Ariella berdiri di hadapan tubuh tak bernyawa Victor Blackthorn, pemimpin yang telah membesarkannya, yang telah mengajarinya cara bertahan hidup di dunia yang gelap dan penuh kekerasan ini. Darah masih mengalir, mengotori lantai marmer yang sebelumnya tampak elegan. Pisau kecil yang digunakan untuk mengakhiri hidup Victor tergeletak di samping tubuhnya, tercampur dengan darah yang mulai mengering.
Dengan langkah tenang, Ariella mendekat, memandang mayat sang mentor. Wajah pria itu, yang dulu begitu dihormati, kini tampak begitu rapuh. Di matanya yang terbuka lebar, Ariella seolah bisa melihat seluruh perjalanan hidup Victor—penuh dengan keputusan-keputusan yang keras dan penuh pengkhianatan, sebuah perjalanan yang akhirnya berujung pada titik ini. Puncak dari takdir yang tak terelakkan.
Tanpa ragu, Ariella menatapnya satu detik lagi sebelum menarik pisau dari tubuh Victor, darah yang tersisa menetes perlahan ke lantai. Seluruh tubuhnya terasa kaku, seakan ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan. Kematian Victor bukan hanya sebuah akhir—ini adalah awal dari sebuah jalan baru, jalan yang harus ia tempuh sendirian. Untuk pertama kalinya, Ariella merasakan beban yang lebih berat dari sebelumnya. Tak hanya darah di tangannya, tetapi juga takhta yang kini harus ia duduki.
Dengan napas yang tertahan, ia menatap ruangan yang kini terasa semakin sempit. Kekuatan yang ia inginkan begitu lama, akhirnya berada dalam jangkauannya. Namun, dengan kekuatan itu datang pula tanggung jawab yang tak terbayangkan. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana ia bisa memastikan bahwa ia tak akan jatuh ke dalam jebakan yang sama seperti yang pernah menimpa Victor?
Rael, tangan kanan Victor yang setia, masuk ke dalam ruangan dengan langkah mantap. Wajahnya yang tegas dan penuh perhitungan memancarkan kewaspadaan. Ia tahu betul apa artinya kematian Victor—dan ia tahu, sesuatu yang lebih besar sedang dimulai.
"Dia sudah mati," kata Ariella tanpa menoleh. Suaranya terdengar datar, seolah-olah tidak ada yang luar biasa dengan kematian seorang pria yang telah menjadi mentornya.
Rael berhenti di pintu, tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Mata tajamnya menilai situasi. Ia telah lama mengetahui bahwa Victor semakin lemah, tetapi ini adalah langkah yang begitu mendalam dan tak terduga. Ariella kini harus menghadapi dunia yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Dan Rael tahu, ia harus memilih untuk tetap setia kepada perempuan muda ini—atau memilih untuk berkhianat demi ambisinya sendiri.
"Dan sekarang?" tanya Rael akhirnya, suaranya tenang namun penuh dengan pertanyaan yang tersembunyi.
Ariella tidak segera menjawab. Ia menatap keluar jendela, menuju kota yang terbentang di bawahnya. Di luar sana, semuanya akan berubah. Setiap gerakan, setiap keputusan yang ia ambil akan menjadi sorotan bagi seluruh dunia pembunuh bayaran. "Sekarang," jawabnya dengan suara yang lebih pasti, "kita melanjutkan apa yang telah Victor bangun."
Rael mengangguk, tetapi keraguan tetap ada di matanya. "Mereka tidak akan menerima begitu saja, Ariella. Tidak semua orang akan menganggapmu sebagai pemimpin mereka."
Ariella menoleh, matanya penuh tekad. "Mereka akan menerima atau mereka akan mati," katanya, setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti ancaman yang tak terelakkan.
Rael memandangnya dalam diam, menganalisis setiap gerak-geriknya. Ariella memang lebih muda dan lebih rentan daripada Victor, namun ada sesuatu dalam dirinya yang jauh lebih berbahaya daripada kekuatan fisik semata. Ia tidak hanya cerdas—Ariella memiliki cara berpikir yang luar biasa tajam. Tidak seperti Victor yang menggunakan kekuatan untuk memimpin, Ariella akan mengandalkan pikirannya, mengatur langkahnya dengan penuh perhitungan.
"Jadi apa langkah pertama kita?" Rael bertanya, matanya tidak pernah meninggalkan wajah Ariella.
Ariella kembali memandang peta dunia yang terbentang di atas meja. Kota-kota besar dengan tanda-tanda yang menandakan kekuasaan dan pengaruh. "Kita butuh aliansi," jawabnya dengan suara yang lebih dalam, hampir berbisik. "Kita akan menarik mereka yang bisa kita percaya, mereka yang kuat dan memiliki ambisi yang sama. Kita akan mulai membangun kekuatan kita dari sana."
Rael menatap peta itu, kemudian melirik Ariella. "Dan bagaimana dengan mereka yang tidak setuju? Mereka yang akan mencoba merebut kekuasaan?"
Ariella menatap Rael dengan mata yang tajam. "Mereka akan kita taklukkan. Tidak ada yang bisa melawan kita jika kita bekerja bersama. Namun kita tidak boleh terburu-buru. Setiap langkah harus dihitung dengan matang."
Keheningan meliputi ruangan, hanya suara detak jam yang terdengar menggema di antara mereka. Ariella tahu bahwa ia tidak bisa menjalani semua ini dengan cara yang sama seperti Victor. Dunia telah berubah, dan ia harus siap menghadapi tantangan yang lebih besar.
Di luar, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka dan beberapa anggota lama dari organisasi Victor muncul, mereka yang telah lama beroperasi di bawah bayang-bayang. Para pembunuh ini tahu bahwa perubahan telah terjadi, bahwa kekuasaan telah beralih tangan, dan mereka datang untuk mengetahui bagaimana mereka akan diperlakukan selanjutnya.
Ariella berdiri dengan tegas di hadapan mereka, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan di wajahnya. Mereka semua memandangnya, mencoba membaca setiap ekspresi yang ada. Mereka tahu siapa dia—anak didik Victor yang terkenal dengan kecerdasannya dan kemampuan bertarungnya yang tak tertandingi. Tetapi di dunia ini, bukan hanya kemampuan yang dihargai. Yang dihargai adalah kekuasaan yang bisa dipertahankan.
"Saya yang kini memimpin," kata Ariella dengan suara yang tidak mengenal kompromi. "Jika kalian ingin bertahan hidup, kalian akan mengikuti perintah saya."
Beberapa di antara mereka terdiam, saling pandang. Tidak ada yang berani berbicara, meski jelas terlihat keraguan di mata mereka. Namun Ariella tidak menunggu mereka untuk memutuskan. Ia sudah tahu bahwa dalam dunia ini, keputusan harus diambil dengan cepat dan tegas.
Dengan kecepatan yang luar biasa, Ariella mengambil sebuah pisau dan melemparkannya ke arah seorang pria bertubuh besar yang terlihat ragu. Pisau itu melesat tepat di depan kakinya, menancap ke lantai dengan suara yang tajam. Semua orang terdiam, memandang pisau itu yang kini menjadi simbol keputusan yang tak bisa dibantah.
"Jika ada yang ragu, pisau ini akan menemui kalian. Pilihlah dengan bijak," kata Ariella, suaranya dingin namun penuh kekuatan.
Sejenak, suasana hening. Kemudian, satu demi satu, mereka menundukkan kepala. Mereka tahu, seperti yang diketahui semua orang di dunia ini—Ariella adalah pemimpin mereka yang baru, dan tidak ada tempat bagi mereka yang menentang.
Dengan langkah tegas, Ariella memutar tubuhnya dan berjalan menuju meja besar di sudut ruangan. "Sekarang," ujarnya dengan suara yang semakin keras, "kita mulai membangun kerajaan kita."
Dia tahu, ini baru permulaan. Langkah-langkah berikutnya harus lebih cermat, lebih terencana. Tetapi satu hal yang pasti—Ariella tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi jalannya. Dia sudah siap untuk menjadi ratu di dunia pembunuh bayaran ini, dan dia tidak akan ragu untuk meraih takhta yang telah lama diinginkannya.
---
Ariella memandang keluar jendela dari kamar pribadinya di lantai atas, mengamati gemerlap kota yang terhampar luas di bawahnya. Suara hiruk-pikuk malam mulai mereda, namun di dalam dirinya, segala sesuatu terasa jauh dari tenang. Kini, setelah kematian Victor, dunia yang ia kenal telah berubah. Seluruh kehidupannya yang dulu dipenuhi dengan pelatihan dan strategi kini harus dimulai dari sebuah titik nol yang penuh ketegangan.
Pikiran Ariella berputar cepat. Ia tahu bahwa kekuasaan yang baru ia raih sangat rapuh, hanya sebuah ilusi yang bisa hancur dalam sekejap. Setiap keputusan yang diambil ke depan harus dihitung dengan matang, setiap langkah harus terencana dengan sempurna. Jika tidak, kekuasaan yang selama ini dijaga dengan darah dan air mata itu bisa lepas begitu saja.
"Ariella," suara lembut Rael menyentak dari lamunannya. Dia berdiri di pintu kamar, mengenakan pakaian gelap yang biasa ia kenakan. Ekspresinya serius, seolah tahu betul apa yang menggelayuti pikirannya.
Ariella berpaling, mencoba menyembunyikan ketegangan di wajahnya. "Apa yang terjadi?"
Rael berjalan mendekat, tangannya terlipat di depan dada. "Ada kabar dari luar. Beberapa organisasi kecil mulai bergerak. Mereka tahu bahwa Victor telah mati. Mereka berencana untuk mengambil alih beberapa wilayah yang sebelumnya berada di bawah kendali kita."
Ariella mengangguk, meresapi informasi itu dengan tenang. "Berapa banyak?" tanyanya datar.
"Tiga, mungkin empat. Organisasi-organisasi yang dulu hanya bergerak di bawah bayang-bayang. Sekarang mereka mulai menunjukkan diri mereka. Mereka tahu bahwa kita sedang lemah." Rael mengamati reaksi Ariella dengan cermat.
"Jadi kita harus membuktikan bahwa kita tidak lemah," kata Ariella, suara itu penuh dengan tekad. "Kita tidak bisa memberi ruang bagi mereka untuk berpikir kita akan jatuh begitu saja. Mereka ingin menguji kita? Biarkan mereka."
Rael menatap Ariella dalam diam, kemudian berkata, "Kita bisa mengirim pasukan untuk menghancurkan mereka. Cepat dan tanpa kompromi."
Ariella menoleh, matanya menyala dengan api yang tersembunyi. "Tidak. Kita akan lebih cerdik dari itu. Jika kita bergerak secara terbuka, kita hanya akan menunjukkan bahwa kita takut. Ini bukan tentang kekuatan fisik semata, Rael. Ini tentang bagaimana kita memainkan pikiran mereka."
Rael mengerutkan kening. "Apa yang kau maksud?"
"Aliansi," jawab Ariella. "Kita akan bersekutu dengan salah satu dari mereka. Membuat mereka merasa bahwa mereka lebih kuat jika mereka bersatu dengan kita. Setelah itu, kita ambil alih secara diam-diam."
Rael terdiam sejenak, merenungkan rencana Ariella. "Sungguh berisiko. Mereka tidak akan menerima begitu saja. Mereka pasti akan menguji kita lebih dulu."
Ariella tersenyum tipis. "Itulah yang mereka inginkan. Mereka ingin melihat apakah kita bisa dipermalukan. Tapi kita akan menunjukkan pada mereka bahwa kita tidak hanya kuat—kita lebih pintar. Mereka tidak akan tahu apa yang menghantam mereka sampai sudah terlambat."
Rael mengangguk perlahan, tetapi dia tetap terlihat cemas. "Kau yakin ini akan berhasil? Mereka semua berbahaya, Ariella."
"Aku tidak peduli seberapa berbahaya mereka. Mereka semua memiliki kelemahan," jawab Ariella dengan suara yang penuh ketegasan. "Dan kita akan menemukan kelemahan itu."
Ariella berjalan menuju meja besar yang terletak di tengah ruangan. Di atas meja itu terhampar beberapa peta dan dokumen yang menunjukkan jaringan pengaruh yang dimiliki organisasi-organisasi kecil yang kini mulai bergerak untuk merebut kekuasaan. Di sudut-sudut kota, nama-nama mereka tertera dengan jelas: The Raven Syndicate, Black Fang, dan Red Claw. Ketiga organisasi ini, meskipun kecil dibandingkan dengan kekuatan yang pernah dimiliki oleh Victor, kini mulai berkembang dengan cepat, memanfaatkan kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan.
"Tunggu apa lagi? Mulailah menyusun rencana. Kita akan mengambil langkah pertama malam ini," perintah Ariella, suaranya tegas.
Rael hanya mengangguk, meninggalkan ruangan untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Ariella kembali menyendiri, menatap peta yang ada di depannya. Setiap langkah yang ia ambil sekarang adalah langkah besar—dan jika salah memilih, ia bisa kehilangan segalanya.
Di luar jendela, suara kendaraan dan langkah kaki mulai terdengar semakin keras. Kota ini, seperti dunia yang ia kendalikan, tak pernah tidur. Di balik semua gemerlap itu, ada permainan yang lebih besar yang tengah terjadi, dan Ariella harus siap menghadapi segala kemungkinan.
---
Pada malam yang sama, Ariella dan Rael bertemu dengan perwakilan dari Red Claw, salah satu organisasi yang baru mulai memperlihatkan kekuatannya. Kepala dari Red Claw, seorang pria bernama Darius, dikenal sebagai seseorang yang keras kepala dan tidak mudah percaya kepada siapa pun. Namun, ia juga sangat ambisius—dan itu adalah kelemahan yang bisa dimanfaatkan.
Ariella memutuskan untuk mengadakan pertemuan di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota, tempat yang tersembunyi namun penuh dengan aura elegan. Restoran ini, meskipun dikenal oleh banyak orang, memiliki ruangan-ruangan pribadi yang bisa digunakan untuk pertemuan-pertemuan rahasia.
Ariella duduk di meja, matanya menatap pintu besar yang akan segera dibuka. Tak lama kemudian, Darius masuk bersama dua orang pengawalnya yang besar dan menakutkan. Di balik penampilannya yang kasar, Ariella bisa merasakan bahwa Darius adalah pria yang cerdas, meski ia tidak pernah menunjukkan sisi itu secara terbuka.
Darius duduk tanpa bicara, menatap Ariella dengan tatapan tajam. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Ariella tersenyum dingin. "Aku ingin menawarkan sebuah kesempatan. Sebuah aliansi."
Darius mengangkat alis, tidak terkesan. "Aliansi? Apa yang membuatmu berpikir aku butuh aliansi denganmu?"
"Karena kita berdua memiliki musuh yang sama," jawab Ariella dengan suara tenang. "Kita berdua ingin menguasai kota ini. Dan untuk itu, kita perlu bekerja sama."
Darius menatapnya lebih lama, mencoba menilai apakah Ariella benar-benar serius. "Dan apa yang bisa kau tawarkan? Kekuatanmu seberapa besar?"
Ariella tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia memandang Darius dengan mata yang penuh perhitungan. "Kekuatan datang dengan perencanaan. Dan kami punya banyak cara untuk membuat musuh kita mundur sebelum mereka menyadari apa yang sedang terjadi."
Suasana di ruangan itu semakin tegang. Darius tampak berpikir keras, namun Ariella tahu bahwa dia sudah menang setengahnya. Di dunia ini, kekuatan bukan hanya tentang seberapa besar pasukan yang kamu miliki, tetapi juga seberapa mampu kamu memanipulasi situasi.
Ariella memberikan senyum tipis. "Bergabunglah dengan kami, Darius. Bersama-sama, kita bisa menghancurkan mereka yang berani menentang kita. Kalian tidak hanya akan menjadi bagian dari kerajaan yang baru—kalian akan menjadi pemimpin bersama kami."
Darius menatapnya dengan tatapan penuh perhitungan. Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, ia mengangguk. "Baiklah. Tapi ingat, Ariella, aku tidak bekerja untuk siapa pun. Jika kau mengkhianatiku, aku akan menghancurkanmu."
Ariella tersenyum lebih lebar, namun ada ketegangan yang jelas di dalam tatapannya. "Aku tidak pernah mengkhianati orang yang bekerja untukku, Darius. Selama kau berkomitmen, kita akan menjadi lebih kuat dari yang kalian bayangkan."
Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang terlihat sederhana, tetapi Ariella tahu bahwa aliansi ini akan membawa mereka lebih dekat kepada tujuan mereka. Musuh-musuh mereka mungkin masih tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun dalam permainan ini, siapa yang paling cerdik akan keluar sebagai pemenang.
Di luar sana, permainan besar sedang dimulai—dan Ariella sudah siap menghadapi setiap tantangan yang datang.
---
Ariella berjalan menyusuri lorong gelap yang menghubungkan ruangan rapat utama dengan ruang pribadi yang telah lama tidak digunakan. Lampu-lampu temaram yang menggantung di langit-langit menciptakan bayangan panjang di dinding batu yang dingin. Setiap langkahnya menggema dalam keheningan, seolah dunia di luar ruangan ini sedang tertidur, tidak tahu bahwa di dalam, takdir sedang dipertaruhkan.
Semalam, ia telah berhasil memperoleh aliansi dari Red Claw—sebuah langkah strategis yang akan mengubah dinamika kekuasaan di kota ini. Namun, perasaan tenang itu cepat berlalu saat pagi tiba. Kemenangan semalam hanya memperburuk rasa cemas yang sudah menggelayuti dirinya. Di dunia ini, tidak ada yang mudah, dan bahkan yang tampak seperti kemenangan bisa berbalik menjadi bumerang yang mengancam.
Rael menunggu di pintu masuk ruangan, wajahnya yang biasa tegas kini lebih serius dari biasanya. "Ada masalah," katanya begitu melihat Ariella mendekat.
Ariella berhenti, menatapnya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi?"
Rael menghela napas, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya yang khawatir. "Darius—dia bukan sekadar bersekutu dengan kita. Sumber kami melaporkan bahwa dia sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar. Dia mungkin mencoba mengendalikan Red Claw sepenuhnya, menggunakan aliansi ini sebagai jembatan untuk merebut kendali dari dalam."
Ariella terdiam, pikirannya langsung bekerja cepat, memproses informasi itu. "Apa maksudmu? Dia berniat mengkhianati kita?"
"Belum jelas," jawab Rael, "tapi dia sangat berhati-hati. Kami tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu. Darius selalu punya agenda tersembunyi."
Ariella memandangnya dalam-dalam, mencoba menilai situasi ini. "Jika dia mencoba untuk berkhianat, kita tidak bisa biarkan itu terjadi. Kita harus bergerak lebih cepat darinya."
Rael mengangguk. "Aku sudah mengirim beberapa orang untuk mengawasi pergerakannya. Namun, kita harus lebih hati-hati. Jika kita terlalu terburu-buru, kita bisa terjebak dalam permainannya."
Ariella berjalan menuju meja besar, di mana peta dan dokumen yang menguraikan posisi-posisi strategis berbagai organisasi tersebar. Tangannya terulur mengambil salah satu peta, menatap dengan penuh konsentrasi. Darius mungkin berpikir dia bisa menipu mereka, tapi Ariella sudah terbiasa dengan permainan seperti ini. Dan kali ini, dia tidak akan menjadi orang yang terjebak.
"Rael," kata Ariella, suaranya rendah dan penuh perhitungan, "aku ingin kau lakukan ini dengan cara yang berbeda. Kita tidak akan bertindak terang-terangan. Kita akan bermain dengan bayangan."
Rael tampak bingung. "Maksudmu?"
"Aku akan bertemu langsung dengannya," jawab Ariella, matanya menyipit penuh perencanaan. "Kita perlu tahu apa yang ada di pikirannya. Mungkin kita bisa memanfaatkannya untuk keuntungan kita. Tapi kita harus membuatnya merasa aman, tanpa curiga."
"Berarti kau ingin menemui Darius tanpa membiarkan dia tahu kita mengetahui niatnya?" tanya Rael, masih mencoba mencerna ide tersebut.
Ariella mengangguk pelan. "Aku ingin dia berpikir bahwa dia masih memegang kendali, sementara sebenarnya, kita sedang memutar roda di belakang layar."
Rael tidak berkata apa-apa lagi, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa dia mulai menyetujui ide tersebut. "Baik, aku akan mengaturnya."
---
Pagi itu, setelah beberapa jam perencanaan, Ariella dan Rael bertemu dengan Darius di sebuah tempat yang sangat berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya. Kali ini, bukan di ruang makan mewah, melainkan di sebuah gudang tua yang terletak jauh di pinggiran kota—sebuah tempat yang lebih tersembunyi, lebih cocok untuk pertemuan yang penuh intrik.
Ariella mengenakan pakaian hitam yang sederhana, namun tetap anggun. Setiap gerakannya penuh dengan kehati-hatian, seolah tidak ada yang boleh tahu apa yang sedang dipikirkan di dalam kepalanya. Darius, yang sudah menunggu di sudut ruangan, segera menatapnya dengan tatapan tajam. Ada ketegangan di udara, sesuatu yang tak terucapkan namun bisa dirasakan oleh siapa pun yang hadir.
"Selamat datang, Ariella," kata Darius, suaranya datar namun penuh perhitungan. "Aku ingin tahu apa yang membuatmu ingin menemui aku di sini. Tempat yang agak... berbeda dari yang biasa."
Ariella tersenyum tipis, tidak terburu-buru menjawab. "Aku tahu, Darius, bahwa kita berdua memainkan permainan ini. Dan aku rasa sudah saatnya kita mengungkapkan niat kita yang sebenarnya."
Darius mengangkat alis, tetapi tetap duduk tanpa banyak bergerak. "Lanjutkan," ujarnya.
Ariella melangkah lebih dekat, berdiri di hadapannya dengan jarak yang cukup untuk menjaga suasana tetap tegang. "Aku tahu kau tidak menginginkan aliansi yang sederhana, Darius. Dan aku tahu kau pasti sudah merencanakan sesuatu yang lebih besar dengan kekuatan ini. Jadi, sebelum kita pergi lebih jauh, aku ingin tahu apa yang kau inginkan sebenarnya."
Darius memandangnya dalam diam, matanya tajam. "Aku ingin menguasai Red Claw sepenuhnya. Dan aku tahu bahwa untuk itu, aku perlu dukungan dari orang-orang yang benar-benar berpengaruh, seperti kau."
Ariella menyeringai dalam hati. "Jadi, ini tentang kekuasaan. Tidak ada yang mengejutkan."
Darius tertawa pendek, lalu menatap Ariella dengan tatapan yang lebih tajam. "Dan aku yakin, kau juga menginginkannya. Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang aku bicarakan."
Senyum Ariella semakin mengembang. "Jangan khawatir, Darius. Aku tidak berniat mengkhianatimu. Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu mengkhianati aku."
Ketegangan di udara semakin tebal. Darius duduk diam, memerhatikan setiap gerak-gerik Ariella. "Lalu, apa yang kau inginkan, jika kita bersekutu?"
Ariella tidak langsung menjawab. Matanya berpindah ke sekitar ruangan, memandang dengan cermat, seolah setiap sudutnya memiliki informasi yang tersembunyi. "Aku ingin lebih dari sekadar aliansi. Aku ingin kita menguasai kota ini—secara bersamaan. Aku tidak percaya pada sistem kepemimpinan satu orang. Ini harus menjadi kemitraan."
Darius tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia tengah merenungkan tawaran Ariella. Dia tahu bahwa bersekutu dengan Ariella bisa membuka pintu yang lebih besar, namun dia juga sadar bahwa keputusannya untuk menerima atau menolak bisa menjadi keputusan yang menentukan hidupnya.
Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Darius akhirnya berbicara, "Baik. Kemitraan. Tapi ingat, Ariella, aku tidak akan tunduk pada siapa pun, bahkan padamu."
Ariella mengangguk. "Aku tidak menginginkan tunduk. Aku hanya ingin kita bekerja bersama. Ini adalah kemenangan untuk kita berdua."
Namun, di balik kata-kata itu, ada perasaan lain yang semakin menguat di hati Ariella—rasa waspada. Dia tahu bahwa meskipun Darius menerima kemitraan ini, ada kemungkinan besar dia masih memiliki rencana lain di balik pertemuan ini. Setiap kata yang diucapkan Darius adalah bagian dari sebuah permainan yang sangat besar, dan Ariella harus siap dengan segala kemungkinan.
Ketegangan itu tidak hanya berasal dari kata-kata yang diucapkan, tetapi juga dari apa yang tidak diucapkan. Darius mungkin tidak sepenuhnya mempercayainya, dan itu adalah hal yang harus dia hadapi. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada ruang untuk keraguan. Ini adalah permainan kekuasaan, dan di dunia ini, hanya ada satu yang bisa keluar sebagai pemenang.
---
Malam itu, Ariella kembali ke markas dengan banyak pertanyaan yang mengganjal. Darius mungkin telah setuju, tetapi ia tahu bahwa mereka tidak bisa begitu saja menuruti kata-katanya. Di dunia ini, setiap kata memiliki makna tersembunyi. Dan mungkin, dalam beberapa hari ke depan, kebenaran dari semua intrik ini akan mulai terungkap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!