NovelToon NovelToon

Bayang Yang Terlupakan

Bab 1: Surat dalam Kabut

Pagi itu, kabut tebal menyelimuti jalan setapak yang membentang di depan rumah Ardan. Rumah tua itu tampak terabaikan, dengan daun-daun kering berserakan di halaman dan pintu yang sedikit berderit setiap kali angin berhembus. Di balik jendela, Ardan berdiri lama, menatap ke luar tanpa tujuan. Keheningan adalah temannya yang paling setia, dan ia merasa nyaman dalam kesendirian. Dunia terasa jauh, seolah ia hidup di luar waktu.

Namun, saat matanya menangkap gerakan kecil di antara kabut, sesuatu yang asing menarik perhatian. Di ambang pintu, ada sebuah amplop putih. Tidak ada tanda pengirim, hanya namanya yang tercetak jelas dengan tinta merah yang mencolok. Ardan menunduk, meraih amplop itu dengan ragu. Suasana menjadi semakin tegang, seolah ada sesuatu yang tidak beres.

Ibunya, yang sedang sibuk di dapur, tidak menyadari kedatangan surat itu. Ardan merasa aneh, ada dorongan kuat untuk tidak memberitahunya, seakan surat itu bukan untuk diketahui orang lain. Dengan hati-hati, ia membuka amplop tersebut dan menarik selembar kertas dari dalamnya.

"Kau bukan dirimu yang sebenarnya."

Kata-kata itu seolah terukir dalam pikirannya, menggema di telinganya berulang-ulang. Ardan merasa dunia di sekelilingnya tiba-tiba membeku. Surat ini, dengan pesan yang sederhana namun mendalam, membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Ia merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggunya—sebuah kebenaran yang telah lama terkubur.

Bayangan aneh melintas di depannya, terlalu cepat untuk bisa ia tangkap. Ardan menoleh, merasa ada yang mengamatinya dari sudut gelap rumah. Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun, perasaan tidak nyaman itu terus menghantuinya. Apa maksud surat ini? Siapa yang mengirimnya, dan mengapa hanya ia yang dituju?

Tanpa sadar, tangan Ardan gemetar, melipat surat itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Ia meletakkan surat tersebut di meja, lalu berjalan ke luar rumah, mencoba menenangkan pikirannya. Angin dingin menyambutnya, tetapi sesuatu yang tak terlihat menggelayuti hatinya.

Di jalan setapak, kabut semakin tebal. Langkah kaki Ardan terasa semakin berat. Seperti ada yang menariknya masuk ke dalam kegelapan. Sesaat, ia merasakan sesuatu yang sangat tidak biasa—bayangannya tampak bergerak lebih lambat dari tubuhnya, mengikuti setiap gerakannya dengan cara yang hampir tidak terasa.

Ardan menoleh cepat. Tidak ada yang berbeda, hanya kabut dan jalan sepi. Namun, rasa cemas itu semakin menguat.

Ibunya tiba-tiba muncul di ambang pintu, memanggilnya. "Ardan, siapa itu?"

"Ah, bukan siapa-siapa," jawab Ardan tergesa-gesa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Namun, ia bisa merasakan bahwa sesuatu telah berubah. Ia merasakan pandangan ibunya yang penuh rahasia. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sebelum Ardan bisa bertanya lebih lanjut, bayangan di sudut matanya kembali bergerak. Kali ini, bayangan itu lebih jelas—dan itu bukan miliknya.

Ardan memandang ibunya lagi, tetapi wajah ibunya tidak berubah. Ada keheningan yang sangat dalam di antara mereka, lebih sunyi dari kabut yang menyelimuti jalan di luar.

"Ada yang salah, Bu?" tanya Ardan, meski tahu ia sudah tahu jawabannya.

Ibunya hanya tersenyum, tetapi senyum itu terasa kosong. "Tidak ada, Nak. Semua baik-baik saja."

Namun, Ardan tahu bahwa semua tidak baik-baik saja. Surat itu, bayangan yang bergerak, dan perasaan bahwa ia bukan siapa yang ia kira—semuanya mengarah pada satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

---

Bab 2: Bayangan yang Mengintai

Malam menyelimuti desa kecil tempat Ardan tinggal. Di luar, angin berbisik melalui celah-celah pohon tua, membawa kesan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di dalam rumah, suasana tidak kalah mencekam. Lampu di kamar Ardan berkelap-kelip, seolah mencoba memberi peringatan.

Ardan duduk di meja belajarnya, surat misterius itu terbuka di depannya. Kalimat pendek yang tertera di sana, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya," terus menggerogoti pikirannya. Kata-kata itu seperti racun, menyusup perlahan ke dalam dirinya, membuat setiap bagian dari tubuhnya terasa berat.

Ia menghela napas, mencoba mengusir perasaan aneh yang menyelimutinya. Tapi perasaan itu semakin kuat. Ia merasa seperti diawasi. Tatapannya perlahan beralih ke jendela di sebelah meja. Kabut tebal di luar memantulkan bayangan samar, namun bayangan itu tampak tidak biasa. Seperti ada sesuatu di sana.

"Siapa di luar?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.

Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan. Ia berdiri, menutup tirai jendela dengan tergesa-gesa. Saat kembali duduk, lampu di kamarnya tiba-tiba padam, meninggalkannya dalam kegelapan.

“Bukan sekarang,” keluhnya, mencoba mencari senter di laci meja. Namun, saat ia menyalakan senter, jantungnya hampir berhenti.

Bayangannya di dinding tidak bergerak sesuai tubuhnya.

Bayangan itu berdiri tegak, lebih besar dari biasanya, dengan garis-garis kasar yang tampak tidak wajar. Ardan menatapnya, berharap itu hanya ilusi. Ia mengangkat tangan kanannya perlahan—bayangan itu tetap diam.

Dengan napas yang semakin cepat, ia mundur ke arah pintu kamar. Bayangan itu malah maju, mengikuti gerakannya, tapi dengan cara yang aneh. Bukan seperti cerminan, melainkan seperti makhluk hidup.

"Apa ini…?" suaranya hampir tercekat.

Bayangan itu berhenti sejenak. Kemudian, dalam hitungan detik, ia menyeringai. Sebuah senyuman menyeramkan, tak masuk akal bagi sesuatu yang seharusnya tidak bernyawa.

“Ardan…” suara itu berbisik, pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Ardan tidak menunggu lebih lama. Ia membuka pintu kamar dan berlari ke ruang tamu. Rumah terasa berbeda, lebih gelap dari biasanya. Dingin meresap ke kulitnya, meskipun semua jendela tertutup rapat. Ia memanggil ibunya, tapi tidak ada jawaban.

"Ibu?" panggilnya lagi, suaranya menggema di ruang kosong.

Tidak ada jawaban, hanya bayangan yang bermain-main di dinding, mengikuti setiap langkahnya. Ia berlari ke dapur, berharap menemukan sesuatu yang normal, sesuatu yang nyata. Tapi di meja dapur, ia malah menemukan secarik kertas kecil.

Pesan di atasnya membuat tubuhnya gemetar.

"Bayanganmu lebih tahu tentangmu daripada dirimu sendiri."

Tulisannya sama seperti di surat pertama—tangan yang tegas, dengan tinta merah mencolok. Ardan merasa seluruh tubuhnya melemah. Ia membanting kertas itu ke meja, mencoba mengatur napas.

Namun, saat ia menatap ke lantai, sesuatu membuatnya berhenti bergerak. Bayangannya ada di sana, lebih besar, lebih tebal, dan lebih hidup.

Bayangan itu bergerak sendiri.

Ia mengangkat tangan kirinya. Bayangan itu mengangkat tangan kanannya.

Ia mundur dengan perlahan, mencoba melawan rasa takut yang semakin besar. Tapi bayangan itu semakin mendekat, meskipun Ardan tidak bergerak. Itu bukan pantulan dirinya lagi—itu sesuatu yang lain, sesuatu yang memiliki kesadaran.

“Apa kau… aku?” tanya Ardan dengan suara yang hampir tenggelam oleh napasnya sendiri.

Bayangan itu berhenti, lalu membentuk mulut, sebuah ekspresi penuh ironi yang membuat Ardan semakin takut. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, lampu di dapur tiba-tiba padam, membawa kegelapan total.

Di tengah kegelapan itu, suara terdengar lagi. Suara pelan yang sama, tetapi kali ini lebih tajam, lebih kuat.

"Sudah waktunya, Ardan. Kau harus tahu."

Angin dingin menerpa wajahnya, dan dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah. Rumah yang ia kenal lenyap. Di hadapannya kini, hanya ada kabut pekat, tanah yang retak, dan bayangan-bayangan yang bergerak bebas.

Ardan berdiri di tengah dunia yang asing, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang besar—sesuatu yang tidak akan membiarkan dirinya kembali menjadi dirinya yang dulu.

---

Bab 3:Dunia Bayangan

Ardan tersentak mundur, matanya membelalak saat menyadari dunia di sekitarnya telah berubah total. Rumahnya, dapur tempat ia berdiri, bahkan suara-suara kecil yang biasa menemani keheningan malam—semua lenyap. Yang tersisa hanyalah hamparan tanah retak, dengan kabut tebal menggantung seperti selimut berat di udara.

Ia mencoba menarik napas, tetapi udara terasa berbeda—dingin, tajam, dengan aroma logam yang menusuk. Kakinya goyah, seolah gravitasi di tempat ini bekerja dengan cara yang aneh. Ia memandang sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang akrab, tetapi hanya kegelapan dan bayangan yang menari di celah-celah retakan tanah.

“Ini tidak nyata…” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi semuanya terasa begitu nyata—terlalu nyata untuk disebut mimpi.

Sebuah suara tiba-tiba terdengar, lembut, hampir seperti bisikan angin.

"Selamat datang, Ardan."

Ia berbalik dengan cepat, mencari sumber suara itu. Tapi tidak ada siapa pun, hanya bayangan di tanah yang mulai bergerak sendiri, membentuk sosok yang samar. Bayangan itu perlahan berdiri, tingginya melampaui tubuh Ardan, dengan mata merah menyala yang menatap langsung ke arahnya.

“Apa kau?” tanya Ardan, suaranya bergetar.

Bayangan itu menyeringai, sebuah ekspresi yang tampak tidak wajar di wajah hitamnya.

"Aku adalah kau, atau mungkin… kau adalah aku. Sulit untuk menjelaskan. Tapi satu hal yang pasti, kau tidak akan pernah kembali menjadi dirimu yang dulu."

Ardan mundur selangkah, tetapi bayangan itu mendekat. Langkahnya tidak menimbulkan suara, hanya menyisakan jejak gelap di tanah yang sudah kelam.

“Kembalikan aku! Apa pun ini, aku tidak mau di sini!” seru Ardan, suaranya memantul di udara hampa.

Bayangan itu tertawa kecil, sebuah suara yang terdengar seperti retakan kaca.

"Kau tidak mengerti, Ardan. Dunia ini adalah bagian dari dirimu. Kau selalu hidup dalam bayang-bayang, dan sekarang, kau harus menghadapi kenyataan itu."

Sebelum Ardan bisa menjawab, tanah di bawah kakinya mulai berguncang. Retakan-retakan kecil menyebar, menciptakan lubang besar yang menganga seperti mulut raksasa. Dari dalam lubang itu, muncul bayangan-bayangan lain, bergerak seperti ular yang lapar.

Ardan berlari tanpa berpikir, kakinya melangkah cepat di atas tanah yang rapuh. Tapi bayangan-bayangan itu mengejarnya, suara gerakan mereka seperti bisikan ribuan suara di kepalanya.

“Berhenti!” teriaknya, tetapi bayangan itu tidak peduli.

Di depan, ia melihat sebuah pintu kayu berdiri sendiri di tengah kegelapan. Tidak ada dinding, tidak ada rumah—hanya pintu. Dengan napas tersengal, ia mendorong pintu itu terbuka dan melangkah masuk tanpa ragu.

Di sisi lain pintu, dunia kembali berubah. Kali ini, ia berdiri di sebuah ruang kosong yang terang, dikelilingi cermin-cermin besar. Di setiap cermin, ia melihat refleksinya sendiri, tetapi setiap bayangan di cermin tampak berbeda. Beberapa tersenyum jahat, beberapa menangis, dan beberapa terlihat marah.

“Ini tempat apa lagi?” bisiknya.

Sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, suara itu kembali terdengar.

"Selamat datang di inti dirimu, Ardan. Pertanyaannya sekarang, apa yang akan kau lakukan?"

---

-Tambahan

"Aku Hanya Bisa Berterima Kasih... Dalam Kegelapan Ini"

Untuk kalian yang membaca hingga akhir, aku sungguh berterima kasih. Di balik bayangan ini, ada kisah yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan. Jangan tinggalkan aku, karena rahasia yang lebih kelam sedang menunggu. Apakah kalian siap? Kegelapan ini baru saja dimulai...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!