" Aaah Appa, Eomma , ini gelap banget. Aaarghh, Eomma nyalain lampunya! Kenapa semuanya gelap. Aku nggak bisa lihat apapun!"
" Sayang sayang, tenang ya."
Teriakan keras terdengar di salah satu ruang rawat VVIP Rumah Sakit Mitra Harapan. Semua yang berada di dalam ruangan itu mencoba menahan tangis melihat kondisi salah satu sanak keluarga mereka yang tertimpa musibah. Terutama Hyejin, dia sekuat hati menahan agar tangisnya tidak pecah melihat apa yang terjadi pada putranya.
Haneul terus berteriak meminta agar lampu dinyalakan. Padahal saat itu hari masih sangatlah terang, korden jendela dibuka lebar sehingga cahaya matahari bisa masuk. Jadi lampu tidak diperlukan.
Tapi Haneul terus berteriak mengatakan bahwa pandangannya gelap. Dia tidak bisa melihat apapun. Haneul mencoba untuk turun dari brankar namun ia terjatuh mengingat kondisi kakinya juga masih terdapat luka.
Bukan hanya luka biasa, melainkan ada tulang yang patah.
" Eomma, aku nggak bisa lihat apapun. Ini kenapa jadi gini? Arghhhh!!!"
Haneul berteriak keras. Sailendra, ayah dari Haneul yang juga merupakan dokter meminta semua orang untuk keluar dari ruangan. Kedua kakek nenek dari pihak ibu dan ayah Hanuel berjalan ke luar kamar rawat sambil menahan tangis mereka. Dan sesampainya di luar semua akhirnya menangis tersedu mengingat apa yang menimpa cucu mereka.
" Kek, nek, Bang Han bakalan bisa lihat lagi kan? Iya kan kek?" ucap Yoona yang merupakan adik Hanul. Ia tak kalah terpukulnya dengan semua orang.
Itu adalah peristiwa 3 bulan yang lalu, Haneul Ahmad Syafi Daneswara adalah seorang dokter yang memiliki banyak prestasi diusianya yang baru menginjak 30 tahun. Bukan hanya menjadi lulusan termuda, tapi dia juga menorehkan namanya menjadi salah satu dokter yang jenius karena dapat mendiagnosa dengan cepat dan telat tentunya.
Ya dia mengikuti jejak ayahnya, Sailendra Khalid Daneswara yang juga merupakan seorang dokter. Namun kejadian nahas menimpa Haneul. Dia mengalami kecelakaan tunggal. Setidaknya itu laporan yang diterima oleh keluarga Haneul dari kepolisian.
Kini Haneul tidak lagi bisa melakukan pekerjaannya. Pengelihatannya tidak lagi bisa digunakan otomatis ia tidak lagi bisa menjalankan profesi dokternya.
Dokter buta, begitulah orang-orang mulai menyebutnya. Hanya saja tidak ada yang berani bicara di depan Haneul ataupun keluarganya. Mereka tidak cukup nyali untuk berkata demikian.
Krompyang
" Astagfirullah!"
Hyejin terkejut ketika mendengar suara benda pecah belah yang pastinya terjatuh di lantai. Entah dilempar dengan sengaja atau tidak sengaja terjatuh.
" Nyonya, Maaf saya sudah tidak bisa lagi bekerja di sini. Tidak apa-apa kalau gaji saya selama seminggu ini tidak dibayar karena saya sudah menyalahi kontrak kerja. Tapi saya benar-benar tidak bisa lagi merawat Pak Dokter. Saya permisi Nyonya."
Hyejin membuang nafasnya kasar. Dia benar-benar bingung bagaimana menghadapi Haneul untuk saat ini.
" Eomma, ini udah yang ke 7 kalinya kan?"
" Iya sayang, Abang mu kayaknya membuat para perawat itu nggak betah."
Ya, ini adalah perawat yang ke 7. Dan semuanya tidak ada yang bertahan lama. Paling lama ya satu minggu saja menghadapi Haneul.
Entah mereka dibentak, atau tiba-tiba Haneul melempar barang sehingga membuat mereka ketakutan. Padahal Hyejin sudah sebisa mungkin menyingkirkan benda pecah belah di sekitar Haneul, tapi ada saja hal yang membuat para perawat itu takut dan akhirnya memilih resign.
Seperti halnya saat ini. Hyejin pikir perawat kali ini akan bida bertahan lebih lama karena sudah satu minggu merawat Haneul, tapi ternyata Hyejin salah. Perawat itu lagi-lagi lari, seperti yang lainnya.
Padahal tugas yang diberikan Hyejin tidaklah berat. Hanya sesekali membawakan makan dan juga obat saat Hyejin tidak bisa melakukannya. Selain itu juga mereka diminta membantu Haneul untuk kembali belajar menggerakkan tubuhnya.
Dimana hal itu memang tidak bisa dilakukan sembarang orang, dan perawat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
" Eomma lihat Abang dulu ya?"
Yoona mengangguk, ia sangat prihatin melihat kondisi kakak lelakinya. Kakak yang penyayang, lembut, dan baik hati, kini semuanya itu tidak lagi bisa Yoona rasakan.
Haneul sepenuhnya berubah menjadi pribadi yang dingin dan tempramental. Yoona merasa sangat wajar karena saat ini kondisi psikis Haneul yang sangat tidak stabil karena kecelakaan yang menimpanya.
Dan entah itu benar atau tidak, kehidupan keluarga Daneswara menjadi berubah. Suasana rumah yang dulu hangat menjadi lebih dingin.
" Ya Allah, aku mohon semoga Bang Han bisa melihat lagi."
" Aamiin, semoga sayang. Doakan Abang terus ya, Appa juga sedang nyari cara buat itu."
Yoona sedikit terkejut ketika ayahnya berdiri di sampingnya. Pasalnya ia sama sekali tidak melihat ayahnya itu pulang dan ia juga tidak bisa mendengar salam yang diucapkan.
" Nggak usah heran gitu, kamu tadi lagi fooookuuuus mikir. Jadi nggak denger pas Appa dateng. Ada berita apa hari ini?"
" Perawatnya resign lagi, Appa."
Sai menghela nafasnya berat, ini sudah keberapa kali hal seperti ini terjadi. Sai sampai bingung harus bagaimana lagi menghadapi Haneul. Tapi tentu saja merasa maklum, saat ini mental Haneul sedang dalam kondisi tidak stabil akibat apa yang dialaminya.
Bagaimana tidak terguncang, pria yang tadinya sehat, berprestasi dalam profesinya, selalu menolong orang dengan ilmu kedokterannya, kini menjadi pasien yang bahkan tidak mampu menggunakan kedua matanya. Dia menjadi orang yang harus melakukan segala hal dengan bantuan.
" Istirahatlah Yoona, biar Appa yang nemuin Abang dan Eomma mu."
" Ya Appa."
Tap tap tap
Sai langsung datang ke kamar Haneul. Terlihat beberapa barang berserakan di lantai. Ia tahu itu adalah perbuatan putra sulungnya.
" Sayang." Sai memanggil istrinya yang sedang membereskan barang yang berserakan itu.
" Mas, udah pulang."
Han hanya bergeming. Dia yang duduk diatas kursi roda sambil menghadap ke jendela tidak bereaksi apapun. Sikapnya benar-benar dingin bagaikan es kutub utara.
Sai dan Hyejin saling pandang, dan Hyejin menggelengkan kepalanya tanda bahwa sama sekali tidak ada perubahan pada diri anaknya.
" Han, gimana harimu?"
" Sama seperti biasa gelap, dan membosankan."
Jawaban yang ketus, tapi Sai tidak masalah mendengar jawaban seperti itu dari putranya. Kecelakaan ini adalah hal yang paling mengejutkan bagi semua orang terutama Haneul.
" Bang, Apap tahu ini nggak mudah buat Abang, tapi Appa mohon Abang bersabar ya. Appa akan cari cara biar Abang bisa melihat lagi."
" Appa mah gampang ngomong aku buat sabar karena Appa nggak ngerasain apa yang aku rasain!"
" Han!"
Stttt
Sai menahan Hyejin yang hendak murka. Saat ini emosi Han memang sangat tidak stabil dan semua yang ada di rumah itu harus bisa memakluminya.
Meskipun lelah, tapi mereka harus bisa lebih bersabar lagi.
" Iya Appa tahu kalau ngomong itu memang mudah. Tapi Appa mohon, biarkan orang lain membantu Abang. Selain Appa, Amma dan Yoona, Abang butuh perawat yang membantu Abang. Jadi kalau ada yang baru lagi, please jangan di usir ya."
" Appa, aku tuh nggak pernah ngusir. Mereka aja yang mentalnya lemah. Sekarang Appa sama Eomma mending keluar dari kamar aku. Aku mau sendiri."
Tidak ada yang bisa Sai dan Hyejin lakukan sekarang. Ia membiarkan Haneul untuk sendiri. Anak sulung mereka memang membutuhkan waktu untuk menerima apa yang terjadi pada dirinya.
" Apa aku beneran nggak akan bisa lihat lagi? Kenapa? Kenapa harus aku?"
TBC
" Ughhh kemana lagi harus nyari kerja. Buset deh, dah ngelamar kesana kemari tapi nggak ada yang nyantol barang satu aja. Semua bawaan sih, yang kagak punya koneksi macem gue mana bisa dapet kerja cepet. Haaah sueeee lah."
Seorang wanita muda tampak frustasi di depan laptop miliknya. Sudah sejak 3 bulan dia lulus dari akademi keperawatan, namun belum juga mendapatkan pekerjaan.
Puluhan surat lamaran sudah ia kirim ke berbagai tempat, namun tidak ada satu pun yang memanggilnya. Sekedar wawancara pun tidak. Padahal dia sangat membutuhkan pekerjaan.
Gistara Heera Adawiyah, gadis berusia 24 tahun itu hanya hidup berdua dengan sang ibu. Ayahnya sudah meninggal sejak 2 tahun yang lalu karena kecelakaan. Dan sekarang ibunya juga tengah sakit. Gista atau Gigis biasa dia dipanggil itu berharap untuk segera mendapat kerja demi pengobatan sang ibu.
Danti Nafisah, dia menderita penyakit bronkitis yang lumayan parah. Memang benar untuk pengobatan mereka mendapat bantuan dari jaminan kesehatan sosial, tapi untuk perawatan dan hidup sehari-hari, Gista membutuhkan biaya juga.
Saat ini Gista berada di sebuah apotek milik keluarga temannya. Bukannya tidak bersyukur, tapi Gista memang membutuhkan pekerjaan yang memberinya gaji lebih besar.
" Woiii balik, udah waktunya balik."
" Kampret ngagetin gue aja sih Lo. Eh udah balik gawe Lo ya."
Seorang pemuda menepuk bahu Gista dengan keras. Dari cara mereka berbicara, agaknya keduanya sudah saling mengenal dengan akrab.
" Victor, gimana kerja di rumah sakit?"
Gista menutup laptopnya. Hari sedang hujan jadi apotek yang ia jaga juga sepi dari pembeli. Maka dari itu Gista bisa santai membuka portal lowongan pekerjaan yang ada di laman pencarian maupun di media sosial.
" Nothing special, ya namanya kerja yang pasti capek. Lo tahu kan perawat macam kita tuh selalu wira-wiri. Apalagi gue sekarang ada di UGD, beuuuh kayak kagak ada berhentinya tahu nggak Gis."
Meskipun Victor bercerita dengan penuh rasa lelah, Gista tetap iri dengan temannya itu. Karena dia juga ingin merasakan apa yang Victor rasakan.
Victor dan Gista adalah teman sepermainan dari kecil. Dan mereka kebetulan juga menempuh pendidikan yang sama. Hanya saja Victor lebih beruntung, dia langsung diterima bekerja. Tapi Victor ini tidak ada orang dalam yang membantunya masuk. Dia murni bisa masuk dengan usahanya sendiri. Mungkin ini lah yang dinamakan rezeki.
" Dah Lo buruan balik, nanti nyokap Lo nunggu lagi. Bentar lagi juga ini mau gue tutup. Semangat Gis, gue yakin Lo bakalan dapet kerjaan seperti yang Lo mau."
Gista tersenyum, persahabatannya dengan Victor memang sudah melewati universe kalau kata anak-anak jaman sekarang. Pasalnya tak jarang mereka saling mencaci tapi pada akhirnya mereka kembali baik.
Dan, baik Victor maupun Gista benar-benar bisa berteman tanpa melibatkan hati. Mungkin beberapa orang tidak akan percaya bahwa adanya persahabatan antara pria dan wanita, tapi tidak dengan mereka berdua. Victor dan Gista tidak pernah memiliki perasaan spesial satu sama lain. Malahan Victor sudah menganggap Gista sebagai adiknya sendiri.
" Thanks ya Vic, Gue harap Lo betah juga kerjanya."
Gista memasukkan laptopnya ke dalam tas. Tidak lupa dia juga mengenakan jas hujan, meskipun sudah tidak deras tapi tetap saja kalau mengendarai motor tanpa memakai jas hujan akan membuat tubuhnya basah. Lagipula Gista tidak ingin ibunya khawatir jika melihat dirinya basah kuyup.
Bruuum
Gista mencengkeram gas motornya, sebelum ia meninggalkan apotek, dirinya masih sempat melambaikan tangannya ke arah Victor. Victor pun membalasnya dengan senyuman yang lebar juga.
Hembusan nafas keluar dari mulut pemuda itu. Sebenarnya dia cukup merasa iba dengan kondisi Gista. Diusianya yang masih muda, dia sudah jadi tulang punggung keluarganya. Tapi beruntung Gista masih bisa menyelesaikan pendidikannya. Semua itu tidak lepas dari peran baik keluarga Victor.
Mereka berteman sedari kecil jadi kedua orang tua Victor juga mengenal orang tua Gista, dan di saat terpuruk Gista juga Danti, orang tua Victor lah yang membantu mereka.
Tapi bagi Gista semua itu adalah sebuah pinjaman yang harus dikembalikannya suatu hari nanti. Meskipun Victor dan kedua orang tuanya berkata bahwa mereka tidak mengharapkan itu, tapi Gista tetap kukuh akan mengembalikannya meski dengan waktu yang lama.
" Lho Gista udah balik kah Vic? Padahal Mami mau ngasih dia ini. Tadi Mami masak banyak."
" Diiih lagian Mami, kalau mau ngasih tuh dari tadi lah disiapin lalu dikasihin. Udah pulang tuh anaknya, dah taruh aja di situ biar aku anterin nanti."
Frisca adalah nama maminya Victor, mereka masih keturunan Tionghoa dan Frisca juga begitu menyayangi Gista bak anaknya sendiri.
Drtzzz
Ponsel Victor berbunyi. Itu merupakan sebuah notifikasi dari grup para perawat yang ada dirinya di dalamnya. Sebenarnya ia enggan sekali mengikuti grup semacam itu, tapi mau tidak mau dia harus ikut karena banyak informasi penting di sana.
< Eh ada info nih. Siapa yang butuh loker, Dokter Sai nyari perawat buat anaknya? FYI gajinya mayan gede lho guys>
< T-tapi tapi, kalau gue mah ogah ya. Lo pada tau kan kalau yang bakalan di rawat tuh Dokter Haneul. Buseeet deh ngeri kali, dia udah nggak ramah kayak dulu>
< Bener cuy, malahan ya kata temen gue yang pernah kerja di sana, Dokter Haneul jadi tempramen abis. Udah habis 7 perawat kalau nggak salah. Setiap orangnya cuma bertahan seminggu, paling lama 2-3 minggu, gila nggak tuh>
Victor membaca sambil mengerutkan keningnya. Ia awalnya tidak tertarik tapi karena di situ menyebutkan sebuah lowongan kerja, maka ia pun membaca setiap pesan demi pesan yang masuk.
Selama 2 bulan bekerja di rumah sakit, dia hanya pernah mendengar bahwa ada dokter hebat yang tiba-tiba vakum dari keprofesiannya karena sebuah kecelakaan. Namun tidak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi jelasnya.
" Apa aku ngasih tahu ini ke Gigis aja kali ya, tapi bukannya katanya orang yang bakalan di rawat itu punya kepribadian yang buruk ya? Hmmm enaknya gimana ini kasih tahu ke tuh anak apa nggak. Yang jelas kalau dikasih tahu pasti tuh anak bakalan nyoba meskipun gue bilang bahaya sekalipun. Kita pikirin nanti aja lah, mandi dulu."
Victor meletakkan ponselnya. Menutup chat di grup para perawat yang sebenarnya masih ramai membicarakan Dokter yang bernama Haneul. Bagi orang baru seperti Victor, mungkin nama itu masih asing, tapi tidak dengan perawat yang sudah bekerja lama di sana.
Semua cerita di grup pesan itu sangat berkembang, dari sebelum kecelakaan hingga setelah kecelakaan yang terjadi pada Haneul. Bukabn hanya itu teori-teori konspirasi pun muncul. Dari kira-kira bagaimana kecelakaan tersebut terjadi hingga dugaan bahwa kecelakaan itu disengaja.
Sayangnya Victor tidak membaca semua itu. Yang jadi fokus Victor hanya tentang loker yang disebutkan.
TBC
" Lo serius Gis mau nyoba nglamar kesana?"
" Hu um itu kesempatan buat gue, gajinya beneran gede nggak ya Vic?"
Victor menggelengkan kepalanya. Ia tahu bahwa reaksi Gista akan seperti ini tapi meskipun begitu Victor tetap ingin Gista mengurungkan niatnya.
Rasanya menyesal pun tidak ada guna. Saat ini Victor mendapat jatah shift malam, jadi dia tengah menemani Gista menjaga apotek. Tentunya dengan disuruh Gista mencari info perihal lowongan pekerjaan menjadi perawat pribadi itu.
" Gis, mereka nggak betah kerja sama tuh dokter. Mentok 2 minggu. Lo pasti udah bisa bayangin kan gimana rewel dan repotnya tuh orang."
" Aaah aman kalau model begitu, bisa lah gue ngatasinnya. Lo kayak nggak kenal gue aja sih Vic. Dah buruan tanya dimana gue bisa nganter tuh lamaran. Biar gue bisa cepet-cepet kerja."
Victor menyerah, dia seharusnya sungguh tidak memberitahu Gista perihal lowongan kerja tersebut. Tapi ya itu tadi kerjaan itu memang sudah Gista impikan. Terutama jika menyangkut gaji besar.
Menjadi perawat pribadi tentu saja akan mendapat gaji yang lumayan besar, maka dari itu Victor memberitahu Gista. Hanya saja sisi lain dirinya tetap khawatir. Apalagi rumor yang beredar di kalangan perawat cukup membuatnya khawatir.
" Nih alamatnya Gis, kalau kata rejan kerja gue, tinggal dateng aja ke sana."
" Okee siap, hari ini juga gue kesana."
" Ya?"
Victor terkejut, ia yang baru saja memeriksa stok obat seketika menghentikannya dan berjalan ke arah Gista. Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Gista dan menggoyangkannya.
" Harus sekarang juga apa? Emang nggak mau Lo pikir-pikir lagi? Coba pikirin lebih mateng lagi. Jangan asal gitu. Gis, anak-anak pada bilang kalau tuh dokter maksud gue orang yang bakalan di rawat tuh punya tempramen yang sangaaaat jelek. Gue takut lo kena mental Gis. Bukan cuman itu, dia ... ."
Victor menceritakan semua yang dia ketahui. Tentu saja bukan yang sebenarnya karena dia pun hanya mendengar dari para rekan sesama perawat.
Victor yang bercerita secara menggebu-gebu hanya ditanggapi santai oleh Gista. Ya bagi Gista apa yang dikatakan itu adalah hal yang lumrah.
Jika benar cerita bahwa dokter itu tadinya dokter berbakat dan sekarang tiba-tiba menjadi pasien yang tidak bisa melakukan apa-apa, maka dia yang menjadi tidak terkendali merupakan hal yang lumrah.
Siapapun akan seperti itu. Dan Gista bisa memahaminya. Bahkan sejenak gadis itu merasa iba. Namun yang terpenting baginya adalah gaji yang besar. Ya itu adalah poin pentingnya.
Tidak perlu munafik, profesi apapun pasti menginginkan gaji. Orang bekerja yang dicari apa, ya gaji. Jadi ketika gaji besar menjadi sebuah iming-iming maka pasti akan berusaha di dapatkan. Dengan catatan pekerjaan tersebut halal dan tidak melanggar hukum ya ada.
Plak
" Tenang aja Vic, yang begituan gue udah ahlinya. Lo kan tahu nih pala and hati sekeras baja. Jadi lo nggak perlu kuatir. Ya udah gue ijin cabut oke. Thanks banget udah ngasih info itu ke gue semalem."
Gista menepuk bahu Victor, dengan senyuman dan wajah penuh keyakinan, Gista benar-benar bertekad untuk melamar sebagai perawat pribadi sang dokter.
Dari semalam dia memang sudah menyiapkan lamaran ketika Victor memberitahunya tentang pekerjaan itu. Dan Gista juga sudah berpikir secara matang. Ia juga bertekad bahwa jika nanti dia diterima maka dia tidak akan mundur mau seperti apa kondisinya.
" Ya udah kalau lo udah mutusin gitu, ya udah hati-hati. Gue cuman bisa doain yang terbaik buat lo."
" Thanks Vic, lo sahabat terbaik yang pernah gue punya."
Victor tersenyum, dia merasa senang melihat Gista yang penuh tekad dan semangat. Itu membuatnya sedikit merasa lega. Ya ia yakin Gista akan bisa menghadapi semua rintangan. Ia percaya akan hal itu.
Bukan baru setahun dua tahun Victor mengenal Gista. Mereka sudah mengenal dari kecil jadi Victor paham betul bagaimana perangai Gista.
" Gis bener-bener berharap lo bakalan diterima. Semangat Gis, gue yakin lo bisa."
Victor berkata demikian ketika motor Gista sudah menjauh dari rumahnya. Meskipun sedikit khawatir tapi Victor berharap Gista diterima.
Dan sepanjang jalan Gista pun terus berdoa. Dia berdoa dalam hatinya semoga kali ini pekerjaan itu bisa dia dapatkan. Karena itu mungkin menjadi kesempatan satu-satunya bagi dirinya saat ini.
Gista tidak ingin semakin merepotkan keluarga Victor. Dia tahu gaji yang diterima per bulannya dari menjaga apotek milik keluarga Victor adalah gaji diluar batas normal. Semua itu karena belas kasih dari kedua orang tua Victor yang menyayanginya.
Namun Gista tidak bisa begitu. Dia ingin berdiri sendiri dan juga membalas kebaikan dari Victor dan kedua orang tuanya.
" Vic, Mami, Papi, aku janji bakalan membalas kebaikan kalian suatu hari nanti."
Ckiiiit
Gista berdiri di sebuah bangunan. Rumah tersebut tergolong tidak besar bagi seorang keluarga kaya. Tapi jelas tampak besar bagi orang yang punya ekonomi pas-pasan macam dirinya.
Sejenak ia takjub dengan rumah yang terkesan sederhana namun tetap elegan itu. Ia bahkan sedikit ragu untuk membunyikan bel pintu.
" Fyuuuh, bismillah."
Ting tong
Ting tong
Tap tap tap
Cekleeek
" Assalamualaikum Bu, saya datang untuk melamar pekerjaan. Katanya di sini sedang mencari perawat."
" Ooh ya ya, mari Mbak masuk dulu. Saya akan memanggil Ibu dulu ya."
Gista tersenyum, sekilas ia tahu bahwa yang membuka pintu tadi mungkin adalah seorang asisten rumah tangga. Dia duduk di ruang tamu dengan sedikit berdebar. Rasanya sungguh deg-degan saat ini. Karena jujur baru sekali dia akan bertemu dengan orang yang akan memberinya kerja. Mungkin ini bisa dibilang dengan wawancara.
" Maaf ya, saya sedikit berantakan. Siapa nama Anda?"
" Nama saya Gista, Bu."
Seketika Gista terpanah melihat wanita cantik di depannya. Wanita itu berusia sekitar 50 an namun masih sangat cantik dan juga badannya nampak segar. Fokus Gista adalah wajahnya, ya wajah wanita yang mungkin saja adalah nyonya rumah itu seperti nyonya-nyonya kaya di drama korea yang sering ia tonton saat di waktu senggang.
" Silakan duduk lagi Mbak Gista. Jadi Mbak ini perawat ya sudah pernah bekerja dimana aja. Aduuh maaf, nama saya Hyejin."
" Ehmm maaf Bu, sebenarnya saya belum punya pengalam kerja untuk merawat orang. Tapi saya pengalam dalam merawat ibu saya karena ibu saya pernah mengalami sakit yang lumayan parah. Saya bekerja di apotek milik keluarga teman saya. Dan saya melamar kemari juga atas informasi dari teman saya yang bekerja sebagai perawat di RSMH."
Wajah Gista saat menjelaskan hal tersebut sedikit tampak lesu. Namun Hyejin tersenyum, ia tahu bahwa gadis di depannya itu sedang minder.
" Nggak apa, sebenarnya sekarang saya nggak perlu nyari yang berpengalaman. Saya nyari yang kuat aja ngadepin anak saya. Jika teman mu perawat pasti dia sudah cerita tentang bagaimana gosip yang menyebar tentang anak saya. Jadi apa Mbak Gista tetep mau jadi perawat anak saya?"
" Mau Bu, saya mau. InsyaAllah saya bisa."
Hyejin tersenyum, melihat semangat dari gadis yang ada di depannya itu membuat Hyejin yakin bahwa Gista mungkin bisa menjadi teman bagi Haneul. Ya saat ini hanya itu yang Hyejin pikirkan. Dia tidak lagi menginginkan banyak hal dari posisi seorang perawat.
" Baiklah kalau begitu Mbak Gista, besok kamu bisa mulai bekerja. Untuk gaji, aku akan memberimu sekian."
" Ya? Aah maksud saya baik Bu. Terimakasih, saya akan bekerja dengan baik."
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!