NovelToon NovelToon

Sweet Marriage

Gadis Korek Api

Deg deg deg

Dengan hati berdebar Ava duduk di depan meja rias pengantin. Kebaya putih dengan desain modern menjuntai hingga ke tumitnya. Riasan halus dari seorang make up artist ternama menghiasi wajah cantik nan putih itu. Sanggul mini dengan anak rambut terurai di samping telinga, memperindah sosok seorang perempuan ciptaan Tuhan yang satu ini.

Gadis cantik bernama Ava Ashalina akan menikah dengan pria berdarah biru untuk menyelamat perusahaan keluarganya, Elang.

***

Beberapa waktu sebelumnya.

Di sebuah kampus ternama milik perusahaan Eagle Group, masih terdapat banyak aktivitas meski malam sudah larut dengan dingin yang menyapa.

Dua orang pemuda yang berusia sebaya, sedang berjalan ke arah parkiran dan sedang menghampiri mobilnya masing-masing. Sebelum keduanya menghampiri kendaraannya, mereka terlibat percakapan yang menunjukkan kedekatan mereka.

“Malam yang cerah, kau tidak ingin menghabiskan waktumu bersama yang lain?”

“Aku terlalu banyak pekerjaan, tidak punya waktu untuk bermain-main seperti dirimu.”

“Kau tetap saja serius seperti ini. Jadilah seperti anak muda sekali-kali! Kukira dengan menjadi dosen kau akan tertular jiwa muda dari mereka.”

“Aku masih punya ikatan kerja dengan keluargaku.”

“Ya, aku mengerti! Pemilik yayasan juga menyarankan agar kau memilih salah satu diantara pekerjaanmu, menjadi dosen sekaligus penerus Eagle Group, bukanlah dua pekerjaan yang bisa dengan mudah dilakukan bersama.”

“Aku lebih mengerti posisiku. Lebih baik kau pulang dan layani wanita sewaanmu sana!”

Pria dengan postur tubuh tegap dan badan yang tinggi ini pergi meninggalkan kawannya yang begitu berisik mengajaknya untuk ke club malam.

Elang, begitulah namanya. Sebuah nama milik kakek buyut dari tiga generasi sebelumnya yang diwariskan padanya, menunjukkan bahwa dirinya memiliki posisi yang sangat penting dalam kerajaan bisnis Eagle Group.

Laki-laki ini begitu tampan, iris coklat kehitaman memberi kesan tatapan yang begitu dalam. Rambut yang selalu mengkilap hingga malam hari ditata dengan gaya pompadour fade, menunjukkan betapa dirinya begitu peduli akan penampilan. Rahang yang tegas, hidung semancung paruh elang, dan bibir cukup tebal dengan filtrum yang begitu lancip di bagian atasnya. Satu kata untuk menggambarkan dirinya, SEMPURNA.

Meski menjadi pewaris utama dari kerajaan bisnis milik keluarganya, Elang baru dipercaya untuk menjalankan secara langsung beberapa bisnisnya saja. Dia tidak menguasai semua kerajaan bisnis itu mengingat seluruh aset dan bisnis dari Eagle Group begitu banyak.

Perusahaan yang saat ini dibawahi Elang adalah perusahaan yang terletak di negeri ginseng, Korea Selatan. Dan tak dapat dielak lagi, jika di masa depan, Elang akan menjadi penerus dari seluruh kerajaan bisnis ini.

Namun kini Elang sedang menjalankan misi yang diberikan oleh sang kakek padanya. Lee Suk Chin, adalah kakek Elang dari garis keturunan ayahnya, yang berdarah Korea asli.

Suk Chin memberi misi pada cucunya, Elang, agar dia mengabdi dan mendidik siswa siswi yang bersekolah di Yayasan Pendidikan dan Kesehatan Elang Jaya milik Eagle Group. Awalnya Elang menolak karena menjadi guru bukanlah bidangnya, apalagi dengan karakternya yang begitu sulit untuk bersikap ramah pada anak-anak.

Akhirnya dengan tawar menawar yang cukup alot, Suk Chin mengabulkan permintaan cucunya. Elang tidak akan dijadikan guru, melainkan seorang dosen. Setidaknya, para mahasiswa sudah terbiasa dengan istilah dosen killer yang saat ini sudah jelas pasti disandang oleh Elang.

Elang kini sedang melakukan perjalanan pulang ke arah apartemennya, dia mengendarai mobil Marcedez Benz putih miliknya. Tangan kekar yang terbalut oleh jas hitam itu begitu serasi ketika berada di atas kemudi mobil mewahnya. Elang tinggal sendiri, di sebuah apartemen di ibu kota. Meski keluarganya juga tinggal di kota yang sama, namun dirinya memilih untuk tinggal mandiri karena dirinya butuh privasi, begitu menurutnya.

“Ah, sepertinya persediaan bahan makanan di kulkas habis.” Elang langsung teringat akan isi kulkasnya begitu mobilnya melewati sebuah supermarket. Ia segera menyeberangkan mobilnya dan memarkirkan mobil itu di basemen Supermarket Raksasa berlantai tiga tersebut.

Tidak ada yang pernah menyangka, pria yang bahkan menggunakan cufflink seharga enam belas juta di pergelangan tangannya, akan berbelanja keperluan dapurnya seorang diri.

Setelah membeli seluruh kebutuhan, Elang kembali ke basement dan menghampiri mobilnya yang terparkir.

Tiit … tiit.

Elang mendapati mobilnya berkedip begitu ia menekan tombol kontaknya dari kejauhan.

Trok trok

Suara dari sepatu Elang terdengar begitu nyaring karena suasana Basement itu begitu sepi. Elang menghampiri mobilnya dan segera memasukkan belanjaannya ke bagasi mobil mewah itu.

“Haah? Pak E-Elang!” Seorang gadis dengan jas almamater yang tak asing terkejut melihat kedatangan Elang. Gadis itu membawa sebuah rokok yang ujungnya menyala lengkap dengan sebuah korek api di tangan kirinya.

Gadis itu membuka tutup mulutnya karena saking gugupnya.

Elang tidak merasa mengenal gadis tersebut. Namun dari jas almamater yang dikenakan, Elang bisa menebak jika gadis itu adalah mahasiswanya.

“Saya bisa jelaskan! Pak Elang, saya mohon jangan berprasangka buruk pada saya!” Gadis itu membuang kedua benda di tangannya dan segera menangkupkan kedua telapaknya di hadapan Elang.

“Kau Mahasiswi di Institut Elang Jaya?” tanya Elang ragu karena dia benar-benar kurang mengenali gadis di hadapannya ini.

Gadis itu mengangguk dengan tangan yang masih menangkup menutupi wajahnya.

“Namamu?”

Gadis itu terdiam dan langsung pergi berlari begitu saja.

***

“Huuuh, Huuuh ….” Seorang gadis menghela napasnya dan keluar dari basement sebuah supermarket.

“Mengapa harus kusapa? Padahal pak Elang sendiri seperti tidak mengenaliku.” Gadis itu memukul-mukuli kepalanya karena menyadari kebodohannya.

***

"Hai, hari ini giliran dosen ganteng. Ayo bersiap."

"Duh aku belum selesai meluruskan rambutku."

"Harus pakai lipstik yang tebal."

"Lip tint yang tipis lebih imut."

"Ciye, Ava. Kau tidak berdandan? Pak Elang akan datang. Pakai cushionku," ujar seorang gadis dengan rambut sebahu pada temannya. Dia menyodorkan sebuah benda bulat dengan ketebalan sekitar 2 cm berwarna rose gold pada teman di sampingnya.

Gadis yang disodori sebuah cushion mahal itu menolak. "Aku sedang tidak mood berdandan."

"Ah, kau tidak berdandan pun tetap cantik, sih. Bikin iri saja."

Memang benar, Ava namanya. Gadis berkulit seputih susu, dengan bibir semerah delima. dagunya bak lebah bergantung, giginya serapi biji mentimun, hidung mancung yang tidak terlalu lancip, dengan pipi tirus membuat wajahnya berbentuh oval, satu kata untuk melambangkan kecantikannya. JELITA.

Gadis pendiam, yang tidak punya banyak teman. Hidup tertindas di tengah keluarga angkatnya, namun dirinya tidak pernah merasa sengsara. Sering disudutkan oleh sadaranya, namun ia terus berbaik sangka.

Kini dosen killer yang tampan itu memasuki kelas mereka. Tanpa basa-basi, dia selalu mengabsen mahasiswanya, padahal dosen lain jarang ada yang melakukannya.

“Ava Ashalina.”

“Ha-hadir Pak!” Gadis yang sedang diabsen menyembunyikan wajahnya dari balik buku.

Elang merasa mengenali suara dari gadis yang wajahnya tertutup oleh buku itu, dia pun menghampiri gadis yang baru saja ia absen kehadirannya.

“Ava Ashalina?” Kini suara berat itu terasa benar-benar dekat di samping Ava.

Seperti seseorang yang telah ketahuan berdosa, Ava hanya berani mengintip dosennya dari balik buku, dia tidak bernyali untuk menatap wajah tampan dosen yang dikagumi oleh banyak teman-temannya.

“Ava?” Sebuah jari menggeser helaian di bagian atas buku tersebut.

“I-iya Pak Elang?” Gadis bernama Ava itu malah menutup wajah menggunakan sepuluh jarinya.

Elang menyadari sesuatu ketika melihat bayangan wajah dari sela jari mungil nan panjang itu. Ia memberikan senyum tipisnya, dan senyum kecil itu berhasil membuat semua mahasiswi yang berada dalam kelas tersebut berdebar-debar.

“Jadi kau? Gadis korek api?” Elang mendekatkan wajahnya ke arah Ava. “Datang ke ruanganku sepulang sekolah.”

“Mati aku ….”

***

Bersambung …

Hai, ini adalah novel keduaku di NovelToon.

Novel ini sekaligus menjadi novel dengan genre Adult Romance kedua yang kubuat.

Pembuatan outline novel ini benar-benar membuat jantung saya berdebar, saya harap kalian juga merasakan hal yang sama saat membacanya.

Salam Baper

Salam manis dari Aeesha.

Love you readers. :)

Panggilan Orang Tua

Sepulang dari kampus Ava langsung membersihkan diri. Dalam kamar mandi, Ava begitu memikirkan maksud dari dosen muda nan tampan itu memanggil ke ruangannya. Jelas sama sekali dosen tampan itu tidak memarahinya tentang peristiwa di basemen.

“Dia hanya menanyakan namaku, lalu orang tuaku?” Ava mengendikkan bahunya tak mengerti.

Gadis itu memilih berendam pada lautan busa yang telah ia buat dari sabun beraroma lavender kesukaanya. Seluruh tubuhnya ia tenggelamkan pada bathtub dan menyisakan kepalanya saja. Sesekali ia mengeluarkan tangannya yang penuh dengan busa putih lalu meniup dan memainkannya.

“Dia sengaja menyebutku gadis korek api di depan teman-teman. Katanya dia tidak ingin ada yang tau bahwa aku sedang membawa rokok. Lagipula kalau ada yang tau juga nggak papa, itu kan rokok Kak Dewa.” Ava menjadi sedikit tidak tenang setelah identitasnya diketahui oleh dosen killer itu.

Gadis itu bangkit dari bathtub dan menuju shower untuk membersihkan busa dari seluruh tubuhnya. Guyuran air membasahi kepala hingga ujung kakinya. Tidak ada yang tau, jika Ava yang hidup dengan fasilitas serba mewah ini sering diperlakukan tidak adil di keluarga ini. Semua itu karena Ava yang selalu menunjukkan dia bahagia dan baik-baik saja atas perlakuan keluarga angkatnya.

Budaya di negeri ini cukup tabu bila terdapat anak gadis yang merokok. Dan orang akan memandang negatif terhadap seorang gadis yang suka melakukannya. Mungkin itu tujuan Elang hanya menyebut gadis korek api pada Ava, untuk melindungi Ava dari prasangka buruk kawan-kawannya.

Kini Ava berbaring di atas kasur miliknya sambil memeluk guling. “Apa dia akan mengadukan aku pada ayah dan ibu?” Ava bangun secara tiba-tiba dari tidurnya. Matanya melotot sendiri membayangkan apa yang akan ayah dan ibunya katakan jika dosen tersebut mengadukannya.

Ayah dan ibu Ava saat ini bukanlah orang tua kandung Ava, melainkan mereka adalah paman dan bibi Ava dari pihak mendiang ayahnya. Orang tua kandung Ava meninggal dunia saat Ava berusia lima tahun. Namun Ava sudah benar-benar menganggap mereka adalah orang tua kandungnya sendiri, sehingga Ava memanggil mereka dengan sebutan, ayah dan ibu.

Ava tidak bisa membayangkan, hukuman apa yang akan diterima oleh dirinya jika dia ketahuan jalan berdua dengan Dewa dan membawa sebatang rokok yang sedang menyala. Ava menggigit kecil-kecil pada ujung jarinya, ia begitu gelisah karena panggilan Elang tadi siang.

Kemudian terdengar suara mendekat pada kamarnya.

Tok Tok Tok

Suara pintu kamar Ava diketuk dari luar.

“Nona Ava, Tuan dan Nyonya sedang ingin berbicara pada anda.” Seorang asisten rumah tangga terdengar memanggil Ava dari luar kamar.

“Iya, Bi! Aku akan segera keluar.” Ava bergegas membenahi piyama dan rambutnya yang sempat berantakan, lalu turun dari kasur dan menuju ke ruang keluarganya. Tempat ayah dan ibunya kini berada.

Ava masih memikirkan tentang Elang. "Apa panggilan ibu kali ini terkait dengan?" Gumam Ava dalam hati.

Tidak seperti biasa, jika hari-hari kemarin raut muka milik nyonya rumah ini tidak pernah terlihat ramah di depan Ava. Kali ini dia begitu tersenyum saat melihat kedatangan Ava.

“Ava, kemarilah dan berbicara dengan kami!” ajak wanita berambut pendek dengan dress biru selutut.

Ibu tersenyum sambil merangkulku? Ini pertanda baik? Atau sebaliknya?

***

Keesokan harinya

"Tidak salah jika banyak yang iri padamu, Ava!" Lena, seorang teman Ava yang paling setia berucap demikian setelah Ava menceritakan obrolannya bersama kedua orang tuanya semalam.

"Kau ini cantik, pintar, dan juga anak orang kaya. Anak pemilik distro terkenal se-Indonesia!" lanjut Lena begitu antusias, dia bahkan melebar-lebarkan langkah kakinya demi bisa berjalan mendahului Ava dan bergerak mundur di depan sahabatnya.

"Kau terlalu melebih-lebihkan, Lena!" Ava mengibaskan tangannya sekilas di hadapan Lena, dan kemudian mendaratkannya di ujung bibirnya yang sedang tersenyum tipis.

"Selama ini kau bilang, ibumu mengacuhkan dirimu. Namun, aku tak menyangka ibumu akan mengajakmu dinner keluarga, biasanya kan hanya kakakmu saja."

"Jangankan kamu, akupun begitu heran. Maukah kamu menemaniku mencari gaun bersamaku sepulang kuliah?"

"Boleh saja ...! Asal jangan lupa kau harus traktir aku."

***

Yang terjadi semalam ketika Ava dipanggil ke ruang keluarga oleh ayah dan ibunya.

Ava merasa sedikit canggung ketika lengan ibunya mengapit tangannya dan membawa Ava untuk duduk di sampingnya.

Nyonya Hans, atau yang Ava panggil sebagai ibu itu mengelus rambut dan punggung Ava dengan lembut. Ini adalah perlakuan yang baru pertama kali Ava terima selama sembilan belas tahun ia hidup di keluarga ini.

Ava adalah pribadi yang riang meski ia cukup pendiam, dia begitu tulus pada semua orang. Seakan tidak ada filter dalam dirinya yang menyaring agar apa yang berada dalam hatinya tidak semuanya nampak di permukaan.

Meski sering kali diperlakukan tak baik oleh ibu dan kakaknya, Ava tetaplah menganggap bahwa mereka adalah dua perempuan terbaik dalam hidupnya dan selalu berharap mendapat perlakuan lembut dari keduanya.

"Besok malam kita akan dinner keluarga, kamu bersiaplah dengan dandanan terbaikmu. Kita akan dinner di Hotel Wilson." Ayah Ava, Tuan Hans, kini berbicara setelah ia meletakkan surat kabar dan membetulkan kacamatanya.

Ava tersenyum begitu riang, matanya berbinar-binar mendengar perkataan ayahnya. Berbeda dengan ibunya, Hans, atau lebih tepatnya adalah paman, adik kandung dari ayah kandung Ava yang sebenarnya, memiliki perangai yang lebih lembut terhadap Ava. Setidaknya pria paruh baya inilah, satu-satunya di rumah ini yang menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga.

"Hotel Wilson adalah hotel bintang lima yang ternama, waaah, ini akan menjadi makan malam yang bersejarah di hidupku," gumam Ava sambil tersenyum sendiri.

"Kamu mau kan, sayang?" tanya nyonya Hans untuk memastikan ketersediaan Ava, yang sudah jelas Ava tidak akan menolaknya.

Ava memberi jawaban dengan anggukkan yang kencang dari kepalanya, senyumnya mengembang begitu lebar, menampakkan bagaimana perasaan dalam hatinya sekarang.

***

"Ava, ayoooo! Kau yang tadi mengajakku," rengek Lena pada Ava yang masih memoleskan liptint di wajahnya.

"Sebentar, Len. Aku sedang mencoba untuk berdandan. Nanti aku juga akan membeli make-up seperti milikmu ini."

"Oh, begitu? Baguslah! Jadi ada gunanya juga uang-uangmu yang banyak itu sekarang."

Ava terkekeh mendengar selorohan Lena. "Memang sejak kapan uang itu tidak berguna, Len?"

"Sejak uang itu menjadi milikmu. Uang yang banyak itu hanya kau simpan, tanpa pernah kau gunakan, selama di kampus kau tidak pernah jajan atau membeli makanan mewah, kau juga tidak pernah terlihat membeli baju, skin care, make up, apalagi perhiasan. Jadi untuk apa sebenarnya uang-uangmu itu?"

Lagi-lagi Ava terkekeh mendengar celoteh sahabatnya.

"Aku bukannya tidak ingin menggunakan, tapi aku ... hanya ... berjaga-jaga." Ava melirihkan suaranya.

"Berjaga-jaga?" Lena menaikkan sebelah alisnya.

"Aku hanya berjaga, jika ... suatu saat, keluarga ini mengusirku. Bahkan sampai detik ini, aku masih merasa sebagai orang asing dalam keluarga mereka, "jelas Ava lirih, ada sebuah rasa sedih yang terpendam dalam hatinya.

"Ooh, Ava ku yang cantik. Bukannya hari ini kamu ada makan malam dengan keluargamu? Kamu tidak harus bersedih memikirkan mereka. Karena mereka sepertinya sudah menerima dirimu! Mereka akhirnya menyadari akan adanya permata cantik ini di keluarga mereka." Lena mencoba menghibur sahabatnya, gadis itu menaikkan bahunya hingga menyentuh ujung rambut hitamnya yang berkilauan.

Kedua telapak tangan Lena, ia simpan di atas pundak Ava dan sedikit meremasnya. "Kita harus bersenang-senang," hibur Lena lagi sambil memberi senyum terbaik untuk sahabatnya.

"Eem!" seru Ava mengiyakan ajakan Lena.

Kedua gadis itu pun berjalan bersama. Tangan mereka yang bertautan pun berayun ke depan ke belakang seirama dengan langkah kaki mereka. Perasaan Ava menjadi hangat, karena Lena selalu membuatnya percaya diri, dia memang sahabat yang pandai menghibur Ava.

"Kalau begitu aku akan memesan taksi!" ujar Lena yang langsung mengotak-atik ponselnya dengan sebelah tangan karena sebelah tangannya lagi masih bergandengan dengan Ava.

Ponsel Ava pun berdering, gadis itu segera melepaskan tautan jemarinya. Dan beralih pada tas nya untuk mengambil benda pipih yang sedang berdering tersebut.

"Pak Manji?" Ava pun menggeser layar telponnya ke atas begitu membaca orang yang menelponnya adalah sekretaris dari ayahnya.

"Halo, Pak Manji?"

"Nona Ava, hari ini anda harus segera pulang. Tolong sebutkan lokasi anda, agar kami segera menjemput anda." Suara dari seberang terdengar begitu datar, walau isi perkataan yang sebenarnya adalah sebuah perintah.

"Saya masih di depan kampus, Pak. Ada apa? Kenapa harus pulang cepat?" tanya Ava heran.

"Tuan Hans memutuskan untuk memajukan jadwal perjamuan keluarga. Jadi anda harus segera bersiap."

***

Bersambung ...

Melambung dan Tehempas

"Baik! Tidak usah dijemput saya pesan taksi." Ava memberikan senyumnya yang mengembang karena saking bahagianya.

"Lena! Lain kali aku akan benar-benar mentraktirmu! Aku harus pergi." Ava yang menyimpan ponselnya dengan buru-buru diberi tatapan heran oleh Lena.

Sebuah mobil Honda Jazz merah mendekati mereka, Ava pun langsung menyambar pintunya dan masuk ke dalamnya. "Maaf Lena, taksimu kupakai, kau pesan lagi ya! Nanti ku telpon!" ujar Ava setelah masuk dalam mobil. Dia menyembulkan kepalanya di balik jendela dengan menunjukkan tangan mengepal yang hanya mengeluarkan jempol dan kelingking, membentuk seperti gagang telepon.

Ava meninggalkan Lena yang mematung karena terkejut ditinggalkan Ava. Dia merasa bersalah pada Lena, namun ia berjanji akan menceritakan semua kabar bahagia ini pada sahabatnya nanti, seusai acara makan bersama keluarganya.

***

"Nona silakan kemari!" Seorang wanita muda menyambut Ava ramah dan menuntunnya ke kamar Ava menuju ke atas meja riasnya yang kini sudah penuh dengan alat-alat make up bukan miliknya.

"I-ini apa?" tanya Ava heran.

"Hari ini kami bertiga yang akan mengurus make up dan hair do untuk Nona. Silakan duduk di sini." Wanita itu menarik kursi meja rias dan mengarahkan telapaknya yang terbuka ke arah kursi tersebut.

"Eeh, kenapa harus dandan?" Ava masih belum bisa menghilangkan rasa herannya.

"Nyonya Hans yang memintanya, nyonya sudah mempersiapkan semua yang Nona muda perlukan. Tak usah risau." Wanita dengan blouse hitam dan rok hitam itu menatap Ava melalui pantulan kaca. "Sekarang, mari kami bantu Nona untuk bersiap! Anda harus menjadi cantik hari ini!"

Ava begitu terharu dengan perlakuan wanita ini. Bukan, bukan karena wanita ini yang memperlakukan Ava bak ratu. Melainkan karena mendengar bahwa ini semua adalah permintaan ibunya.

"Nona, saya akan membersihkan wajah anda. Anda jangan meneteskan air mata." Wanita wardrobe itu menepuk-nepukkan tisu untuk menghapus buliran bening di pelupuk mata gadis yang akan diriasnya.

"Maaf, saya sedang terharu." Ava menjawab sambil berusaha menghapus sendiri air mata menggunakan jarinya.

Para perias wajah itu menggeleng-gelengkan kepala mereka. Bagaimana ada yang bisa terharu sampai menangis hanya karena hendak dirias wajahnya.

***

"Mari, saya antar anda, Nona!" Pak Manji tiba-tiba berada di ambang pintu. Sepertinya salah satu dari perias tadi yang memberi tahu jika Ava sudah siap.

Ava pun berdiri di atas heels berwarna senada dengan gaunnya. Kaki ramping itu begitu tegak di atas sepatu beralas runcing tersebut, ukuran sepatunya juga sangat pas dengan telapak kaki Ava sehingga mempercantik bentuk kakinya.

Tuk tuk tuk

Dengan anggun suara sepatu mengetuk lantai. Hati yang gugup, membuat Ava sedikit grogi melangkah dengan sepatu heels di kakinya.

Pak Manji membungkukkan badannya, dia melipat tangan kiri nya ke arah sudut yang dibentuk tubuhnya dan menyodorkan telapak tangan kanannya untuk menggandeng Ava.

Pak Manji selalu manis saat memperlakulan Ava. Begitupun Ava yang sudah tidak canggung saat di hadapan sekretaris ayahnya tersebut.

"Terima kasih." Ava menyambut uluran tangan dari pria paruh baya tersebut.

Dalam gandengan tangan pak Manji, Ava dituntun keluar rumah dan naik ke atas mobil yang sudah disiapkan.

"Ibu mengajakku makan keluarga, bahkan mengurusi keperluan wardrobe ku bagaimana aku masih meminta hal lain padanya, padahal aku bisa berangkat sendiri," ujar Ava dalam hatinya.

Sambil terus terdiam, mobil yang dinaiki Ava pun membelah jalanan. Tak lama kemudian Ava akan sampai pada tempat yang dituju.

"Silakan turun, Nona!" Dengan membuka pintu mobil, pak Manji meminta Ava untuk turun dari mobilnya.

Hotel Wilson adalah salah satu hotel milik dari Eagle Group, tak aneh jika hotel ini begitu mewah dan memiliki fasilitas yang begitu lengkap.

Gedung ini begitu tinggi, desainnya terkesan arogan dan mendominasi gedung di sampingnya. Pilar-pilar yang menancap kokoh menunjukkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk menggunakan fasilitas di dalamnya.

"Masuklah, mereka semua menunggu Nona." Pak Manji mengarahkan Ava pada sebuah pintu hitam yang tingginya mampu mengejek Ava. Ava sempat merasa tak enak karena dibawa ke hotel semewah ini, namun rasa itu kemudian pergi begitu melihat tubuh kedua orang tuanya duduk di meja makan.

Langkah kaki Ava pun masuk, dia mulai menyusuri ruangan itu lebih dalam dengan senyum yang mengembang.

Namun semakin ia masuk, senyum itu pudar. Ava tak hanya melihat kedua orang tuanya saja pada meja mekan nan mewah itu. Ada tiga orang lain yang Ava sama sekali tidak mengenal mereka. Dan Ava yakin, ini bukanlah sesuatu yang baik untuknya.

Ava menggigit bibir bawahnya, dan jemarinya memelintir sedikit rok yang ia kenakan. Bola matanya bergerak-gerak memperhatikan orang asing itu bergantian dengan perasaan bingung.

Dua dari mereka terlihat berpasangan dan masih berusia paruh baya. Kemudian yang satu lagi adalah seorang pria lanjut usia. Mereka bertiga tersenyum begitu tulus melihat kedatangan Ava.

Namun, bukankah ini makan malam keluarga, yang hanya ada Ava dan orang tuanya? Pantas saja kakaknya tidak datang pun tidak masalah. Ternyata ini bukan makan malam keluarga, yang seperti diinginkan Ava. Ada maksud yang tidak Ava ketahui sebelum makan malam ini direncanakan.

"Menantuku memang ahli dalam memilih calon cucu menantu. Dia begitu cantik," ujar pria lanjut usia yang terkekeh begitu melihat Ava masuk ke dalam ruangan.

'Menantu?' Ava sedikit terperanjak.

"Anakku yang cantik, kau sudah datang? Duduklah!" Nyonya Hans langsung berdiri begitu melihat Ava tiba. Dia merangkul bahu Ava dan menuntunnya ke tempat duduk.

"Kau harus bisa bersikap baik hari ini. Saat ini adalah saatnya kau balas budi dengan apa yang sudah kami lakukan!" bisik nyonya Hans yang hanya terdengar oleh telinga Ava. Kemudian wanita itu menarik sebuah kursi di samping tempat duduknya.

"Duduklah Ava sayang." Mulut manis nyonya Hans terdengar meyakinkan. "Perkenalkan dirimu," ujarnya lembut pada ketiga tamu.

Diperlakukan baik oleh ibunya kini membuat hati Ava teriris. Kembang dalam hati yang tadinya bermekaran, kini berduri dan melukainya.

Gadis itu pun memundurkan sedikit kursinya lalu berdiri sambil membungkukkan badan terlebih dahulu.

"Mereka ini tuan dan nyonya Lee, panggil mereka demikian," bisik nyonya Hans ketika Ava membungkuk.

Begitu ia paham dengan perkataan ibunya, Ava pun menegakkan kembali badannya. Rambut gadis itu terayun karena gerakannya, kemudian dengan jemari manisnya, ia membetulkan geraian hitam di kepalanya tersebut.

Gadis itu mengeluarkan senyum terbaiknya. "Perkenalkan saya adalah Ava Ashalina, Tuan dan Nyonya Lee. Panggil saya Ava. Saya senang bertemu dengan anda, semoga anda bisa menerima kepribadian saya yang banyak kekurangan ini." Ava membungkukkan sedikit badannya lagi begitu ia selesai berbicara.

"Duduklah!" perintah orang yang paling tua di antara mereka bertiga.

Mendengar itu, Ava menarik kembali kursinya dan langsung duduk seraya mengapitkan rok pada kedua pahanya. Diperlakukan demikian sudah biasa bagi apa, seburuk apapun mereka berperilaku, Ava akan tetap tegar dan menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Kini calon cucu menantu sudah datang, bagaimana kalau kita langsung makan saja?" Kakek tua itu berkata demikian dan langsung disambut oleh anggukkan dari kedua orang lain di sampingnya.

"Apa Tetua Lee tidak ingin bertanya lagi tentang putri kami?" Nyonya Hans menyela perintah tersebut.

"Ah, nanti juga kita tau sendiri ketika dia menjadi bagian dari keluarga Lee." Orang yang dipanggil tetua Lee itu langsung memberi isyarat pada pelayan agar segera mengantar makanan.

"Saya justru merasa malu, pada perjamuan penting seperti ini, anak kami justru terlambat." Nyonya Lee kini berbicara.

"Kenapa perginya anak itu menantuku?" Tetua Lee bertanya pada nyonya Lee.

Tampak nyonya Lee kebingungan dia melirik suaminya dan menyenggol sikunya. Paham dengan kode yang diberikan istrinya, tuan Lee pun langsung menjawab, "Dia terjebak macet dalam perjalanan. Sebaiknya kita makan terlebih dahulu."

"Iya, dia pasti datang!" jawab nyonya Lee optimis.

Hidangan pembuka pun datang. Appetizer mewah ala Korea kini memenuhi meja berbentuk bulat telur di hadapan Ava. Gadis itu menelan ludah melihat besarnya porsi yang disuguhkan, ini adalah makanan-makanan Korea yang ingin ia makan ketika melihat drama Korea. Belum lagi hidangan ini disajikan dengan tampilan mewah yang lebih menggoda.

Dalam acara makan kali ini semuanya tidak berani banyak bicara. Mereka begitu khidmat dengan hidangan di atas piring masing-masing.

Lee Suk Chin atau dikenal dengan tetua Lee, merupakan pemilik utama Eagle Group. Kemudian perusahaan bisnis terbesar di Asia itu kini dipimpin oleh anak sulung dari tetua yaitu Lee Kang Joon, yang akrab dipanggil dengan tuan Lee. Sementara yang kini menjalani perjodohan adalah anak tuan Lee.

"Aku bisa menilai di awal pertemuan ini, aura yang dipancarkan oleh cucu menantu sama persis seperti aura menantuku ketika dia dijodohkan waktu itu, dan aku melihat sendiri, dia menantu yang baik. Aku percaya jika cucu menantu juga akan menjadi anak yang baik."

Senyum tetua Lee begitu hangat, ada ketulusan yang terpancar dari kakek tua itu. Seketika kesedihan Ava pun sirna. Mungkin menjadi bagian dari keluarga Lee lebih baik daripada tinggal bersama dengan ayah dan ibunya.

***

Bersambung ...

Next ya, jangan lupa vote dan masukkan ke rak buku kalian. Terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!