Langit berwarna abu-abu kusam, seperti kain yang usang dan terkoyak. Dunia di bawahnya sunyi, hanya angin yang membawa suara gemerisik dari puing-puing bangunan yang hancur. Athena bergerak perlahan, melangkah di atas jalan yang dipenuhi retakan besar dan pecahan beton. Langkahnya senyap, berlatih untuk tidak meninggalkan jejak.
Sudah tiga hari sejak Athena meninggalkan pemukiman terakhir yang ia kunjungi, dan persediaan makanannya mulai menipis. Namun, dia tahu risiko kembali ke sana terlalu besar. Gerombolan penjarah yang kini menguasai wilayah itu lebih brutal daripada yang pernah ia hadapi sebelumnya. Ia lebih baik kelaparan daripada mengambil risiko kembali berhadapan dengan mereka.
Pandangan Athena tertuju ke bangunan tua di ujung jalan. Gedung pencakar langit yang dulu menjulang megah kini seperti kerangka raksasa yang lapuk, menyisakan sedikit ruang yang bisa dijelajahi. Ia memutuskan untuk memeriksa gedung itu, berharap menemukan apa pun yang bisa dimakan atau dipakai.
Saat masuk ke dalam, suasana gelap menyambutnya. Dinding penuh lumut dan bau lembap menyeruak. Athena memeriksa sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Namun, gedung itu tampak sepi, hanya dihuni oleh bayangan dan kenangan.
---
Setiap tempat seperti ini selalu membawa Athena kembali ke masa lalunya—malam ketika keluarganya dihabisi oleh penjarah. Ia tidak bisa melupakan wajah ibunya, yang saat itu mencoba melindunginya, atau suara ayahnya yang memohon belas kasihan. Namun, yang paling membekas di ingatannya adalah kesunyian setelah itu—kesunyian yang menyelimuti desa kecil mereka yang berubah menjadi abu.
Athena menggenggam medali perak kecil di lehernya, benda yang ia temukan di reruntuhan desa malam itu. Burung yang diukir di atasnya tampak seolah-olah akan terbang kapan saja. Ia tidak tahu apa arti medali itu, tapi ia merasakannya sebagai satu-satunya koneksi dengan dunia sebelum segalanya hancur.
---
Langkah Athena berhenti ketika ia mendengar suara samar dari atas gedung. Suara langkah kaki, berat dan tergesa. Tiba-tiba, dia merasakan bahaya mendekat. Athena segera bersembunyi di balik pilar beton, menahan napas.
Dari bayangan, tiga sosok muncul. Mereka adalah pria-pria dengan pakaian compang-camping, membawa senjata yang terlihat tua namun masih mematikan. Salah satu dari mereka membawa parang besar, wajahnya penuh bekas luka.
“Periksa lantai bawah,” kata pria dengan parang itu, suaranya kasar. “Ada yang bilang gadis itu melintasi daerah ini.”
Athena menahan napas. Mereka pasti membicarakannya. Pemukiman yang ia tinggalkan beberapa hari lalu pasti telah mengungkapkan jejaknya kepada mereka.
Dia meraih pisaunya, menggenggam erat gagangnya. Tidak ada jalan keluar tanpa bertarung. Tapi sebelum ia bertindak, suara tembakan menggema di udara.
Dorr!
Salah satu dari pria itu jatuh ke tanah. Darah mengalir dari kepalanya. Dua lainnya panik, mencari sumber suara.
“Siapa itu?!” teriak pria dengan parang.
Dorr! Tembakan kedua meledak, menjatuhkan pria kedua. Tinggal satu pria tersisa, tapi dia tidak bertahan lama. Sebelum dia sempat melarikan diri, sebuah peluru terakhir menembus dadanya.
Athena tetap di tempatnya, tubuhnya tegang. Dari kegelapan, seseorang muncul. Sosok itu mengenakan jubah panjang dengan topeng gas menutupi wajahnya. Dia membawa senapan tua, tapi tembakannya tadi terlalu presisi untuk dianggap amatir.
“Keluar. Aku tahu kau di sana,” kata pria itu dengan suara rendah.
Athena muncul dari balik pilar, pisau masih di tangannya. Ia menatap pria itu dengan penuh curiga.
“Aku tidak akan menyakitimu,” kata pria itu sambil menurunkan senapannya.
“Siapa kau?” tanya Athena dingin.
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia merogoh kantong jubahnya dan mengeluarkan sesuatu—sebuah medali perak kecil dengan ukiran burung yang sama persis seperti yang dimiliki Athena.
Athena membeku. “Dari mana kau mendapatkan itu?”
Pria itu memandangnya lama sebelum menjawab. “Medali ini adalah kunci. Kau punya satu, bukan? Itulah mengapa aku mencarimu.”
“Kunci untuk apa?” Athena bertanya, matanya menyipit.
“Kebangkitan,” jawab pria itu. “Dunia ini belum mati sepenuhnya. Tapi untuk menyelamatkannya, kita membutuhkanmu.”
Athena menggenggam medali di lehernya lebih erat. Kata-kata pria itu membuat pikirannya berputar, tapi ia tidak mudah percaya.
“Bagaimana aku tahu ini bukan jebakan?” tanyanya.
Pria itu menatapnya tajam. “Kau tidak. Tapi jika kau ingin jawaban, temui aku di Puncak Relic. Di sana, kau akan tahu semuanya.”
Sebelum Athena bisa menjawab, pria itu menghilang ke dalam bayangan, secepat dia muncul.
---
Malam itu, Athena duduk di atas salah satu bangkai kendaraan lapis baja di luar gedung, memandangi medali di tangannya. Kata-kata pria tadi terus terngiang di kepalanya.
Dunia ini belum mati sepenuhnya.
Ia selalu percaya bahwa dunia ini tidak lagi memiliki harapan. Namun, jika ada kemungkinan kecil untuk menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan hidup, ia tahu ia tidak bisa mengabaikannya.
Athena memasukkan medali itu ke dalam sakunya, mengencangkan tali ransel di punggungnya, dan melangkah menuju kegelapan malam. Puncak Relic mungkin hanya legenda, tapi ia akan menemukan kebenarannya—atau mati dalam usahanya.
Di dunia seperti ini, itu adalah pilihan yang lebih baik daripada menyerah.
---
Angin malam terasa menusuk kulit, membawa aroma debu dan kematian. Athena menarik mantel lusuhnya lebih erat, melangkah melintasi jalan setapak yang kini ditelan hutan belantara. Jalan ini dulunya adalah jalur utama menuju kota besar—sekarang hanya dilingkupi reruntuhan dan akar pohon yang mencengkeram aspal retak.
Puncak Relic. Kata itu seperti api kecil di pikirannya, memaksa dirinya melangkah maju. Athena tidak tahu apa yang akan ia temukan di sana, tapi pria bertopeng gas itu telah menyulut rasa ingin tahu yang tak bisa ia abaikan.
---
Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan itu. Athena tidak sendirian lagi di jalan ini. Dunia yang hancur bukanlah tempat bagi siapa pun untuk merasa aman. Ia bertemu para pengembara di sepanjang perjalanan—beberapa hanya memandangnya dengan curiga, yang lain menawarkan pertolongan dengan harapan akan imbalan. Tapi Athena belajar untuk tidak mempercayai siapa pun.
Di sebuah bekas halte bus yang sudah runtuh, Athena berhenti untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia membuka ranselnya, memeriksa persediaan yang hampir habis. Hanya ada beberapa sisa roti keras dan botol air yang sudah setengah kosong. Perjalanan ke Puncak Relic akan memakan waktu lebih lama dari yang ia perkirakan.
Saat sedang menikmati makan malamnya yang sederhana, ia mendengar suara dari kejauhan. Langkah kaki—berat dan teratur. Athena segera bangkit, meraih pisaunya, dan merunduk di balik puing-puing.
Beberapa menit kemudian, sosok besar muncul. Dua pria dengan tubuh kekar, membawa senjata tajam, melangkah masuk ke area halte. Mereka tampak seperti tentara yang kehilangan seragam mereka—penguasa jalanan yang memanfaatkan kekacauan.
“Apa tempat ini sudah digeledah?” salah satu pria bertanya.
“Sepertinya sudah. Tidak ada tanda-tanda apa pun,” jawab yang lain.
Athena tahu mereka tidak akan berhenti mencari jika mencurigai keberadaannya. Ia merayap pelan, berharap bisa meloloskan diri tanpa terdeteksi. Namun, bunyi kecil dari batu yang tergeser di bawah kakinya menarik perhatian mereka.
“Siapa di sana?!” seru salah satu pria.
Athena tidak menunggu lebih lama. Ia berlari sekuat tenaga, mendengar langkah kaki mereka mengejarnya. Dengan cepat, ia masuk ke jalanan yang dipenuhi reruntuhan, berharap bisa menggunakan medan untuk meloloskan diri.
“Berhenti, gadis kecil!” teriak salah satu dari mereka.
Athena tahu mereka tidak akan menunjukkan belas kasih. Ketika salah satu pria semakin mendekat, ia berhenti dan berbalik. Dengan satu gerakan cepat, ia melempar pisau ke arah pria itu, mengenai bahunya. Pria itu berteriak, tapi Athena tidak berhenti untuk melihat akibatnya.
Ia terus berlari hingga napasnya habis, akhirnya menemukan sebuah bangunan tua yang tampak cukup kokoh untuk dijadikan tempat persembunyian sementara. Di dalamnya, ia menemukan sebuah ruang kecil dengan pintu kayu yang masih bisa dikunci.
---
Dalam gelap, Athena merasakan tubuhnya gemetar. Bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena ketakutan. Ketika ia memejamkan mata, ingatan masa lalunya kembali menghantui—malam ketika desanya diserang.
Saat itu, ia juga bersembunyi di balik pintu, mendengar langkah kaki penjarah yang mendekat. Perasaan tak berdaya itu kembali menghantuinya sekarang. Namun, Athena bukan lagi anak kecil yang tidak bisa melawan. Ia telah belajar bertahan hidup.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Jika pria-pria tadi menemukan tempat ini, ia siap bertarung.
---
Pagi harinya, Athena keluar dari persembunyiannya. Matahari terbit membawa sedikit kehangatan, cukup untuk mendorongnya melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum ia meninggalkan gedung itu, sesuatu menarik perhatiannya.
Di salah satu ruangan, ia menemukan peti besi yang terkunci. Dengan hati-hati, Athena mencoba membuka kunci itu dengan pisaunya. Setelah beberapa menit mencoba, kunci itu patah, dan peti terbuka.
Di dalamnya, ia menemukan sesuatu yang tidak ia duga: dokumen tua yang tampaknya berasal dari masa sebelum perang nuklir. Sebagian besar sudah hancur, tapi ada satu peta yang masih bisa terbaca. Di peta itu, ada tanda kecil di daerah pegunungan dengan tulisan yang hampir pudar: Relic.
“Puncak Relic,” bisiknya.
Peta itu menunjukkan jalur menuju tempat yang ia cari. Athena menyimpannya dengan hati-hati sebelum meninggalkan gedung itu.
---
Dalam perjalanannya, Athena menyadari bahwa ia tidak lagi sendirian. Seorang pria muda, berusia sekitar dua puluhan, mulai mengikutinya dari kejauhan. Athena berhenti dan menoleh.
“Kau sudah cukup lama mengikutiku,” katanya, memegang pisaunya dengan waspada. “Apa maumu?”
Pria itu mengangkat tangannya sebagai tanda damai. “Aku bukan ancaman. Aku hanya ingin bergabung.”
“Kenapa aku harus mempercayaimu?” Athena bertanya dengan nada tajam.
“Karena aku tahu jalan menuju Puncak Relic,” jawab pria itu sambil tersenyum tipis.
Athena menatapnya lama, mencoba menilai apakah pria ini jujur atau hanya mencari kesempatan. “Apa yang kau tahu tentang Puncak Relic?”
“Lebih dari yang kau kira,” jawabnya. “Namaku Elias. Aku sedang mencari seseorang yang memiliki medali seperti milikmu.”
Athena terkejut, tapi ia tidak menunjukkannya. “Bagaimana kau tahu tentang medali ini?”
“Aku tahu lebih banyak daripada yang kau pikirkan,” jawab Elias. “Tapi aku tidak akan bicara di sini. Tempat ini terlalu berbahaya.”
Athena tidak suka dipaksa untuk mempercayai orang asing, tapi jika pria ini tahu sesuatu tentang perjalanannya, mungkin ia bisa berguna.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi jika kau mencoba berbuat macam-macam, aku tidak akan ragu membunuhmu.”
Elias hanya tersenyum. “Kau akan butuh bantuanku lebih dari yang kau kira.”
---
Bersama Elias, Athena melanjutkan perjalanan. Meski ia tidak sepenuhnya mempercayai pria itu, ia tahu bahwa informasi yang dimilikinya mungkin sangat berharga. Namun, Athena juga menyadari bahwa dunia ini penuh tipu daya, dan setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke bahaya.
Di kejauhan, pegunungan menjulang tinggi, tampak seperti penjaga bisu dunia yang telah hancur. Puncak Relic mungkin adalah harapan terakhir manusia, atau mungkin hanya legenda yang tak pernah nyata.
Athena hanya tahu satu hal: ia akan terus maju, apa pun yang terjadi.
Matahari siang yang terik memukul wajah Athena saat ia berjalan di antara reruntuhan bangunan yang dulunya pusat kota. Bersama Elias, ia bergerak dengan hati-hati, menghindari jalan-jalan terbuka yang terlalu sepi atau terlalu ramai. Dunia ini penuh dengan jebakan. Semakin dekat mereka ke pegunungan tempat Puncak Relic berada, semakin terasa bahaya mengintai di setiap sudut.
“Menurut peta, kita harus melewati zona merah ini,” ujar Elias sambil menunjuk peta lusuh yang mereka bawa. “Ini dulu adalah distrik militer. Banyak persenjataan berat tertinggal di sini—dan penjaganya.”
Athena mengernyit. “Penjaga? Apa maksudmu?”
Elias menghela napas. “Beberapa kelompok tentara dari masa perang masih bertahan. Mereka membentuk faksi sendiri, menjalankan aturan mereka. Kalau kita ketahuan, mereka tidak akan ragu menembak.”
Athena mengangguk, menyadari betapa berbahayanya perjalanan ini. Namun, ia tak punya pilihan. Setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke Puncak Relic, dan ia takkan berhenti.
---
Saat matahari mulai tenggelam, mereka tiba di perbatasan zona merah. Di depan mereka, jalan yang dulunya penuh dengan kendaraan mewah kini berubah menjadi ladang ranjau. Kendaraan-kendaraan lapis baja yang rusak tersebar di sepanjang jalan, beberapa masih menunjukkan bekas ledakan besar.
“Berhenti,” Elias berbisik, menahan bahu Athena. Ia menunjuk ke depan, ke sesuatu yang nyaris tak terlihat—kabel tipis yang terhubung ke perangkat peledak.
“Perangkap?” Athena bertanya.
Elias mengangguk. “Mereka menempatkannya di mana-mana. Kita harus hati-hati. Ikuti aku.”
Dengan langkah perlahan, Elias mulai memandu Athena melalui labirin ranjau. Ia tampak terbiasa dengan medan ini, menghindari jebakan dengan cekatan. Athena mengikutinya, napasnya tertahan setiap kali kakinya hampir menyentuh sesuatu yang mencurigakan.
Namun, ketika mereka hampir keluar dari zona itu, sebuah suara keras terdengar.
Klik.
Athena langsung membeku. Kakinya tanpa sengaja menyentuh plat logam tersembunyi di bawah debu.
“Mati aku,” bisiknya.
Elias segera mendekat, wajahnya tegang. “Jangan gerakkan kakimu. Itu ranjau aktif.”
Athena menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Peluh dingin mengalir di dahinya saat Elias berjongkok, memeriksa ranjau dengan hati-hati.
“Aku bisa menjinakkannya,” katanya, suara lirih tapi penuh keyakinan.
Athena ingin bertanya apakah ia yakin, tapi takut suaranya akan mengguncang fokus Elias. Waktu terasa melambat saat pria itu bekerja, memutar kabel-kabel kecil dengan hati-hati.
Beberapa menit kemudian, terdengar bunyi klik pelan.
“Sudah,” Elias berkata sambil mengangkat ranjau itu dari tanah. “Ayo pergi sebelum kita menarik perhatian siapa pun.”
Athena menghela napas lega, tapi rasa tegang masih menggantung di udara. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih hati-hati.
---
Malam itu, mereka memutuskan untuk beristirahat di dalam reruntuhan sebuah gedung. Api kecil yang mereka nyalakan memberikan sedikit kehangatan, tapi juga bisa menarik perhatian musuh.
“Kau sepertinya sangat ahli dalam hal ini,” kata Athena, memecah kesunyian.
Elias tersenyum tipis. “Aku dulu bagian dari kelompok penjaga. Tapi ketika aku tahu mereka hanya peduli pada kekuasaan, aku pergi. Dunia ini tidak butuh lebih banyak tirani.”
Athena mengangguk. Ia tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh orang yang seharusnya melindungi.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, suara langkah kaki mendekat. Banyak langkah kaki.
Athena dan Elias langsung waspada. Mereka mematikan api dan bersembunyi di balik puing-puing. Dari bayangan, sekelompok orang bersenjata muncul, membawa obor yang menerangi wajah mereka yang kasar dan kejam.
“Pasti ada orang di sini,” kata salah satu dari mereka. “Aku bisa mencium asapnya.”
Athena menggenggam pisaunya erat, sementara Elias mengeluarkan pistol kecil dari sakunya.
“Kita harus menyerang lebih dulu,” bisik Elias.
Athena menggeleng. “Mereka terlalu banyak. Kita perlu rencana.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, salah satu dari penyerang itu melihat ke arah mereka. “Di sana! Mereka di sana!”
Kekacauan pun pecah. Peluru beterbangan, mengenai dinding dan puing-puing di sekitar mereka. Athena dan Elias melarikan diri, mencoba mencari jalan keluar dari gedung yang kini berubah menjadi medan perang.
Dalam kekacauan itu, sebuah peluru mengenai bahu Elias. Ia terjatuh, darah mengalir dari lukanya. Athena segera membantunya bangkit, meskipun beban tubuhnya memperlambat langkah mereka.
“Kita tidak akan berhasil,” kata Elias dengan suara lemah.
“Diam. Aku tidak akan meninggalkanmu,” jawab Athena tegas.
Dengan segala kekuatannya, Athena menarik Elias keluar dari gedung itu, menghindari tembakan yang terus menghujani mereka.
---
Akhirnya, mereka berhasil meloloskan diri ke hutan terdekat. Athena menurunkan Elias di bawah pohon besar, mencoba menekan lukanya yang terus berdarah.
“Kau butuh bantuan,” kata Athena, suaranya gemetar.
Elias hanya tersenyum lemah. “Aku tidak akan bertahan lama. Dengarkan aku, Athena.”
“Jangan bicara seperti itu,” bentaknya.
“Dengar,” Elias berkata lagi. “Peta itu—kau harus melanjutkan perjalanan. Kau tidak bisa berhenti sekarang. Dunia ini butuh seseorang sepertimu.”
Athena tidak bisa menahan air matanya. Ia tidak ingin kehilangan Elias, orang pertama yang membuatnya merasa tidak sendirian. Tapi ia tahu, luka itu terlalu parah untuk diobati.
Dengan napas terakhirnya, Elias memberikan peta itu pada Athena. “Temukan Relic. Jangan biarkan pengorbananku sia-sia.”
Ketika Elias akhirnya menghembuskan napas terakhirnya, Athena merasakan sesuatu di dalam dirinya hancur. Tapi ia tahu, ia tidak bisa berhenti. Ia menutup mata Elias, memberikan penghormatan singkat sebelum melanjutkan perjalanannya ke dalam kegelapan malam.
---
Athena kini sendirian lagi, membawa beban kehilangan yang semakin berat. Ia berjalan dengan langkah goyah, tapi semangatnya untuk menemukan kebenaran tentang Puncak Relic semakin kuat.
Di depan, bayang-bayang pegunungan mulai terlihat. Tapi Athena tahu, perjalanan ini masih panjang, dan bahaya yang lebih besar menantinya.
---
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!