NovelToon NovelToon

Fotografer Plus-Plus

Chapter 1 - Sandwich Generation

Seorang lelaki tampak berjalan terseok-seok sambil membawa sekarung beras di punggungnya. Namanya adalah Wildan Narendra. Memang itu pertama kalinya Wildan melakukan pekerjaan berat. Ia terpaksa mengambil pekerjaan itu karena harus membayar biaya spp adiknya yang sudah menunggak.

Sandwich generation, begitulah istilah trendy yang mendefinisikan nasib Wildan sekarang. Istilah itu sendiri ditujukan untuk orang-orang yang menjadi tulang punggung keluarga seperti Wildan.

Dulu sebenarnya Wildan sempat hidup enak. Dia memiliki keluarga yang lengkap dan berkecukupan. Akan tetapi semuanya hancur ketika ayahnya ketahuan berselingkuh. Akibat hal itu pula, ibunya Wildan berakhir sakit-sakitan.

Wildan sangat membenci ayahnya. Itulah juga yang menjadi alasan utama kenapa dia bekerja sangat keras untuk mendapatkan uang. Bahkan kalau perlu, sampai tetes darah penghabisan.

Berbagai jenis pekerjaan telah Wildan geluti. Dari mulai menjadi tukang cukur, tukang bersih mobil, sopir, pelayan, cleaning service, bahkan ojek online. Namun dari semua itu, Wildan selalu mendambakan pekerjaan sesuai dengan hobinya. Yaitu mengambil gambar dengan kamera.

Ya, bisa dibilang Wildan bermimpi menjadi seorang fotografer terkenal. Kerjanya tinggal jepret-jepret, terus dapat duit. Intinya, semua foto yang dirinya hasilkan, akan memiliki nilai berharga.

Karena hobi dengan segala hal berbau fotografer, Wildan mengambil jurusan perfilman di sebuah universitas ternama. Meski sibuk bekerja, Wildan ternyata juga tak lupa dengan pendidikan. Walau terkadang dirinya harus tertidur di kelas karena kelelahan.

Wildan meletakkan karung beras terakhirnya ke dalam truk. Saat itulah dia langsung duduk sambil mengipasi dirinya dengan tangan.

"Ya ampun... Capek banget kerja beginian," keluh Wildan sembari mengatur nafas.

"Cepat juga kerjamu, Dan! Nih bayarannya!" Pak Malih selaku pemilik toko beras menyodorkan amplop pada Wildan.

"Makasih, Pak!" Wildan menerima amplop dari Pak Malih.

"Kalau nggak kapok, nanti besok datang lagi ya. Bapak soalnya suka pekerja muda dan energinya cepat kayak kamu," ujar Pak Malih.

"Siap deh, Pak..." Wildan membalas dengan senyuman kecut. Pak Malih lantas beranjak dari hadapannya. Saat itulah Wildan memeriksa isi amplop dari Pak Malih.

Mata Wildan membulat tatkala melihat isi amplop itu hanya berisi lima puluh ribu rupiah.

"Anjir! Nggak bakalan lagi deh aku ngambil kerja beginian. Udah capek, gajinya nggak sebanding!" keluh Wildan. Ia bergegas pergi dari pasar. Dirinya ingin cepat-cepat kembali ke rumah. Karena satu jam lagi, Wildan harus pergi ke kampus.

...***...

Ketika sampai di rumah, Wildan melihat ibu dan adiknya asyik menonton televisi. Keduanya langsung menyambut kedatangan Wildan dengan tatapan.

"Astaga, Dan! Kamu kok keringatan begitu? Kamu habis ngapain?" timpal Nia yang tak lain adalah ibunya Wildan.

"Biasalah, Bu. Kerja," sahut Wildan.

"Sudahlah, Dan. Kau harus biarkan Ibu kerja ya. Ibu nggak bisa biarkan kau begini terus," ujar Nia.

"Ya ampun. Ibu lupa ya dengan kejadian tempo hari? Ibu pingsan karena kelelahan bekerja. Aku nggak mau lah kejadian begitu terulang lagi. Pokoknya Ibu nggak usah cemaskan aku!" tanggap Wildan sembari masuk ke kamar. Dia ingin cepat-cepat mandi dan berangkat kuliah.

Sementara di luar, Nia tertunduk sedih. Jujur saja, dia seringkali merasa khawatir saat melihat Wildan bekerja sangat keras. Namun apalah daya, kondisi tubuh Nia juga tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan berat. Ia menderita gagal ginjal, yang mana Nia harus melakukan cuci darah setiap seminggu sekali.

Chapter 2 - Tentang Jajan

Setelah mandi, Wildan sepenuhnya siap pergi kuliah. Dia tak pernah lupa membawa kamera merek Canon Eos 60D miliknya.

"Bang!" Tini adik keduanya Wildan muncul dari balik pintu.

"Kenapa, Kartini Eva Lestari?" balas Wildan.

"Gimana, Bang? Sudah ada uang untuk bayar spp ku? Aku ditagihin terus loh sama Bu Darlin," ungkap Tini.

"Tunggu." Wildan berjalan ke belakang pintu. Di sana tergantung beberapa celananya yang belum di cuci. Wildan periksa satu per satu saku celana yang tergantung di sana. Dirinya mendapat beberapa lembar uang.

Selanjutnya, Wildan kumpulkan uang hasil dari semua kantong celananya. Lalu dia berikan pada Tini.

"Nih! Kalau masih kurang, bilang sama Bu Darlin akan dibayar minggu depan," kata Wildan.

Tini mengangguk. Namun dia tidak pergi dan mematung menatap sang kakak.

"Kenapa lagi? Pasti mau minta uang jajan kan?" tebak Wildan.

Tini cengengesan. "Iya dong, Bang. Dua ribu pun nggak apa-apa. Bisa dipakai beli es sekoteng sama Bang Mail," ucapnya.

"Terserah deh. Nih!" Wildan memberikan uang lima ribu rupiah untuk jajan Tini.

"Yeay! Dikasih goceng! Makasih ya, Bang! Semoga Bang Wildan sehat terus dan jadi orang kaya," seru Tini kesenangan. Dia sampai melakukan pose doa untuk Wildan. Baginya jarang-jarang kakaknya memberi uang jajan lima ribu. Karena biasanya pasti dikasih dua ribu atau seribu.

Memang sesulit itulah kehidupan ekonomi Wildan dan keluarganya. Bisa jajan saja Tini sudah bersyukur.

Wildan hanya terkekeh mendengar ocehan Tini. Dia segera berangkat kuliah setelah mencium tangan sang ibu.

Wildan selalu pergi kemana-mana dengan motor matik yang tampak usang. Kini dia hendak beranjak dengan motor tersebut. Namun bersamaan dengan itu, Arman yang tak lain adalah adik pertama Wildan muncul.

Arman sendiri sudah berusia 16 tahun. Dia sekarang sudah SMA. Beda sekitar lima tahun dari usia Wildan.

Arman sengaja menghalangi jalan Wildan. Dia berkata, "Eh tunggu dulu, Bang! Punya uang nggak? Aku minta lima puluh ribu dong!"

"Arman! Abangmu udah kasih kau jajan tadi pagi loh. Kok ini minta lagi. Udahlah, Dan! Kamu sebaiknya cepat-cepat pergi! Biar Ibu yang ngurus adikmu satu ini!" seru Nia.

"Lah, Ibu. Cuman sepuluh ribu mana cukup!" sahut Arman. Dia lantas memegangi lengan Wildan dan memasang raut wajah memelas. "Ayolah, Bang. Sekali ini aja. Aku mau kerja kelompok. Ada projek sains. Itu butuh biaya loh. Aku malu nggak bisa patungan," mohonnya.

Wildan mendengus kasar. Meskipun begitu, dia memilih tetap memberi uang pada Arman. Ia berikan uang lima puluh ribu yang merupakan hasil dari kerja kerasnya di pasar tadi.

"Wah! Makasih, Bang!" Arman langsung menyambar uang pemberian Wildan.

"Sekolah yang benar! Kalau macam-macam, awas saja!" omel Wildan.

"Siap, Bos!" Arman melakukan pose hormat.

Wildan kali ini benar-benar beranjak. Dia tiba di kampus tepat waktu.

...***...

Di kampus, Wildan mempunyai tiga teman dekat. Mereka adalah Egy, Yoga, dan Jaka. Kedatangan Wildan langsung disambut oleh mereka.

"Kau itu, Dan! Wajah gantengmu kelihatan capek terus tahu nggak. Sekali-kali istirahatlah. Kalau perlu, pakai skincare aja sekalian," tukas Yoga.

"Gimana mau mikirin skincare. Cari duit buat jajan sendiri aja susah," sahut Wildan. Jujur saja, dia sekarang tidak memiliki uang lagi. Karena gaji lima puluh ribunya telah diberikan pada Arman.

Memang Wildan seringkali begitu. Dia rela tidak makan atau jajan, karena lebih mementingkan ibu dan kedua adiknya.

"Ya elah. Tenang aja kali. Ada Yoga!" kata Egy. Kebetulan di antara teman Wildan yang lain, Yoga adalah yang paling kaya.

"Aku tahu. Makanya aku pede datang ke kampus dengan dompet kosong!" balas Wildan.

"Sialan!" rutuk Yoga sembari menghisap vapenya. Dia, Wildan dan yang lain lantas terbahak.

Tak jarang Wildan mengandalkan teman-temannya. Namun dia tahu, dirinya tidak bisa begitu selamanya. Makanya Wildan mencoba memikirkan cara untuk memulai jasa fotografer.

"Guys! Aku mau buka jasa fotografer. Kalian punya masukan nggak?" cetus Wildan. Membuat ketiga temannya otomatis menatap ke arahnya.

Chapter 3 - Sang Primadona

Dahi Egy berkerut dalam. "Kalau mau buka jasa fotografer, ya buka ajalah. Kenapa harus tanya dulu," tukasnya.

"Itu juga usaha loh, Gy. Dan yang namanya usaha butuh strategi. Biar bisa cepat laris manis," sahut Wildan.

"Emangnya kau suka ngambil gambar apa aja, Dan?" tanya Jaka.

"Apa aja. Pokoknya gambar yang estetik dan menarik!" jawab Wildan.

"Bagaimana kalau kau bikin nama yang unik. Setahuku itu bisa menarik perhatian banyak orang loh," saran Yoga.

"Nama?" Wildan tertarik.

"Benar tuh kata Yoga, Dan. Aku akan coba kasih saran satu nama. Bagaimana kalau fotografer kere?" ujar Jaka.

"Sialan! Itu namanya mengejek," tanggap Wildan. Dia lalu menoyor kepala Jaka.

"Tapi bagus kan?" balas Jaka sambil tergelak.

"Kagak!" tolak Wildan tegas.

"Gimana kalau fotografer gado-gado?" Kini Egy yang memberikan usul.

"Dih! Nggak keren banget, Gy! Nanti Wildan dikira orang fotogenik kuliner," timpal Yoga. Dia, Wildan dan Jaka lantas tertawa.

"Terserah kalian. Yang jelas aku sudah kasih masukan buat Wildan," balas Egy.

Bertepatan dengan itu, dosen yang mengajar datang. Wildan dan kawan-kawan otomatis kembali duduk ke tempat masing-masing. Mereka mulai menjalani perkuliahan.

Dosen yang mengajar kala itu adalan Pak Dani. Ia merupakan dosen yang mengajar mata kuliah videografi. Pak Dani memberikan tugas pada seluruh mahasiswa untuk membuat film pendek. Wildan dan teman sekelasnya diberi waktu sebulan untuk membuat film pendek tersebut. Mereka juga disuruh memilih kelompok secara bebas.

Wildan dan ketiga temannya jelas akan membentuk kelompok bersama. Namun mereka masih kekurangan satu orang lagi. Karena per kelompok diharuskan berjumlah lima orang. Di setiap kelompok juga diwajibkan memiliki anggota perempuan.

"Kita harus cari anggota cewek nih," cetus Jaka.

"Menurut kalian baiknya siapa yang kita ajak?" tanya Yoga.

"Siapa aja deh. Yang penting cewek," sahut Wildan. Jujur saja, sejak tadi dia tidak fokus belajar. Wildan berusaha keras menemukan nama yang cocok untuk usaha jasa fotografernya.

"Nggak bisa gitu. Kita tidak bisa asal-asalan memilih anggota. Menurutku poin utamanya adalah hebat berakting dan cantik," imbuh Egy. Sejak tadi dia terus menatap seorang cewek. Membuat Jaka dan Yoga ikut menatap cewek tersebut. Tatapan mereka tertuju ke satu orang, yaitu Natasha. Gadis tercantik dan dikenal sebagai primadona kampus.

"Serius kau, Gy? Susah loh deketin Natasha. Dia sepertinya akan memilih kelompok Rendra," bisik Jaka.

"Apa salahnya dicoba dulu. Lagian kalian emangnya nggak mau punya anggota cewek bening kayak dia?" timpal Egy. Dia menatap ketiga temannya secara bergantian.

Jaka dan Yoga hanya terdiam. Mereka tak membantah ucapan Egy. Lagi pula lelaki seperti mereka tentu tak akan menolak sosok Natasha.

Sementara Wildan sendiri terkesan tak peduli. Dia masih saja memikirkan perihal nama jasa fotografer yang ingin dimulainya.

"Biar aku yang bicara padanya," kata Egy seraya berjalan menghampiri Natasha.

Jaka dan Yoga hanya memperhatikan dari belakang. Tetapi setelah dilihat, sepertinya Egy mendapat penolakan. Karena Natasha terlihat tersenyum kecut dan pergi begitu saja.

Dengan wajah lesu, Egy kembali bergabung bersama teman-temannya.

"Pasti ditolak ya?" tebak Jaka.

"Iya. Belagu banget tuh cewek. Mentang-mentang cantik." Egy jadi menggerutu.

Setelah menyelesaikan mata kuliahnya, Wildan langsung pulang. Dia kini mengendarai motornya dengan tenang. Melewati jalanan sepi menuju keluar gerbang kampus. Terlebih cuaca saat itu juga sedang gerimis.

Atensi Wildan tertuju pada seorang gadis di pinggir jalan. Gadis tersebut tak lain adalah Natasha. Ia tampak kesal sambil sesekali meletakkan ponsel ke telinga.

Karena mengenal Natasha, Wildan lantas berhenti.

"Ada apa, Nat? Mobilnya mogok?" tanya Wildan.

"Iya nih. Nyebelin banget. Nomor tukang bengkel langgananku nggak aktif lagi," keluh Natasha.

"Boleh aku cek mobilmu? Mungkin aku bisa bantu," ujar Wildan.

"I-iya. Tentu saja boleh. Silahkan, Dan!" Natasha dengan senang hati mengizinkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!