Pukul setengah delapan malam, Aditya sudah tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Sambil menggeret koper dan menggendong tas ranselnya, pria itu berjalan menuju kereta yang akan membawanya ke kota kelahirannya. Pria itu memasuki gerbong eksekutif lalu mencari kursi tempatnya duduk. Aditya menaruh koper dan ransel di rak bagian atas lalu mendaratkan bokongnya di kursi dekat jendela. Kursi sebelah dan dua kursi di depannya kosong. Hanya dia sendiri saja yang menempatinya. Posisi kursi di gerbong eksekutif memang saling berhadapan.
Aditya Dzuhairi Urahaman atau yang dikenal dengan panggilan Adit sekarang sudah berusia 24 tahun. Pria itu sudah lulus dari Akademi Kepolisian dua tahun yang lalu dan ditugaskan di Polresta Yogyakarta. Namun pria itu sekarang dipindahkan ke Bandung. Anak sulung pasangan Stella dan Tamar itu memang mengikuti jejak sang ayah, menjadi abdi negara. Bahkan Aditya juga berada di unit Jatanras, sama seperti Tamar. Kemampuannya di divisi Jatanras sudah tidak perlu diragukan lagi.
"Kamu ngapain sih pindah ke Bandung? Kan Tante jadi ngga bisa ngecengin cowok Yogya yang manis-manis."
Tiba-tiba saja Suzy sudah duduk di kursi kosong samping Aditya. Suzy adalah jin wanita yang sering menemani Aditya sejak masih kecil. Aditya memang memiliki kelebihan di banding orang normal lainnya. Dia bisa melihat makhluk tak kasat mata yang berkeliaran di sekitarnya. Kemampuannya adalah warisan turun temurun dari keluarga sang Mama. Dulu Mamanya juga bisa melihat dan berinteraksi dengan makhluk astral sebelum menikah dengan Papanya.
"Tante emangnya masih belum puas? Selama empat tahun Tante ngintilin aku di Akpol. Emangnya aku ngga tahu Tante suka pergi ke kamar mandi, ngintipin taruna yang lagi pada mandi."
Suzy hanya tertawa saja. Selama empat tahun berada di akademi kepolisian, dia memang kerap mengintip anak taruna jika sedang mandi. Tapi tidak pernah mengintip Aditya. Bisa bahaya kalau Stella tahu. Ada satu anak taruna yang sangat disukainya. Dia terus mengikuti taruna itu sampai lulus kuliah.
Aditya menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi seraya memejamkan matanya. Beberapa penumpang mulai menaiki gerbong eksekutif ini. Pria itu sengaja membeli empat tiket sekaligus. Itu agar Suzy memiliki tempat duduk sendiri dan tidak ada yang menganggapnya gila ketika Suzy mengajaknya bicara seperti sekarang.
"Aku paling malas kalau pulang ke rumahmu."
"Kenapa?" tanya Aditya, masih dengan mata terpejam.
"Kan ada Papamu. Aku selalu mental jauh kalau dia nyentuh kamu."
Hanya senyum saja yang diberikan Aditya. Sampai sekarang sang ayah memang masih menjadi satpam untuk dirinya. Dulu Tamar menjadi satpam untuk istrinya, Stella. Setiap pria itu menyentuh Stella, maka makhluk astral yang ada di dekat wanita itu langsung menghilang. Ketika Aditya lahir, kemampuan Tamar masih sama. Saat Aditya menangis karena diganggu makhluk halus, Tamar akan menggendongnya dan semua makhluk itu menghilang.
Perlahan kereta yang mereka tumpangi mulai bergerak. Tidak semua kursi di gerbong eksekutif ini terisi. Ada juga beberapa kursi yang kosong. Perjalanan panjang menuju kota kembang akan dimulai. Aditya mencari posisi yang pas untuk tidur. Tapi ketenangannya terganggu karena Suzy masih terus mengajaknya bicara.
"Kamu nanti kerja di mana?"
"Kantor Polrestabes."
"Sama Papamu dong."
"Hem."
"Nanti kita bisa duet nangkap penjahat lagi dong."
"Tan.. aku ngantuk, mau tidur. Jangan ngajak ngomong lagi, nanti aku disangka orang gila gara-gara ngomong sendiri."
"Ish.."
Hanya desisan saja yang keluar dari mulut Suzy. Jin wanita itu melihat ke sekitar gerbong. Semua penumpang nampak anteng dan tidak ada yang menarik perhatiannya. Suzy segera berdiri dari duduknya. Sebelum meninggalkan kursinya, dia berpamitan dulu pada Aditya.
"Tante mau keliling dulu. Siapa tahu nemu yang kinclong."
Tidak ada jawaban dari Aditya. Dia masih tetap memejamkan matanya. Baru sekitar sepuluh menit Aditya tertidur, pria itu kembali terbangun ketika mendengar tangis seorang anak. Dengan enggan dia membuka matanya. Nampak seorang anak berusia dua tahun tengah menangis dalam gendongan Mamanya. Matanya terus mengarah pada kursi di depannya. Aditya mengikuti arah pandang anak itu. Di sana ada seorang pria dengan tubuh bersimbah darah dan wajahnya sangat menyeramkan. Dia tengah melihat anak itu sambil menyeringai.
Aditya bangun dari duduknya lalu berjalan mendekati sang ibu yang masih berusaha menenangkan anaknya. Anak lelaki itu masih terus menangis sambil tangannya menunjuk ke kursi di mana makhluk menyeramkan itu berada. Dia membenamkan wajahnya ke dada sang Mama.
"Biar anaknya saya yang gendong, Bu," ujar Aditya.
Awalnya wanita itu terkejut dan menolak. Namun karena tak enak melihat tatapan penumpang lain yang merasa terganggu dengan suara tangis anaknya, akhirnya Ibu itu menyerahkan sang anak pada Aditya. Begitu anak lelaki itu berpindah ke gendongan Aditya, sosok makhluk menyeramkan itu langsung menghilang. Aditya tidak hanya memiliki kemampuan melihat dan berinteraksi dengan makhluk astral. Namun dia juga bisa mengusir makhluk tersebut hanya dengan menyentuh orang yang diganggu.
Tangis anak itu langsung berhenti setelah mahkluk menyeramkan itu tidak terlihat lagi. Sang Ibu tentu saja langsung berterima kasih. Aditya mengembalikan anak itu pada Ibunya lalu dia berjalan menuju kursinya dan mendudukkan diri lagi di sana. Pria itu memejamkan matanya kembali.
Kereta terus berjalan menembus gelapnya malam. Hampir semua penghuni gerbong eksekutif sudah tertidur. Perjalanan malam memang lebih enak dilalui dengan tidur. Aditya melipat kedua tangannya di depan dada. Tanpa sengaja dia sedikit membuka matanya. Nampak di kursi yang ada di depannya duduk seorang wanita cantik. Dia melemparkan senyumnya pada Aditya ketika mereka beradu pandang. Namun tidak ada reaksi dari Aditya, dia kembali memejamkan matanya.
Dengan cepat wanita itu berpindah ke kursi samping Aditya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Aditya. Menelusuri wajah tampan pria itu dengan matanya. Walau sedang terpejam, namun Aditya tahu kalau di sebelahnya ada mahluk astral yang tengah mengagumi wajah tampannya. Terlalu malas dan letih, Aditya membiarkan saja.
Melihat sikap Aditya, makhluk tersebut semakin penasaran. Dia yakin sekali kalau Aditya bisa melihat dan merasakan kehadirannya. Dia meniup pelan telinga Aditya. Pria itu masih tetap mengabaikannya. Tentu saja dia tidak menyerah dan terus meniup telinga Aditya. Kesal dengan yang dilakukan hantu wanita itu, Aditya membuka matanya lalu memukul kursi di sebelahnya dengan keras.
"Haiissshh.. kenapa kamu terus menggangguku!!"
Makhluk astral tersebut terkejut dan langsung menghilang. Ucapan kencang Aditya menarik perhatian penumpang lain di sekitarnya. Semua melihat pada Aditya dengan tatapan aneh, karena tidak ada siapa pun di sekitar pria itu. Aditya hanya melemparkan senyuman tipis lalu kembali memejamkan matanya.
***
Pukul tiga shubuh, kereta yang ditumpangi Aditya memasuki stasiun Bandung. Pria itu masih belum bangun dari tidurnya. Satu per satu semua penumpang yang ada di gerbong ini mulai turun. Sebuah tepukan mendarat di lengan Aditya. Ketika membuka mata, nampak Ibu yang anaknya menangis yang sudah membangunkannya.
"Kita sudah sampai di Bandung."
"Oh.. terima kasih."
Aditya merentangkan kedua tangannya. Pria itu berdiri lalu mengambil koper dan tas ranselnya. Dia segera mengantri di belakang penumpang lain yang hendak turun. Suasana stasiun Bandung cukup sepi karena waktu masih dini hari. Sambil menggeret kopernya, Aditya berjalan menuju pintu keluar. Beberapa supir taksi menawarkan jasa untuk mengantarnya pulang. Seorang supir taksi mendekat dan bermaksud mengambil koper Aditya.
"Biar saya bawakan, A."
Aditya membiarkan supir taksi tersebut membawakan kopernya. Pria itu memasukkan koper dan tas ransel Aditya ke dalam bagasi. Usai menutup bagasi, dia bergegas membukakan pintu untuk Aditya. Baru saja pria itu hendak masuk ke dalam, tiba-tiba muncul seorang anak kecil dengan tubuh bersimbah darah. Dia melihat pada Aditya sambil berbicara pelan.
"Tolong aku.. aku kesakitan. Tolong aku."
Aditya kembali menutup pintu mobil. Dia lalu mengetuk kaca di bagian pengemudi. Supir tersebut langsung menurunkan kaca jendela.
"Tolong antarkan koper dan ransel saya ke alamat ini."
Aditya memberikan kartu nama Tamar dan selembar seratus ribuan pada supir tersebut. Pria itu membaca nama dan alamat yang tertera.
"Akang ngga ikut naik?"
"Saya masih ada urusan. Antarkan saja barang saya ke sana. Bilang saya pulang agak terlambat."
"Nama Akang siapa?"
"Adit."
Belum sempat sang supir bertanya lagi, Aditya segera meninggalkan mobil tersebut. Dia berjalan mengikuti anak yang menemuinya tadi. Dia tengah memandu Aditya ke suatu tempat.
***
Hai.. Hai.. Aku datang lagi dengan cerita dan genre baru. Jangan lupa jadikan favorit dan rate bintang 5 ya. Ditunggu juga komennya. Semoga kalian suka🤗
Penampakan Aditya
Aditya terus berjalan mengikuti anak di depannya. Anak itu membawanya menyusuri jalanan gang yang cukup sepi dan gelap. Aditya mengambil ponselnya lalu menyalakan senter untuk menerangi jalannya. Setelah seratus meter berjalan, anak itu berhenti. Aditya menyorotkan senternya ke dekat anak kecil itu. Tak jauh di sana terdapat seorang anak kecil tengah terbaring. Dengan cepat Aditya mendekati. Dia menempelkan jarinya ke leher anak itu dan tidak ada denyut nadinya.
Senternya terus menyorot anak yang tengah terbaring tersebut. Di bagian kepalanya terdapat luka yang mengeluarkan darah. Lalu di tangan dan kakinya terdapat luka lebam akibat pukulan benda tumpul. Nyawa anak itu sudah tidak tertolong lagi. Dari jasadnya, Aditya memperkirakan kalau anak itu sudah meninggal sekitar dua jam lalu. Pria itu kemudian melihat pada anak kecil yang membawanya ke sini. Rupa anak itu sama persis dengan anak yang berbaring.
"Bagaimana dia meninggal?"
"Habis disiksa oleh ayah tirinya."
"Kenapa kamu bisa tahu? Kenapa kamu mengikutinya?"
"Karena dia bisa melihatku. Dia tidak punya teman dan hanya aku yang menjadi temannya."
"Apa dia sering mendapatkan penyiksaan?"
"Iya. Setiap ayahnya pulang dalam keadaan mabuk, dia selalu kena pukul. Andai aku bisa menolongnya, aku pasti akan menolongnya. Tapi aku tidak bisa menampakkan wujud asliku pada laki-laki brengsek itu. Aku juga tidak bisa memegang barang yang bisa kupakai untuk memukulnya. Aku hanya bisa melihatnya dipukuli oleh ayah tirinya."
"Di mana ibunya?"
"Ibunya kabur karena tak kuat terus dipukuli oleh suaminya."
"Brengsek," Aditya mengumpat pelan.
"Siapa namamu? Nama aslimu," tanya Aditya lagi.
"Zagreb."
"Umurmu?"
"300 tahun. Kalau di duniamu, aku sepantar dengannya."
"Ganti penampakanmu. Aku tidak suka kamu memakai penampakan jasadnya."
"Baiklah."
Jin itu berpikir sejenak. Dia mencoba mengingat wajah-wajah yang diingatnya. Kemudian dia mengingat pernah melihat sebuah film yang sangat disukai temannya itu. Jin tersebut pun memakai penampakan tersebut. Sekarang dia sudah berubah menjadi seorang anak lelaki berkepala plontos dengan sebuah tanda anak panah di kepalanya. Bahkan pakaian yang dikenakannya sama dengan tokoh fiktif yang ditirunya. Aditya yang melihat itu tak bisa menahan tawanya. Penampilan jin tersebut sekarang sudah seperti Aang, pengendali angin.
"Aang.. apa dia dibunuh di sini atau di tempat lain?"
"Aang? Namaku Zagreb bukan Aang."
"Tapi kamu mengambil penampakan Aang si pengendali angin. Aku lebih senang memanggilmu dengan sebutan Aang."
"Baiklah, terserah kamu saja. Dia tidak dibunuh di sini, tapi di tempat lain. Aku bisa menunjukkannya padamu."
"Kapan dia dipindahkan?"
"Setelah dia dipindahkan ke sini, aku langsung menemuimu."
"Bagaimana kamu tahu aku bisa melihatmu?"
"Kamu memiliki aura biru kehijauan. Hanya orang dengan aura itu bisa melihat dan berinteraksi denganku. Apa kamu bisa menangkap ayah tirinya? Dia harus dihukum, aku tidak rela dia lolos begitu saja. Aku akan membawamu padanya. Kamu akan menangkapnya kan?"
"Tidak semudah itu menangkap orang. Aku harus mengikuti prosedur, harus ada bukti dan saksi. Serahkan semuanya padaku, tapi kamu harus membantuku. Besok aku akan datang lagi ke sini. Kamu tunggu aku di sini, tapi jangan ajak aku bicara, aku tidak mau terlihat seperti orang gila berbicara sendiri. Kamu cukup sampaikan apa yang kamu tahu. Aku akan mendengarkan."
"Baiklah."
"Sekarang kamu pergi. Cari informasi sebanyak-banyaknya agar aku bisa cepat menangkap ayah tirinya."
Zagreb atau yang sekarang dipanggil dengan sebutan Aang menganggukkan kepalanya. Dia segera menghilang dari sana. Aang akan kembali ke kediaman temannya dan mengawasi pergerakan ayah tiri temannya itu.
Sepeninggal Aang, Aditya segera menghubungi kantor polisi terdekat untuk melaporkan kasus ini. Dia segera membuat pembatas agar TKP tidak rusak. Dia terus berjaga sampai petugas datang. Sepuluh menit berselang, dua unit mobil polisi, sebuah SUV dan ambulans mendekat. Empat pria berseragam dan tiga petugas berpakaian bebas mendekat. Di belakang mereka datang dua orang berpakaian serba putih. Mereka adalah petugas forensik.
Salah seorang pria yang mengenakan pakaian bebas mendekati Aditya. Pria itu tahu kalau yang mendekatinya berasal dari unit Jatanras. Mereka memang jarang mengenakan seragam jika sedang bertugas di lapangan.
"Apa anda yang menemukan jasad ini?" tanya petugas tersebut.
"Iya."
"Saat anda menemukannya, apa dia sudah meninggal?"
"Iya. Dia mengalami cedera di bagian kepala, terdapat luka lebam di sekujur tubuhnya. Sepertinya dia meninggal karena luka di kepalanya."
Petugas polisi itu memicingkan matanya, melihat pada Aditya dengan curiga. Aditya segera mengambil dompetnya lalu mengeluarkan tanda pengenalnya. Polisi tersebut mengambil tanda pengenal yang diberikan Aditya. Ternyata pria di hadapannya ini sama sepertinya. Dia membaca nama yang tertera di sana, Ipda Aditya Dzuhairi Urahman.
"Urahman," gumam petugas itu pelan. Nama belakang Aditya sama dengan nama kepala Polrestabes Bandung saat ini, Taufik Urahman. Pria itu tak mau berpikir macam-macam. Nama Urahman bukan hanya milik kepala pimpinannya saja.
"Terima kasih atas informasinya. Apa anda sedang berlibur?"
"Saya dipindahkan ke kantor Polrestabes Bandung. Sebelumnya saya bekerja di Polresta Yogyakarta. Saya mulai bertugas lusa."
"Ooh.."
Hanya itu saja jawaban yang terdengar dari pria di depannya. Perhatian mereka kemudian teralihkan pada petugas forensik yang tengah mengambil foto korban. Sementara petugas polisi yang lain mulai menyisir lokasi mencari barang bukti.
"Boleh aku meminta sarung tangan? Aku akan membantu di sini," ujar Aditya.
Petugas yang tadi berbicara dengan Aditya memberikan sarung tangan pada pria itu. Dia juga memberikan sarung sepatu. Selesai memakai semua perlengkapan, Aditya mulai menyusuri daerah sekitar untuk mencari bukti. Dia harus mendapatkan bukti dan saksi untuk menjebloskan pria itu ke penjara.
Tidak ada barang bukti yang bisa ditemukan di TKP. Polisi berkesimpulan kalau anak itu dibunuh di tempat lain dan dibuang ke sini. Selesai memeriksa daerah sekitar, Aditya segera pamit. Pasti keluarganya cemas dengan kedatangannya yang terlambat. Pria yang tadi berbicara dengan Aditya menawarkan diri untuk mengantar Aditya pulang.
"Namaku Tomi. Nanti kita akan bekerja di satu kantor," ujar pria itu ketika sudah berada di dalam mobil.
"Siap, Pak."
Hanya tawa kecil yang terdengar dari Tomi. Dia tidak terlalu mementingkan pangkat dalam bekerja. Melihat Aditya yang cekatan dan pintar, dia yakin kalau pria muda ini memiliki kemampuan yang baik.
"Saya harap kamu bisa bergabung di tim satu," lanjut Tomi.
"Mudah-mudahan, Pak."
"Selain kamu, masih ada satu lagi personil yang dipindahkan ke Bandung. Dia pindahan dari Polresta Jambi. Sama sepertimu, dia mulai bergabung lusa."
Aditya hanya menganggukkan kepalanya saja. Pria itu kemudian menunjukkan arah menuju rumahnya. Kening Tomi berkerut melihat arah jalan yang ditunjukkan adalah adalah menuju rumah Kombes Pol Taufik Urahman. Pria itu menarik nafasnya ketika mobil yang dikendarainya berhenti di depan rumah Tamar. Tebakannya benar, pria di sebelahnya ini memang memiliki hubungan dengan atasannya.
"Jadi kamu anaknya Pak Tamar," ujar Tomi setelah menghentikan mobilnya.
"Dia ayah saya saat ada di rumah. Di kantor, hubungan kami hanya sebatas atasan dan bawahan. Mohon Bapak tidak mengungkit hubungan saya dengan ayah saya di kantor."
"Hahaha.. baiklah."
"Terima kasih atas tumpangannya."
"Sama-sama."
Aditya segera keluar dari mobil. Dia masih berdiri di tempatnya sampai mobil yang dikendarai Tomi meluncur pergi. Ketika pria itu membuka pintu pagar, Tamar keluar dari rumah. Pria itu sudah siap untuk shalat shubuh berjamaah di masjid. Aditya segera mencium punggung tangan Papanya.
"Kenapa baru sampai?" tanya Tamar sambil melihat tajam pada anak sulungnya.
***
Abis ketemu Aang😂
Jangan lupa bintang lima nya🤗
"Kenapa baru sampai?" tanya Tamar sambil melihat tajam pada anak sulungnya.
"Tadi ada kasus di dekat stasiun."
Tamat berdecak kesal. Sebenarnya dia memahami apa yang dilakukan Aditya. Anaknya itu sama seperti dirinya ketika masih muda. Tapi yang membuatnya kesal, karena ulah anaknya, dia yang terkena omelan Stella. Istrinya itu baru berhenti mengoceh setelah adzan shubuh terdengar.
"Cepat masuk. Papa tunggu di masjid. Jangan lupa ajak Razan juga."
"Iya, Pa."
Aditya segera masuk ke dalam rumah. Dia bergegas menuju tangga, jangan sampai sang Mama menemukannya lebih dulu. Tapi ketika hendak menaiki anak tangga, terdengar suara Razan, adik bungsunya memanggilnya dengan cukup keras.
"Bang Adit!"
"Ssssttt.." Aditya menaruh telunjuk di bibirnya. Razan langsung membungkam mulutnya sambil terkekeh.
"Tunggu Abang. Kita ke masjid bareng."
"Siap."
Baru saja Aditya hendak menaiki anak tangga. Tiba-tiba saja sebuah jeweran mendarat di telinganya. Pria itu mengaduh kesakitan sambil melihat siapa pelaku penjeweran. Stella dengan wajah garangnya melihat pada anak sulungnya itu.
"Hehehe.. Mama.. sehat Mama sayang?"
Aditya langsung meraih tangan Stella kemudian mencium punggung tangannya. Mau tidak mau Stella melepaskan jewerannya.
"Kamu.."
"Ma.. aku ditunggu Papa di masjid. Aku ke atas dulu ya."
Tanpa menunggu persetujuan Stella, Aditya berlari ke atas lalu masuk ke dalam kamarnya. Lima menit kemudian dia kembali keluar. Tubuhnya sudah terbalut baju Koko. Wajah dan rambutnya basah setelah terkena air wudhu. Bersama dengan Razan, pria itu bergegas menuju masjid. Untuk sementara dirinya aman dari omelan Stella.
***
Usai shalat shubuh, niat Aditya yang hendak istirahat, tidak kesampaian. Stella langsung menyidang anak sulungnya ini. Bukan hanya Aditya yang harus mendengar ceramah panjangnya, tapi Tamar juga dipaksa mendengarkan. Sementara Razan dalam posisi aman. Pria itu diperbolehkan kembali ke kamarnya. Aditya dan Tamar duduk berdampingan sambil saling melirik. Sementara Stella duduk di depan mereka sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kenapa pulang terlambat? Apa kamu pikir Mama ngga kepikiran? Yang datang cuma koper sama tasnya, orangnya raib ngga jelas," omel Stella.
"Maaf, Ma. Tadi ada keadaan mendesak."
Aditya langsung menceritakan apa yang dialaminya tadi. Sekalian dia melaporkan kasus pertamanya pada sang Papa, supaya tidak perlu mengulanginya lagi. Aditya berharap setelah mendengar penjelasannya, Stella tidak akan memperpanjang ceramah shubuhnya.
"Di mana Suzy?"
"Ngga tahu, Ma. Pas di kereta dia ijin mau jalan-jalan di gerbong. Sampai di Bandung, dia ngga nongol-nongol. Mungkin ngintilin cowok yang bikin dia klepek-klepek," jawab Aditya asal.
"Suzy! Dasar jin ngga guna. Gue suruh Lo kawal Adit malah ngayap ngga jelas!" ujar Stella sambil melihat sekeliling.
Suzy yang baru saja kembali ke rumah Stella, tentu saja kesal mendengar omelan Stella. J in wanita itu tidak terima dengan tuduhan keji Aditya padanya. Tadi dia sempat mental karena ada orang dengan aura kuat menyentuh pria yang sedang didekatinya. Ketika kembali ke kereta, ternyata kereta sudah kosong. Karenanya dia langsung ke rumah Stella. Jin wanita itu bertambah gondok mendengar ucapan Stella.
"Dari dulu mulut Lo ngga enak didengar, Stel. Sumpah, dari dulu suara Lo ngga enak didengar. Gue salut sama Tamar, bisa kuat sama elo. Gue difitnah anak lo!" teriak Suzy. Tapi percuma saja karena Stella tidak bisa mendengar suaranya.
Aditya sebisa mungkin menahan tawanya. Hal tersebut tertangkap oleh Stella. Wanita itu langsung melihat pada anaknya. Dia yakin sekali kalau Suzy sudah ada di antara mereka.
"Si Suzy bilang apa?"
"Ngga ada, Ma."
"Bohong. Dia bilang apa?"
"Ehem.." Aditya berdehem lebih dulu sebelum mengulangi kata-kata Suzy.
"Dari dulu mulut Lo ngga enak didengar, Stel. Sumpah dari dulu suara Lo ngga enak didengar. Gue salut sama Tamar, bisa kuat sama elo."
Mata Stella langsung melotot. Tamar menahan tawanya yang hendak meledak. Aditya juga sebisa mungkin menahan senyumnya.
"Itu kata Tante Suzy, bukan kata aku, Ma," Aditya mencoba membela diri.
"SUZZZYYY!!!"
Suzy langsung menghilang ketika mendengar suara tujuh oktaf Stella. Tamar dan Aditya sampai menutup telinganya. Zahira yang sedang menuruni anak tangga ikut terkejut mendengar suara Mamanya.
"Tante Suzy udah pergi, Ma. Dia ngga kuat dengar suara Mama yang kaya geledek."
"Sok tahu kamu, Dek. Tante Suzy lagi ngupil di pojokan," sahut Aditya.
"Ck.. Tante Suzy langsung ngilang begitu dengar teriakan Mama," ujar Zahira sambil mendudukkan diri di samping Stella.
Apa yang dikatakan Zahira tentu saja membuat Aditya terkejut. Pasalnya apa yang dikatakan sang adik sesuai dengan kondisi tadi. Suzy memang langsung menghilang begitu mendengar teriakan kencang Mamanya.
"Dek.. kok kamu bisa tahu?" tanya Aditya bingung.
"Zahi juga punya kemampuan yang sama kaya kamu," ujar Tamar.
Ternyata bukan hanya Aditya saja yang mewarisi kemampuan Stella. Tapi Zahira, anak kedua mereka juga memiliki kemampuan yang sama. Hanya saja Zahira baru memilki kemampuan itu setahun yang lalu. Ketika pulang kuliah, gadis itu melihat kucing hitam melintas di dekatnya dan sejak saat itu dia bisa melihat makhluk astral.
"Beneran, Dek?" Aditya bertanya pada adiknya dan hanya dijawab anggukan kepala oleh Zahira.
"Kok bisa, Ma? Bukannya cuma satu aja di setiap generasi?"
"Kata nenek kamu, uyut kamu pernah cerita. Dulu kakek dari uyut, empat bersaudara. Dan selain kakek dari uyut, saudaranya juga punya kemampuan yang sama. Keturunan selanjutnya hanya punya anak dua atau satu, jadi hanya salah satu aja yang punya kemampuan itu. Uyutmu anak tunggal lalu punya anak dua, nenekmu punya anak dua, sedang Mama punya anak tiga. Jadi kamu sama Zahi yang punya kemampuan itu," jelas Stella panjang lebar.
"Dan hanya salah satu dari kalian yang kemampuannya akan menghilang setelah menikah. Satunya lagi akan tetap bisa melihat makhluk astral selamanya," lanjut Stella.
"Tante Suzy pasti ngga tahu."
"Siapa bilang? Dia tahu kok. Kan waktu itu dia kabur ke sini pas lagi pundung sama Abang," seru Zahira.
"Kok dia ngga kasih tahu Abang?"
"Mama yang larang. Biar kamu ngga cemas."
"Mending kamu cepat nikah, Dek."
"Siapa yang mau sama dia," ucap Tamar dan Stella bersamaan.
Zahira hanya mendengus saja mendengar kekompakan Mama dan Papanya menyudutkan dirinya. Aditya hanya terpingkal saja. Adiknya ini memang jutek luar biasa kalau bukan pada keluarganya. Jarang ada lelaki yang kuat dekat-dekat dengannya.
"Kamu takut ngga, Dek?"
"Ya takutlah. Mana tampang mereka seram-seram. Kalo penampilannya kata K-Pop Idol sih ngga apa-apa."
"Terus kalau mereka nongol gimana?"
"Kalau di rumah ada Papa sama Razan. Kalau kuliah ada Var, dia yang jadi satpam aku."
Pria yang dimaksud Zahira adalah Dadvar, anak ketiga pasangan Arsy dan Irzal. Mereka kuliah di kampus yang sama dan saat ini sama-sama tengah mengambil S2 di jurusan yang sama. Dadvar ditugaskan Tamar untuk menjaga Zahira selama berada di kampus. Selama Zahira dekat dengan Dadvar, tidak ada makhluk halus yang berani mengganggu gadis itu.
"Sudah.. sudah.. lebih baik kamu istirahat. Kamu kan baru pulang. Lusa kamu baru masuk kerja," ujar Tamar.
"Iya, Pa. Tapi kayanya aku harus tetap ke kantor. Kan aku yang menemukan jasad anak itu."
"Iya. Tapi lebih baik kamu istirahat sekarang. Nanti siang kamu bisa ke kantor memberi kesaksian."
Aditya hanya menganggukkan kepalanya. Tubuhnya juga sudah lelah dan minta diistirahatkan dengan benar. Pria itu bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah tangga. Dengan langkah pelan, pria itu menapaki anak tangga. Dia masuk ke dalam kamarnya. Setelah berganti pakaian, barulah dia merebahkan tubuhnya.
***
Pukul dua siang, Aditya sampai di kantor Polrestabes. Sekarang adalah hari Sabtu dan banyak petugas yang bekerja di bagian administrasi yang tidak datang ke kantor. Tapi tidak dengan unit Jatanras. Mereka tetap bersiaga di kantor, karena kejahatan tidak pernah mengenal libur. Mata pria itu memandangi sekeliling ruangan yang akan menjadi tempat kerjanya.
"Kamu siapa?"
Terdengar suara dari arah belakang Aditya. Pria itu segera membalikkan tubuhnya.
***
Nih aku kasih penampakan Mama Stella dan Papa Tamar yang udah ngga muda lagi🫢
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!