Malam itu, di ruang tamu yang megah, Alfatra duduk dengan wajah datar. Suara jam dinding terdengar jelas di antara percakapan orang tuanya dengan sepasang suami istri lain. Mereka membicarakan sesuatu yang tampaknya sudah disepakati—perjodohan antara dirinya dan Naumi, putri sahabat keluarga.
“Alfa, ini keputusan terbaik untuk keluarga kita. Naumi adalah gadis yang baik, pintar, dan sopan,” kata ibunya dengan nada penuh harap. Ayahnya mengangguk setuju.
Naumi, yang duduk tak jauh darinya, hanya tersenyum tipis. Ia tampak manis, dengan penampilan anggun yang tak bisa dimungkiri. Namun, di mata Alfatra, semua itu tidak cukup untuk menggantikan seseorang yang pernah ia cintai.
Pikirannya melayang ke masa dua tahun lalu, saat ia dan Ariana masih bersama. Wajah ceria Ariana, tawanya, dan ambisi mereka yang dulu sejalan kini terasa seperti bayangan yang jauh. Hubungan mereka hancur akibat perdebatan yang tak kunjung usai, ego yang terlalu tinggi, dan karier yang menjadi prioritas masing-masing. Namun, meski waktu telah berlalu, ia tidak pernah benar-benar melupakan Ariana.
“Maaf, tapi aku tidak bisa,” suara Alfatra memecah keheningan. Semua mata tertuju padanya, termasuk Naumi yang kini tampak terkejut.
“Alfa, apa maksudmu? Ini untuk kebaikanmu,” kata ayahnya, menahan nada marah.
“Aku menghormati kalian, tapi aku tidak bisa menjalani ini. Aku... aku tidak mencintainya,” jawab Alfatra tegas, meski ada getaran di suaranya.
Ruangan itu menjadi hening. Naumi menunduk, tampak berusaha menyembunyikan rasa malunya. Ibunya menatap Alfatra dengan pandangan kecewa, sementara ayahnya menarik napas panjang, mencoba menahan emosi.
“Alfa, cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Yang penting adalah komitmen dan tanggung jawab,” ujar ibunya.
Namun, Alfatra menggeleng. “Aku tahu apa yang aku rasakan. Aku masih mencintai seseorang, dan aku tidak bisa memaksakan hati ini.”
Pengakuan itu membuat suasana semakin canggung. Alfatra berdiri, meninggalkan ruang tamu tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut. Di dalam kamarnya, ia terduduk di tepi ranjang, memandangi jendela yang memperlihatkan langit malam. Hatinya terasa berat, namun ia tahu, memilih untuk jujur adalah satu-satunya hal yang benar.
Di luar, orang tuanya masih berbicara dengan keluarga Naumi, mencoba meredakan situasi. Tapi jauh di lubuk hati Alfatra, ia tahu keputusan ini hanyalah awal dari perjalanan panjang yang harus ia hadapi. Dan di sudut hatinya, bayangan Ariana kembali muncul, mengingatkan dirinya bahwa cinta sejati memang tidak mudah dilupakan.
~
Kamar Alfatra gelap, hanya diterangi oleh lampu meja kecil di sudut ruangan. Pikirannya terus berputar, kembali ke saat terakhir ia bertemu Ariana dua tahun lalu. Mereka berdiri di depan kafe kecil yang menjadi tempat favorit mereka, namun malam itu segalanya berbeda.
“Aku lelah, Alfatra. Kita tidak pernah sepakat tentang apa pun,” ujar Ariana dengan suara bergetar.
“Itu karena kamu tidak pernah mendengarkanku! Kamu terlalu sibuk dengan ambisi-ambisi kamu, bahkan aku merasa seperti prioritas kedua!” balas Alfatra dengan nada tajam.
Wajah Ariana berubah masam, matanya berkaca-kaca. “Lalu apa yang kamu mau, Alfa? Aku berhenti mengejar mimpiku hanya untuk kamu? Itu bukan aku.”
Kata-kata itu seperti tamparan. Alfatra terdiam, menahan ego yang meluap-luap di dadanya. Mereka saling menatap, namun tidak ada lagi kehangatan. Beberapa menit setelahnya, Ariana pergi, meninggalkan Alfatra di tengah hujan deras malam itu.
Kini, dua tahun berlalu, kenangan itu masih terasa begitu nyata. Di dalam hati kecilnya, ia tahu ia salah. Ego dan sikap keras kepalanya menghancurkan apa yang mereka miliki. Namun, waktu telah berlalu, dan ia bahkan tidak tahu di mana Ariana sekarang.
Pikiran Alfatra buyar ketika ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya masuk.
"Besok malam kita akan berbicara lagi soal perjodohan ini. Tolong jangan membuat malu keluarga."
Alfatra menghela napas panjang, merasa terperangkap dalam situasi yang tidak ia inginkan. Ia tahu, menolak perjodohan ini akan membawa konsekuensi besar. Tapi menyerah pada tuntutan orang tua berarti mengkhianati hatinya sendiri.
Keesokan harinya, Alfatra memutuskan untuk mengunjungi kafe lama yang dulu sering ia datangi bersama Ariana. Tempat itu hampir tidak berubah, kecuali suasananya yang terasa lebih sunyi. Ia duduk di sudut ruangan, memesan secangkir kopi hitam, dan membiarkan pikirannya melayang.
Namun, saat ia menatap ke arah pintu, jantungnya berdetak lebih cepat. Sosok itu... rambut panjangnya, cara ia berjalan dengan penuh percaya diri... Itu Ariana.
Ariana berhenti di dekat pintu, berbicara dengan pelayan sebelum akhirnya melangkah ke meja lain. Ia tidak menyadari keberadaan Alfatra. Dalam sekejap, semua emosi yang telah Alfatra pendam selama ini menyeruak.
“Ariana,” gumamnya pelan, hampir tidak percaya.
Tapi ia ragu untuk mendekat. Bagaimana jika Ariana tidak ingin bertemu dengannya? Bagaimana jika Ariana sudah melupakan segalanya?
Dengan tangan gemetar, Alfatra mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan. Namun, sebelum ia sempat menekan tombol kirim, Ariana menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu, dan waktu seakan berhenti.
Ada keheningan di antara mereka, namun dalam tatapan itu, banyak hal yang tak terucapkan.
“Ariana,” panggil Alfatra, kali ini dengan suara lebih tegas.
Ariana mendekat, namun raut wajahnya sulit ditebak. “Alfatra. Sudah lama,” katanya singkat, nada suaranya datar namun penuh makna.
Alfatra berdiri, mencoba mengumpulkan keberanian. “Bisa kita bicara sebentar?”
Ariana menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Oke. Tapi hanya sebentar.”
Saat mereka duduk, Alfatra tahu inilah kesempatan yang ia tunggu-tunggu. Namun, kata-kata terasa sulit keluar. Di satu sisi, ia ingin meminta maaf dan memperbaiki semuanya, namun di sisi lain, ia sadar bahwa luka di hati mereka mungkin belum sembuh sepenuhnya.
Alfatra duduk berhadapan dengan Ariana di meja kafe yang penuh kenangan itu. Kopi di depannya hampir tidak tersentuh, sementara Ariana tampak lebih tenang, menatap keluar jendela. Alfatra merasakan debar di dadanya, sesuatu yang tidak ia rasakan sejak terakhir kali mereka bersama.
“Apa kabar, Ari?” tanya Alfatra akhirnya, suaranya rendah.
Ariana tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap dingin. “Baik. Sibuk, seperti biasa. Kamu?”
Alfatra menghela napas. “Aku baik. Tapi rasanya ada banyak yang harus aku katakan.”
Ariana memiringkan kepala, ekspresinya datar. “Dua tahun, Alfa. Kamu diam selama dua tahun. Apa yang tiba-tiba membuatmu ingin bicara sekarang?”
Alfatra terdiam, merasa terpukul oleh pertanyaan itu. Ia tahu Ariana benar. Selama dua tahun, ia tidak pernah mencoba menghubungi atau memperbaiki hubungan mereka. Sebagian karena egonya, sebagian lagi karena ia takut menghadapi kenyataan.
“Aku salah, Ari. Aku tahu itu sekarang. Aku seharusnya tidak membiarkan kita berpisah seperti itu,” kata Alfatra pelan, menundukkan kepala.
Ariana mengangkat alisnya, ekspresi skeptis terlihat di wajahnya. “Kamu salah? Setelah dua tahun, kamu baru menyadarinya?”
“Aku sadar lebih cepat dari itu,” Alfatra mengaku. “Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Aku pikir, kalau aku membiarkan waktu berlalu, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.”
Ariana tertawa kecil, tetapi nadanya pahit. “Benar. Waktu memang tidak menyembuhkan semuanya. Aku belajar itu dengan cara yang sulit.”
Kata-kata itu membuat Alfatra merasa bersalah. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi Ariana mendahuluinya.
“Kamu tahu, Alfa? Aku berusaha keras melupakan kamu. Aku mencoba fokus pada karierku, bertemu orang baru, bahkan memberi diriku kesempatan untuk jatuh cinta lagi. Tapi...” Ariana berhenti, mengambil napas panjang sebelum melanjutkan. “Terkadang, luka itu terlalu dalam untuk sembuh sepenuhnya.”
“Maaf, Ari. Aku benar-benar menyesal,” kata Alfatra dengan tulus.
Ariana memandangnya lama, seolah mencoba membaca kejujuran dalam kata-katanya. “Mungkin aku bisa memaafkanmu suatu hari nanti, tapi itu tidak berarti segalanya akan kembali seperti dulu.”
Alfatra terdiam. Ia tahu, ia tidak bisa berharap terlalu banyak. Tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, ponsel Ariana bergetar. Ariana mengambilnya, membaca pesan, lalu berdiri.
“Aku harus pergi. Ada rapat yang harus aku hadiri,” katanya singkat, suaranya datar.
“Ari, tunggu,” kata Alfatra, berdiri juga. “Aku ingin memperbaiki semuanya. Tolong, beri aku kesempatan.”
Ariana tersenyum kecil, kali ini dengan sedikit kelembutan. “Kita lihat nanti, Alfa. Jangan berharap terlalu banyak.”
Ariana berbalik dan meninggalkan kafe, sementara Alfatra tetap berdiri di tempatnya. Ia merasa lega karena akhirnya bisa bertemu dan berbicara dengan Ariana, tetapi sekaligus merasa hampa karena ia tahu jalan untuk mendapatkan kembali kepercayaannya tidak akan mudah.
Saat Alfatra keluar dari kafe, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari ibunya.
"Jangan lupa malam ini. Keluarga Naumi akan datang lagi untuk makan malam."
Alfatra menggenggam ponselnya erat. Ia tahu, perjodohan itu masih menjadi ancaman nyata. Tapi setelah bertemu Ariana, hatinya semakin yakin bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja pada cinta sejatinya.
Namun, ia juga sadar bahwa keputusan ini akan membawa konflik baru. Bukan hanya dengan keluarganya, tetapi mungkin juga dengan Ariana, yang tampaknya masih berjuang dengan luka masa lalu mereka.
~
Malam itu, Alfatra duduk di meja makan bersama keluarganya dan keluarga Naumi. Suasana terasa canggung baginya, meskipun orang tua kedua belah pihak terlihat menikmati percakapan hangat. Naumi duduk di seberangnya, sesekali tersenyum sopan, tetapi Alfatra bisa merasakan bahwa gadis itu sama tidak nyamannya dengan situasi ini.
“Jadi, Alfa, apa yang kamu pikirkan tentang rencana ini?” tanya ayahnya tiba-tiba, memecah keheningan.
Alfatra menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku rasa aku sudah jelas soal ini, Ayah. Aku tidak bisa menerima perjodohan ini.”
Ruang makan langsung sunyi. Ibu Alfatra menatapnya dengan pandangan tajam, sementara ayahnya menahan diri agar tidak meledak. Naumi tampak menundukkan kepala, berusaha menghindari perhatian.
“Alfa, kita sudah membicarakan ini. Kamu tidak bisa hanya memikirkan dirimu sendiri. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi juga keluarga kita,” kata ibunya dengan nada dingin.
“Aku mengerti, Bu. Tapi aku tidak bisa menjalani hidup dengan seseorang yang tidak aku cintai. Itu tidak adil untukku, dan juga tidak adil untuk Naumi,” balas Alfatra, suaranya tegas.
Naumi akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun penuh kejujuran. “Tante, Om, mungkin ada baiknya kita tidak memaksakan ini. Aku... aku juga merasa tidak siap untuk hubungan yang diawali seperti ini.”
Semua orang menoleh padanya. Ibunya tampak terkejut, sementara ayahnya berusaha menahan rasa malu. Namun, Naumi tetap tenang. Ia menatap Alfatra sejenak, lalu melanjutkan, “Aku ingin hubungan yang didasarkan pada cinta, bukan kewajiban. Kalau Alfatra merasa ini bukan jalannya, aku menghormati itu.”
Alfatra menatap Naumi dengan rasa hormat. Ia tidak menyangka gadis itu memiliki keberanian untuk berbicara jujur.
Namun, ayah Alfatra menahan napas panjang, kemudian berkata, “Kita ini bukan anak-anak lagi, Alfa. Hidup tidak selalu soal cinta. Terkadang, tanggung jawab lebih penting.”
“Ayah, aku tahu tanggung jawab itu penting. Tapi aku juga tahu, memaksa diri menikah tanpa cinta hanya akan membawa lebih banyak masalah. Aku tidak ingin melukai siapa pun, termasuk Naumi,” kata Alfatra.
Percakapan itu berakhir dengan suasana tegang. Setelah makan malam selesai, Naumi menghampiri Alfatra di teras rumah.
“Terima kasih sudah jujur,” kata Naumi, tersenyum kecil. “Aku tahu kamu masih mencintai seseorang.”
Alfatra terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”
Naumi tertawa kecil. “Insting. Aku bisa melihatnya dari caramu berbicara. Jadi, siapa dia?”
“Ariana,” jawab Alfatra tanpa ragu. “Dia cinta pertamaku, dan aku tidak pernah benar-benar melupakannya.”
Naumi mengangguk pelan. “Aku harap kamu bisa memperjuangkan dia. Tidak semua orang punya keberanian untuk melawan arus, apalagi demi cinta.”
“Terima kasih, Naumi. Kamu... jauh lebih kuat daripada yang aku kira,” kata Alfatra tulus.
Naumi hanya tersenyum dan melangkah pergi, meninggalkan Alfatra sendirian di teras.
---
Keesokan harinya, Alfatra memutuskan untuk mengambil langkah pertama untuk memperbaiki hubungan dengan Ariana. Ia mencari informasi tentang kesibukan Ariana melalui teman-teman lama mereka, hingga akhirnya tahu bahwa Ariana akan menghadiri sebuah pameran seni malam itu.
Alfatra tiba di galeri seni dengan hati yang berdebar. Ia melihat Ariana berdiri di depan sebuah lukisan, berbicara dengan beberapa orang. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri, tetapi Alfatra tahu bahwa di balik itu, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Mengumpulkan keberaniannya, Alfatra mendekatinya. “Ariana,” panggilnya pelan.
Ariana berbalik, dan untuk sesaat, ekspresinya berubah. Namun, ia segera menguasai diri. “Alfa. Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku ingin bicara, Ari. Aku tahu kamu sibuk, tapi tolong beri aku waktu sebentar,” pinta Alfatra dengan nada memohon.
Ariana terdiam, lalu mengangguk. “Baiklah. Kita bicara di luar.”
Di luar galeri, udara malam terasa dingin. Ariana menyilangkan tangan di depan dada, menatap Alfatra dengan sorot mata penuh pertanyaan.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya.
“Aku ingin memperbaiki segalanya, Ari. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin mencoba lagi. Aku ingin kita mulai dari awal,” kata Alfatra, suaranya penuh emosi.
Ariana tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. “Kamu pikir semudah itu, Alfa? Kamu pikir dengan kata-kata, semuanya akan baik-baik saja?”
“Aku tahu ini tidak mudah. Aku hanya... aku tidak bisa menyerah tanpa mencoba,” jawab Alfatra.
Ariana menatapnya lama, lalu berkata, “Aku butuh waktu, Alfa. Aku tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu lagi.”
“Aku akan menunggu. Aku tidak peduli berapa lama, asalkan kamu memberiku kesempatan,” ujar Alfatra tulus.
Ariana menghela napas panjang. “Kita lihat saja nanti. Tapi jangan berharap terlalu banyak.”
Alfatra mengangguk, merasa bahwa meskipun kecil, itu adalah awal yang baik.
Pagi itu, Ariana sedang duduk di sebuah kafe kecil setelah menghadiri rapat. Ia menikmati cappuccino-nya sambil membaca sebuah buku, mencoba melupakan pertemuannya dengan Alfatra semalam. Namun, pikirannya terus berputar. Kata-kata Alfatra, pengakuannya, dan keberaniannya untuk meminta kesempatan kedua mengganggu ketenangan yang selama ini ia bangun.
Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, seorang wanita muda menghampirinya. Wanita itu tampak anggun, dengan senyuman ramah yang terkesan tulus. Ariana mengangkat wajahnya, agak bingung.
“Maaf, apakah kamu Ariana?” tanya wanita itu dengan suara lembut.
“Iya, benar. Maaf, kita pernah bertemu sebelumnya?” jawab Ariana hati-hati.
Wanita itu tersenyum, lalu duduk tanpa diminta. “Belum. Tapi aku tahu tentangmu. Aku Naumi.”
Nama itu langsung menarik perhatian Ariana. Ia ingat Alfatra menyebut tentang perjodohan, dan sekarang gadis ini, Naumi, ada di depannya. “Oh,” ujar Ariana, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. “Jadi, kamu Naumi.”
Naumi tertawa kecil. “Aku tahu ini mungkin terasa canggung, tapi aku pikir kita perlu bicara. Aku tidak mau kita menjadi dua wanita yang saling menghindari hanya karena seseorang.”
Ariana menatap Naumi dengan penuh rasa ingin tahu. Gadis ini tampaknya berbeda dari apa yang ia bayangkan. Bukannya memusuhi, Naumi justru terlihat tulus dan penuh pengertian.
“Aku tidak yakin apa yang ingin kamu bicarakan,” kata Ariana, mencoba menjaga nada suaranya tetap netral.
Naumi menghela napas sebelum menjawab, “Aku tahu Alfatra mencintaimu. Itu terlihat jelas dari caranya berbicara tentangmu. Dan jujur saja, aku tidak punya niat untuk menikah dengannya.”
Ariana terkejut dengan kejujuran itu. “Kalau begitu, kenapa kamu di sini?”
Naumi tersenyum kecil. “Karena aku ingin memastikan kamu tahu apa yang kamu inginkan. Aku tidak ingin menjadi alasan mengapa seseorang yang benar-benar mencintai kamu tidak mendapat kesempatan kedua.”
Kata-kata itu menusuk hati Ariana. Ia tahu Naumi benar. Di satu sisi, ia masih mencintai Alfatra, tetapi di sisi lain, luka yang ia rasakan selama ini membuatnya ragu untuk membuka hati kembali.
“Ini bukan soal kamu atau Alfatra,” jawab Ariana akhirnya. “Ini soal aku. Aku tidak yakin apakah aku bisa mempercayai dia lagi.”
Naumi mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi kamu juga harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah rasa takut itu lebih besar daripada cinta yang kamu punya untuk dia.”
Ariana terdiam, merenungkan kata-kata Naumi. Sebelum pergi, Naumi meninggalkan pesan terakhir. “Aku tidak akan ada di antara kalian. Jika kamu mencintainya, perjuangkan dia. Karena aku yakin, dia akan melakukan hal yang sama untukmu.”
~
Malam Itu
Sementara itu, Alfatra sedang berada di rumah, mencoba mencari cara untuk mendekati Ariana lagi. Ia tidak tahu bahwa Naumi telah bertemu Ariana. Namun, ketika Naumi mengirim pesan singkat padanya, ia merasa ada sesuatu yang penting.
"Aku sudah bicara dengan Ariana. Sekarang semuanya tergantung pada kalian berdua. Jangan kecewakan dia."
Pesan itu membuat Alfatra terkejut. Ia tidak menyangka Naumi akan bertindak sejauh itu. Tapi ia juga merasa berterima kasih. Naumi tidak hanya memberikan ruang, tetapi juga dorongan yang ia butuhkan untuk terus berjuang.
~
Konflik di Hati Ariana
Malam itu, Ariana duduk sendirian di balkon apartemennya. Ia memikirkan pertemuannya dengan Naumi, pesan-pesan jujur dari gadis itu, dan perjuangan Alfatra untuk memperbaiki segalanya.
Di satu sisi, ia merasa ada harapan untuk memperbaiki hubungan mereka. Namun, di sisi lain, ia takut untuk kembali membuka hati dan menghadapi kemungkinan disakiti lagi.
Ponselnya berbunyi, sebuah pesan dari Alfatra masuk.
"Ari, aku tahu aku tidak pantas memintamu kembali. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak akan berhenti berjuang untuk mendapatkan kepercayaanmu. Aku akan menunggu selama apa pun yang kamu butuhkan."
Ariana membaca pesan itu berulang kali. Hatinya bimbang, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan untuk kembali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!