Namaku Rania Andity. Umurku 20 tahun. Aku sulung dari dua bersaudara. Aku memiliki satu adik perempuan bernama Vania Annisa dan Mama yang selalu menyayangi kami berdua. Ayahku sudah pergi meninggalkan kami saat aku masih berumur 10 tahun akibat kecelakaan kerja di perusahaan tempatnya bekerja dulu.
Sejak kepergian ayah, Mama menjadi tulang punggung sekaligus ibu untuk kami berdua. Mama seorang penjahit yang telaten dan berkompeten. Semua baju yang dibuatnya selalu mendapat pujian dan tak tertandingi kualitasnya. Mama juga pintar membuat kue kering maupun basah. Sering kali dia menerima pesanan dari ibu - ibu tetangga yang akan punya hajat. Pekerjaan apapun Mama lakukan asalkan halal dan mendapatkan uang untuk menyekolahkan aku dan Vania.
Kini aku sudah bekerja di sebuah perusahaan logistik di kota ku. Sejak lulus SMA, aku langsung mencari pekerjaan agar tak membebani Mama lagi. Dari sekian banyak lamaran yang aku kirimkan, disinilah aku bekerja sekarang. Walaupun perusahaan ini bukan perusahaan yang besar dan memiliki gaji yang besar. Namun aku sudah bersyukur karena dapat bekerja disini dengan hanya mengantongi ijazah SMA dan dengan nilai yang pas - pasan.
Sudah dua tahun aku bekerja dibagian administrasi perusahaan logistik ini. Rekan kerja ku juga sangat baik dan nyaman. Kami bahkan seperti keluarga. Membuatku menjadi betah dan tidak ingin mencari pekerjaan lain lagi.
Aku juga sudah punya pacar. Namanya Sean. Aku dan Sean sudah lima tahun merajut jalinan asmara. Sejak kami duduk di bangku SMA. Aku dan Sean saling menyayangi satu sama lain. Kami berdua sangat rukun dan jarang sekali bertengkar. Namun Mama ku tidak menyukai Sean.
Sejak lulus SMA sampai saat ini, Sean masih belum mendapatkan pekerjaan. Itu alasan terbesar Mama ku tidak menyukai Sean. Sean bukannya tidak berusaha. Dia sudah mondar - mandir, bolak - balik melamar pekerjaan. Namun perusahaan itulah yang tidak membutuhkan pegawai baru. Jadinya Sean masih menganggur hingga saat ini.
Sean memiliki suara yang bagus. Sejak sekolah dulu dia selalu menjadi bintang dalam setiap pertunjukan dan acara di sekolah. Hari ini aku sengaja bolos dari pekerjaan aku demi Sean. Karena hari ini Sean akan mengikuti sebuah audisi di salah satu agensi yang ada di kota ku.
Aku berjalan menuju jalan raya dan menunggu angkutan umum yang akan membawaku ke tempat janjian ku bersama dengan Sean. Aku memang melarang Sean menjemput ku ke rumah. Mama akan tau jika aku bolos kerja nantinya. Terlihat sebuah angkutan umum yang aku tunggu tiba. Tanpa pikir panjang aku pun langsung naik dan masuk kedalam. Ditengah perjalanan ponsel ku berbunyi. Aku pun merogoh tas ku dan mengambil ponsel itu.
"Iya, ini aku udah naik angkot," tukas ku saat mendengar suara khawatir Sean dari balik ponsel.
"Bentar lagi nyampek kok. Kamu tunggu aja di situ. Ya udah kalau gitu." Aku pun mematikan sambungan telepon itu dan memasukkan kembali ponsel ku ke dalam tas. Tak lama kemudian, aku pun telah sampai ke tempat tujuanku. Aku pun menekan tombol bel tanda berhenti yang ada di angkot itu. Setelah membayar aku pun berjalan sambil mencari keberadaan Sean.
"Rania!" suara Sean berteriak memanggil namaku. Aku pun tersenyum saat melihat sosok lelaki itu dan berjalan menghampirinya.
"Gimana?Udah daftar?" tanya ku pada Sean.
"Udah. Nih aku udah dapat nomer audisinya," tukasnya sambil menunjukkan selembar kertas bertuliskan nomor urut audisi itu.
"Eh kamu udah sarapan belum?" tanya ku khawatir. Lelaki itu tersenyum sambil mengangguk.
"Sudah. Tadi ibuk beliin aku nasi uduk dekat rumah." jawabnya santai.
"Ooh."
Sean mengajakku mencari tempat yang agak teduh. Karena nantinya akan memakan waktu yang cukup lama sekali pastinya. Dia tidak ingin melihatku kepanasan. Aku duduk sambil menatap sekeliling tempat itu. Banyak sekali yang ikut audisi hari ini. Mulai dari umur belasan sampai ada yang sudah berumur 30 an lebih.
Terlihat Sean berulang kali menghela nafas panjang sambil meremas kedua telapak tangannya. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Aku tau, saat ini Sean pasti sangat gugup sekali. Aku mengusap lengannya dengan lembut. Dia menoleh ke arah ku.
"Gugup ya?" tanya ku.
"Iya." jawabnya singkat. Wajahnya terlihat begitu tegang. Aku mengusap keringat yang ada dikeningnya. Dia tersenyum menatap ku.
"Kamu yang rileks. Gak usah dijadikan beban. Santai saja. Nanti suara kamu tambah gak keluar kalau kamu gugup," tukas ku. Dia mengangguk mengiyakan.
"Kamu gak apa-apa hari ini bolos kerja?" tanyanya memastikan.
"Aku sudah izin kak Riri kok," ujar ku. Sean menggenggam tanganku erat. Dari dulu kalau dia sedang gugup atau sedih, dia selalu menggenggam tanganku. Katanya ada energi tersendiri yang tiba-tiba menenangkan hatinya itu.
*****
Hampir empat jam aku dan Sean menunggu giliran untuk di panggil. Akhirnya kini giliran Sean untuk masuk ke dalam ruang audisi. Dia menghela nafas panjang sesaat sebelum melangkah masuk ke dalam.
"Sean. Semangat!" teriakku memberi semangat untuknya. Sean menatapku sambil tersenyum. Dia pun mantap melangkah masuk ke dalam.
Aku beranjak dari dudukku dan berjalan-jalan keliling tempat itu. Tempat yang cukup besar dengan dua gedung kembar disisi kanan dan kirinya. Tempat ini adalah salah satu anak cabang agensi terbesar di negara ini. Aku pun berhenti pada sebuah layar yang menampilkan beberapa potret artis yang sudah diorbitkan oleh agensi tersebut. Aku tersenyum saat melihat layar di depan ku. Membayangkan jika wajah Sean ada dideretan para artis yang sudah tidak lagi diragukan talenta dan popularitasnya.
Aku pun menghela nafas panjang lalu beranjak pergi dari sana. Sebelum khayalan ku akan membuatku semakin gila dan berhalusinasi terlalu jauh. Aku pun mencari keberadaan toilet. Karena tiba-tiba aku sangat ingin sekali buang air kecil. Aku pun berjalan menyusuri tempat itu dan menemukan tanda keberadaan toilet. Saat akan masuk kedalam toilet itu pun, aku tak sengaja melihat seorang lelaki dan wanita sedang bercumbu didalam toilet itu.
"Aaahh maaf. Maaf aku mengganggu," ujar ku malu lalu keluar lagi dari dalam toilet itu.
Saat di luar aku mengamati toilet yang tadi aku masuki. Aku berulang kali berdecak kesal sambil menatap pintu toilet itu.
"Sungguh tidak tau malu. Apa tidak ada tempat lagi apa selain di sana," tukas ku kesal. Karena kelakuan sepasang kekasih yang dimabuk cinta itulah aku harus menahan hajat ku.
Hampir sepuluh menit lebih aku berdiri di depan pintu toilet. Menunggu dua orang tidak bermoral itu keluar dari sana. Seseorang membuka pintu toilet. Aku pun tersentak kaget dan menatapnya. Seorang lelaki tampan dengan kacamata hitam keluar dan tersenyum kepadaku. Aku hanya bisa menatapnya dengan tatapan mata tajam.
"Dia kan lelaki yang berciuman itu" batinku dalam hati.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya lelaki itu dengan seringai diujung bibirnya.
"Siapa?Aku?Idih siapa juga yang ngelihat situ. Jangan ge'er deh," tukas ku cuek.
"Kenapa?Gak pernah lihat orang berciuman yah!" ujarnya pede. Aku hanya mendelik tajam ke arahnya. Dia tersenyum sambil memegangi bibirnya yang baru saja basah akan ciuman panas di dalam toilet itu. Lalu beranjak pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di depan toilet.
Saat aku rasa lelaki itu sudah pergi jauh dari pandangan ku. Aku pun masuk ke dalam toilet itu. Tidak ada siapa - siapa di dalam sana. Namun salah satu dari ketiga pintu kamar mandi itu tertutup rapat. Dari luar terdengar suara perempuan menangis sesenggukan. Aku hanya bersikap bodoh amat. Karena memang ini bukan urusanku kan. Aku hanya ingin buang air kecil saja. Tidak untuk mencampuri urusan orang lain.
Setelah tuntas dengan hajat ku. Aku pun keluar dari dalam kamar mandi. Terlihat seorang gadis cantik sedang berdiri di depan wastafel sambil merapikan make up diwajahnya yang luntur akibat menangis barusan. Aku pun berdiri di sampingnya dan mencuci tanganku tanpa bersuara.
Setelah selesai aku pun beranjak dari sana dan kembali lagi ke tempat audisi Sean. Dari jauh terlihat Sean sudah berdiri sambil menatap sekeliling mencari keberadaan ku. Aku pun menepuk punggung Sean mengagetkan dirinya. Sean menoleh ke arah ku.
"Kamu darimana saja, hah?Aku mencari mu dari tadi" tukasnya.
"Maaf. Aku dari toilet. Kebelet soalnya" jawabku.
"Gimana?Sudah?" tanya ku cemas.
Tiba - tiba wajah Sean berubah menjadi lesu. Aku pun mengerti arti wajah itu. Aku pun menepuk pundak Sean memberinya semangat.
"Ayo kita makan bakso! Siang-siang seperti ini makan bakso yang pedes pasti enak. Aku yang traktir!" tukas ku memberi semangat Sean.
Tiba-tiba Sean menarik tanganku dan memelukku dengan erat. Aku sampai tersentak dibuatnya.
"Sean jangan begini! Malu tau di lihat banyak orang," ujar ku. Sean melepas pelukannya. Dia tersenyum sumringah menatap ku. Aku pun tak mengerti dengan perubahan wajah Sean yang tiba-tiba itu. Padahal baru tadi wajahnya sedih. Kenapa berubah menjadi senang.
"Aku diterima Rania!" ujarnya senang.
"Hah?"
"Iya. Aku diterima! Aku lolos Rania! Aku lolos!" ujar Sean senang.
Aku begitu terkesiap mendengar kabar bahwa Sean lolos audisi. Aku pun melompat kegirangan mendengar berita bahagia itu. Kami berdua saling lompat kesana kemari seperti anak kecil yang menang lomba menggambar dan mendapat banyak piala.
"Kamu serius kan Sean?" tanya ku masih tak percaya.
"Iya, Rania. Aku lolos. Aku lolos Rania. Akhirnya cita-cita dan keinginan ku menjadi nyata" ujarnya senang.
Baru pertama kali ini aku melihat wajah Sean yang begitu bahagia. Matanya berbinar dan senyuman tak pernah surut dari sudut bibirnya. Bahkan Sean pun sampai menitikkan air mata karena terlalu bahagia.
"Selamat ya Sean. Aku ikut senang melihatnya," ujar ku tulus.
"Terima kasih Rania. Ini semua berkat doa dan dukungan darimu. Karena kamu selalu menyemangati aku tanpa lelah" tukasnya senang.
***
Maaf ya reader karena author akan melakukan revisi. Maaf atas ketidaknyamanan dari reader semua. 🙏🤗
Sean mengajakku makan bakso di warung pak Umar. Sejak masih SMA dulu, aku dan Sean sering banget makan di sana. Setelah dua puluh menit perjalanan, akhirnya kami pun sampai di warung bakso pak Umar.
Kami pun memesan dua porsi bakso dengan ukuran jumbo dan dua gelas es teh manis. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Aku dan Sean langsung memakan bakso itu dengan lahapnya. Selain rasa bakso itu yang enak, kita juga kelaparan. Dalam waktu beberapa menit saja, mangkuk kita yang tadinya penuh, sekarang habis tak tersisa.
"Mau tambah?" tanya Sean saat melihatku telah selesai meminum es teh manis hingga habis tak tersisa.
"Kalau masih lapar, tambah lagi aja. Tenang! Aku yang traktir. Jadi kamu bisa makan sepuasnya," tukas Sean. Aku menggeleng cepat.
"Enggak. Aku udah kenyang!" jawabku.
"Ya sudah. Kita bungkus aja buat Vania sama Mama kamu," tukas Sean.
"Gak usah Sean. Aku kan gak bilang sama mereka kalau aku bolos kerja. Mereka tau nya kan aku sedang kerja sekarang," ujar ku. Sean menunduk menatap mangkuk yang telah kosong di depannya.
"Maafin aku ya, Rania. Gara-gara aku kamu jadi bolos kerja dan bohong begini," tukas Sean sedih. Aku menggenggam tangan Sean yang ada di atas meja dan tersenyum menatapnya.
"Aku gak apa-apa kok. Kamu gak usah ngerasa bersalah begitu," ujar ku.
*****
Selepas dari warung bakso pak Umar. Sean mengajakku jalan-jalan mengelilingi kota. Kami berdua bercanda sambil menikmati suasana sore dengan motor matic milik Sean. Sudah lama sekali aku dan Sean tidak berkeliling kota seperti ini.
Dulu saat aku dan Sean masih sekolah, hampir setiap hari kita berkeliling seperti ini sepulang sekolah. Namun semenjak kita lulus dan aku sudah bekerja, kita sudah tidak pernah seperti ini. Kalaupun kita pergi keluar, kita pasti janjian ketemu di mall atau bioskop. Karena aku melarang Sean menjemput ku di rumah. Mama pasti ngomel jika melihatku pergi dengan Sean.
Aku melirik jam tangan yang ada di tanganku. Sudah waktunya jam pulang kantor.
"Sean, kita pulang yuk! Sudah sore nih" pinta ku dengan sedikit mendekat dan berteriak di telinga Sean.
"Memang sudah jam berapa?" tanyanya dengan berteriak juga.
"Sudah jam lima." jawabku.
"Oohh, ok. Kita langsung pulang," ujarnya.
Sean pun langsung melajukan motornya sedikit lebih kencang menuju tempat tinggal ku.
"Sean, berhenti di depan gang saja. Gak usah di depan rumah." pinta ku padanya.
"Loh kenapa?" tanyanya. Aku terdiam. Tidak enak kan kalau aku bilang takut Mama marah.
"Kamu takut aku di marahi Mama kamu?" tanyanya.
"Iya."
"Kamu tenang aja. Aku gak apa-apa kok. Kan sudah kebal juga kena omel Mama kamu." jawabnya dengan bercanda.
Seperti itulah Sean. Semua permasalahan dalam hidupnya selalu dianggap bercandaan. Aku tau jika selama ini bukannya dia tidak serius dengan masa depannya. Namun memang takdir dan nasib saja yang selalu tidak berpihak kepadanya.
Motor Sean berhenti tepat di depan pintu pagar rumahku. Terlihat Mama mengintip dari balik jendela rumah tanpa mau keluar menemui Sean. Aku hanya menghela nafas panjang.
"Kamu hati-hati ya pulangnya." seru ku.
"Iya. Kamu jangan mandi malam-malam. Nanti masuk angin. Aku balik ya. Dah Rania." tukasnya lalu pergi meninggalkan rumahku dengan motornya.
Aku pun membuka pagar dan langsung masuk ke dalam.
"Assalamualaikum." sapa ku saat membuka pintu dan masuk kedalam rumah.
"Waalaikumsalam." sahut Mama yang sedang berdiri di dekat pintu. Aku pun menyalami tangan Mama.
"Sampai kapan kamu akan berhubungan dengan si pengangguran itu?" tanya Mama sambil merapikan jahitan baju punya tetangga. Aku hanya terdiam lalu duduk di meja makan sambil menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya.
"Ngurusin dirinya sendiri saja gak becus. Apalagi mau ngurusin kamu nantinya. Kamu mau di kasih makan apa sama dia. Makan cinta. Kalau Mama sih ogah ya. Jaman sekarang udah tambah sulit, apa-apa serba mahal. Dan semua itu belinya pakai uang. Hari gini kok mau di kasih makan cinta!" aku menghela nafas berat.
Setiap kali aku diantar pulang oleh Sean. Mama akan selalu ngomel seperti itu. Ingin rasanya aku membantah setiap ucapan Mama. Namun aku selalu ingat pengorbanan Mama selama ini untukku dan Vania. Beliau rela kerja siang malam demi sekolah ku dan Vania. Demi menafkahi aku dan adikku. Aku langsung beranjak masuk ke dalam kamarku sebelum setan meracuni hatiku untuk menjadi anak yang durhaka.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur ku. Sejenak aku memejamkan mataku menahan lelah dalam hati ini. Ponselku tiba-tiba berdering. Aku pun beranjak duduk dan merogoh tas ku mengambil ponselku yang ada di sana. Ada pesan dari Sean.
"Jangan lupa langsung mandi. Mama kamu pasti ngomel ya. Maafin aku ya." aku menghela nafas panjang lalu beranjak dari sana menuju lemari pakaian untuk mengambil pakaian ganti dan segera menuju kamar mandi untuk menyegarkan badanku yang lengket akan keringat seharian ini.
*****
Sejak pagi aku sudah disibukkan dengan beberapa surat jalan dan berkas - berkas yang menumpuk dimeja ku. Karena kemarin aku tidak masuk kerja. Aku lumayan keteteran hari ini. Apalagi besok adalah akhir bulan. Berkas laporan bulanan harus di kumpulkan karena akan di evaluasi untuk bulan-bulan selanjutnya.
"Ran, kamu gak makan siang?" tanya Lila yang masih melihatku tenggelam dibalik layar komputer.
"Aduh kerjaan aku masih lumayan nih. Aku nitip aja deh," ujar ku dengan mata yang tak berpindah dari layar komputer.
"Kamu nitip apa?" tanya Lila.
"Cilok aja deh. Sepuluh ribu. Yang pedes." pinta ku.
"Ok. Itu aja?"
"Sama es teh manis deh. Biar seger." ujar ku.
Lila pun pergi meninggalkan kubikel tempatku bekerja. Sekarang hanya ada aku seorang diri di ruangan ini. Yang lain sudah pergi untuk makan siang. Aku yang sibuk membolak-balik berkas yang akan aku input ke dalam komputer pun sampai tak menyadari jika sedari tadi ponsel ku bergetar terus menerus.
*****
Aku berlari menuju ruang UGD dengan nafas yang memburu. Di sana terlihat Vania duduk sambil menangis ditemani oleh pak Ratno dan bu Mila, istrinya.
"Bagaimana kondisi Mama?" tanya ku panik saat berada di samping Vania.
"Kakak!" Vania langsung memeluk ku dan menangis dalam pelukanku.
"Mama masih di dalam Kak. Aku takut Kak!" ujar Vania sambil menangis.
"Mama kok sampai begini sih, dek? Kenapa Mama sampai seperti ini?" tanya ku panik.
"Aku juga gak tau Kak. Waktu aku pulang sekolah, Mama sudah pingsan di ruang tamu." jelas Vania.
Aku pun menangis sambil memeluk tubuh Vania dengan erat. Bu Mila mengusap lenganku supaya aku sedikit lebih tenang.
"Keluarga nyonya Elis?" panggil seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD. Aku dan Vania langsung berdiri dan berlari mendekat ke arah dokter itu.
"Iya dok. Saya anak dari nyonya Elis," ujar ku.
"Tekanan darah nyonya Elis sangat tinggi. Untung saja cepat dibawa kemari untuk mendapat pertolongan. Kalau tidak pembuluh darahnya bisa pecah dan akan beresiko stroke atau tidak tertolong nya nyawa nyonya Elis." kaki ku serasa lemas saat mendengar penjelasan dokter di sana.
"Lalu bagaimana kondisi ibu saya sekarang dok? Dia baik - baik saja kan?" tanyaku panik.
"Nyonya Elis sudah di beri obat penurun tekanan darah. Nyonya Elis juga harus di rawat inap disini untuk beberapa hari sampai kondisinya membaik. Takutnya jika pulang, nanti kalau ada apa - apa tidak bisa tertolong lagi." jelas dokter itu.
Aku pun menghela nafas berat. Akhirnya aku pun setuju jika Mama di rawat di sana untuk beberapa hari. Namun sekarang yang jadi beban pikiranku adalah biaya rumah sakit ini. Aku hanya memiliki sedikit tabungan. Karena gaji bulanan ku sudah aku berikan pada Mama sebagian untuk biaya hidup kita sehari - hari dan sekolah Vania.
"Mari ikut saya ke bagian administrasi untuk mengurus pembayaran rawat inap dan tanda tangan berkas- berkas nyonya Elis." ujar seorang perawat yang menuntunku menuju tempat administrasi.
"Kamu tunggu di sini ya, dek. Kakak mau ke ruang administrasi dulu," tukas ku pada Vania. Vania pun menurut.
Dengan langkah yang berat aku pun berjalan mengikuti langkah perawat di depanku.
***
Maaf ya reader, author hanya ingin menjadi penulis yang benar. Selama ini tulisan author masih amburadul. Jadi ke depannya agar bisa lebih baik lagi. 🙏🤗
Aku berjalan menuju kamar perawatan Mama. Baru saja Vania menelepon ku dan mengatakan kalau Mama sudah dipindah ke ruang perawatan yang ada dilantai tiga rumah sakit ini. Aku berjalan sambil menghela nafas berulang kali.
"Biaya perawatan atas nama nyonya Elis yang harus dibayarkan sebesar 4.850.000,00. Itu untuk perawatan dan obat selama 7 hari. Kalau nyonya Elis sudah diperbolehkan pulang sebelum 7 hari, makan uang perawatannya akan dihitung kembali dan sisanya akan dikembalikan" jelas bagian administrasi tadi kepadaku.
Aku menghela nafas dengan berat. Darimana aku dapat uang lima juta dalam semalam. Kalau harus pinjam, aku pinjam pada siapa?Tiba-tiba aku teringat akan paman ku yang sudah lama tidak aku temui. Dia adalah kakak dari Almarhum ayahku.
Aku pun berbalik arah meninggalkan lorong rumah sakit menuju ke rumah pamanku tersebut. Aku pun memanggil tukang ojek yang kebetulan mangkal di depan rumah sakit itu.
"Mas, ke jalan Cendrawasih ya!" pinta ku.
"Siap neng!" tukas mas-mas ojek sambil menyerahkan helm kepadaku.
Dalam perjalanan menuju rumah pamanku, aku bertarung dengan hati kecil dan batinku sendiri. Apakah paman mau meminjamkan uang yang tidak sedikit jumlahnya itu kepadaku? Apakah paman punya uang sebesar itu? Apakah bibi Ratna mau meminjamkan uang itu? Karena yang aku tau, istri pamanku itu tidak menyukai ku dan adikku.
Dulu saja waktu aku kecil dan diajak ayah mengunjungi rumahnya, bibi Ratna selalu bicara ketus dan menatapku penuh dengan kebencian. Dan paman Soni pun hanya diam tak bisa berbuat apa-apa. Karena paman Soni termasuk kategori suami yang takut istri.
Aku menghela nafas dengan berat. Mencoba menenangkan diriku. Semoga saja aku nanti pulang tidak dengan tangan kosong.
Aku pun sampai di depan rumah paman Soni. Terlihat Anita, sepupuku, sedang duduk di teras. Setelah membayar ongkos ojek, aku pun melangkah masuk ke dalam.
"Assalamualaikum" sapa ku. Anita mendongak menatap ku sinis. Dia yang sedang memakaikan kutek di kuku jarinya pun melengos saat melihatku.
"Hai Anita. Apa kabar?" tanya ku basa basi.
"Ngapain kesini?" tanyanya ketus.
"Hemm paman Soni ada?" ujar ku ramah.
"Ngapain? Mau pinjem duit ya?" tanyanya penuh selidik.
"Iya." jawabku.
"Dari dulu sampai sekarang hidupnya kok jadi benalu!," tukasnya lalu beranjak pergi masuk kedalam rumah. Aku pun menghela nafas dengan panjang.
Sabar ... Sabar ... batinku.
Anita usianya sama seperti ku. Hanya beda dua bulan saja. Namun sikapnya itu tak beda jauh dari ibunya. Sangat ketus dan suka pamer. Dia tidak suka jika ada orang yang menyaingi dirinya.
"Rania!" seru paman Soni dari dalam rumah saat melihatku berdiri di teras rumah.
"Paman." tukas ku lalu berjalan menghampirinya dan menyalim tangannya.
"Kenapa berdiri di situ nak? Ayo masuk!" paman Soni mengajakku untuk masuk. Aku pun menurut dan duduk di ruang tamu rumah itu.
"Sudah lama kamu tidak datang kesini. Bagaimana kabar Mama mu dan Vania?" tanya paman Soni.
"Mama ... Mama sedang di rawat di rumah sakit paman." tukas ku.
"Sakit apa Mama mu?" tanyanya kaget.
"Kata dokter sih hipertensi dan asam lambung yang sudah akut paman" jelas ku.
"Astaghfirullah. Maaf paman tidak tau nak. Sudah berapa lama Mama mu di rawat?" tanya paman.
"Baru tadi siang Mama masuk rumah sakit. Vania yang menemukan Mama jatuh pingsan di ruang tamu" jawabku. Paman Soni terlihat manggut-manggut mendengar ceritaku.
"Paman. Bisakah Rania meminjam uang? Untuk biaya rumah sakit Mama, paman." tanya ku hati-hati. Paman terdiam menatap ku. Dia terlihat sedang berpikir.
"Berapa?" tanya paman Soni.
"Rania pinjam lima juta aja paman. Nanti Rania akan cicil bayarnya setiap Rania gajian." tukas ku.
"Jangan di kasih Pa!" tiba - tiba bibi Ratna datang menghampiri kami berdua dari dalam rumah.
"Enak aja datang-datang pinjam duit! Kamu pikir kita ini bank, gitu?" tukas bibi Ratna dengan judes.
"Saya mohon Bi. Saya butuh uang itu untuk biaya rumah sakit Mama." pinta ku dengan nada memohon.
"Mama mu sakit itu bukan urusan kita ya! Lagian kan kamu sudah kerja. Masa' iya kerja bertahun - tahun duit segitu saja gak punya?" tukasnya dengan nada mengejek.
"Tabungan Rania kurang Bi. Uang gajian Rania semua sudah Rania berikan untuk biaya kebutuhan rumah dan sekolah Vania." jelas ku meratap. Rasanya air mata ku ingin jatuh saat ini saja.
Selain aku sedih karena diperlakukan seperti pengemis oleh paman dan bibi ku sendiri. Aku juga sedih karena harus bersikap seperti ini. Namun aku tak punya pilihan lain. Hanya mereka kerabat kami satu-satunya.
"Saya mohon paman, bibi. Tolong pinjami saya uang. Saya janji akan kembalikan. Saya akan mencicilnya setiap gajian. Dikasih bunga pun tak apa-apa." ujar ku memelas.
Cih, kamu seperti pengemis yang tidak tau malu, Rania. batinku dalam hati.
"Gak ada duit! Kamu pikir lima juta itu gak banyak, hah!" tukas bibi Ratna.
"Paman." aku menatap ke arah paman Soni dengan tatapan mengiba. Paman Soni hanya terdiam dan menunduk. Benar, paman Soni takut pada bibi Ratna.
Aku pun mengusap sudut mata ku yang mulai basah akan air mata. Aku menghela nafas dengan berat.
"Baiklah kalau begitu. Rania pamit pulang paman, bibi. Maaf jika kedatangan Rania mengganggu," tukas ku lalu beranjak berdiri dan meninggalkan rumah terkutuk itu.
Dalam perjalanan pulang aku merutuki kebodohan ku yang sudah berkata dan bersikap memelas seperti tadi. Aku datang ke tempat yang salah. Tidak seharusnya aku datang ke rumah itu lagi setelah bertahun - tahun tidak kesana.
"Kamu bodoh, Rania. Kau lihat kan! Kau di perlakukan seperti pengemis oleh mereka. Pasti sekarang mereka sedang tertawa menghina mu dan keluarga mu." gumam ku dalam hati.
Dan ...
"Aaawww." teriakku saat sebuah mobil menyerempet ku hingga aku jatuh terjengkang ke belakang.
"Aauuuuwww ... Siku ku sakit banget!" rintih ku sambil mengusap tangan dan siku ku yang kotor terkena kotoran debu dan pasir jalanan.
Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan jas hitam rapi turun dan menghampiri ku.
"Kau tidak apa-apa nona?" tanya lelaki itu. Aku mendongak dan menatap lelaki itu dengan judes.
"Gak lihat apa, ini tanganku terluka!" tukas ku dengan galak sambil memperlihatkan siku ku yang terluka.
"Saya minta maaf nona. Tapi tadi nona sendiri yang tidak hati-hati ketika berjalan." ujar lelaki itu dengan sopan.
"Yaaa! Jelas-jelas mobil mu ini yang menyerempet ku sampai seperti ini. Masih saja menyalahkan aku!" teriak ku sambil menendang ban mobil itu dengan kesal dan penuh amarah.
"Alvian. Kenapa lama sekali?" teriak seseorang dari dalam mobil. Kaca mobil bagian belakang itu pun terbuka. Seorang pria dengan kacamata hitam memandang ku dengan sinis.
"Maaf tuan. Akan segera saya bereskan!" ujar lelaki itu.
Lelaki yang berbicara kepadaku itu mengeluarkan dompet dan memberiku selembar uang ratusan ribu.
"Pergilah ke klinik terdekat dan obati luka mu nona!" tukas lelaki itu lalu pergi meninggalkan aku yang masih berdiri di pinggir jalan.
Sebuah senyuman mengejek ditujukan ke arah ku oleh lelaki dengan kacamata hitam dengan seiringnya mobil yang melaju perlahan meninggalkan tempat itu.
"Hei ... Hei!" teriakku saat melihat mobil itu berjalan meninggalkan ku sendiri. Aku begitu kesal dan geram dengan tingkah dua lelaki itu. Mentang-mentang mereka naik mobil mewah bisa seenaknya saja kepada orang lemah.
"Aku bukan pengemis tau!" aku melempar uang yang diberikan oleh lelaki itu. Aku sangat kesal sekali. Rasanya amarah ku sudah sampai ubun-ubun.
Lalu aku tersadar kembali telah membuang selembar uang ratusan ribu itu. Aku pun berbalik dan mengambil uang yang telah ku buang tadi. Dasar ucapan dan tindakan bertolak belakang sekali!
Tapi sepertinya aku tidak asing dengan laki-laki memakai kacamata itu. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya? Namun aku lupa pernah ketemu di mana. Aku berjalan sambil mengingat-ingat wajah lelaki berkacamata itu. Tapi semakin ku ingat, aku semakin tidak ingat.
Bodoh. Apa perduli mu dengan lelaki sombong seperti itu! gumam ku dalam hati. Aku pun mencegat angkutan umum yang kebetulan lewat di sana lalu naik.
***
Masih revisi ya reader. Mohon pengertiannya. Sambil menunggu bab selanjutnya di review, author akan merevisi semua tulisan. Biar kalian tidak sakit mata. 🙏🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!