NovelToon NovelToon

Mantan Rasa Pacar

#Sudah Putus Masih Perhatian

“Kita Putus!”

Pernyataan itu terus saja terngiang di pendengaran Vina. Kata- kata yang singkat, tapi berhasil memporak- porandakan pikiran Vina saat itu. Saking kagetnya, ia bingung harus merespon apa. Setelah permintaan putus dari Dafa, Vina tidak bisa tidur tiap malamnya.

“Buat apa sih lo nangisin cowok kayak gitu?” tanya Faris yang matanya masih fokus menatap ponselnya.

“Faris! Sudah berapa kali Bunda bilang. Jangan pake lo- gue, nggak sopan,” kata Bunda yang kebetulan lewat hendak menyiram tanaman.

Vina tidak merespon percakapan dua orang itu, matanya sedang terpaku pada layar televisi yang tengah menayangkan serial sinetron. Tak lama air matanya kembali meleleh ketika adegan aktris dan aktor itu memilih untuk berpisah.

“Ya elah, cengeng banget,” cibir Faris memberikan beberapa lembar tisu yang langsung disambar Vina.

“Hello, everybody! I’am back to home!” teriakan heboh itu sama sekali tak digubris oleh Vina maupun Faris, “Huft, kenape lagi?”

“Biasa, mewek lagi.”

Eky menggelengkan kepala prihatin dan mendekat untuk menenangkan Vina, ia lempar bola basket kesembarang tempat.

“Udahlah, tinggal balikan aja susah amat.”

“Nggak! Harga diri gue, Bang!”

“Elah berapa emang harganya?”

Faris segera menggeplak punggung Eky yang menyebabkannya berteriak histeris.

“Oh ya, nih dari ‘mantan’ lo,” Eky sengaja menekankan pada kata ‘mantan’.

“Apaan nih?” tanya Vina yang masih beler.

“I du nu, buka aja sendiri.”

Kyaa! Brugh!

“Siapa yang taruh bola sembarangan?!” teriakan menggelegar itu membuat Vina dan Faris kocar- kacir masuk ke kamar masing- masing.

“Maaf Bunda!” Eky mengikuti kedua adiknya untuk segera naik ke kamar.

...🐈🐈🐈...

Vina mengamati sekotak coklat dihadapannya, tak ada kartu ucapan didalamnya. Entah apa yang ada didalam pikiran Dafa memberinya coklat. Sebuah notifikasi chat masuk ke ponsel Vina. Ia segera meraih ponselnya dan membaca chat itu.

‘Gue tau lo lagi sedih. Nggak usah nangis lagi.’

Begitulah isi pesan itu, Dafa tahu jika Vina sedang menangisi cowok itu. Memang ketika Vina sedang dalam keadaan mood kurang baik akan melarikan diri pada makanan manis.

“Gue nangis juga gara- gara lo Jupri,” sebal Vina.

“Baru dua hari putus udah lo- gue,” gumam Vina meletakkan sekotak coklat itu sedikit kasar.

Vina berusaha untuk menyibukkan diri agar sedikit lupa dengan kesedihannya. Ia memutuskan untuk mandi agar tubuh dan pikirannya segar.

Selesai mandi, Vina membaringkan tubuhnya diatas kasur, ia tak peduli seprainya menjadi basah akibat rambutnya. Ia memejamkan matanya karena lama- kelamaan merasakan kantuk. Namun baru saja ia masuk ke alam mimpi, ada suara ketukan pintu yang terdengar tak sabar.

“Vin! Vinaaa! Adek! Adekku Vina!” teriakan itu membuat Vina menggeram kesal sambil membuka pintu.

“Apa sih?! Ganggu tau!” geram Vina kesal.

“Ada Dafa di bawah,” ucap Eky kalem, membuat Vina melotot kaget dan spontan berlari keluar kamar, lalu melongokkan kepalanya ke bawah.

Benar saja, dibawah sana Dafa sedang duduk didepan Faris yang tengah bermain ponsel. Vina kembali masuk kamar untuk menyisir rambutnya yang kini terlihat sangat kusut. Beruntung rambutnya tak terlalu panjang, sehingga tak begitu sulit untuk menyisirnya.

“Tunggu! Ngapain dia kesini?” gumam Vina yang kini tergesa menuruni tangga.

Vina memantapkan hatinya, ia baru bertemu Dafa sejak dua hari yang lalu. Beruntung dua hari kedepan sekolah masih libur, jadi Vina pikir ia akan sedikit tenang karena tidak perlu bertemu Dafa. Nyatanya pikiran itu lenyap ketika cowok tinggi itu duduk membelakanginya sekarang.

“Uhm, ada perlu apa?” tanya Vina yang suaranya terdengar bergetar, ia merutuki dirinya.

“Ayo, dek! Mabar sama Bang Eky,” ajak Eky dan menggeret Faris masuk ke dalam.

Dafa masih membungkam mulutnya, dirinya juga belum menjawab pertanyaan Vina tentang keperluannya datang ke sini. Sementara Vina hanya memperhatikan Dafa yang masih diam, dilihatnya Dafa mengusap tengkuknya tanda jika sedang dalam keadaan canggung.

“Ehrm, jadi ada perlu apa?” tanya Vina lagi.

“Gue mau pinjam buku catatan Bahasa Inggris.”

Vina mengerutkan dahinya, “Sejak kapan kita sekelas? Guru Bahasa Inggris juga beda.”

“Eh?”

“Mending ka~ lo pulang deh, pinjem buku sama temen sekelas lo.”

Vina langsung masuk tanpa memperdulikan Dafa yang masih duduk di ruang tamu seorang diri. Ia membanting pintu keras dan membaringkan tubuhnya di kasur. Air matanya kembali mengalir ketika teringat kenangan indah bersama Dafa selama satu tahun lebih tiga bulan ini.

...🐈🐈🐈...

Vina benar- benar lesu hari ini, bukan karena ini hari Senin – itu salah satunya sih –, tapi karena ia akan bertemu dengan ‘mantan’ pacarnya. Jika kemarin- kemarin ia akan paling semangat menantikan hari senin, kini Vina malah berharap jika hanya ada hari Sabtu dan Minggu.

“Lemes amat lo, Vin?” sapa Candra teman sebangkunya.

“Hhh, gue putus sama Dafa.”

“Oh, What?! Serius lo?!” teriak Candra heboh, membuat satu kelas menoleh memperhatikan mereka, “Kok bisa? Kalian ada masalah?”

“Gue juga nggak tau, tiba- tiba aja dia minta putus.”

“Terus lo mau? Nggak tanya dulu alasan dia?”

“Udah kali, dia nggak kasih tau alasannya. Kadang gue nggak ngerti jalan pikiran tuh orang.”

Menceritakan masalahnya membuat Vina ingin kembali menangis. Candra yang melihat raut wajah Vina pun berusaha menghibur teman sebangkunya itu.

“Udahlah, sekarang waktunya lo move on. Cari cowok- cowok kece di sekolah ini, masih banyak kok,” hibur Candra.

“Hah. Nggak tau lah.”

Candra ini adalah sahabat Vina dari awal masuk SMP, kemana Vina pergi pasti ada Candra begitu pula sebaliknya. Walau di kelas dua dan tiga SMP mereka tidak satu kelas, Candra akan mampir ke kelas Vina untuk istirahat dan pulang bersama.

...🐈🐈🐈...

Sudah berkali- kali Vina menguap, matanya sedikit menghitam akibat kurang tidur. Anggota keluarganya yang melihat wajah lesu Vina mengernyit heran. Kini mereka sedang berkumpul untuk sarapan.

“Tadi malam begadang?” tanya ayah.

“Bunda kan sudah sering ingatkan, jangan suka begadang. Nggak baik buat kesehatan, kalian juga abang sama adek.”

Eky dan Faris hanya mengangguk sambil menikmati sarapannya. Sementara Vina tak menggubris, ia tetap menyendok nasi dipiringnya.

“Kalo ngantuk, nanti berangkat sama ayah aja.”

“Nggak apa- apa, Vina nggak ngantuk kok. Cuma nggak bisa tidur tadi malam, Vina bareng Bang Eky aja.”

Vina tidak mau jika ayah dan Faris terlambat, karena kantor ayah dan sekolah Faris berlawanan arah dengan sekolah Vina dan Eky. Vina dan Eky tidak bersekolah di sekolah yang sama, sekolah Eky jaraknya lebih jauh.

“Ayo, berangkat. Bun, kita berangkat dulu,” pamit Eky, “Yah, kita berangkat.”

“Hati- hati di jalan. Jangan ngebut! Jaga adeknya,” pesan bunda.

“Vina berangkat.”

Vina berjalan mengekori Eky yang sudah berjalan keluar, ia duduk disebelah Eky yang sedang memakai sepatu.

“Tumben begadang? Mikirin Dafa lagi?” tanya Eky.

“Kenapa nggak balikan aja sih? Daripada galau- galau nggak jelas,” lanjutnya dengan berkacak pinggang.

“Gue nggak setuju ya, Kak Vina balikan sama si tiang dekik itu! Jangan mau Kak diajak balikan! Harga diri lo bisa jatuh, lo bisa cari cowok yang lebih oke dari dia,” serobot Faris yang tiba- tiba muncul.

“Heh! Tau apa lo bocah! Kayak lo lebih oke!”

Kini Eky dan Faris saling melotot, sebentar lagi akan terjadi perang saudara jika Vina tidak cepat- cepat menengahi.

“Udahlah, jangan pada urusin hidup gue. Ayo Bang! Gue nggak mau telat ya!”

Vina turun dari motor besar Eky dan melepas helm yang dikenakannya. Setelah berpamitan dengan Eky, dirinya segera masuk ke area sekolah. Eky masih memperhatikan punggung Vina yang semakin lama semakin menjauh. Ia merogoh kantong celana dan mengeluarkan ponselnya.

“Halo? Lo udah berangkat, kan? Gue mau minta tolong…”

Langkah Vina terhenti ketika ada seseorang berdiri didepannya, sengaja menghalangi langkahnya. Ia mendongak dan pandangannya bertemu dengan tubuh tinggi Dafa. Dafa mengulurkan sekotak kopi susu pada Vina. Vina masih terpaku ditempatnya, ia bahkan tidak memperdulikan tatapan beberapa pasang mata yang menontonnya. Dafa meraih tangan Vina dan memberikan kopi susu itu.

“Jangan begadang lagi,” pesan dari Dafa itu bahkan tak masuk ke indera pendengaran Vina.

“Gue duluan,” pamit Dafa menepuk pelan puncak kepala Vina.

Vina memegang dadanya yang tiba- tiba bergemuruh tak karuan, mengapa rasa itu masih ada? Ia menatap kotak kopi itu dan menghembuskan nafas pasrah.

...🐈🐈🐈...

Candra mengerutkan dahi ketika melihat Vina hanya memperhatikan sekotak kopi didepannya. Kini kedua gadis itu berada di kantin, sejak pelajaran pertama tadi Vina menyimpan kopi itu. Ia belum meminumnya, begitu sampai kelas Vina langsung menyimpannya di loker meja.

“Apa menariknya sekotak kopi itu?” tanya Candra heran.

“Kopinya nggak menarik, tapi orang yang kasih ke gue.”

“Dafa ya? Belum bisa move on juga lo?”

“Nggak tau, bingung gue.”

“Kayaknya gue tau kenapa dia putusin lo,” ucap Candra tiba- tiba dan melirik ke samping.

Vina mengikuti arah pandang Candra dan menemukan Dafa yang duduk tak jauh dari meja mereka. Namun bukan itu yang menjadi masalah Vina, ia menatap nanar pada perempuan yang duduk berhadapan dengan Dafa. Mereka terlihat sangat dekat, padahal Dafa bukanlah orang yang mudah akrab dengan seseorang. Atau mungkin karena permintaan Vina saat itu, meminta agar Dafa tak terlalu dingin dengan orang lain.

“Udahlah, hak dia mau dekat dengan siapa aja. Toh, kita udah nggak punya hubungan,” ucap Vina sok kuat.

“Baguslah, lo harus berusaha move on dari dia.”

...🐈🐈🐈...

Vina melangkah ringan menuju rumahnya dengan mulut tersumpal es lilin rasa durian. Tadi dirinya tidak langsung pulang ke rumah, ia mampir ke toko kue milik Tantenya terlebih dulu. Sejenak dia bisa melupakan kesedihannya. Es ditangan Vina hampir saja meluncur sia- sia jika dirinya tidak memegangnya dengan erat. Vina menoleh ke belakang melihat siapa yang berani membuatnya kaget.

“Rese’ lo, Bang,” umpat Vina, ia melihat ekspresi bodoh Eky yang menurutnya sangat menyebalkan.

“Maaf, adekku tayang. Cini naik!” ucap Eky sok imut.

Tanpa pikir dua kali, Vina segera naik ke motor besar Eky. Selama perjalanan Eky terus mengoceh panjang lebar, tapi tak didengar oleh Vina sama sekali. Fokus Vina hanya di es lilinnya. Sampai rumah pun, ia tetap tak menggubris mulut Eky yang masih terus berkicau.

“Assalamualaikum,” ucap Vina dan duduk di sofa ruang tengah.

“Waalaikumsalam, kok baru pulang?” tanya Bunda yang berjalan dari dapur.

“Tadi ke toko Tante dulu.”

“Bagi es nya dong,” serobot Faris merebut es dimulut Vina.

“Kak, ganti baju dulu sana!” perintah Bunda.

“Nanti, Bun. Mau habisin es dulu.”

“Assalamualaikum, Abang ganteng pulang!”

“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak.

“Wih es, mauuu~”

Eky dengan cueknya merebut es yang baru Vina buka dan baru menyeruputnya sedikit. Tentu hal itu membuatnya merengut sebal.

“Ah, Bang Eky rese’. Mana itu yang terahir. Tuh, Bun lihat anaknya. Nggak mau modal,” decak Vina sebal dan masuk ke kamarnya.

Sementara Bunda hanya menggeleng melihat anak perempuan satu- satunya itu. Beliau kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang bagi anak- anaknya, sebelumnya tak lupa untuk menyuruh Eky mengganti seragamnya.

Selesai makan siang dan membantu bundanya mencuci piring, Vina kembali ke kamarnya. Ia rebahan dan meraih ponselnya, ia mengetikkan sesuatu. Lalu ditempelkannya benda persegi itu ditelinga kirinya.

“Halo? Can.”

“Ngape lo sore- sore telpon gue? Biasanya molor lo.”

“Gue nggak ngantuk. Eh, lo tau nggak?”

“Nggak.”

“Nge- Mall yuk?” ajak Vina.

“Ogah, diluar panas gue nggak mau kulit gue jadi item.”

Vina memutar bola matanya malas, “Bukannya lo juga udah i… halo? Lo tidur ya?”

Tak ada lagi jawaban dari seberang sana, ia hanya mendengar suara dengkuran halus. Vina mendengus sebal dan mengakhiri obrolan mereka berdua.

...🐈🐈🐈...

Vina terbangun ketika seseorang menggelitik kakinya, rupanya ia juga ikut tertidur setelah pembicaraannya dengan Candra tadi. Ia membuka matanya dan tarpampang wajah Faris tersenyum konyol. Hampir saja Vina memukul wajah adiknya itu karena kaget. Tak lama wajah Faris menjadi datar.

“Cepet turun! Makan.”

“Eng? Jam berapa emang?”

“Noh, liat aja sendiri,” ucap Faris malas, “Cepet, kak. Disuruh Bunda makan.”

“Iya~, udah sana lo duluan,” usir Vina dan duduk dikasurnya, “Perasaan gue baru makan tadi.”

Vina mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Eky yang tengah memakan ayam goreng. Sebenarnya Vina masih merasa kenyang, jadi ia hanya mengambil makanan ringan.

“Nggak makan, Kak?” tanya Bunda heran.

“Masih kenyang, Bun. Nanti aja, Vina mau buat PR dulu,” jawab Vina membawa beberapa makanan ringan hendak menuju ruang keluarga,

“Sisain ya?” pintanya sebelum benar- benar pergi dari meja makan.

Sudah satu jam lebih Vina berkutat dengan buku- buku tugasnya. Kelemahan Vina ada di pelajaran matematika, ia tidak terlalu pandai di bidang itu. Ingin ia bertanya pada Eky, tapi dirinya juga tahu jika Eky tak pintar matematika. Tidak mungkin juga bertanya pada Faris. Sebuah nama terlintas di otak cantik Vina. Ia segera meraih ponselnya dan tanpa pikir panjang mengirim sebuah chat untuk seseorang. Namun tak lama Vina tersadar akan sesuatu.

“Mampus, kenapa gue malah nge- chat Dafa?” seketika Vina panik.

TING!

Notifikasi ponselnya bunyi, tangan Vina ragu untuk membaca sebuah chat yang baru masuk. Sontak matanya melotot.

“Oke, gue otw rumah lo.”

Membaca balasan dari Dafa, jari lentik Vina otomatis mengetik cepat, “Nggak! Lo nggak usah ke rumah gue. Gue bisa tanya Candra nanti.”

Namun chat dari Vina barusan hanya centang dua dan tidak dibaca Dafa. Akhirnya Vina mencoba menelpon Dafa, tapi Dafa tidak menjawab panggilan Vina. Vina bergerak gelisah.

“Ngapa, dek? Kek cacing kremi,” tanya Eky yang berjalan dari dapur.

Ia heran melihat Vina bergerak gelisah. Belum sempat Vina menjawab, bel rumah sudah menyahut lebih dulu.

“Ada tamu?” gumam Eky.

Tanpa babibu, Vina langsung melesat menuju pintu depan. Ia tak sadar jika Eky mengikutinya dari belakang.

Dafa benar- benar datang ke rumahnya, tadinya Vina sudah ngotot menyuruh Dafa untuk kembali pulang. Namun sebuah geplakan maut dari Eky yang membuatnya meringis membuat ia mengalah dan membiarkan Dafa masuk. Bahkan Bunda juga antusias melihat Dafa datang ke rumah dengan tujuan untuk belajar bersama dengan Vina. Tadinya Faris juga mau ikut bergabung, tapi Eky sudah lebih dulu mengurung Faris di kamarnya agar tidak mengganggu belajar Vina.

“Jadi, mana yang nggak lo paham?” tanya Dafa.

“Uhm, yang ini,” tunjuk Vina pada sebuah soal.

Dafa membaca soal yang ditunjuk Vina tadi dengan seksama, “Oh, ini. Ini pake rumus yang pernah gue ajarin waktu itu. Jadi, gini…”

Dafa mulai mencoret- coret kertas sembari menjelaskan pada Vina, sedangkan Vina berusaha untuk fokus pada penjelasan Dafa.

“Udah paham sekarang?” tanya Dafa mengalihkan pandangannya pada Vina.

“Ehm, iya.”

“Nah, sekarang coba lo buat.”

Vina mengangguk dan mulai menuliskan jawaban dengan menggunakan rumus yang baru saja Dafa jelaskan. Sementara Dafa memperhatikan Vina yang sedang serius menulis dengan sesekali menyelipkan rambut yang menghalangi pandangannya. Dafa memperhatikan sekitarnya, senyumnya terukir ketika menemukan benda yang dicarinya.

“Kalo emang ganggu, rambutnya diiket dong,” kata Dafa dan membantu mengucir rambut Vina.

Tentu perlakuan tiba- tiba Dafa membuatnya menegang. Pikirannya jadi pecah dan seketika tak fokus pada pekerjaannya.

“Nah, udah. Tuh! Tinggal dikit lagi selesai,” ucap Dafa santai.

...🐈🐈🐈...

#Cogan Pecinta Kucing

Senyuman Vina terus mengembang sejak ia datang ke sekolah sampai bokongnya mendarat dengan mulus dibangkunya. Kelas yang gaduh tak Vina hiraukan. Candra yang daritadi memperhatikan gelagat aneh sahabatnya itu merasa heran.

“Matematika lo udah jadi?” tanya Candra.

“Udah dong.”

“Tumben? Kesambet apaan lo? Emang lo paham semua tuh soal.”

Vina menggeleng dengan senyum yang dikulum, “Nggak.”

“Mana coba gue liat hasil kerjaan lo.”

Vina memberikan buku tugasnya untuk diperiksa Candra. Candra mencocokkan hasil jawabannya dengan milik Vina.

“Wih, hebat lo. Dapet bantuan dari siapa?” tembak Candra.

“Dafa,” ceplos Vina yang seketika menutup mulutnya.

Candra berdecak sebal dan memukul bahu Vina, “Ya elah, katanya mau move on lo? Kenapa lo nggak tanya gue aja semalem?”

“Gue lupa kalo lo jago matematika,” ringis Vina. Candra hanya memutar bola mata malas.

...🐈🐈🐈...

Candra dan Vina melesat menuju kantin begitu bel istirahat berbunyi. Perut kedua gadis itu terus keroncongan sejak pelajaran matematika tadi. Candra segera memesan makan untuk mereka berdua, sedangkan Vina bertugas mencari meja yang kosong. Beruntung mereka datang lebih awal, karena lima menit kemudian para laron langsung berbondong- bondong masuk kantin. Candra kembali bersama Kang Imin yang membawa pesanan mereka.

“Makasih, Kang Imin ganteng yang wajahnya mirip Jimin,” itu Candra yang berbicara.

Sementara Kang Imin hanya tersenyum dan pamit untuk kembali berjualan.

“Mari makan!” seru dua gadis itu semangat.

“Ehm, kita boleh ikut duduk disini? Meja lain udah penuh,” ucap seseorang yang membuat Vina saat itu juga tersedak kuah baksonya.

Vina terbatuk- batuk, hingga air matanya keluar. Candra dan anak tadi panik melihat wajah merah Vina.

“Ini, minum dulu,” Dafa menyodorkan gelas minumnya yang langsung diterima Vina, sedangkan Candra menepuk- nepuk punggung Vina.

Candra menatap Dafa sebal, tatapannya seolah mengatakan ‘Ini salah lo, Vina jadi gini.’

“Masih sakit?” tanya Dafa memastikan.

Vina menggeleng setelah batuknya reda. Dia benar- benar merasa kesakitan tadi, dimana kuah panas dan pedas masuk ke kerongkongan.

“Elo sih, Fa. Makanya jangan ngagetin,” omel Candra.

“Duduk lo berdua,” lanjutnya mengintruksi.

“Fa, minum lo habis. Gue pesen lagi ya?” tawar Fena teman sekelas Dafa.

“Iya, gue nitip es teh segelas lagi ya?”

Candra yang melihat interaksi antara Dafa dan Fena merasa dongkol. Sementara Vina berusaha untuk tidak peduli, ia kembali memakan baksonya walau nafsu makannya kini sudah hilang. Seketika suasana di meja mereka menjadi canggung, tak ada yang bersuara.

“Sorry, gue nggak maksud buat kagetin lo,” ucap Dafa merasa bersalah.

“Nggak apa- apa, emang gue- nya aja yang kagetan,” jawab Vina tak acuh.

“Ini Fa, minum lo.”

“Thank’s.”

“Lo nggak makan, Fa?” tanya Fena yang melihat Dafa hanya pesan minuman.

“Dia kalo istirahat pertama nggak pernah makan, istirahat kedua baru dia makan soto,” celetuk Vina menyeruput kuah baksonya yang kini sudah tandas.

Mendadak suasana meja mereka kembali terasa aneh, Vina pun memperhatikan sekitarnya. Semua penghuni meja itu menatapnya dengan pandangan sulit diartikan. Seketika Vina teringat celetukannya tadi.

“Ehrm, Can gue ke kelas dulu. Lo masih mau di sini ato ikut?”

“Ayo! Gue udah selesai makan,” jawab Candra cepat.

“Kita duluan ya?” lanjut Candra dan menyusul Vina yang sudah keluar dari kantin.

...🐈🐈🐈...

Candra terus merutuki Vina yang tadi keceplosan bicara saat di kantin. Vina merasa jika tadi ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri. Dia benar- benar malu sekarang. Sementara Vina juga masih syok setelah apa yang terjadi, beberapa kali ia memukul mulutnya yang tidak bisa direm. Langkah Candra tiba- tiba berhenti membuat Vina mau tak mau ikut berhenti.

“Mulai hari ini gue akan bantu lo mati- matian buat move on dari si Dafa,” tekad Candra mengepalkan tangannya.

Vina menghembuskan nafas lelah, ia duduk di depan kelasnya, “Tapi gue masih sayang dia,” gumam Vina dengan air mata menggenang di pelupuk mata.

Candra menggeleng dan menepuk bahu Vina, “Pelan- pelan pasti lo bisa, Vin.”

“Dasar bocah berdua bukannya masuk kelas malah nge- drama,” ejek Teo sang ketua kelas mereka, “Bu Idris udah mau masuk tuh,” lanjutnya dan segera masuk ke kelas.

Mau tak mau pun Candra dan Vina masuk kelas dan duduk di bangku mereka, benar saja Bu Idris masuk tak berselang lama.

...🐈🐈🐈...

Pulang sekolah hari ini Candra mulai berniat menjalankan misinya. Ia mengajak Vina ke Mall untuk bertemu dengan teman- teman komunitas pecinta kucing yang Candra ikuti. Vina pun mengajak Candra ke rumahnya untuk berganti pakaian. Tadi Vina sempat menolak untuk ikut, tapi Candra terus memaksanya.

“Katanya lo mau move on?” tanya Candra sebal.

“Iya, tapi nggak sekarang juga.”

“Terus kapan?” tanya Candra berkacak pinggang.

“Nunggu si Dafa jadian sama Fena?” lanjutnya galak.

“Kok lo jahat sih?”

“Gue nggak jahat, gue baik malah. Mana ada yang mau bantu lo move on, kalo bukan gue?”

“Kenapa harus pecinta kucing tapi?”

“Emang kenapa sih? Lo juga suka kucing, kan? Lagian di komunitas itu banyak cogannya. Kucing aja disayang apalagi kita.”

Vina masih terngiang obrolannya bersama Candra tadi selama perjalanan pulang sekolah. Kini Vina tengah menunggu Candra yang sedang berganti baju.

“Si Candra diajak makan siang dulu, kak,” ucap Bunda.

“Iya, tadi Vina udah ajak Candra. Dia masih ganti baju.”

“Kak Vina mau kemana?” tanya Faris duduk disebelah Vina.

“Mau ke Mall.”

“Ikut, Kak,” rengek Faris.

“Nggak boleh, cowok dilarang ikut,” bukan Vina yang menjawab, melainkan Candra. Ia langsung duduk didepan mereka berdua.

“Ish, dasar pelit lo.”

“Faris!” Bundanya melotot pada Faris.

...🐈🐈🐈...

Vina dan Candra baru sampai Mall terbesar di kota mereka tinggal. Candra segera menghubungi salah satu temannya untuk menanyakan tempat berkumpul komunitas itu. Vina memperhatikan sekitarnya, mereka berada di sebuah café yang banyak berisi kucing.

Fokus Vina teralihkan ketika melihat seekor kucing Persia mendekat padanya. Vina pun menggendong kucing itu dan membawanya duduk bersamanya, Candra juga sudah menggendong kucing angora gemuk berbulu putih.

“Gue mau pesen green tea latte dong,” ucap Vina.

“Eh, gue bukan babu lo ya. Pesen sendiri sana, gue lagi sibuk,” jawab Candra sewot, “Gue mango milkfloat ya?” lanjutnya tanpa merasa bersalah.

Vina mengerucutkan bibirnya. Namun ia tetap berdiri untuk memesan minuman.

“Silahkan, mau pesan apa?” tanya seorang laki- laki dengan memakai apron cokelat.

“Ehm, green tea latte sama mango milkfloat ya, Kak.”

Laki- laki itu memamerkan senyum ramahnya, ia mengacungkan jempolnya dan segera menyuruh seseorang untuk segera membuat pesanan Vina.

“Suka kucing?” tanya laki- laki sambil menghias cangkir dan gelas yang akan digunakan untuk pesanan Vina tadi.

“Suka,” jawab Vina seadanya.

Laki- laki itu mengangguk dan tersenyum lagi, “Tumben si Kimo anteng di pangku gitu.”

Vina memperhatikan kucing Persia berbulu abu- abu itu yang berada di pangkuannya, sedaritadi tangan Vina mengelus bulu halus kucing itu.

Vina tahu banyak hal tentang Galang – nama laki- laki ber- apron cokelat itu –. Ternyata café kucing ini adalah milik Galang. Galang sendiri seorang mahasiswa semester 4, jurusan kedokteran hewan dan ternyata kucing bernama Kimo ini adalah milik Galang yang memang sering ia bawa ke café.

Menurut keterangan Galang, Kimo biasanya akan menghindar jika ada seseorang yang hendak menggendongnya. Galang kini juga ikut bergabung dengan Vina dan Candra.

“Kalo yang ini punya siapa, Kak?” tanya Candra menunjukkan kucing angora yang ekspresinya datar itu.

“Hmm, kurang tau gue kalo itu. Mungkin punya salah satu anggota komunitas.”

“Ehm, dia kucing gue,” celetuk seseorang, membuat mereka menoleh.

“Oh punya lo? Siapa nama kucing lo?” tanya Galang pada orang itu yang tatapannya mengarah pada Candra.

Sementara Candra spontan melepas kucing berbulu putih itu, ia segera memutus kontak dengan orang itu. Vina yang melihat hal itu juga ikut cemas, ia melirik Candra yang kini menundukkan kepala.

“A… apa kabar Juno?” sapa Vina tak enak.

“Baik,” jawab Juno singkat, ia bahkan tidak menjawab pertanyaan Galang tadi.

Juno masih mengarahkan pandangannya pada Candra, tatapan intimidasi yang dirasakan Candra.

TING!

Sebuah chat memecah fokus Candra, ia segera melihat chat itu. Seketika Candra menghembuskan nafas leganya, chat dari sang Mama menyelamatkannya.

...🐈🐈🐈...

Vina berada di meja makan bersama dengan keluarganya untuk makan malam bersama. Tadi Candra memutuskan untuk langsung pulang ke rumah, ia merasa tidak mood setelah bertemu dengan Juno.

“Vina boleh pelihara kucing?” tanya Vina membuat seluruh keluarganya melihat ke arahnya.

Reaksi mereka bermacam- macam. Ayah dan Faris bersamaan menjatuhkan sendok serta garpu, Eky tersedak dan batuk- batuk lebay. Hanya Bunda yang mengerutkan dahinya bingung.

“Kenapa tiba- tiba mau pelihara kucing? Memangnya kamu bisa rawat, Kak?” tanya Bunda heran.

“Bisa,” jawab Vina yakin.

“Mimi mati, gara- gara lupa kasih makan. Mana korengan lagi,” celetuk Eky sadis.

“Jorok Bang Eky, lagi makan juga malah ngomongin korengan.”

“Lo juga nyebut koreng, conge.”

“Kan, lo du… adududuh.”

“Kalian berdua ya, dasar,” geram Bunda menjewer telinga Eky dan Faris.

“Yah, boleh ya?” ucap Vina tak memperdulikan kedua saudaranya.

“Bisa ngerawatnya nggak? Ayah nggak mau kalo kayak yang dulu- dulu.”

Vina segera mengangguk semangat, “Janji, bakal dirawat seperti anak sendiri.”

“Malika kedelai hitam kali,” serobot Faris yang sudah lepas dari jeweran maut Bunda.

“Bapaknya siapa?” kini Eky yang bersuara, “Dafa ya?” lanjutnya santai.

Mendengar nama itu disebut, wajah Vina langsung ditekuk. Seketika mood- nya jelek, ia segera mengakhiri makannya dan membereskan piring kotornya.

...🐈🐈🐈...

Akhirnya di hari Minggu Vina menuju pet shop, ia tidak sendirian. Vina ditemani Faris yang tadi merengek minta ikut. Sebenarnya Vina sudah janjian dengan Galang tadi, mereka sempat bertukar nomor telepon saat itu.

“Kak, kok malah kesini? Katanya mau beli kucing?” tanya Faris bingung.

“Diem deh, gue nungguin temen gue dulu. Kita udah janjian.”

“Siapa?”

“Udah lama nunggu ya?” tanya seseorang membuat Faris menoleh.

“Nggak kok, Kak. Kita juga baru sampai,” jawab Vina, “Oh ya, kenalin dia adik gue.“

“Ehm, Faris,” ucap Faris ragu.

“Gue Galang,” jawab Galang menjabat tangan Faris dan dengan senyum manisnya, “Jadi mau beli kucingnya?”

Vina mengangguk semangat. Mereka bertiga pun berjalan menuju pet shop yang jaraknya tak terlalu jauh. Faris juga tak banyak bicara, ia hanya mengikuti dua orang itu. Namun matanya tetap fokus pada Galang sedaritadi, ia terus memperhatikan gerak- gerik Galang.

Mata Faris berbinar ketika mereka sudah sampai di pet shop. Disana terdapat berbagai jenis hewan peliharaan. Faris mendekat ke kandang marmut, ia memperhatikan marmut- marmut lucu itu sedang bermain. Sementara Vina sedang melihat- lihat kucing. Pandangan Vina jatuh pada seekor kucing Persia dengan bulu kelabu.

“Boleh lihat yang itu?” tanya Vina pada pramuniaga toko itu.

Pramuniaga itu mengangguk disertai senyuman ramah. Pramuniaga itu memberikan kucing itu pada Vina.

“Suka yang itu?” tanya Galang.

“Iya, dia nurut,” jawab Vina mengelus bulu halus kucing itu.

“Sekalian di vaksin ya? Ayo ikut gue!”

Vina tidak bertanya, ia hanya menurut mengikuti kemana Galang melangkah. Vina benar- benar lupa kalo Faris masih asyik bermain dengan marmut.

“Kak Galang bisa vaksin kucing? Emang boleh vaksin sendiri? Disini nggak ada dokternya?”

Vina baru sadar ketika melihat Galang memakai sarung tangan karet dan masker, seketika berbagai pertanyaan meluncur dari mulutnya.

“Bisa, gue dokter disini,” jawab Galang singkat.

Pramuniaga tadi menghampiri Galang dan membantunya untuk memegang kucing itu agar tidak kabur.

...🐈🐈🐈...

Vina menggendong kucingnya yang entah akan ia beri nama siapa. Tadi Galang mengantar mereka pulang. Vina juga baru tahu jika pet shop itu milik kakak Galang dan Galang sering membantu di sana. Sementara Faris terus cemberut karena Vina tak mau membelikan dirinya marmut imut itu.

“Assalamualaikum,” ucap keduanya masuk rumah.

“Waalaikumsalam,” jawab suara dari dalam rumah.

“Kenapa tuh muka sepet amat?” tanya Eky pada Faris.

“Kak Vina nggak mau beliin gue marmut,” jawab Faris sedih.

“Kok lo disini?!” tanya Faris ketika melihat Dafa duduk manis disebelah Eky dengan memegang stick PS.

“Kalian baru pulang?” tanya Bunda.

“Iya, Bun,” jawab Vina menghampiri Bunda di dapur dengan membawa serta kucing barunya.

Sementara Faris masih melempar tatapan permusuhan dengan Dafa. Namun dia akhirnya ikut duduk di sofa memperhatikan dua orang itu bermain. Awalnya Faris merasa bosan melihat dua orang itu, tapi tiba- tiba pikiran jahil terlintas di kepalanya.

“Bang, Kak Vina punya temen baru. Tadi yang antar kita ke pet shop juga yang antar kita pulang tadi,” ucap Faris sambil melirik Dafa.

“Si Candra?” tanya Eky tanpa menoleh.

“Bukan. Namanya Galang, dia udah kuliah Bang.”

“Terus? Udah tua dong.”

“Dia keren, calon dokter hewan. Tadi dia yang bantuin vaksin kucing Kak Vina.”

“Bangsat!” desis Dafa spontan, membuat Faris terlonjak. Walau suaranya tidak keras, Faris masih bisa mendengar dengan jelas.

“Yess, menang gue!” sorak Eky.

Dafa berjalan ke dapur untuk pamit pulang ke Bunda, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Vina bermain dengan kucing barunya. Vina masih belum menyadari kedatangan seseorang dibelakangnya. Sementara Dafa memilih untuk berhenti sejenak, memperhatikan Vina. Namun seketika ucapan Faris tadi terngiang di telinganya.

“Sejak kapan lo suka kucing?” tanya Dafa dengan nada kesal tanpa disadarinya.

“Eh?” Vina terkejut mendapati Dafa yang sudah berdiri di belakangnya, “Bukan urusan lo kan sejak kapan gue suka kucing?” sinis Vina.

Vina meninggalkan Dafa yang masih menatapnya tajam, dengan menggendong kucingnya ia masuk ke kamar. Sementara Dafa hanya menggelengkan kepala dan melanjutkan langkahnya mencari sosok Bunda.

...🐈🐈🐈...

Vina tengah rebahan di kasurnya yang empuk dengan Mercy disebelahnya. Tangan kanan Vina mengelus bulu kelabu Mercy. Ia menghembuskan nafas lelah untuk yang kesekian kali. Entah apa yang kini sedang dipikirkannya.

“Dek, ayo makan. Udah ditunggu ayah sama bunda,” panggil Eky langsung masuk kamar Vina, “Itu kucingnya kenapa ditaro di kasur, kotor tau,” lanjut Eky mendumel.

“Enak aja kotor. Mercy udah mandi tadi ya…” jawab Vina tak terima.

“Lah, jelek amat namanya?”

“Enak aja, bagus tau. Biar keliatan mahal.”

Eky hanya mengangguk paham tak mau melanjutkan perdebatannya, ia sudah sangat lapar. Vina mengekor di belakang Eky. Di meja makan semuanya sudah berkumpul, Vina mengernyit melihat Faris yang bergelayut di lengan Ayah.

“Kenapa dia, Bun?” tanya Eky.

“Minta dibeliin tikus,” jawab Bunda dan mengangsurkan piring milik Ayah.

“Bukan tikus, Bun! Faris mau pelihara marmut. Boleh ya, Yah?”

“Dicaplok Mercy tau rasa,” ucap Eky acuh.

“Mercy? Merk mobil?” tanya Faris bingung.

“Nama kucing kakak.”

“Jiah, kucing buluk namanya Mercy,” ceplos Faris yang kemudian mendapat pelototan dari Vina secara live.

...🐈🐈🐈...

Bonus Pict:

Ini dia Kang Imin yang katanya mirip Jimin 🤭

#Luka Yang Belum Kering

Vina turun dari motor besar Eky dan melepas helm yang dipakainya. Eky tidak langsung menjalankan motornya, ia tebar pesona terlebih dulu ke anak- anak sekolah Vina. Membuat Vina hanya memutar bola matanya, ia merasa malu memiliki kakak seperti Eky. Vina sudah kepalang malu, ia pun segera pergi darisana.

“Nanti gue basket, nggak bisa jemput!” teriak Eky.

Mendengar teriakan Eky, langkah Vina otomatis terhenti. Ia segera berbalik hendak memberikan helmnya pada Eky, karena dirinya malas membawa helm. Namun naas, Eky sudah menghilang entah kemana. Dengusan sebal meluncur dari hidung mancung Vina.

“Minggir lo! Halangin jalan gue,” hardik seseorang membuat Vina menyingkir seketika.

Teo dengan mengayuh sepedanya santai melewati Vina yang masih dalam mode kagetnya. Teo menoleh dan menampilkan cengirannya. Hampir saja helm yang dibawa Vina melayang ke kepala cowok pecinta sepeda itu.

Kernyitan dahi tercipta didahi Candra yang tertutup poni melihat Vina datang bersama dengan sang ketua kelas, bukan kebersamaan keduanya yang membuat Candra heran. Namun wajah cemberut Vina yang membuatnya heran.

“Ngapa wajah lo lecek gitu? Lupa di setrika?” tanya Candra plus ledekannya.

“Lo bawa motor?”

“Bawa. Kenapa?” tanya Candra curiga.

“Pulang gue nebeng ya.”

Benar dugaan Candra yang sedaritadi sudah curiga dengan pertanyaan Vina, “Baru juga datang lo, udah ngomongin pulang aja. Bang Eky kemana?”

“Basket dia, mana gue lupa ngasih helmnya ke dia.”

“Poor for you. Lo jadi beli kucing?”

“Iya, dianter Kak Galang kemarin.”

“Eciee… gebetan baru nih.”

Vina hanya menjitak kepala Candra sebagai jawaban dan tidak lama kemudian bel masuk berbunyi dibarengi dengan guru pelajaran pertama masuk kelas yang sangat gaduh ini.

...🐈🐈🐈...

Benar saja ketika bel pulang berbunyi, Vina segera mengekor Candra. Takut dirinya ditinggal Candra yang sering menghilang entah kemana. Vina mengambil helmnya di loker dengan tangan masih mengapit lengan Candra.

“Gue nggak bakal kabur kali,” decak Candra sebal.

“Nggak percaya gue.”

Mereka berdua pun berjalan menuju gerbang, tapi langkah Candra tiba- tiba berhenti. Membuat Vina juga spontan ikut menghentikan jalannya, ia menatap Candra bingung.

“Ngapa lagi, Can?”

“Ngapain si Juno disini?”

“Hah? Mana?”

Vina segera mengalihkan pandangannya pada gerbang sekolah dan menemukan seorang cowok yang sangat mencolok tengah menyender pada motornya, seragam mereka berbeda.

“Lo berdua udah putus, kan? Atau dia punya temen disini?” tanya Vina.

“Udah lama gue putus dari dia, tapi ya gitu. Si Juno masih suka chat gue. Mana ada temen disini dia,” jawab Candra murung,

“Gue keluar lewat belakang ya? Entar kita ketemuan di warung Mpok Munah,” lanjut Candra dan sudah melesat pergi sebelum Vina sempat melontarkan protesnya.

Alhasil Vina cemberut dengan mendorong motor milik Candra, tentu dirinya mendapat tatapan aneh dari anak- anak lain. Mana ada dua helm di motor itu, tadi dirinya lupa memberikan helmnya pada Candra. Benar dugaan Vina, ia dicegat oleh Juno yang notabene memang mengenal Vina.

“Ini motor Candra, kan? Dimana dia?” tanya Juno yang sudah sangat hapal dengan motor mantan pacarnya itu.

“Iya, dia balik duluan tadi. Sakit jadi izin,” bohong Vina dan kembali melajukan langkahnya. Namun Juno masih menahannya.

“Tunggu! Kenapa lo dorong motornya? Helmnya juga masih disini? Dia dianter siapa?”

Vina mendengus dan berusaha melepas cekalan ditangannya, “Kunci motornya kebawa sama dia, tadi dianter guru. Udah ya, gue mau balikin nih motor.”

“Lo dorong sampe rumah Candra?” tanya Juno masih curiga.

‘Kenapa sih nih cowok masih nggak berubah? Alesan apalagi gue? Si Candra dosa apa pernah pacaran sama nih makhluk,’ batin Vina gedek.

“Iye, kenape? Lo mau ngeremehin gue?!” nyolot Vina.

“Gue aja yang bawa motornya.”

‘******!’

“Ngg…”

“Vin? Belom balik lo?” tanya Dafa membuka kaca helmnya.

“Dafa? Nah, kebetulan nih. Lo bisa tolongin gue?” tanya Vina penuh harap, ini jalan satu- satunya agar dirinya bisa bebas dari Juno.

“Apa?”

...🐈🐈🐈...

Vina benar- benar menghela nafas lega, ia mendaratkan bokongnya di kursi panjang warung Mpok Munah. Disana Candra menunggu dengan wajah ditekuk karena daritadi digoda anak- anak badung yang nongkrong disana. Salah Candra juga yang meminta Vina untuk bertemu disitu. Namun juga Candra tidak menyangka jika Vina akan butuh waktu yang lama.

“Lama bener lo? Ini kenapa ada Dafa juga?” tanya Candra sewot.

“Sumpah! Si Juno salah makan ato apa sih? Ngebet banget pengen ketemu lo. Lo juga! Kenapa kuncinya nggak kasih ke gue? Untung ada Dafa. Thank’s, Fa.”

“Tadi siapa sih?” tanya Dafa penasaran.

“Mantan gue,” jawab Candra meringis. Namun detik berikutnya ia melotot.

“Cabut! Buruan cabut! Juno kesini! ****** gue,” pekik Candra kalut.

“Cepet, Vin! Naik!” perintah Candra.

“Mampus! Gue juga bakal kena kalo ketangkep. Buruan!”

Candra segera menggas motornya sebelum Juno sampai di tempat mereka, sementara Dafa masih bingung dengan apa yang terjadi.

“Fa! Buruan kabur!” teriak Vina.

“Ikutin gue cepet!” perintah Dafa mendahului laju motor Candra.

Mereka bertiga berhenti di sebuah danau terpencil yang letaknya cukup jauh dari sekolah. Vina menyeka keringatnya yang mengucur deras, jantungnya masih marathon. Begitu juga Candra yang tangannya masih gemetar karena pertama kali seumur hidupnya ia mengendarai motor gila- gilaan.

“Lo pulang ke rumah, Can?” tanya Vina.

“Nggak tau, takut dia ada di rumah gue. Tau sendiri si Juno gimana orangnya.”

Vina mengangguk dan pandangannya beralih pada Dafa yang duduk memisahkan diri, ia tengah memandang ke tengah danau.

“Gue balik ke rumah budhe gue dulu kayaknya,” ucap Candra, “Ayo gue anter lo dulu.”

“Nggak usah, lo balik aja. Ntar gue bisa chat Bang Eky buat jemput,” tolak Vina.

“Oh! Lo bareng Dafa aja, buat kali ini nggak apa- apa. Lagian dia juga udah bantu kita.”

“Ngga…”

“Fa! Gue mau balik duluan, gue nitip Vina ya? Anterin dengan selamat sampe rumahnya,” pinta Candra.

“Gue duluan ya? Thank’s, Fa, Vin.”

Selepas kepergian Candra, suasana hening. Tidak ada yang membuka suara, baik Dafa maupun Vina. Ia sungkan mengajak Dafa pulang duluan. Sementara Dafa sepertinya masih nyaman berada disini.

Vina tidak lupa dengan tempat ini, danau yang sering mereka kunjungi semasa pacaran dulu. Ia sempat kaget tadi pada Dafa yang mengarahkan mereka pada tempat ini.

Mendadak suasana hati Vina menjadi mellow lagi. Ia melempar- lempar batu pada danau. Duduk mereka berjauhan dengan pohon yang memisahkan. Diam- diam Dafa melirik pada Vina, penasaran apa yang tengah dilakukan gadis itu. Ia tahu jika Vina kembali sedih. Dafa berdiri dan menghampiri Vina yang tengah menopang dagu.

“Mau balik sekarang?” tanya Dafa.

“Ayo,” jawab Vina cepat dan segera bangkit.

Dafa menatap punggung Vina yang berjalan menjauh. Ia segera mengikutinya dari belakang.

“Pake ini,” Dafa menyampirkan jaketnya pada bahu Vina.

Vina diam tidak menjawab, tapi ia menurut dan memakai jaket milik Dafa. Dafa menstater motornya.

“Gue masih tunggu alasan lo, Fa,” ucap Vina yang telah duduk di belakang.

“Kenapa lo putusin gue? Gue ada salah?” tanya Vina lagi karena tidak mendapat jawaban dari Dafa.

Masih belum ada jawaban dari Dafa, motor sudah melaju mulus di jalan raya. Vina masih menunggu mulut Dafa untuk menjawab. Namun sampai memasuki perumahan Vina, Dafa masih saja bungkam.

“Apa karena Fena?”

DUKK!

Suara helm yang saling berbenturan terdengar nyaring. Dafa mengerem mendadak mendengar pertanyaan Vina yang satu ini. Sementara Vina mengusap dahinya yang terasa sakit. Namun tak lama Dafa kembali melajukan motornya, membuat Vina berspekulasi yang tidak- tidak. Mata Vina terasa memanas, melihat respon Dafa berarti memang benar jika cowok itu ada rasa dengan Fena.

“Turun!” perintah Dafa, “Jaket gue balikin besok aja. Atau biar Eky yang bawa,” lanjutnya langsung meng- gas motornya menjauh dari rumah Vina.

Sementara Vina masih berdiri di depan dengan pandangan nanar melihat kepergian Dafa. Vina tidak bisa menahan laju air matanya. Ia langsung masuk rumah dengan pandangan menunduk, tidak mau ada siapa pun yang melihat keadaannya saat ini.

“Loh? Lo dianter Dafa ya?” tanya Eky melihat Vina masuk rumah dengan jaket milik Dafa.

Vina tidak menjawab, ia segera melepas jaket itu dan melemparnya di sofa begitu juga dengan helmnya. Lalu tanpa sepatah kata ia masuk kamar dan menguncinya rapat.

“Lah? Kenapa tuh bocah?” gumam Eky bingung dan memungut jaket itu, “Bener ini punya Dafa.”

...🐈🐈🐈...

Air mata masih membasahi pipi Vina, ia tengah tiduran tengkurap. Belum berganti baju sejak pulang tadi. Vina sebenarnya juga benci dengan dirinya sendiri, mengapa ia begitu lemah. Ia hanya tidak terima dengan Dafa yang tanpa penjelasan memutuskannya. Padahal tidak ada masalah dalam hubungan mereka. Vina meraih sebuah boneka sapi dan meremasnya kesal.

“Sebel gue sama lo! Sana jadian aja sama Fena! Nggak akan peduli gue,” geram Vina menunjuk- nunjuk boneka itu.

“Lo bener- bener busuk, Fa! Benci gue sama lo!”

“Dasar manusia plin- plan!”

Vina membuang boneka itu asal, ia terengah- engah setelah puas melampiaskan emosinya. Namun tetap saja air matanya tidak mau berhenti keluar. Suara ketukan pintu membuyarkan kegalauan Vina.

“Dek?” panggil Bunda masih mengetuk pintu kamarnya.

Beliau mendapat laporan dari Faris yang mengatakan bahwa kakak perempuannya itu aneh sejak pulang tadi, “Bunda boleh masuk?”

Vina mengelap air mata dan ingusnya, lalu bangkit untuk membukakan pintu. Didepan pintu, Bunda membawa sepiring nasi beserta lauk juga minuman dingin untuk Vina. Vina melirik pada ujung tangga, dimana terdapat dua cowok yang tengah kepo. Ia menarik Bunda untuk masuk kamarnya dan kembali menguncinya.

“Kamu kenapa, Dek? Ada masalah? Cerita sama Bunda,” ucap Bunda yang sudah duduk lesehan di karpet bulu milik Vina, “Sambil makan ya?” lanjutnya meletakkan piring dan gelas itu pada meja kecil didepannya.

Vina mengangguk dan menuruti permintaan Bunda, ia duduk didepan Bunda. Vina mulai bercerita dengan sesekali menyendok makanannya. Sementara Bunda hanya mendengarkan tidak memotong sama sekali. Vina menyelesaikan ceritanya bersamaan dengan suapan terakhirnya. Vina tipe perempuan yang malah banyak makan ketika galau, ia senang makan makanan manis jika mood- nya sedang jelek.

“Loh, jadi kalian udah putus?” komentar Bunda yang baru membuka suara.

Vina memberengut, “Ih Bunda! Udah lama Vina putus.”

Bunda terkikik geli melihat wajah cemberut putri satu- satunya itu. Ia sangat senang jika Vina lebih terbuka pada keluarganya. Sebenarnya Ayah dan Bunda tidak melarang jika anak- anaknya menjalin hubungan, tapi mereka tetap memberi batasan agar anak- anak mereka tak melewati batas.

“Dulu Ayah dan Bunda juga sering putus- nyambung gitu, ada aja masalah yang datang silih berganti…”

“Tapi Bun, kita nggak ada masalah. Tiba- tiba aja Dafa putusin Vina, setiap kali Vina tanya alasannya nggak mau jawab dia.”

“Mungkin tanpa sadar Vina ada salah, udah minta maaf sama Dafa?”

“Vina nggak salah, Bun. Vina selalu nurut apa kata Dafa.”

Bunda tersenyum, perilaku dan sifat Vina mengingatkannya ketika masa- masa pacaran dulu bersama Ayah. Bunda dan Vina yang menjunjung tinggi bahwa wanita itu selalu benar dan tidak pernah salah. Namun Bunda berusaha untuk menurunkan egonya, sepertinya ia juga harus berusaha lagi agar Vina tidak melakukan hal yang sama.

“Coba bicarain dulu sama Dafa. Putus juga harus baik- baik, jangan sampai ada pihak yang tersakiti dan menyakiti,” pesan Bunda.

Bunda keluar dari kamar Vina dengan membawa piring serta gelas kosong. Beliau disambut wajah penuh pertanyaan Eky dan Faris yang sedaritadi menguping didepan pintu. Namun Bunda tidak mau memberitahu kedua anaknya itu, beliau berjalan menuju dapur dengan diikuti Eky dan Faris.

“Kalian kenapa sih? Ngintilin Bunda terus,” ucap Bunda jengah.

“Kita kepo, Bun,” jawab Faris diangguki Eky.

“Kepo kenapa?”

“Kenapa Vina pulang- pulang ngamuk gitu?” tanya Eky, “Eh? Jangan- jangan karena Dafa, ya?” lanjutnya.

“Kak Dafa kenapa?” Faris mengernyitkan dahinya.

Bunda hanya menggelengkan kepalanya dan meninggalkan kedua anaknya itu.

“Tadi pulang dianter Dafa dia.”

“Kok bukan Bang Eky yang jemput?!” ucap Faris nge- gas.

“Gue basket tadi,” cengir Eky membuat Faris mendengus sebal.

“Terus Kak Vina diapain sama manusia satu itu? Sampe nangis gitu, awas aja kalo dia berani macam- macam sama Kak Vina! Gue bejek- bejek tuh manusia,” marah Faris dan masuk ke kamarnya.

Sementara Eky mengacak rambutnya frustasi, tak tahu harus bagaimana. Kisah cinta adiknya itu benar- benar rumit. Beruntung dirinya jomblo.

...🐈🐈🐈...

Melihat kedatangan Vina, Candra langsung menghampiri sahabatnya itu. Candra melihat penampilan Vina dengan miris. Mata gadis itu bengkak akibat menangis semalaman. Tentu Candra merasa bersalah, ia pasti yang menyebabkan sahabatnya seperti itu. Namun detik berikutnya ia menggeleng. Nggak! Bukan dirinya, tapi Dafa. Ya… pasti Dafa yang menyebabkan Vina seperti mayat hidup dipagi hari ini.

“Vina… lo kenapa? Gue minta maaf ya?” tanya Candra merasa sangat bersalah.

Vina melirik Candra yang tengah memasang wajah bersalahnya. Ia menghembuskan nafas lelah, sejak semalam dirinya berusaha menghentikan air matanya. Namun tidak bisa.

“Bukan salah lo, kemarin gimana? Si Juno beneran ke rumah lo?”

“I… iya, Juno sama Abang sepupu gue gelud,” jawab Candra menunduk.

“Kok bisa?”

“Hmm, nggak usah ngomongin mereka lah. Ntar, balik ke Mentari yuk? Gue traktir,” ajak Candra mengalihkan topik, ia merangkul Vina dan mengajaknya masuk kelas.

“Pagi- pagi kerjaannya nge- drama mulu. Nih kerjain! Istirahat di kumpulin,” ucap Teo memberikan LKS pada dua gadis itu, dirinya memang sedang membagi LKS itu pada anak- anak.

“Bacot lo!” pekik Vina dan Candra bebarengan dengan tangan menjambak rambut cetar Teo.

“Anjir! Sia- sia pomade gue.”

“Rasain lo! Duo macan diganggu,” celetuk Bara.

Seharian ini Vina berdiam diri di kelas bersama dengan Candra, sebenarnya Candra terpaksa menemani Vina yang tidak mood untuk ke kantin. Vina mendesah kesal merasakan perutnya meronta minta di isi, begitu juga dengan Candra yang gelesotan di bangkunya. Namun matanya melihat Teo dan Bara yang hendak keluar kelas.

“Tayo! Mau kemana lo?!” panggil Candra bangkit dari kursinya dan berlari menghampiri dua cowok itu.

“Ke kantin,” Bara yang menjawab dan seketika mendapat geplakan maut dari Teo.

“Njir! Ngapa lo kasih tau?”

“Nitip jajan gue! Vin! Lo mau titip nggak?”

“Iya! Gue titip cimol Mang RM - Rapli Muratno - sama es ijo- nya Mang Imin,” jawab Vina cepat, “Pake duit lo dulu ya?” lanjutnya.

“Nih, gue nitip jamur krispi sama air mineral,” ucap Candra memberikan uang pada Teo.

“Ngapa kalian nggak jalan sendiri sih?” dumel Teo menerima uang itu.

“Selagi masih ada yang diperbudak harus dimanfaatkan,” jawab Candra meringis, “Makasih Tayo.”

...🐈🐈🐈...

Vina dan Candra kompak cemberut melihat makanan mereka teronggok di laci meja. Teo dan Bara kembali ke kelas pas ketika bel masuk berbunyi. Mana cimol dan jamurnya sudah dingin, juga es milik Vina sudah mencair. Dua gadis itu menatap Teo dengan tatapan membunuh. Sementara yang ditatap tidak menghiraukan kedua gadis itu.

“Eh, guys. Bu Audy nggak masuk, nih ada tugas tapi,” ucap Wildan sang wakil ketua kelas.

“Alhamdulillah!” pekik Vina dan Candra segera mengeluarkan makanan mereka.

Membuat anak- anak yang lain juga mengikuti jejak Vina dan Candra, mereka serempak mengeluarkan makanan ringan mereka. Sementara mereka yang tidak punya makanan segera melesat menuju kantin.

“Lima soal doang nih?” tanya Lia remeh dengan mulut mengunyah kacang Mayasi.

“Lima soal mata lo belekan? Dibaliknya masih ada,” ucap Lila.

Lia segera membalik halaman LKS- nya dan hampir saja ia keselek kacang. Yang lain hanya menertawakan tingkah absurd temannya itu.

“Gugel aja ya?” tanya Vina.

“Iywe, biywar cwepet jwadi,” jawab Candra.

“Bagi cimolnya,” serobot Bara.

“Asem lo! Lo kerjain nih yang nomer tiga.”

“Gampang itu, bentar ya?” Bara menjentikkan kelingkingnya, “Tayo! Bagi jawaban nomer tiga,” lanjutnya berteriak pada Teo.

“Belom gue.”

Geplakan maut mampir di kepala Bara dari tangan Vina dan Candra, mereka berdua memang paling suka menggeplak kepala orang. Namun Vina tidak berani mempraktekkannya di depan Bunda, bisa- bisa dirinya yang ganti digeplak Bunda.

...🐈🐈🐈...

Candra tidak mengingkari janjinya, sepulang sekolah mereka mampir ke Mentari terlebih dulu. Mentari adalah café hits dekat sekolah mereka. Biasanya di jam pulang sekolah seperti ini akan ramai terisi dengan anak- anak SMA atau SMP, bahkan tak jarang anak kuliahan juga nongkrong disini. Apalagi jika sedang tanggal muda, dari anak badung sampai kutu buku akan ada disini. Berbeda jika tanggal tua, anak- anak lebih memilih warung Mpok Munah sebagai tempat nongkrong.

“Gue Bubble Tea rasa Mocca dong,” ucap Vina yang sudah duduk nyaman di kursinya.

“Siap Bos! Wait for a few minute,” Candra segera melesat menuju meja kasir untuk memesan, sementara Vina menunggu tas mereka.

“Loh? Vina? Disini juga?” sapa seseorang, membuat Vina yang tengah menumpang wifi gratis menoleh.

“Eh, Kak Galang? Iya, Kak.”

“Sendiri? Gabung aja kalo lo sendiri.”

Vina melirik kearah teman- teman Galang yang duduk tidak jauh dari mejanya, di sana sangat ramai dengan asap rokok yang mengudara.

“Makasih, Kak. Gue bareng sama Candra.”

Galang menganggukkan kepala dan segera pamit untuk kembali ke teman- temannya. Tak lama Candra kembali dengan dua cup minuman.

Candra duduk di depan Vina setelah meletakkan minuman milik mereka. Candra langsung mengaktifkan wifi- nya. Wifi gratis Mentari yang paling diminati oleh anak- anak. Yang gratis memang selalu langsung menjadi rebutan.

“Lo ngobrol sama siapa tadi?” tanya Candra menyedot Thai Tea- nya.

“Kak Galang, disuruh gabung tadi gue.”

“Kok nolak?!”

“Ogah gue, banyak asap rokok noh,” tunjuk Vina, Candra mengalihkan pandangannya pada segerombolan cowok yang tengah tertawa terbahak- bahak.

“Lo masih sering ketemu Kak Galang?”

Vina menggeleng, “Nggak, terakhir pas dia nganter gue beli Mercy. Lo masih ikut komunitas?”

Kini gantian Candra yang menggeleng, “Nggak, ada Juno soalnya.”

Vina mengangguk paham, ia tahu betul bagaimana sifat Juno sejak SMP dulu. Sebenarnya Juno di atas satu tahun dari mereka. Juno pernah tidak naik kelas. Namun yang membuat Vina heran, mengapa Candra mau menerima Juno sebagai pacarnya?

Terkadang Vina merasa kasihan pada Candra, Juno merupakan cowok badung di SMP. Semua penghuni sekolah tahu siapa cowok itu. Juno dan teman- temannya sering berbuat onar, bahkan sering keluar masuk kantor polisi karena tawuran. Tentu Vina merasa kena serangan jantung ketika mendengar kabar jika sahabatnya itu jadian dengan cowok yang paling ia hindari.

Setelah putus pun sepertinya Juno masih mengganggu Candra, terbukti kemarin cowok itu berdiri tegak didepan sekolah Vina dan Candra. Vina menyedot Bubble tea- nya sambil berjalan pulang. Mereka berpisah tadi di halte, karena rumah Candra dan Vina berbeda perumahan.

“Loh? Lo baru pulang, dek?” tanya Eky menghentikan motornya disebelah Vina yang masih asyik dengan minumannya.

“Iya, tadi mampir Mentari dulu,” jawab Vina dan langsung naik ke motor Eky tanpa disuruh.

“Lo beli Bubble tea berapa?”

“Satu, tapi udah minum dua. Yang satu ditraktir Candra.”

“Bagi dong.”

“Nantwi kwalo ampe rumwah,” ucap Vina tak begitu jelas karena bibirnya menjepit sedotan.

“Nanti habis, orang lo sedot mulu.”

“Ahelah, nih! Satu sedot aja.”

Eky segera menerimanya dengan tangan kiri, mereka berhenti sejenak. Eky membuka kaca helmnya dan menyedot minuman Vina, lalu ia mengembalikannya pada Vina.

“Kok airnya habis?!” pekik Vina, karena pasalnya cup itu hanya tersisa boba- nya saja.

Eky hanya meringis dan kembali melajukan motornya menuju rumah yang pagarnya sudah terlihat.

...🐈🐈🐈...

Bonus Pict:

Mang Imin jaga warung kantin

Ekspresi Mang Rapli Muratno ketika banyak yang ngutang cimol- nya.

Mpok Munah

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!