Karuna berdiri di dapur, matanya tertuju pada kompor yang sedang memanaskan panci. Di tangan kirinya, ia memegang spatula, sementara tangan kanannya menggenggam cangkir kopi panas yang baru saja ia buat. Suara alarm di ruang tamu sudah berhenti sejak beberapa menit lalu, dan Karuna tahu ini saatnya bagi mereka untuk memulai hari. Ethan, anak mereka yang berusia empat tahun, masih tertidur lelap di kamar, sementara Damian, suaminya, sudah mulai sibuk di ruang tamu.
Pagi ini terasa sedikit berbeda. Karuna merasakan ketegangan yang mengendap di udara. Mungkin itu hanya perasaannya saja, atau mungkin karena semalam mereka sempat berdebat tentang hal-hal kecil yang entah kenapa terasa lebih berat dari biasanya. Ia menghela napas, berusaha menepis kekhawatiran yang tiba-tiba datang. Namun, rasa cemas itu selalu ada, seperti bayangan yang tak bisa ia hindari.
Ia menatap jam di dinding—jam sudah menunjukkan pukul 06:55. Itu berarti Damian akan segera keluar dari kamar mandi. Ia masih punya waktu sekitar sepuluh menit untuk menyelesaikan sarapan. Karuna tahu betul bahwa Damian, suaminya yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan besar, seringkali terburu-buru di pagi hari. Itu sudah menjadi rutinitas mereka. Namun, kali ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa sedikit tertekan.
Di atas meja makan, ia telah menyiapkan piring berisi telur orak-arik, roti panggang, dan buah segar. Biasanya, Damian tidak pernah keberatan dengan sarapan seperti ini—sesuatu yang sederhana namun cukup membuat hari mereka dimulai dengan baik. Namun, entah mengapa, Karuna merasa sedikit khawatir. Sepertinya, ada yang tidak beres, meskipun ia belum bisa menyebutkan dengan pasti apa yang salah.
Suara langkah kaki Damian terdengar mendekat. Karuna tersenyum kecil, berharap bisa membuat pagi ini sedikit lebih hangat dengan sarapan yang ia persiapkan. Ia menatap ke arah pintu dapur saat Damian memasuki ruang makan, mengenakan setelan jas biru gelap yang sudah terlihat rapih meski di pagi hari.
“Pagi, sayang,” Karuna menyapa, suaranya lembut, berusaha menunjukkan bahwa ia siap untuk memulai hari dengan positif. "Ayo makan, sarapan udah siap nih."
Damian hanya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya dari ponselnya yang ia pegang erat di tangan. Karuna menyadari hal itu, tapi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu suaminya sering kali sibuk dengan pekerjaan sejak pagi buta. Tapi, ada sesuatu yang berbeda. Damian tampak lebih terburu-buru dari biasanya, lebih tergesa-gesa, dan tidak terlalu memperhatikan sekitar.
“Sayang, kamu tidak mau sarapan dulu?” tanya Karuna lembut, sambil menaruh piring berisi telur orak-arik di meja.
Damian mendesah pelan, matanya tetap fokus pada layar ponselnya. “Nggak ada waktu, Karuna,” jawabnya dengan nada yang sedikit kesal. "Aku buru-buru. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam 9."
Karuna terkejut. Biasanya, meskipun Damian sibuk, ia selalu menyempatkan waktu untuk sarapan, apalagi jika ia sudah berada di rumah pada waktu yang cukup awal. “Tapi, sayang, sarapannya sudah siap. Kamu nggak mau makan sedikit saja?” tanya Karuna lagi, kali ini sedikit terdengar kecewa. Ia ingin memberi Damian waktu untuk menikmati sarapan, untuk duduk dan bersantai bersama sebelum hari yang sibuk dimulai.
Damian menatapnya sekilas dengan ekspresi yang sedikit tertutup. “Aku bilang nggak ada waktu, Karuna,” katanya lebih keras, membuat Karuna sedikit terkejut. Suaranya sedikit lebih tegas, bahkan dengan nada kesal yang tak dapat disembunyikan. “Aku udah bilang, banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau kamu nggak ngerti, ya sudah.”
Karuna merasa seolah ada pisau yang mengiris hatinya. Kecewa dan bingung, ia mencoba menenangkan diri, berusaha agar suaminya tidak melihat betapa terluka perasaannya. Biasanya, Damian bukan tipe orang yang berbicara seperti itu, apalagi kepada dirinya. Ia tahu bahwa suaminya terkadang bisa cemas dan terburu-buru di pagi hari, tapi kali ini terasa lebih berbeda. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatnya merasa terabaikan.
Ia terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Damian, kamu nggak usah kasar gitu. Aku cuma mau sarapan bareng sama kamu, cuma itu aja kok.”
Damian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Aku nggak ada waktu untuk itu, Karuna,” jawabnya dengan suara lebih pelan, tapi tetap terdengar kaku. “Mungkin nanti saja. Aku harus pergi sekarang.”
Karuna hanya bisa menatapnya dengan diam, hatinya terasa sesak. Ia tidak mengerti apa yang membuat Damian begitu terkejar-kejar. Biasanya, meskipun sibuk, ia tetap menyempatkan diri untuk berinteraksi dengan keluarganya. Namun, pagi ini, seolah ada jarak yang begitu besar di antara mereka.
“Ethan masih tidur,” kata Karuna setelah beberapa saat hening, mencoba untuk mengalihkan perhatian suaminya. “Aku bisa bangunkan dia kalau kamu mau bicara dengannya.”
Damian menggeleng pelan. “Nggak usah. Aku harus pergi.” Ia meraih tas kerja yang terletak di sebelah pintu, menepuk-tepuk tasnya sejenak sebelum berjalan menuju pintu. “Nanti kalau ada waktu, kita bicara.”
Karuna menunduk, matanya mulai terasa panas. Ia tahu bahwa kata-kata Damian berarti bahwa hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, mereka akan saling menjauh tanpa ada percakapan berarti. Tidak ada waktu untuk mereka berdua. Tidak ada waktu untuk berbicara tentang masalah yang perlahan tumbuh di antara mereka.
Damian berhenti di depan pintu, kemudian menoleh lagi ke arah Karuna, tetapi hanya sekilas. “Jaga Ethan baik-baik,” katanya dengan suara yang lebih lembut, meskipun masih terdengar sedikit dingin.
Karuna mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-katanya terasa terhalang oleh sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. “Iya, sayang,” jawabnya pelan.
Damian membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Karuna di dapur, berdiri sendiri dengan perasaan yang campur aduk. Ketegangan yang baru saja ia rasakan seolah menggantung di udara, meninggalkan kekosongan yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa detik, Karuna akhirnya melangkah ke meja makan, menatap sarapan yang sudah ia siapkan dengan penuh harapan. Namun, entah mengapa, semuanya terasa hampa. Sarapan yang tadinya diharapkan bisa menjadi momen kebersamaan kini hanya menjadi sebuah rutinitas yang terlupakan. Dengan pelan, ia mengambil piring telur orak-arik dan meletakkannya ke dalam kulkas. Ia merasa kosong, seperti ada ruang besar yang kosong di hatinya, ruang yang semakin hari semakin sulit untuk diisi.
Ethan terbangun beberapa menit kemudian, dan Karuna segera melangkah menuju kamar anaknya. Senyumnya kembali merekah saat melihat anak laki-lakinya yang masih mengantuk, dengan rambut acak-acakan, memandangnya dengan mata yang besar dan cerah. Sebentar lagi, ia harus menyiapkan Ethan untuk pergi ke sekolah Tk, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
“Pagi, sayang,” Karuna berkata lembut, duduk di sisi tempat tidur Ethan. “Ayo bangun. Kita harus siap-siap.”
Ethan mengerjapkan matanya, masih setengah terlelap, sebelum akhirnya tersenyum lebar. “Pagi, Mama,” jawabnya dengan suara kecil, seakan masih belum sepenuhnya sadar.
Karuna mengelus kepala anaknya, berusaha menyembunyikan perasaan cemas di balik senyumannya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari yang berat. Entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan ia takut perasaan itu akan semakin mengganggu hubungan mereka—hubungan yang selama ini ia kira berjalan lancar. Tapi, siapa yang bisa menebak, kan? Cinta, kepercayaan, dan pengorbanan ternyata bisa terasa begitu rapuh di hadapan kenyataan.
Pagi itu, Karuna merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan. Ia hanya bisa berharap bahwa, meskipun semuanya terasa sulit, ia masih bisa menemukan jalan keluar, untuk dirinya sendiri, dan untuk Ethan.
Pagi itu, Karuna merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan. Namun, seiring berjalannya waktu, hari terasa semakin berat. Ethan sudah siap untuk berangkat ke sekolah TK, dan Karuna mencoba untuk tetap berpura-pura kuat. Ia mengantarkan Ethan, memberi ciuman hangat pada dahi anaknya, dan berharap bahwa sedikit kebahagiaan yang ia rasakan bersama anaknya bisa menenangkan pikirannya yang kacau. Tapi perasaan kosong itu tak kunjung hilang.
Hari bekerja terasa lambat. Karuna menghabiskan sebagian besar waktu di rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk. Setiap detik yang berlalu seolah membawa ketegangan lebih dekat, dan setiap kali ia berpikir tentang Damian, perasaan itu kembali menghampirinya. Perasaan yang sulit untuk dijelaskan—seperti ada sesuatu yang besar yang sedang menunggu untuk terjadi, dan Karuna tak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Seharian itu, Damian tak menghubunginya. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, hanya email atau pesan kerja yang ia kirimkan sesekali. Tidak seperti biasanya, di mana mereka selalu sempat berbincang meskipun hanya lewat pesan singkat. Karuna merasa ada jarak yang semakin besar di antara mereka, jarak yang tidak bisa ia lihat dengan jelas, tapi ia tahu itu ada.
Malam hari datang, dan Karuna sudah mempersiapkan makan malam. Piring-piring berisi masakan kesukaan Damian sudah siap di meja makan, dengan harapan bahwa malam ini mereka bisa duduk bersama, berbicara, dan meredakan ketegangan yang mengganggu hubungan mereka. Ada ayam panggang, nasi, dan sayuran segar yang baru saja ia masak. Sederhana, namun penuh dengan perhatian dan harapan.
Jam sudah menunjukkan pukul 19:46, dan Damian belum pulang. Karuna mulai merasa cemas. Seharusnya, dengan jadwal kerjanya yang padat, Damian akan pulang sekitar jam tujuh, kadang lebih larut. Tapi kali ini, ia terlambat lebih dari biasanya. Karuna menatap ponselnya, berharap ada pesan yang memberitahukan keterlambatannya. Namun, tidak ada.
Suasana rumah terasa sepi. Hanya suara detak jam yang mengisi keheningan. Karuna menatap pintu depan, berharap melihat sosok Damian yang pulang, membawa sedikit kelegaan bagi hari yang penuh keraguan ini. Ia duduk di meja makan, menunggu. Hatinya penuh dengan pertanyaan—apa yang terjadi pada suaminya? Apa yang sedang ia sembunyikan?
Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar suara mobil di luar. Karuna menoleh, dan tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Damian masuk dengan ekspresi wajah yang lelah, namun tidak terlihat cemas atau gelisah. Matanya sedikit merah, mungkin karena kelelahan atau mungkin karena sesuatu yang lain. Ia melepas jasnya dengan gerakan cepat, tidak melihat Karuna yang sudah menunggu di meja makan.
"Sayang," Karuna menyapa dengan lembut, mencoba menyembunyikan perasaan kecewa yang mulai merayap. "Kamu pulang juga akhirnya."
Damian mengangguk singkat, lalu menuju ke ruang tamu tanpa banyak bicara. Karuna melihatnya, dan meskipun ia berusaha tersenyum, ada sesuatu yang terasa ganjil. Damian tampak lebih dingin dari biasanya, seolah-olah ada dinding tak terlihat yang memisahkan mereka.
"Sayang," Karuna melanjutkan, berjalan mendekat. "Makan malam udah siap. Ayo makan bareng."
Damian berhenti sejenak, menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi. "Aku udah makan di kantor," jawabnya pelan, menghindari tatapan Karuna. "Mungkin lain kali."
Karuna tertegun sejenak. Jawaban itu mengejutkan. Selama ini, Damian selalu berusaha untuk makan bersama keluarga, meskipun kadang-kadang ia terlalu sibuk. Tapi malam ini, ada keteguhan dalam suaranya yang membuat Karuna merasa lebih terasing.
"Tapi kamu pasti masih lapar, kan?" tanya Karuna, berusaha lagi. "Aku buat makan malam kesukaan kamu loh."
Damian memandangnya sekilas, dan Karuna bisa melihat ada sesuatu yang berubah dalam matanya—sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi, sesuatu yang jauh lebih serius daripada sekadar masalah pekerjaan atau rutinitas yang terganggu.
"Aku beneran nggak lapar, Karuna," jawab Damian dengan nada yang lebih keras dari sebelumnya. "Aku lelah. Aku cuma mau istirahat."
Karuna merasa dadanya sesak. Kata-kata Damian seperti sembilu yang menembus perasaannya. Ia tahu bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada merasa tidak dihargai, terutama oleh orang yang selama ini ia cintai. Damian, suaminya, yang dulu selalu meluangkan waktu untuk makan bersama dan berbicara meski sesibuk apapun, kini menjauh tanpa alasan yang jelas.
"Sayang," Karuna berkata dengan suara pelan, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba datang. "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kamu berubah?"
Damian terdiam sejenak, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Lalu, dengan suara rendah namun tegas, ia berkata, "Aku capek, Karuna. Capek dengan semuanya. Capek dengan pekerjaan, capek dengan hubungan ini."
Suasana di ruang tamu terasa semakin tegang. Karuna merasa hatinya hampir pecah mendengar kata-kata itu. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, begitu banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, namun terasa kelu. Ia menatap Damian dengan pandangan kosong, mencoba mencari petunjuk di wajah suaminya yang kini tampak begitu jauh.
"Damian, kita masih bisa memperbaikinya, kan?" tanya Karuna, suaranya hampir berbisik. "Kita bisa bicara, mencari jalan keluar... Jangan menyerah begitu saja."
Damian mengalihkan pandangannya, tidak menjawab. Karuna bisa melihat ada rasa frustasi yang terpancar dari wajahnya, seolah-olah ia sudah lelah berbicara, lelah mencoba untuk memperbaiki sesuatu yang terasa sudah terlalu rusak.
"Jaga diri kamu, Karuna," ujar Damian, tanpa emosi. "Aku butuh waktu untuk diri aku sendiri."
Dengan itu, Damian berbalik dan menuju ke kamar tidur mereka, meninggalkan Karuna yang masih terdiam di ruang tamu. Suara langkah kaki Damian yang semakin menjauh membuat Karuna merasa semakin kosong. Ia tahu bahwa hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, mereka akan saling menjauh, tidak ada percakapan yang berarti, tidak ada pemecahan masalah.
Karuna menatap makan malam yang telah ia persiapkan dengan penuh harapan, namun kini terasa begitu hampa. Makanan yang dulu menjadi simbol kehangatan keluarga, kini hanya menjadi sisa-sisa dari sebuah rutinitas yang terlupakan.
Karuna berdiri dari kursinya dan perlahan melangkah ke meja makan. Dengan lembut, ia menyendok sebagian nasi dan meletakkannya ke dalam kulkas. Ia tak merasa lapar. Makan malam yang seharusnya menjadi momen kebersamaan kini terasa seperti beban yang harus ditinggalkan. Ia merasa kesepian, meskipun ada Damian yang berada di rumah yang sama. Ada jarak yang tak bisa dijelaskan, sebuah kekosongan yang tak bisa ia isi dengan apapun.
Lalu, ia berjalan menuju kamar anaknya, mencari kenyamanan dalam tatapan Ethan yang selalu ceria. Meskipun hati Karuna terasa hancur, ia tahu ia harus tetap kuat untuk anaknya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia tak bisa lagi menahan perasaan yang semakin menumpuk. Perasaan takut bahwa segala sesuatu yang ia miliki—keluarga, cinta, dan kebahagiaan—mungkin sedang perlahan hilang.
Karuna terbangun keesokan harinya dengan perasaan yang semakin mendalam. Semua yang terjadi kemarin masih terngiang di benaknya, menghantui setiap sudut pikirannya. Saat ia melihat wajah Ethan yang ceria di pagi hari, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Ethan, anak yang penuh keceriaan, adalah alasan Karuna masih berusaha untuk bertahan. Namun, meskipun ia tersenyum kepada anaknya, hatinya kosong. Ada rasa takut yang semakin mengakar—takut akan kehilangan, takut akan kenyataan yang semakin jelas. Ia tahu bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, tapi ia belum siap untuk menghadapinya.
Damian sudah berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah terasa hampa setelah ia pergi, seperti ada bagian dari dirinya yang ikut menghilang bersama suaminya. Karuna mencoba untuk tetap fokus pada rutinitas harian. Menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, menyiapkan bekal sekolah Ethan, meskipun pikirannya terus melayang pada percakapan kemarin malam.
Di sekolah, Ethan tampak bersemangat seperti biasanya. Karuna merasa sedikit lega melihat senyum anaknya, tetapi ada kekosongan dalam dirinya yang tidak bisa diabaikan. Setelah mengantarkan Ethan ke kelasnya, Karuna memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar sekolah. Berjalan di trotoar yang sepi, ia mulai merasakan berat langkahnya. Ke mana ia harus pergi dengan perasaan ini? Apa yang harus ia lakukan dengan semua ketidakpastian yang menghantui hidupnya?
Tengah hari datang, dan Karuna merasa tak ada salahnya untuk mencoba mengalihkan perhatian. Pikirannya yang gelisah menuntunnya untuk membawa Ethan pergi ke mal, berharap sedikit waktu bersama anaknya bisa mengembalikan rasa tenang yang hilang. Setidaknya, dengan Ethan, ia merasa lebih mudah untuk tersenyum dan menikmati hidup, meskipun ketegangan dalam hatinya tetap ada.
Di mal, mereka berjalan berdua, melihat-lihat barang-barang yang menarik perhatian Ethan. Karuna memandangi anaknya yang ceria, menikmati kebersamaan yang sederhana namun berharga itu. Mereka sempat membeli beberapa mainan untuk Ethan, dan Karuna merasa sedikit lebih baik saat melihat bagaimana mata anaknya bersinar bahagia.
Namun, suasana itu berubah ketika mereka berdua memasuki sebuah toko pakaian yang cukup besar. Saat melangkah melewati rak pakaian, mata Karuna menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya terhenti. Di ujung lorong toko, di dekat bagian pakaian pria, ia melihat seorang pria yang sangat ia kenal—Damian. Namun, yang mengejutkan adalah, Damian tidak sendirian.
Damian berdiri dekat dengan seorang wanita. Wanita itu tampak lebih muda, mengenakan gaun musim panas yang cantik, dan tersenyum lebar saat Damian memegang tangannya. Karuna merasa seolah dunia berhenti berputar. Ia melihat dengan jelas, tanpa ada keraguan, bahwa Damian sedang memeluk wanita itu dengan penuh keakraban. Pelukan itu bukanlah pelukan biasa, melainkan pelukan yang penuh kehangatan, keintiman, dan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Karuna merasa dadanya sesak. Seperti ada yang menghimpit paru-parunya. Semua yang ia lihat seolah membuktikan apa yang sudah lama ia khawatirkan—bahwa Damian mungkin memang sudah tidak lagi peduli padanya. Mungkin, ada seseorang yang telah menggantikan posisinya di hati suaminya.
Ethan, yang tidak mengerti apa yang terjadi, meraih tangan Karuna dengan senyuman ceria. "Ma, itu papa kan?" tanya Ethan, matanya berbinar-binar penuh harapan.
Karuna menatap anaknya dengan cepat. Ada perasaan panik yang melanda hatinya. Ia tidak bisa memberitahu Ethan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tidak bisa memberitahunya bahwa ayahnya mungkin telah berpergian pada wanita lain. Karuna merasa dirinya terkoyak antara melindungi perasaan anaknya dan kenyataan yang baru saja ia temui.
Dengan cepat, Karuna meraih tangan Ethan dan membungkuk sedikit. "Tidak, sayang, itu bukan papa kamu," jawabnya dengan suara yang agak tercekat sambil tersenyum. "Mungkin hanya orang yang mirip sekali dengan papa."
Ethan tidak terlihat ragu. Ia tersenyum dan kembali mengajak ibunya untuk melihat mainan lainnya, tanpa menyadari bahwa dunia ibunya seketika berubah. Karuna menggenggam tangan Ethan dengan erat, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir pecah. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini kepada anaknya? Bagaimana ia bisa menjaga Ethan tetap percaya bahwa segala sesuatu baik-baik saja, sementara kenyataan yang ada begitu berbeda?
Mereka melanjutkan jalan-jalan mereka, tapi Karuna merasa setiap langkah terasa semakin berat. Setiap detik yang berlalu seperti memperburuk keadaan, dan ia merasa semakin terperangkap dalam kebohongan yang ia buat untuk anaknya. Ia tahu, pada akhirnya, Ethan akan tahu juga. Tapi untuk saat ini, ia ingin menyimpan keceriaan yang masih ada dalam diri anaknya, sedikit lebih lama, sebelum dunia mereka benar-benar runtuh.
Sesampainya di rumah, Karuna mencoba untuk berusaha seolah tidak ada yang terjadi. Ethan tampak lelah setelah seharian bermain di mal, dan ia segera pergi tidur tanpa banyak bicara. Karuna duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga yang tergantung di dinding. Foto yang dulunya penuh kebahagiaan dan harapan, kini terasa begitu jauh dan asing.
Ponselnya berdering. Karuna melihat nama Damian muncul di layar. Panggilan masuk. Untuk beberapa saat, ia terdiam, berpikir apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Namun akhirnya, ia memutuskan untuk mengangkatnya. Suara Damian terdengar lelah dan kosong, seperti biasa.
"Karuna," kata Damian dengan nada yang tidak terbiasa. "Aku minta maaf kalau kemarin aku nggak bisa bicara banyak. Aku... aku cuma butuh waktu. Kita perlu bicara nanti malam."
Karuna menatap ponselnya, mencoba untuk menahan air mata yang sudah menggenang. "Damian, aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu tentang wanita itu, wanita yang kamu sembunyikan dari aku." jawabnya dengan suara datar.
Suasana hening di ujung telepon. Tak ada suara dari Damian, hanya nafasnya yang terdengar. Karuna bisa merasakan bahwa suaminya terkejut mendengar kata-kata itu.
"Aku... aku nggak tahu apa yang harus aku katakan, Karuna," akhirnya Damian berkata, suaranya penuh ketegangan. "Aku butuh waktu untuk mencari tahu apa yang aku inginkan."
Karuna menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak yang ada di dadanya. "Aku juga butuh waktu, Damian," jawabnya, suaranya serak. "Tapi aku nggak bisa terus hidup dalam kebohongan ini. Kamu sudah berubah, dan aku sudah tahu semuanya."
Damian terdiam sejenak. "Aku nggak tahu kalau itu yang kamu lihat. Tapi aku minta maaf."
Karuna tidak menjawab. Ia menutup ponsel dan meletakkannya di meja dengan tangan yang gemetar. Ia merasa begitu kosong, seperti sedang kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan di saat yang sama, ia merasa lelah. Lelah untuk terus berusaha mempertahankan sesuatu yang mungkin sudah terlalu jauh untuk diselamatkan.
Malam itu, Karuna terlelap dalam tidur yang gelisah, sementara di luar rumah, dunia terus berjalan tanpa peduli. Ia tahu, apapun yang terjadi esok hari, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!