"Aku lapar." gadis itu mengerjapkan matanya meratapi hidupnya yang harus penuh perjuangan. Sebulan yang lalu setiap pagi sudah ada susu dan roti di samping tempat tidurnya. Waktu mengubah segalanya ataukah
takdir yang telah mengubah keadaan.
Dia memandang jam yang ada di Handphonenya. Matanya menelisik sudut kamarnya saat ini. Kamar kos berukuran 3X3meter. Spons berukuran 120X200m yang cukup untuk dirinya dan lemari kecil tempat menyimpan baju. Dulu kamarnya berukuran 5X5m. Sangat luas dan nyaman dengan gaya Girlie Chic. Ruangan pribadi yang menampilkan kesan dirinya. Satu ruangan khusus tempat menyimpan baju dan perlengkapan fashionnya.
"Sudah satu bulan, tidak mungkin aku meratapi hidupku terus. Sebentar lagi Lia, Saat lulus kuliah nanti segalanya akan berakhir. Kau akan tinggal di rumahmu sendiri."
Lia mengambil mie instan dan membukanya. Menuangkan air mineral ke dalam plastik dan mengikatnya dengan karet gelang.
"Aku harus berhemat. Semangat Lia."
Lia mandi dan dan memakai bajunya. Dia membuka mie instan yang sudah mengembang, membuang airnya dan memasukkan bumbu. Dia mengucap doa dan mulai memakai mienya.
"Bagi sebagian orang mungkin kamu tidak sehat tapi disaat kepepet tidak ada makanan kamu jadi satu-satunya pilihan."
Lia merapikan tas dan bukunya. Dia bersiap berangkat ke kampus. Hari ini ada jadwal kuliah pagi. Dia harus segera berangkat agar tidak terlambat. Jalan kaki adalah satu-satunya pilihannya saat ini. Lia harus sangat berhemat karena uangnya sangat terbatas.
Lia bersiap menggunakan maskernya selain untuk menghindari debu masker itu juga bisa menutupi wajahnya. Dia masih merasa malu saat berpapasan dengan orang yang dia kenal. Mereka memandang Lia dengan perasaan yang berbeda-beda. Itu membuat dia menjadi tidak nyaman. Dia hanya ingin di lihat sebagai Lia yang sekarang. Tidak peduli seperti apa kehidupannya yang telah lalu. Dia ingin orang melihatnya tanpa rasa kasihan ataupun iba. Kemiskinan bisa menyapa semua orang.
Lia berjalan dan melewati rumahnya yang dulu. Bangunan dua lantai dengan pagar yang menjulang tinggi. Di lantai dua, Lia bisa melihat kondisi jalanan di depan rumahnya. Dia selalu memonitor semua orang. Timbul rasa rindu bisa kembali lagi ke rumah itu. Rumah ini terlihat sederhana dari luar tapi mewah di dalam. Ada taman yang indah dan kolam renang yang cukup luas. Dia selalu berhenti sebentar dan memandangi rumahnya. Rumah yang dibangun ayahnya. Rumah itu penuh kenangan masa kecilnya dan kebahagiaan bersama keluarganya.
"Sudah terjual ternyata. Siapa pemiliknya. Apa dia akan merawat rumahku dengan baik. Ralat, Rumahku yang dulu. Tolong jaga baik-baik rumahku ya! Rumah jaga dirimu! Aku sudah tidak bisa merawatmu." butir bening menetes di sudut matanya.
Dia harus berjalan selama tiga puluh menit untuk sampai di kampusnya.
"Baru datang." seorang gadis menyapa Lia dengan tatapan sinis.
"Iya Amel. Kau sudah datang." jawab Lia tenang sambil duduk di kursi dan bersiap menunggu dosen.
Hari ini adalah UAS hari terakhir. Semester depan mereka harus mencari tempat magang dan menyusun Skripsi.
"Heh, Bagaimana rasanya jadi OKB?" tanya Amel yang duduk di samping Lia.
"OKB?"
"Orang Kere Baru." jawab Amel sambil cekikikan.
Lia hanya diam karena saat itu dosen sudah masuk dan memberi pengarahan untuk berdoa sebelum tes di mulai.
Mereka harus melewati beberapan ujian mata kuliah. Lelah dan penat nampak terlihat di wajah mereka. Setelah ujian usai para mahasiswa itu beranjak dari tempat duduknya. Sebagian dari mereka ke kantin dan sebagian lagi menuju motor atau mobil mereka.
"Kamu belum jawab pertanyaanku Lia. Gimana rasanya jadi OKB? hi..hi..."
"Kau ingin mencoba merasakannya Amel?": Amel terdiam dari tawanya dan memandang Lia dengan tatapan mengunci.
" Kamu ngelunjak ya. Dasar! Aku tanya baik-baik. Kau menyumpahiku."
"Maaf. Aku tidak bermaksud begitu."
"Heh... Baguslah kalau kau sadar diri dengan statusmu. Aku mau makan di restoran tempat kita sering makan. Kau mau ikut?"
"Tidak Amel. Terima kasih. Aku ada urusan."
"Urusan Apa? Eh... Lia apa benar kau sudah putus dengan Robert?"
"Iya. seminggu yang lalu."
"Robert.... Em... Dia menembakku."
Deg
Jantung Lia serasa memompa sangat cepat. Perasaan tidak percaya pada perkataan Amel membuat Lia harus sadar bahwa Amel menyukai Robert sejak lama. Jauh sebelum Lia jadian dengan Robert 2 tahun yang lalu. Robert dan Amel sudah mengenal sejak SMA.
Lia mengenal Robert juga dari Amel saat pesta Ulang Tahun Amel.
"Bolehkah?" tanya Amel.
"Apa Amel?"
"Aku dengan Robert. Aku tidak ingin kau salah paham dan mengartikan hal yang berbeda. Walaupun hubungan kita agak memburuk akhir-akhir ini."
"Robert tidak terikat dengan siapapun. Dia bebas kau juga bebas memilih pasanganmu. Aku tidak apa-apa. Kami mengakhirinya dengan baik-baik."
"Trima kasih, Lia. Aku akan memberikan jawabanku pada Robert. Dia sudah menungguku." Amel berlalu meninggalkan Lia di kelas sambil tersenyum bahagia.
"Kau baik-baik saja Lia?" sapaan itu menyadarkan lamunan Lia. Lia mengganguk samar.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi pagi."
"Mie instant lagi? Sarapan harus bergizi. Kau bisa sakit kalau jarang makan-makanan bergizi."
"Aku tidak tiap hari makan mie instant. Hanya saat kondisi kepepet."
"Padahal kepepetmu setiap hari." ucap gadis itu sambil tersenyum.
"Em... Ratih... dulu." tanya Lia terbata-bata.
"Ada apa Amel? Katakan!"
"Apa aku dulu jahat dan suka menyakiti perasaan orang."
"Ya... Aku harus jawab apa? Itu separuh benar dan separuh salah."
"Maksudmu. Ada sebagian dirimu yang menyebalkan saat kau dulu pernah mengejekku karena sepatuku sobek tapi di hari lain kau membelikanku sepatu baru. Kau bilang tidak enak hati sudah menghinaku."
"Kapan aku membelikanmu?"
"Sepatu yang untuk Amel tapi ternyata tidak muat di kaki Amel."
"Oh... Itu. Maaf ya Ratih! Aku pernah menyakitimu."
"Sudahlah. Kau sudah pernah membantuku membayar uang kuliah saat aku benar-benar tidak punya uang. Kau juga membantu ayahku mendapat pekerjaan di kantor ayahmu dulu."
"Apa aku sebaik itu. Kau berlebihan. Aku mau pulang! Bisa terbang kalau kau memujiku terus." desak Lia.
"Lia, Kakakku kemarin dapat hadiah alat penanak nasi. Aku punya alat penanak nasi yang tidak terpakai di rumah. Kau bisa memakainya. Makanlah nasi dan makanan yang bergizi." nasehat Ratih.
"Trima kasih Ratih! Kau Sangat baik."
"Nanti waktu Mengajar les aku antar sekalian. Kau mau aku antar pulang?"
" Baiklah! Nanti lewat depan rumah lamaku ya?"
"Oke."
Lia bekerja sampingan sebagai pengajar les sejak dua minggu terakhir. Ratih yang menawarkan pekerjaan ini. Mereka kadang mengajar di kelas atau kadang privat. Lia sangat suka mengajar privat karena pemilik rumah biasanya menyiapkan makanan dan minuman untuknya. Apalagi kalau pemilik rumah tahu dia anak kos pasti akan diberi makanan untuk dibawa pulang. Rejeki memang tidak kemana.
"Aw... Ratih kau tidak apa-apa?" Ratih tampak oleng karena ada mobil sedan yang berjalan agak kencang hampir menyenggolnya. Beruntung mereka tidak terjatuh.
Mobil itu berhenti dan pemilik mobil keluar dari mobil. Pria tampan dengan kemeja lengan panjang yang digulung. Nampak wajah kelelahan tapi tidak menyurutkan ketampanannya. Dia tampak dewasa dan menarik. Bibir Lia tampak tertarik ke atas.
"Hei, Nona jalan yang bener. Jangan ngobrol kalau cuma naik motor."
Seketika senyum Lia memudar menyadari perkataan menghina darinya. Pria itupun berbalik dan memasuki mobil. Mobil melaju dan memasuki sebuah rumah. Lia sangat mengenal rumah itu. Ya... itu rumah Lia yang dulu. Jadi pria galak itu pemilik rumah itu.
"Lia... Lia... jangan bengong!" ucap Ratih sambil mengoyangkan motornya.
"Dia... Dia." jawab Lia terbata-bata.
"Dia ganteng tapi songong." celoteh Ratih.
"Dia yang beli rumahku Tih. Gimana nasib rumahku? Rumah itu dulu Homy sekarang bakalan berubah jadi oven kepanasan."
"Kamu musti slametin Rumahmu Lia." pinta Ratih.
"Caranya?"
"Kalau kamu gak bisa beli balik rumahmu. Ya kamu harus pilih skenario kedua."
"Apa itu?"
"Jadi istrinya"
"Sembarangan. Kamu mau ngumpanin aku ke buaya. Gimana kalau dia sudah punya istri."
"Kamu mau tebakan sama aku?" tanya Ratih. Mereka berdua pulang dengan perasaan ceria walau ada insiden kecil.
Seperti janji Ratih, sore ini dia membawa alat penanak nasi. Lia tersenyum melihat sahabatnya yang kerepotan karena barang yang dia bawa memenuhi motor maticnya.
"Dah laku berapa biji, Bu?" canda Lia mengusili sahabatnya.
"Buruan bantuin!" pinta Ratih.
Lia pun membantu membawakan beberapa barang milik Ratih. Mereka berdua membawa barang-barang itu ke kamar Lia.
"Bawa apa aja sih kok banyak banget?"
Ratih membuka satu persatu barang bawaannya. Lia terperangah karena seain alat penanak nasi Ratih juga membawakan telur, agar-agar, gula dan beberapa camilan.
"Aku kos Ratih bukan mau kemah. Aku sudah ada beberapa makanan di sini. Telur sama agar ini mau aku apain. Aku gak punya kompor." protes Lia.
"Di sini gak ada kompor?" tanya Ratih sambil mengeluarkan barang-barang dari kantung plastik.
"Ada sih tapi biasanya makainya ngantri. Aku kadang males harus antri apalagi pas dipakai
gasnya abis. Jadi harus keluar buget lebih kan buat beli gas. Ya walaupun ada kotak infaq."
"Kotak infaq?"
"Jadi tiap ada yang makai kompor biasa ngisi kotak buat beli gas baru. Tapi kadang uangnya gak cukup buat beli yang baru."
"Treng...treng...treng... kenalkan alat serba guna ini." Ratih mengangkat dan memperlihatkan alat penanak nasi itu dari dalam kardus.
"Alat serba guna?" heran Lia.
"Selain buat masak nasi kamu bisa ngrebus sayur, buat agar-agar, masak mie rebus, buat kue, dan bikin nasi liwet."
"Secanggih itu? Telurnya ini gimana? aku rebus juga?"
"Bisa dicampurin di nasi trus di kasih margarin. Ya sekreatif kamu lah buatnya. Namanya kan anak kos."
"Ini bisa dipakai buat ngrebus pasta juga ya? Kalau bikin kue gimana dong caranya? mixer aja gak punya."
Lia melihat-lihat alat itu. Specifikasi alat itu sama seperti punya Lia dulu. Yang Lia tahu alat itu di pakai untuk menanak nasi. Kalau merebus mie dan sayur ada panci. Oven yang dipakai untuk memanggang kue. Apa penanak nasi bisa untuk memanggang kue? Apa kuenya di kukus?
"Yang kue kita skip aja. Ribet soalnya, kita harus berkali-kali cook. Ini semua juga kita skip. Dah siap berangkat kan?
" Makasih ya Tih!" Lia berkaca-kaca mengucapkannya. Ratih sahabatnya saat ini. Dia ingat dulu dia sering meremehkan Ratih karena Ratih bukan anak keluarga berada. Siapa sangka nasib berkata lain saat ini. Ratih saat ini malah lebih kaya dari dirinya.
"Sama-sama! Selamat bereksperimen!"
****
"Tih, Aku mau cari kerja sampingan lagi. Abis ini kita kan gak kuliah karena libur. Enaknya kerja apa ya?"
"Kamu dah dapat tempat magang?"
"Belum sih. Belum mikir magang. Cari uang dulu buat modal magang. Kalau cuma ngajar les aja uangku gak bakalan banyak dong. Gimana nanti pas magang? Aku gak punya baju yang cocok buat magang.
"Disyukuri dulu Ya. Jangan serakah! Serakah ngabisin energi banyak. Ngelesi aja kamu dah kewalahan. Masih mau tambah kerjaan lain? Bukannya stok bajumu banyak?"
"Baju casual semua gak ada yang baju kerja. Abis ini ngelesi kan libur. Muridnya aja libur sekolah."
"Iya juga sih. Biasanya sih tetep ada yang mau les walaupun dikit."
"Aku mau ganti suasana."
"Kita ngemall aja abis ngajar? Dah lama kan gak ke mall? Kita cari kerja di sana."
"Gak ada duit Tih."
"Jalan-jalan aja Window shopping. Katanya mau ganti suasana. Gak usah belanja. Ngirit. Ini aja belum gajian."
"Oke."
****
Lia berjalan-jalan sambil melirik beberapa toko. Coba dulu waktu dia punya uang pasti dia akan mengabsen tiap toko.Sekarang, jangankan beli baju baru bisa makan saja sudah Alhamdullilah.
"Loker Tih!" ajak Lia sambil menarik tangan Ratih.
"Kamu mau kerja di restoran masakan melayu?" Ratih memastikan keinginan Lia.
"Kayaknya baru Tih. Aku diterima gak ya? Ayo ikut!"
Lia mendekati seorang wanita yang sedang membersihkan meja.
"Permisi Kak! Masih ada loker gak kak?"
"Kayaknya masih. Kamu tanya sama bosnya aja!." ucap wanita itu sambil menunjuk seorang laki-laki.
Lia masuk ke dalam diikuti Ratih. Mereka mendekati laki-laki yang sedang tertunduk sambil menulis. Wanita di depan tadi menunjuk laki-laki ini. Dia pasti bosnya. Harum parfumnya benar-benar menghanyutkan. Belum jelas wajahnya karena masih tertunduk.
Lia menyakini laki-laki ini pasti tampan. Ada perasaan takut dan malu harus bertanya tentang pekerjaan. Jujur Lia harus beradaptasi menjadi gadis yang gak neko-neko dan gak banyak tingkah sejak kebangkrutan keluarganya.
Sekarang dia harus benar-benar berusaha dengan kakinya sendiri tanpa koneksi dari ayah atau keluarga besarnya. Lupakan mungkin itu kata yang pas. Melupakan dia masih mempunyai beberapa keluarga yang masih tinggal di kota yang sama. Mereka bahkan pura-pura tidak kenal saat bertemu Lia. Itu lebih baik dari pada menghina Lia di depan umum karena memang ada yang menghina Lia.
Lia mendesah pelan sebelum berbicara pada laki-laki yang sedang duduk dan sibuk mengecek beberapa nota.
"Permisi pak!"
Laki-laki itu menoleh dan menampakkan senyuman manisnya. Benar-benar manis, gula saja mungkin kalah manis. Dia tidak cocok disebut pak. Lia mungkin lebih suka memanggilnya Kak, Mas, Aa atau Bang. Ratih menarik-narik tangan Lia karena Lia tidak segera bersuara. Lia segera tersadar dari khayalannya.
Laki-laki itu menyuruh mereka duduk. Lia duduk berhadapan dengan laki-laki itu diikuti Ratih di sebelah Lia.
"Ada yang bisa saya bantu?" Suara bariton yang lembut itu seperti hembusan angin yang menyejukkan.
Ratih menarik tangan Lia agar menoleh padanya. Mereka saling menatap dengan maksud yang sulit dipahami. Ratih sepertinya sangat malu dan ingin mengajak Lia pulang. Lia tetap bergeming dan memasang wajah tenangnya.
Lia dulu diajarkan ayahnya untuk menjadi pribadi yang berani. Darah Ayahnya yang berani berspekulasi dan mengambil resiko tetap mengalir dalam dirinya. Lia pribadi yang suka mencoba hal yang baru dan pantang menyerah.
"Pak!" ucap Lia pelan.
"Pak? Apa aku setua itu?" kata si laki-laki.
"Maaf. Kami ingin mencari kerja."
"Kerja? Kalian lulusan apa?"
"Kami masih kuliah. Jika bapak berkenan kami mau kerja part time." tawar Lia.
"Aku salut dengan keberanianmu. Kuliah jurusan apa?"
"Akuntansi." jawab Lia.
"Kalian berdua tertarik?"
"Iya." jawab Lia mantap.
"Aku bertanya kalian berdua dan hanya kau yang menjawab."
"Iya. Saya tertarik" jawab Ratih pelan.
"Oke. Ini restoran baru. Kebetulan kalian mau bekerja. Aku sedang butuh orang. Untuk sementara kerja kalian masih serabutan. Bagaimana?"
"Maksudnya serabutan?" tanya Ratih.
"Kalian harus belajar menjadi kasir, waiter dan barista."
"Barista?" guman Lia pelan.
Lelaki itu paham kebingungan dua orang gadis di depannya.
"Barista orang yang membuat minuman. Es teh, teh tarik dan jus. Bagaimana?"
"Gimana Tih? Aku gak masalah kerjanya. Kita tanya jam kerjanya ya?" tanya Lia sambil berbisik.
"Aku ikut aja kita kan masih libur." jawab Ratih
"Kami ingin tahu jam kerjanya, Pak?
" Delapan jam dengan dua shif. Pagi dan siang, Pagi jam 10-6 sore dan siang jam 2 sampai jam 10 malam "
"Upah kerjanya?" Lia bertanya dengan antusias.
"Kalau part time dibayar harian. Bisa diambil harian, mingguan atau bulanan. Bagaimana?
" Saya mau pak." kata Ratih.
"Kalau yang satunya?"
"Saya juga siap pak. Bisa gak pak kalau shifnya barengan soalnya untuk waktu dekat ini saya gak punya kendaraan." pinta Lia.
"Tentu. Untuk sementara tapi ya. Besuk kalian bisa bekerja. Karena kalian part time kalian pakai atasan putih dan celana hitam ya!"
"Jam berapa, Pak?"
"Restoran ini belum launcing. Kita akan launcing lusa, hari Minggu. Sabtu besuk datang jam sembilan pakai kaos saja dulu. Kita akan beres-beres tempat ini. Selamat bergabung. Besuk bawa Lamaran yang lengkap saat datang."
Senyum mengembang terkias dari sudut bibir mereka saat keluar dari restoran melayu tersebut.
"Tih. Lihat itu!" tunjuk Lia.
"Apa sih Ya?"
"Babang Galak. Fierce kayak anjing Rottweiler."
"Kualat kamu. Naksir nanti!" respon Ratih.
"Coba babang galak lebih lembut kayak bos kita tadi. Aduh...!" sambil menepuk dahinya.
"Kenapa Ya?"
"Kok kita gak tanya nama bos kita tadi?"
"Besuk tanya. Saking gantengnya aku juga terhipnotis. Tanganku aja masih dingin. Sumpah Ya, kamu berani banget tadi. Aku masih tremor kayak habis kena gempa bumi." Ratih meniup kedua tangan yang disatukan.
"Aku gak nyuri atau nglakuin kriminalitas. Memang harus takut kalau cuma tanya-tanya."
"Babang galakmu mendekat Ya. Kita samperin yuk." ajak Ratih.
"Aku yang gemeter Tih kalau sama babang galak. Ini si Ratih lebay Bombay banget."
"Jangan macem-macem Tih!"
"Semacem aja Ya."
Ratih berjalan dan membuka botol airnya.
"Hei, Nona jalan yang bener. Lihat bajuku basah." Ratih berlagak tidak sengaja menumpahkan air mineral di lengan Babng galak.
"Maaf tuan teman saya gak sengaja menyenggol saya. Maaf sekali ya!"
"Kalian gila semua." jawab si laki-laki sambil berusaha membersihkan tumpahan air di lengan bajunya.
"Tih, Dia marah. Kamu keterlaluan. Kasihan CSnya harus bersihin lantai.
"Biarin. Dasar cowok songong. Suka ya? Perhatian banget." ledek Ratih.
Lia mengerucutkan bibirnya karena tuduhan Lia.
"Gak usah cemberut. Nanti kita coba alat serba guna kita di kos. Biar babang galak
berasa jadi makhluk teraniaya."
"Selamat pagi semua." sapaan bos Lia yang sangat hangat dan lembut.
Bos memulai brieffing dengan cermat. Dia memberikan instruksi yang mendetail tentang apa yang harus dilakukan hari ini.
Setting tempat dimulai. letak meja dan kursi makan di tata dengan apik. Penataan barang-barang di pantri di sesuaikan dengan penggunaannya. Lia dan Ratih diajari cara memakai mesin kasir dan cara membuat es teh atau jus.
"Ini yang paling basic dulu. ini yang gampang nanti kalau teh tarik agak susah. Kalian harus belajar narik soalnya." Lia dan Ratih mempelajari dengan seksama instruksi mas Alex. Ternyata semua ada takarannya dan harus pas. Gulanya dipisah jadi bisa ditakar sama customer sendiri tingkat kemanisannya.
Pukul 12 saat jam makan Siang, Si bos yaitu Pak Yudha memberi arahan. Lia lebih suka menyebut Mas Yudha. Dia ganteng dan masih muda. Si bos mengatakan nanti malam akan mulai soft Opening.
"Lia dan Ratih sudah bawa lamarannya?" Lia dan Ratih mengangguk dan mengikuti pak Yudha duduk.
" Ya... bagus kalian ternyata mahasiswa yang pintar. Nomor kalian nanti akan di masukkan ke grup karena kalian part time jadi jadwal tetapnya sabtu dan minggu dan shif siang."
Untuk jadwal lain nanti akan dihubungi mas Ferry. Misalnya ada karyawan yang berhalangan datang Lia dan Ratih bisa menggantikannya. Dia Captain. Dia yang akan mengatur tempat duduk customer dan yang mengatur jadwal kerja karyawan tiap bulan.
"Jangan lupa absen. Kalau tidak absen nanti kalian tidak dibayar." Mereka pun tertawa bersama. Kerja kan untuk cari uang.
Pembagian voucer diskon sudah selsai dilakukan. Lia dan Ratih kembali ke restoran dan bersiap untuk bekerja. Kali ini mereka akan menjadi waitress.
Lia dan Ratih terpana melihat teman-teman bos Yudha mereka semua ganteng dan cantik. Sayang Lia tidak kenal mereka semua. Teman-teman Lia terbatas hanya teman sekolah dan kuliah. Itu juga tidak banyak karena sebagian kegiatannya untuk les dan di rumah. Dia mulai kenal banyak orang saat berteman dengan Amel.
Amel sering mengajaknya ke mall dan nongkrong di cafe. Mereka juga sering pergi ke pesta bersama. Kini, Strata sosial mereka berbeda. Amel juga bukan teman yang sama lagi.
Lia menatap nanar pada beberapa pasangan yang romantis.
"Kerja, bu. Bukan melamun."
"Kepikiran"
"Robert?"
Lia mengangguk dan mendonngakkan kepalanya ke atas agar air matanya tidak jatuh.
"Sakit?" tanya Ratihbsambil mengusap punggung Lia.
"Perih Tih."
"Kenapa gak balikkan aja."
"Gak bisa Tih. Kalaupun Robert mau. Orang tuanya gak akan mau. Aku harus sadar status ekonomiku sekarang." alasan Lia.
"Cinta gak pandang status."
"Hubungan perlu arah. Kalau kita gak bisa ngasih benefit jangan harap hubungan itu bakal berlanjut. Orang kaya gak mudah merelakan anaknya menjalin hubungan dengan siapa saja. Mereka akan memastikan masa depan anaknya AMAN." ucap Lia.
"Tapi kamu kan cinta sama Robert?"
"Tapi robert nglepas aku."
Ratih terdiam dengan ucapan Lia.
Mereka kembali bekerja mengantar pesanan yang sudah siap.
"Selamat malam, Kak! Ini menunya!"
Sapaan Khas yang diucapkan Lia menyapa customer yang datang dengan senyum manisnya dia menjelaskan komposisi menu yang ditanya customer.
Cukup lelah hari ini. Apalagi besuk hari minggu. Besuk juga bertepatan di Mall diadakan lomba menyanyi dan brick dance Pasti ramai.
"Lia, meja no sebelas. Ati-ati!"
Lia bergidik atas ucapan mbak Lula. Kenapa harus ati-ati? Cuma antar pesanan aja kok responnya kayak mau ketemu hantu.
" Ini kak pesanannya. Teh tarik hangat satu, Chicken rice, Beef black pepper dan tumis kangkung. Selamat makan!" ucap Lia penuh keramahan. Lia tidak melihat wajah customernya. Lia masih was-was kalau ada orang yang mengenalnya. Dia akan malu.
"Tunggu!" ucap si cistomer.
Lia membalikkan badan dan kembali pada customernya.
"Ada apa, Kak?"
"Aku mau mencoba semua makanan ini. Kalau enak aku makan kalau tidak kamu habiskan."
Lia menelan salivanya karena perkataan customernya barusan. Lebih lagi Lia kenal siapa.orang di hadapannya.
"Duduk!"
"Saya musti kerja kak."
"Jangan membantah atau kusuruh bosmu memecatmu."
Lia tersentak karena ucapan customernya. Itu yang dimaksud ati-ati tadi. Tahu githu Lia pasti menolaknya.
Lia mengedarkan pandangan untuk mencari bosnya. Dia memiringkan kepala untuk memberi kode pada bosnya. Bosnya hanya tersenyum dan menganggukkan kepala.
Lia menuruti permintaan customernya dan duduk di hadapannya.
"Gimana kak?"
"Kau mau membuatku tersedak? Hah...?"
"Padahal aku cuma berusaha ramah. Seperti ujian sidang saja aku. Kenapa ketemu babang galak terus sih setiap hari?"
"Heh... Black peppernya kepedesan."
"Black Pepper kan memang pedas kak."
"Sudah dibilang jangan bantah. Habisin!"
"Ini ngabisin black pepper gak ada temennya? Nasi atau air minum? Aku bisa kepedesen dong. Babang nih gimana sih?"
"Iya, Kak."
Lia memakan black pepper itu dan pipinya mulai memerah karena kepedasan. Dia mengibas-ngibaskan tangannya dan menghembuskan nafas dari mulutnya.
"Pedes kan?"
"Iya kak."
"Kamu dibilangin gak percaya?" ejek si customer.
"Boleh minum kak?" pinta Lia.
Babang galak menjentikkan jari dan datanglah pelayan. Ratih memandangi Lia dengan iba.
"Ini kak pesanannya satu botol air mineral."
"Maaf Ya. Aku gak bisa nolong kamu." batin Ratih.
Lia meminum air mineral itu hingga tandas. Rasa pedas yang dia rasakan sedikit terobati. Dia masih tidak perlakuan babang galak padanya. Apa begini nasib kaum termarginalkan. Seperti ini rakyat jelata yang direndahkan dan tidak dianggap. Lia merasakan pedas sekaligus meneteskan air matanya. Babang galak tidak memperhatikan Lia. Dia mencoba masakn tumis kangkung.
"Tumisnya terlalu asin. Habiskan!" perintah babang galak.
Lia menuruti permintaan babang galak walau setengah hati. Babang galak hanya mengamati Lia sambil tersenyum.
"Adam, apa kabar? Kapan kembali kesini?" sapaan bos Yudha sambil memegang bahu si customer.
Bos Yudha memang pembawa angin segar. Lia bisa bernafas dengan lega walau sebentar. Dia tidak harus memakan tumis kangkung tanpa teman. Seharusnya dia senang bisa makan makanan enak. Sungguh berbeda makan yang dinikmati dan makan dengan paksaan.
"Jadi namanya Adam dan dia teman bos. Dia jahat dan kejam bos. Tolong aku!" batin Lia.
"Habiskan makananmu!" ucap Adam sedikit meninggi saat melihat Lia berhenti mengunyah.
"Dia karyawanku. Jangan berlebihan begitu. Bagaimana kalau dia tidak tahan dan keluar? Aku bisa kekurangan orang."
"Dia tidak pakai seragam. Part time?"
"Dia masih kuliah. Ayo bergabung di sana! Kita reuni bersama teman-teman."
"Aku belum selesai. Nanti aku susul." kata Adam.
Yudha meninggalkan mereka berdua. Tatapan tajam masih dirasakan Lia.
"Tinggal dimana?"
"Kos, kak."
"Dekat rumahku?"
"Em.... Iya?"
"Apa yang kau cari. Kau memata-mataiku."
"Bukan, Tidak.... salah."
"Tidak salah?"
"Tidak, pak."
"Pak?"
"Kak."
"Kak?"
"Mas."
"Mas?"
Lia sudah kehilangan akal untuk mencari nama panggilan yang sesuai. Tangannya gemetar dan kakinya dingin. Dia bahkan terus menunduk karena tidak berani menatap Adam.
"Apa yang kau cari?"
"Em...Saya suka."
"Suka?"
"Rumahnya. Gayanya ."
"O..."
"Iya, Pak."
"Pak?"
"Maaf, Saya harus panggil apa ya?"
Adam tersenyum geli menanggapi pertanyaan Lia.
"Aku tidak ingin melihatmu di sekitar rumahku. Aku juga tidak mau kau menggangguku. Pastikan kita tidak bertemu."
"Tapi itu rute saya mau ke kampus pak. Itu rute terdekat."
"Cari rute lain. Bayar makanan ini."
"Ini tidak di habiskan, Pak?"
"Pak?"
'Saya tidak punya uang
membayar semua makanan ini pak?"
"Pak?"
"Maaf!"
"Ambil ini dan bayar!" Adam meletakkan kartu kreditnya di meja.
"Makanan ini mau dibungkus?"
"Makan!"
"Sekarang?" tanya Lia lemah.
"Bungkus dan makanlah di kos!"
"Terima kasih. Bapak tidak makan?"
"Bapak?"
"Maaf. Saya bayar dulu pak."
Lia beranjak dari tempat duduk dan berjalan menjauh.
"Ini billnya dan ini Kartunya. Terima kasih. Selamat datang kembali."
Adam mengambil kartu dan pergi meninggalkan Lia bergabung bersama bos Yudha.
"Mbak Lula ngerjain aku ya!"
"Aku dah pernah koj di restoran lama. Ini cabang baru sama anak baru kan keren?"
Lia mencibik menanggapi komentar mbak Lula.
"Gimana Lia?"
"Besuk giliranmu, Tih."
Ratih bingung dengan perkataan Lia. Mbak Lula dan Lia hanya tersenyum melihat kebingungan Ratih.
Lia mengarahkan pandangan pada Adam Saat itu Adam juga balas menatap Lia. Dia tersenyum simpul melihat Lia.
Lia menundukkan pandangannya dan membalikkan badan.
"Kamu kenapa Lia?" tanya Ratih penasaran.
"Aku habis lihat setan."
"Di sini ada setan. Kamu bisa lihat kayak githuan?"
Lia mengangguk dan membiarkan Ratih memikirkan apapun. Lia benar-benar ketakutan melihat Adam. Dia juga takut dengan ancaman Adam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!