Pendahuluan
Di bawah langit biru cerah, sekolah bergaya arsitektur modern dengan bangunan besar dan lapangan basket yang mengkilap seakan mengundang perhatian setiap mata yang memandang. Pelita Bangsa, sebuah nama yang tidak hanya dikenal di kalangan elit kota, tetapi juga mendunia. Dari luar, sekolah ini tampak seperti istana bagi mereka yang mampu menginjakkan kaki di dalamnya. Dan Bagas Wijaya, dengan segala kesederhanaannya, adalah bagian dari dunia itu.
Bagas tidak pernah merasa perlu untuk mencolok. Dia bukan tipe anak yang suka menarik perhatian, meskipun hampir setiap mata tertuju padanya saat dia melangkah ke aula sekolah. Anak tunggal dari pasangan Irana dan Pandu Wijaya, keluarga yang hidup dalam kemewahan yang bisa dibanggakan, namun Bagas tetap terlihat rendah hati, dengan kulit putih bersih dan wajah yang tajam, menawan tanpa usaha berlebih. Tidak banyak yang tahu bahwa meskipun dia memiliki segalanya—mobil mewah, barang-barang branded, hingga popularitas—Bagas lebih memilih untuk duduk sendiri, jauh dari sorotan, di bangku pojok lapangan basket.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan remaja yang penuh drama, persaingan, dan harapan tinggi, Bagas menemukan kedamaian di lapangan basket. Di sana, dia bukan anak dari keluarga kaya. Di sana, dia hanya Bagas—seseorang yang bisa merasakan adrenalin mengejar bola, berlari tanpa beban, dan merasakan betapa lapangan itu adalah satu-satunya tempat di mana dirinya bisa merasa benar-benar bebas.
Namun, meskipun ia tampak begitu tenang di luar, siapa yang tahu apa yang sebenarnya dipendam oleh Bagas? Setiap langkah di koridor sekolahnya adalah bagian dari pertarungan batin yang tak pernah terlihat, karena di balik sikapnya yang tenang, ada dunia yang tak mudah dimengerti. Dunia yang berputar dengan tekanan dari orang tua, dari teman-teman yang selalu berharap lebih, dan dari harapan dirinya sendiri.
Bagas, di mata banyak orang, adalah sosok yang sempurna—dengan segalanya di ujung jari. Tapi hanya dia yang tahu, bahwa di dalam hati, tak jarang ia merasa terjebak dalam kesunyian yang mengalir deras seperti aliran bola yang memantul di lapangan yang penuh kenanga
Bagas duduk di pinggir lapangan, matanya tertuju pada kakak-kakak kelas yang tengah berlatih dengan serius. Mereka bergerak lincah, mengikuti instruksi pelatih yang dengan tegas memberi aba-aba. Setiap gerakan mereka tampak sempurna, seolah sudah dipersiapkan dengan rencana yang matang. Meski hanya menyaksikan, Bagas bisa merasakan adrenalin mereka yang mengalir, energi yang terasa begitu hidup di lapangan basket yang kini bersinar di bawah sinar matahari sore.
Suara bola yang memantul dan teriakan pelatih mengisi udara, tetapi Bagas tetap tenang, duduk di tempatnya dengan tangan terlipat di belakang kepala. Meskipun sering terlihat berlatih bersama tim, hari ini ia memilih untuk duduk dan mengamati. Mungkin ada yang perlu dipelajari dari gerakan mereka. Mungkin ada yang bisa diperbaiki. Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang belum ia ketahui.
Tiba-tiba, langkah kaki mendekat, dan suara halus memecah keheningan. "Bagas," terdengar suara lembut yang dikenal, membuat Bagas menoleh.
Di depannya berdiri April, kapten tim basket Pelita Bangsa, dengan rambut pendeknya yang rapi dan seragam basket yang sedikit kusut karena keringat. Wajahnya yang tampak tegas kini dipenuhi senyum kecil yang selalu menenangkan, meskipun matanya masih penuh fokus pada lapangan di belakang Bagas.
"Minum dulu," kata April, sambil menyerahkan sebotol air mineral dingin kepada Bagas.
Bagas memandangnya sejenak, sedikit terkejut, lalu menerima botol itu tanpa berkata apa-apa. "Terima kasih," ucapnya pelan, meskipun sebenarnya tak perlu. Mereka sudah cukup akrab, meskipun April adalah kakak tingkatnya dua tahun, dan pertemuan mereka tak pernah terasa canggung.
April duduk di sampingnya, tangannya terlipat di atas lutut, matanya kembali melirik ke arah tim yang tengah berlatih. "Lagi ngapain, nih?" tanya April, meskipun ia tahu jawaban dari pertanyaan itu.
Bagas mengangguk ke arah tim basket yang sedang melatih strategi. "Hanya melihat, ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari mereka," jawabnya singkat.
April mengangguk, tapi tak berkata apa-apa. Mereka berdua lebih nyaman dalam keheningan, saling mengerti tanpa perlu banyak kata. Bagas merasa ada yang berbeda dalam sikap April sejak tahun lalu, sejak April Adi Putra membawa tim mereka meraih posisi lima besar dalam turnamen nasional. Kemenangan itu mengangkat nama Pelita Bangsa, dan nama April semakin diperhitungkan. Tapi meskipun popularitasnya meningkat, sikap April tetap sederhana, tidak pernah berubah.
"Jadi, kapan kita mulai latihan?" Bagas bertanya, ingin mengalihkan pembicaraan. Ia tahu, waktunya akan segera tiba. Suatu hari nanti, ia harus bergabung kembali dengan tim—tim yang sudah lama ia tinggalkan.
April tersenyum, kemudian mengedipkan matanya. "Kapan saja, kamu sudah siap kan?" tanya April, menantang.
Bagas tersenyum tipis, menatap April, sebelum akhirnya mengangguk. "Siap."
Ia tahu, meskipun berada di pinggir lapangan, ia tak bisa berdiam diri selamanya. Lapangan ini adalah tempatnya. Dan pada suatu saat, akan ada giliran Bagas untuk menunjukkan kemampuannya.
Bagas mengamatinya sejenak saat April berjalan menjauh, sosoknya yang tinggi menjulang dengan postur atletis seolah menyatu dengan lapangan basket yang luas. Dengan tinggi 190 cm, April adalah sosok yang tak hanya menonjol dalam tim, tetapi juga di antara teman-temannya. Tak ada yang bisa mengabaikan penampilannya, terutama saat ia melompat tinggi, menggapai ring dan mencetak poin demi poin. Bagas pernah melihatnya beraksi—sebuah kekuatan yang tak terbendung. April, sang monster pencetak poin.
Namun, meskipun begitu, Bagas tahu ada lebih dari sekadar fisik yang membuat April begitu hebat. Ketenangan dan kepemimpinan yang dimilikinya, menjadikannya lebih dari sekadar pemain berbakat. Di balik semua sorotan yang diterimanya, April tetap rendah hati, tak pernah merasa lebih dari orang lain. Itulah yang membuatnya dihormati, bahkan oleh para pemain senior sekalipun.
Sambil menyesap air yang diberikan oleh April, Bagas merasa sedikit canggung. Mungkin karena dia baru saja berbicara dengan salah satu pemain terbaik tim, atau mungkin karena ia merasa sedikit terasing di dunia mereka. Tapi ada sesuatu dalam percakapan itu yang memberinya kekuatan—kesadaran bahwa ia bukan hanya seorang pengamat. Ia bisa menjadi bagian dari dunia ini, meskipun jalan yang harus ditempuh tidaklah mudah.
Sekitar 30 menit berlalu, dan tim inti akhirnya berhenti berlatih. Mereka duduk di pinggir lapangan, mengusap keringat yang bercucuran setelah latihan intens. Suasana lapangan yang awalnya penuh dengan teriakan dan langkah kaki yang cepat, kini mulai mereda. Hanya suara bola yang terpantul di kejauhan yang terdengar.
Bagas mengalihkan pandangannya ke arah April yang kini berdiri di tengah lapangan, peluit di tangan. Tanpa ragu, April mengangkat peluit itu dan meniupnya keras-keras. Suaranya menggema, memecah keheningan lapangan yang hampir sepi.
"Semua anak kelas 1 dan 2, kumpul!" teriak April, suaranya yang tegas menambah bobot pada setiap kata yang diucapkannya. "Yang ingin mencoba bergabung dengan tim, ayo maju ke sini."
Beberapa siswa dari kelas 1 dan 2 yang tadinya berdiri di pinggir lapangan langsung bergerak maju, memadati area tengah lapangan. Bagas mengamati mereka dengan cermat, menyadari betapa banyaknya yang ingin bergabung. Semua wajah itu penuh harapan, penuh semangat. Tapi Bagas tahu, seperti yang ia dengar dari teman-temannya, tidak semua orang bisa masuk begitu saja. Menjadi bagian dari tim basket Pelita Bangsa bukanlah perkara mudah.
April melangkah maju, wajahnya kembali serius, matanya menatap para siswa yang kini berdiri di hadapannya. "Dengarkan baik-baik, kalian harus memenuhi banyak syarat untuk bisa bergabung dengan tim ini. Keterampilan bermain adalah hal yang utama, tapi mental dan dedikasi juga tak kalah penting. Hanya mereka yang benar-benar siap yang akan kami terima di sini."
Bagas tahu, ini adalah saat yang menentukan. Hanya beberapa orang yang akan terpilih, dan banyak dari mereka yang mungkin harus kembali ke jalur biasa. Tapi untuknya, ini adalah kesempatan berharga—kesempatan untuk belajar dari yang terbaik, bahkan jika ia harus memulai dari bawah sekali lagi.
Mata Bagas menyapu lapangan, dan ia menyadari satu hal. Sebagai seseorang yang memiliki kesempatan berbicara langsung dengan orang penting dalam tim seperti April, ia sudah mendapatkan pengalaman yang tidak dimiliki semua orang. Bukan hanya soal basket, tapi juga tentang bagaimana memandang dunia dari perspektif yang lebih luas—sebuah dunia yang penuh persaingan dan tantangan.
Tapi satu hal yang pasti, Bagas siap menghadapi semuanya.
Bab 2. persaingan antar tim
Bagas mulai berjalan mendekati pusat lapangan dengan langkah mantap, matanya tetap tertuju pada April yang kini sedang memimpin barisan anak-anak yang baru saja maju ke tengah lapangan. Pikiran Bagas melayang, teringat akan kata-kata April yang penuh tantangan—sebuah ajakan yang menguji siapakah yang benar-benar siap untuk berjuang di tim ini. Sebuah kesempatan yang tak akan datang dua kali.
Namun, langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada tangan yang merangkulnya dari belakang. Bagas terkesiap dan menoleh, hanya untuk melihat wajah-wajah yang sudah sangat dikenalnya. Wajah-wajah yang selalu ada di setiap perjalanan hidupnya. Wajah-wajah sahabatnya.
"Dik, Filip, Dino, Faisal…" ucap Bagas terkejut namun dengan senyum yang mulai mengembang di wajahnya. Mereka, sahabat-sahabatnya yang tak pernah jauh darinya, akhirnya sampai juga.
Dika, yang selalu berpenampilan santai dengan jaket hoodie khasnya, tertawa kecil sambil menepuk pundak Bagas. "Nggak nyangka, ya? Dari SMP sampai sekarang, akhirnya kita ketemu lagi di lapangan basket yang sama," katanya, suaranya selalu penuh semangat.
Filip, yang meskipun anak seorang CEO tambang batu bara, tetap terlihat sederhana, menatap lapangan dengan penuh semangat. "Ya, bro. Walaupun di SMP kita pernah bikin tim yang juara, tapi sekarang rasanya bakal lebih seru. Kita satu irama lagi, kan?" Filip berkata sambil tersenyum.
Dino, dengan tubuh tinggi dan rambut pendeknya yang selalu rapi, menambahkan, "Iya, kita semua punya potensi. Dulu di SMP kita tim yang nggak terkalahkan, kan? Sekarang saatnya buktikan di sini."
Faisal, si lebih pendiam di antara mereka, hanya mengangguk sambil menyeringai, matanya menyiratkan keyakinan. "Kita pasti bisa," katanya pendek, tetapi penuh arti.
Bagas tersenyum, merasa hangat di tengah perbincangan mereka. Meskipun di antara mereka, hanya sebagian yang kembali menjadi bagian dari tim utama di Pelita Bangsa, namun ikatan mereka tetap kuat. Mereka satu tim di SMP, mereka berhasil meraih piala tingkat nasional berkat kerja keras dan semangat bersama. Tim yang dulu hanya sekumpulan remaja yang bermain dengan hati kini kembali berkumpul, dengan semangat yang sama.
“Betul,” jawab Bagas, masih terenyuh dengan kehadiran mereka. "Kita memang sudah lama nggak bermain bareng, tapi saat kita main bareng lagi, rasanya seperti nggak ada yang berubah. Kita tetap satu tim."
Dika mengangkat kedua tangannya, pura-pura memimpin sebuah rapat. "Kalau gitu, mulai dari sekarang kita harus tetap satu irama, ya. Gimana pun, kita ini satu tim yang saling melengkapi."
April yang mendengar percakapan mereka, tersenyum mendengar kekompakan mereka. "Kalian pernah membawa tim SMP kalian juara, kan?" tanyanya dengan nada yang menggoda. "Tapi ingat, ini bukan SMP lagi. Kalau mau masuk tim utama di sini, kalian harus kerja keras lebih dari yang pernah kalian lakukan sebelumnya."
Bagas menatap sahabat-sahabatnya, dan mereka saling bertukar pandang, lalu menjawab serentak, “Siap!”
April mengangguk puas, lalu melanjutkan, “Kalau gitu, ayo tunjukkan apa yang kalian punya. Latihan dimulai sekarang!”
Dengan satu tekad yang bulat, mereka semua bergerak ke tengah lapangan. Bagas merasa bahwa meskipun jalan yang harus ditempuh penuh tantangan, ia tidak akan berjalan sendiri. Sahabat-sahabatnya selalu ada, dan bersama mereka, apapun bisa tercapai.
Hari itu adalah hari yang penuh semangat di Pelita Bangsa. Selepas jam pelajaran terakhir, lapangan basket yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh siswa yang datang untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ada sekitar 25 siswa yang berkumpul di lapangan, terdiri dari anak-anak kelas satu yang baru saja bergabung dengan tim, serta tim senior dan tim lapis kedua yang sudah lebih berpengalaman. Semua siap bertarung dalam mini game yang akan menjadi uji coba pertama mereka.
Bagas berdiri di pinggir lapangan, matanya terfokus pada sahabat-sahabatnya yang sudah bergabung dalam timnya. Mereka berdiri dengan sikap penuh semangat, siap menghadapi pertandingan yang menantang. Tim junior, yang dipimpin oleh Bagas, tampak penuh energi, meskipun mereka baru beberapa kali berlatih bersama. Di sisi lain, tim senior yang dipimpin oleh April tampak lebih tenang. Mereka sudah berpengalaman dan memiliki kekompakan yang teruji. Namun, ada yang berbeda kali ini—di balik persaingan yang selalu ada, persaingan antara Bagas dan April pun mulai terasa lebih nyata.
April berdiri tegak di tengah lapangan, tampak seperti kapten sejati yang memimpin timnya. Kepercayaan diri terpancar jelas di wajahnya yang tegas, meskipun matanya tidak lepas dari tim junior yang kini bersiap menghadapi mereka. “Ingat, guys,” kata April dengan suara yang cukup keras agar semua mendengarnya, “ini bukan sekadar pertandingan. Ini tentang menunjukkan siapa yang pantas jadi bagian dari tim utama. Fokus dan percaya pada kemampuan kalian.”
Di sisi lain, Bagas memandang sahabat-sahabatnya. Mereka berbagi senyuman penuh semangat. Meskipun tim mereka lebih muda dan kurang pengalaman dibanding tim senior, mereka sudah siap membuktikan bahwa mereka juga punya potensi besar. “Kita punya kekuatan lain,” kata Bagas dengan suara rendah, namun penuh keyakinan, “kita punya kebersamaan. Semua ini soal saling percaya dan kerja sama.”
April mengedipkan mata ke arah Bagas, tahu betul bahwa tim junior memiliki potensi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Namun, itu hanya semakin memotivasi dirinya untuk memastikan bahwa tim senior mereka tak akan kalah begitu saja.
Sebelum mini game dimulai, kedua tim berkumpul dalam lingkaran kecil, masing-masing mengatur strategi dengan serius. Wajah-wajah mereka serius, tetapi masih ada senyum kecil di antara mereka, menandakan bahwa ini adalah kesempatan untuk bersenang-senang sekaligus menantang diri.
April memimpin lingkaran tim senior, berbicara pelan namun jelas. “Kita tahu mereka lebih muda, tapi jangan remehkan mereka. Setiap gerakan harus terkoordinasi. Jangan beri mereka ruang untuk bergerak bebas. Ini adalah ujian pertama kita, kita harus menangkan ini.”
Sementara itu, Bagas memimpin lingkaran tim junior dengan gaya yang lebih santai. “Kita mungkin baru, tapi kita tahu apa yang kita punya. Fokus pada tim, bantu satu sama lain, dan jangan takut untuk mencoba. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa kita bisa bersaing dengan mereka.”
Setelah beberapa saat berunding, tim junior dan tim senior berlutut sejenak, saling memejamkan mata, dan berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Ada kedamaian sejenak sebelum peluit panjang pelatih berbunyi, mengakhiri doa dan memulai apa yang sudah dinanti—pertandingan antara tim senior dan junior.
Pelatih berdiri di pinggir lapangan, dengan peluit di mulutnya. Semua mata tertuju pada pelatih, menunggu aba-aba. Bagas dan April berdiri di posisi masing-masing, keduanya tahu betul bahwa pertandingan ini bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi soal pembuktian—mereka berdua adalah kapten yang memiliki visi yang berbeda, namun tetap satu tujuan: membawa tim mereka menuju puncak.
Pelatih mengangkat tangan, dan dalam hitungan detik, peluit yang panjang itu berbunyi keras, menggema di seluruh lapangan.
"Pertandingan dimulai!"
Semua pemain langsung bergerak, berlari, dan memulai permainan. Bola pertama dilemparkan ke udara, dan segala sesuatu yang mereka persiapkan mulai diuji. Begitu juga dengan Bagas dan April—persaingan mereka baru saja dimulai.
“Tim junior, bersiap!” suara pelatih terdengar di sela-sela kebisingan di lapangan. Sebelum pertandingan dimulai, kedua tim saling berdiri di sisi lapangan, mempersiapkan diri. Meskipun hanya mini game, atmosfernya seperti pertandingan besar. Suara sorakan dari teman-teman siswa yang menonton semakin memanaskan suasana. Bagas dan April, meski hanya bertanding dalam sebuah ujian coba, merasakan tensi yang luar biasa. Kedua kapten ini tahu, kemenangan kali ini akan memberi mereka keyakinan lebih di mata tim masing-masing.
Bagas menatap timnya, satu persatu. Dika, dengan tubuh tinggi menjulang 188 cm, siap sebagai small forward. Faisal, si power forward setinggi 190 cm, memancarkan semangat untuk bertempur di bawah ring. Dino, sang center dengan tinggi 195 cm, siap menjaga pertahanan tim mereka. Filip, shooting guard andalan dengan tinggi 180 cm, sudah siap menembak bola dari luar garis tiga poin. Bagas sendiri, sebagai point guard dengan tinggi 190 cm, tak sabar untuk memulai permainan. Mereka saling bertukar pandang, menunjukkan senyuman penuh harapan.
Di sisi lapangan yang lain, tim senior sudah tidak kalah siap. April, sang center dengan tinggi badan 190 cm, siap menguasai bawah ring. Bram, point guard setinggi 187 cm, berdiri dengan sikap tegas, matanya penuh fokus. Alan, power forward dengan tinggi 184 cm, sudah siap di bawah ring untuk merebut bola rebound. Aris, combo guard setinggi 180 cm, siap dengan dribble-nya yang licin. Semua pemain senior tampak sangat terlatih dan lebih berpengalaman.
April menatap Bagas dengan senyuman penuh tantangan. Ada kehangatan di antara mereka, tapi juga ada api persaingan yang mulai menyala. Mereka berdua saling bertukar senyum, seolah ingin mengatakan, “Ini belum berakhir.”
Sebelum peluit pertama dibunyikan, keduanya saling berpandangan satu detik lebih lama, keduanya merasakan antusiasme yang sama. Meski hanya mini game, ini adalah kesempatan bagi mereka untuk membuktikan kemampuan masing-masing.
"3… 2… 1… Mulai!" teriak para siswa yang menonton, serempak bersamaan dengan suara peluit wasit yang memecah ketegangan.
Dan dengan itu, pertandingan dimulai.
Bagas langsung memimpin serangan pertama, bola berada di tangannya. Dia berlari cepat menuju ke arah Bram, point guard senior yang seolah tak memberi ruang sedikit pun. "Ini waktunya, tim," ujar Bagas dalam hati, lalu mengoper bola ke Filip yang bergerak di sisi kiri. Filip, dengan cepat, melepaskan tembakan tiga poin.
Bola meleset sedikit dari sasaran, dan tim senior langsung memanfaatkan kesempatan itu. April, dengan tinggi 190 cm dan penguasaan bawah ring yang luar biasa, merebut bola rebound dengan mudah. April mengoper bola kepada Bram, yang segera memulai serangan balik.
“Bertahan!” teriak Bagas kepada timnya, segera bergerak mengikuti Bram. Bram dengan cekatan mengatur permainan, melemparkan bola kepada Alan yang berdiri siap di area tengah. Alan menerima bola dan melepaskan tembakan dari jarak menengah.
“Boom!” Bola melesat masuk ke dalam keranjang. Tim senior unggul 2 poin. Suasana semakin memanas, tetapi tim junior tidak mundur.
“Gampang, itu cuma awal,” kata Dika, yang kini sudah mengambil posisi di sisi kanan. "Kita bisa lebih baik dari itu," tambahnya penuh semangat.
Bagas dengan cepat mengatur serangan kembali. Dia melewati Bram dengan gerakan dribble yang cepat, membuat Bram sedikit kebingungan. Lalu dia mengoper bola kepada Faisal yang berada di bawah ring. Faisal, dengan postur tubuh yang tinggi dan kekuatannya, berhasil menahan tekanan dan mencetak dua angka balasan untuk tim junior.
Tim junior kini kembali mengejar, 2-2.
April, yang memimpin tim senior, memberi isyarat kepada Aris untuk lebih mendekat ke Bagas. "Kita harus hentikan serangannya," ucapnya dengan suara yang rendah namun tegas. April tahu bahwa Bagas adalah kunci serangan tim junior.
Namun, Bagas tidak takut. Ia tahu harus lebih pintar untuk melawan mereka. "Aku harus memimpin serangan kali ini," ujar Bagas dalam hati. Dia memanfaatkan kelincahan dan tinggi badannya yang 190 cm untuk bergerak lebih cepat, mengatur permainan dengan strategi yang berbeda.
Filip kemudian menerima operan dari Bagas dan mencoba tembakan dari luar garis tiga poin. Bola terbang tinggi, berputar, dan—“Swoosh!” Bola masuk dengan sempurna ke dalam ring, memberikan tim junior keunggulan sementara, 5-2.
Sorakan terdengar menggema di lapangan, para siswa yang menonton bersorak dengan riuh. Tim junior kini memimpin.
Namun, April tidak akan diam. Dengan senyuman penuh tantangan, dia kembali memimpin tim senior, membawa bola dengan sigap menuju bawah ring. “Ini belum berakhir, Bagas,” bisik April, sebelum melepaskan bola dan mencetak dua poin, membawa skor kembali imbang, 5-5.
Pertandingan berlangsung ketat. Meskipun ini hanya mini game, intensitasnya seperti sebuah turnamen besar. Bagas dan April terus saling beradu strategi, tak ingin memberi sedikit pun celah. Tim junior dan senior saling bertarung habis-habisan, setiap gerakan, setiap keputusan terasa sangat berarti.
Dan dengan begitu, persaingan mereka—kapten junior dan senior—baru saja dimulai.
bab 3 mini game
Pertandingan di kuarter pertama berlangsung dengan sangat sengit. Lapangan yang biasanya penuh dengan suasana santai kini dipenuhi oleh teriakan penonton yang antusias. Setiap dribble, setiap operan, dan setiap tembakan seolah menguji ketangguhan kedua tim. Di sisi tim junior, Bagas memimpin permainan dengan kecerdikannya yang luar biasa. Umpan-umpan pendek yang ia buat seakan memecah pertahanan tim senior, yang meskipun lebih berpengalaman, kesulitan menahan kecepatan permainan yang dipimpin oleh Bagas.
Bagas melesat dengan bola, bergerak cepat melewati Bram yang berusaha untuk menghalangi. Dengan kecepatan dan kelincahan yang dimilikinya, Bagas mengoper bola pendek kepada Dika, yang berada di sisi kiri. Tanpa menunggu lama, Dika langsung melepaskan tembakan tiga poin, tetapi bola meleset sedikit. Dino, dengan tinggi 195 cm dan postur kekarnya, melompat tinggi untuk merebut bola rebound. Dengan kekuatan fisiknya yang luar biasa, Dino dengan mudah menahan tekanan dari Alan dan mengayunkan bola kembali ke keranjang, mencetak dua angka untuk tim junior.
"Bagus, tim! Teruskan!" teriak Dika, yang kini berlari kembali ke posisi pertahanan.
Di sisi tim senior, April memandang situasi ini dengan tatapan serius. Meskipun tim mereka lebih berpengalaman, kali ini mereka dibuat tertekan. Bagas, dengan kecepatan dan kecerdikannya, memimpin permainan dengan sangat baik, sementara Dino dan Faisal seperti dinding pertahanan yang tak bisa ditembus.
“Gila, mereka cepat banget, April. Kita harus lebih rapat,” Bram berkomentar, berusaha mengatur pertahanan timnya.
April mengangguk dan berlari untuk memulai serangan berikutnya. Dengan tinggi badan 190 cm, dia memang terlihat seperti pemain yang tak bisa ditandingi. Namun, Bagas sudah siap menghadapinya. Begitu April membawa bola ke depan, Bagas langsung mengikuti setiap langkahnya, membaca setiap gerakan. Ketika April berusaha mengoper bola kepada Alan, Bagas sudah berada di tempat yang tepat, menghalau bola dengan cepat dan mengoperkan kembali kepada Filip, yang sedang berada di posisi tembakan.
Filip tidak ragu dan langsung melepaskan tembakan dari luar garis tiga poin. Bola melesat dengan presisi, dan—“Swoosh!”—bola masuk ke dalam ring dengan sempurna. Tim junior semakin unggul, 12-6.
"Nice shot, Filip!" seru Faisal, yang langsung berlari ke sisi pertahanan.
“Tidak boleh lengah! Terus bertahan!” April berteriak kepada timnya, berusaha untuk tetap memimpin meski tim junior terus mengontrol permainan.
Keunggulan tim junior semakin besar saat Dino kembali mendominasi bawah ring. Postur tubuhnya yang tinggi dan atletis membuatnya sangat sulit untuk dihentikan. Setiap kali bola dilemparkan ke arahnya, Dino berhasil meraih rebound dan memberi tekanan lebih besar pada tim senior. Tim senior terlihat kewalahan saat tim junior terus menggempur dengan serangan cepat dan umpan-umpan yang tidak terpikirkan oleh mereka sebelumnya.
"Tim kita masih ada peluang," kata April dengan suara tegas, berusaha membangkitkan semangat timnya. "Jangan biarkan mereka semakin jauh!"
Tapi meskipun begitu, tim junior tetap memimpin. Dika kembali mencetak dua angka setelah operan dari Bagas, dan Faisal menambah keunggulan dengan tembakan jarak menengah yang sangat akurat. Dengan tubuh yang lebih besar dan lebih kuat, tim junior memanfaatkan setiap peluang untuk menekan tim senior.
Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, peluit pelatih akhirnya berbunyi menandakan kuarter pertama selesai. Suasana di lapangan terasa penuh dengan ketegangan, namun tim junior tampak lebih unggul. Bagas, yang memimpin serangan dengan sangat baik, menatap ke arah skor. Poin sementara menunjukkan bahwa tim junior memimpin 15-8.
Bagas menghela napas lega, namun di balik itu, ia tahu bahwa permainan masih jauh dari selesai. Tim senior pasti akan berusaha lebih keras di kuarter berikutnya, dan tantangan sebenarnya baru saja dimulai.
“Bagus, tim. Teruskan kerja kerasnya!” kata Bagas kepada timnya dengan senyum percaya diri.
Namun, di sisi lain, April duduk di bangku cadangan dengan tatapan serius. Tim senior harus memikirkan strategi baru agar bisa mengejar ketertinggalan mereka. Mereka tak bisa membiarkan tim junior terus mendominasi seperti ini. “Kuarter berikutnya harus lebih baik,” bisik April kepada dirinya sendiri.
Pelatih meniup peluit panjang, memberikan waktu istirahat sejenak sebelum melanjutkan pertandingan. Kuarter pertama memang sudah berakhir, tetapi perjalanan mereka masih panjang.
Detik-detik yang tegang terasa begitu panjang ketika peluit berbunyi menandakan dimulainya kuarter kedua. Waktu seolah berjalan lambat bagi Bagas dan timnya, namun mereka tahu, permainan ini belum selesai.
Bagas berlari kembali ke lapangan, bertemu dengan Dika, yang juga terlihat siap untuk melanjutkan pertandingan. "Gas, gimana sekarang?" Dika bertanya, masih penasaran dengan strategi yang akan diterapkan di kuarter kedua.
Bagas mengangguk pelan, matanya menilai posisi lawan. "Di kuarter kedua ini, mereka pasti lebih banyak bertahan dan merapatkan barisan. Aku akan coba bongkar pertahanan mereka. Kalian siap untuk ambil rebound, terutama Dino." Ucap Bagas dengan nada serius, memberi semangat pada timnya.
Sementara itu, di sisi tim senior, April juga memberikan instruksi kepada rekan-rekannya. Mereka tahu, kuarter kedua ini akan lebih sulit. “Oke, tim, kita akan menyerang habis-habisan. Terutama si jangkung, Dino. Kalian coba jaga dia. Aku akan fokus di rebound,” ujar April kepada tim seniornya, yang kini mulai menunjukkan determinasi.
Begitu peluit kedua dibunyikan, pertandingan dimulai dengan intensitas yang lebih tinggi. Tim senior, yang semula kurang beruntung di kuarter pertama, kini mulai meningkatkan tekanan. Mereka beralih ke strategi bertahan lebih ketat, dan benar saja, Dino yang tadinya bebas bergerak kini dijaga oleh dua orang sekaligus. Tim junior harus merubah taktik mereka agar tidak terjebak dalam pertahanan lawan.
Dino kesulitan mendapatkan ruang tembak, dan aliran bola pun mulai terhambat. Di sisi lain, tim senior dengan cepat mengambil keuntungan dari kelengahan ini, memperbaiki posisi mereka dengan lebih rapat. April memainkan peran besar, menguasai bawah ring dan mengendalikan rebound, memberikan kesempatan bagi Bram dan Alan untuk melesakkan tembakan jarak menengah.
Dengan pertahanan yang lebih solid, tim senior berhasil membalikkan keadaan dan kini memimpin dengan skor 20-17. Penonton bersorak, atmosfer di lapangan semakin memanas.
"Gas, bagaimana sekarang?" Dika bertanya lagi, kali ini suara kekhawatirannya mulai terdengar.
Bagas menatap ke lapangan, berpikir cepat. "Plan B," jawabnya singkat, memberi isyarat kepada timnya. Plan B adalah strategi yang mereka pakai saat masih di SMP, ketika mereka memenangkan piala tingkat nasional, dan kali ini, Bagas tahu mereka harus mengeluarkan strategi itu lagi.
Dengan semangat yang membara, tim junior bersiap untuk menghadapi tekanan lebih besar. Bagas mengambil inisiatif, menjadi eksekutor utama. Dengan ketenangan yang luar biasa, ia mulai menyerang, menggiring bola dengan cepat di lapangan. Tim senior berusaha menghalangi pergerakan Bagas, tetapi keahlian Bagas dalam membaca permainan dan melakukan tembakan akurat dari berbagai sudut lapangan membuat tim senior kesulitan.
Dan tepat saat tim senior berharap bisa menggandakan pertahanan mereka, Bagas melepaskan tembakan tiga angka dari jarak yang cukup jauh. "Swish!" Suara bola yang masuk ke dalam ring menggema di seluruh lapangan. Poin demi poin, Bagas semakin mendekatkan timnya ke kemenangan. Rebound yang semula dikuasai tim senior kini menjadi peluang bagi tim junior.
Dino, meski terus dihadang, akhirnya berhasil mendapatkan bola dan mengoper ke Faisal yang dengan percaya diri menambah dua angka ke papan skor. Tim junior kini kembali unggul dengan 31-30.
“Gak ada yang bisa tahan kita, tim!” seru Faisal dengan semangat.
Namun, tim senior tak mau menyerah begitu saja. April, dengan kepemimpinannya yang kuat, terus memberikan instruksi kepada rekan-rekannya. “Kita masih punya kesempatan! Fokus!” katanya, berusaha membangkitkan semangat timnya. Tapi, waktu sudah semakin menipis. Keunggulan tim junior membuat mereka semakin percaya diri, dan serangan-serangan terakhir dari tim senior hanya bisa diblokir atau meleset dari sasaran.
Dengan peluit panjang yang berbunyi, pertandingan berakhir. Semua pemain, baik dari tim junior maupun senior, kelelahan dan terengah-engah. Namun, satu hal yang pasti: kemenangan tim junior. Skor akhir menunjukkan tim junior unggul tipis, 31-30, dengan hanya selisih satu angka—sebuah kemenangan yang begitu dramatis.
Bagas menatap timnya dengan rasa bangga. Meskipun mereka hanya menang dalam sebuah mini game, pertarungan sengit ini telah menunjukkan kemampuan mereka yang sesungguhnya. "Kita lakukan itu bersama, tim," ujar Bagas, sambil tersenyum lebar.
April berdiri di tengah lapangan, sedikit terengah, namun tetap memberikan pujian kepada tim junior. "Kalian bermain hebat. Kemenangan yang pantas. Ini baru permulaan, Bagas," katanya dengan senyum penuh arti, tanda bahwa persaingan mereka baru saja dimulai.
Dengan peluit yang terakhir kali berbunyi, pertandingan berakhir, dan kedua tim mengumpulkan kekuatan untuk merayakan permainan luar biasa yang baru saja mereka tunjukkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!