di sini. Kau harus membuka buku itu."
"Kenapa aku harus membuka buku ini?" tanya Arjuna, suara gemetar. "Apa yang ada di dalamnya?"
"Jawaban," jawab Vera singkat. "Jawaban untuk mengakhiri penderitaan ini."
Dengan tangan yang bergetar, Arjuna akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka buku itu. Begitu ia menyentuh sampulnya, hawa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Sampul buku terasa seperti daging yang hidup—berdenyut, basah, dan dingin.
Saat ia membuka halaman pertama, tulisan berwarna merah perlahan muncul di atas kertas:
“Semua dimulai dengan pengkhianatan.”
Ketika Arjuna membaca kalimat itu, kepalanya berputar, dan pandangannya menjadi buram. Gambaran aneh mulai bermunculan di dalam pikirannya.
Dia melihat Vera, tetapi berbeda dari sosok menyeramkan di depannya sekarang. Ia melihat Vera yang cantik dan hidup, mengenakan gaun putih, sedang berdiri di sebuah taman mawar. Tapi di sisi lain, ada seorang pria yang wajahnya penuh kebencian.
“Kau pikir kau bisa kabur dari takdirmu, Vera?” suara pria itu bergema dalam kepala Arjuna.
“Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku lagi!” balas Vera dalam gambaran itu.
Namun pria itu hanya tertawa dingin. "Kau salah. Aku tidak hanya akan menghancurkan hidupmu. Aku akan memastikan kau tidak punya tempat di dunia ini, bahkan setelah kematian."
Gambaran itu menghilang tiba-tiba, membuat Arjuna kembali ke ruangan gelap. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal, seolah-olah ia baru saja mengalami sesuatu yang nyata.
Tiba-tiba, suara tawa lirih terdengar, menggema di seluruh ruangan. Tawa itu dingin, penuh ejekan, seperti seseorang yang menikmati penderitaan orang lain.
Dari kegelapan, muncul sesosok pria tua dengan jubah hitam, wajahnya tertutup bayangan. Pria itu berjalan mendekati Arjuna, meskipun kakinya tidak menyentuh lantai.
“Jadi, ini yang kau pilih, Vera?” katanya sambil menoleh ke arah wanita itu. “Kau membawa manusia biasa untuk menyelesaikan apa yang kau mulai? Sungguh menyedihkan.”
“Diam!” teriak Vera, suaranya melengking, penuh amarah.
Pria itu tersenyum dingin. "Dia tidak akan bisa menghentikan aku. Kau tahu itu."
Sosok pria itu tiba-tiba menghilang, dan ruangan mulai bergetar. Lingkaran mawar di sekitar altar berubah menjadi api, membakar kain merah yang menutupi altar. Dari tengah api itu, muncul sosok menyeramkan, tubuhnya besar dan berlumuran darah. Duri-duri tajam mencuat dari kulitnya, seperti batang mawar yang hidup.
Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, menggetarkan ruangan. Mata merahnya bersinar tajam, menatap langsung ke arah Arjuna.
Vera berlari ke arah Arjuna, meraih lengannya. "Kau harus menghancurkan buku itu!"
"Tapi bagaimana caranya?" tanya Arjuna panik, tubuhnya gemetar ketakutan.
“Gunakan darahmu!” teriak Vera. “Hanya darah manusia hidup yang bisa menghentikannya!”
Makhluk itu bergerak cepat, menyerang dengan cakar tajam yang hampir mengenai tubuh Arjuna. Namun Vera berdiri di antara mereka, menciptakan penghalang yang terbuat dari cahaya merah darah.
“Cepat! Lakukan sekarang!” teriaknya.
Arjuna tidak punya pilihan lain. Ia meraih belati kecil yang tiba-tiba muncul di altar dan menusukkan ujungnya ke telapak tangannya. Darah segar mengalir, menetes ke halaman terakhir buku.
Begitu darahnya menyentuh halaman, buku itu mulai bergetar hebat. Cahaya merah menyala keluar dari dalamnya, membakar setiap kata yang tertulis di halaman. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir yang mengerikan sebelum tubuhnya mulai meleleh menjadi abu.
Namun, ruangan itu mulai runtuh. Batu-batu besar jatuh dari langit-langit, membuat segala sesuatunya bergetar.
“Arjuna, kita harus pergi!” Vera menarik lengannya, berlari menuju lorong tempat mereka masuk.
Saat Arjuna keluar dari rumah tua itu, ia terjatuh ke tanah, napasnya tersengal-sengal. Ketika ia menoleh ke belakang, rumah itu telah lenyap—tidak ada apa-apa kecuali hamparan padang ilalang yang sunyi.
Tapi meskipun semuanya tampak tenang, Arjuna tahu ini belum selesai. Vera berdiri di sampingnya, menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong.
“Ini baru permulaan,” katanya pelan.
Dan Arjuna sadar
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!