Mereka memburuku, mengejarku yang sudah tak berdaya. Aku berlari ketakutan sambil berteriak meminta pertolongan. Jalanan ini mendadak sepi bagai jalur kota mati. Tidak, bukan jalan yang mendadak sepi. Tetapi daerah ini memang daerah rawan perampokan. Tak akan ada yang lalu lalang di sini ketika malam beranjak larut. Aku semakin terjebak!
"Tolong ... tolong aku ....!" teriakku sambil terus mencoba berlari.
Tak ada yang datang, tak ada yang menyahut permintaantolongku. Aku semakin terengah-engah karena berlari dari tadi. Nafasku semakin tak beraturan dengan keringat bercucuran. Rasanya aku sudah tak kuat lagi. Aku ingin menyerah.
Aku mulai linglung kehilangan keseimbangan. Aku tak begitu memperhatikan jalan yang berlubang. Aku tersandung. Tak ayal, aku jatuh tersungkur. Kakiku terasa sakit dan ngilu. Sepertinya terkilir.
"Hahaha ... akhirnya kau tak bisa lari lagi! Tangkap dia dan bawa pada Tuan Besar!" ucap seorang laki-laki pada anak buahnya.
"Baik, Tuan!"
"Tidak, aku tidak mau ... lepaskan aku!" aku berusaha berontak dari tangkapan dua orang laki-laki bertubuh tinggi dan berpakaian rapi khas bodyguard.
"Diam dan menurutlah!" bentak salah satu dari mereka. Mereka memaksaku berjalan, setengah menyeret.
Tuhan, berikan aku pertolonganmu .... Jika tak ada malaikat yang bisa Kau kirim untuk menolongku, maka kirimkan saja iblis dari neraka-Mu. Asal bisa menolongku lepas dari cengkeraman mereka, akan kuabdikan sisa hidupku padanya. Rintihku dalam hati.
Tidak, aku tidak bisa membiarkan diriku jatuh pada pak tua hidung belang itu. Aku harus menyelamatkan diri. Aku tidak boleh menyerah! Sebuah tekad kembali kubulatkan dalam hatiku.
Sekuat tenaga aku kembali berontak agar bisa terlepas dari tangan orang-orang yang menangkapku. Aku menggigit tangan salah satu dari laki-laki yang menangkapku. Dia mengaduh dan spontan melepas genggamannya. Sementara itu aku mencoba menendang kemal*an laki-laki lainnya. Aku berhasil. Dia mengerang kesakitan dan aku terlepas.
Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang susah payah kudapatkan ini. Aku kembali berlari menjauhi mereka. Aku tak peduli dengan rasa sakit yang menjalar di kakiku. Aku tetap memaksa menggunakannya untuk berlari sekencang mungkin.
"Wanita jal*ng, berhenti kau!" teriak mereka yang mulai mendekat lagi padaku. Jarak mereka sudah tak jauh lagi dariku.
Tidak, aku tidak boleh tertangkap! ucapku dalam hati.
Aku melihat setitik harapan. Setelah melewati tikungan di depan sana, aku akan sampai di jalan besar. Pasti akan ada yang lewat dan bisa kumintai pertolongan. Aku cukup berlari lebih kencang lagi dan segera mencapai jalan itu. Aku akan selamat. Aku pasti selamat.
Aku menoleh ke belakang, masih ada jarak antara aku dan orang-orang yang mengejarku meski jarak itu semakin memendek. Tapi sedikit lagi, hanya tinggal sedikit lagi .... Akhirnya aku sampai ditikungan. Senyum di bibirku mulai tersusun tipis. Jalan keselamatanku sudah terlihat.
"Berhenti atau aku akan menembakmu!" suara ancaman dari salah seorang yang memburuku terdengar jelas.
Aku tidak akan menghiraukan ancaman itu. Aku tidak boleh berhenti. Tapi sayang, aku tak begitu beruntung. Aku tidak memperhatikan jalan dengan baik. Tiba-tiba, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghampiriku. Aku masih mendengar suara rem mobil berdecit keras. Tapi jaraknya terlalu dekat, aku tak akan selamat.
"Aaaaaaaa ....." teriakku penuh ketakutan dengan tangan menutup wajahku.
Doorrr ...
Brraaakkk!
Aku tertabrak. Aku terjatuh. Kepalaku terasa berat. Aku merabanya. Ada darah yang mengalir. Oh tidak, dadaku juga terasa sakit. Aku sepertinya juga tertembak. Tetapi dalam kondisi setengah dasar, aku melihat seorang laki-laki menghampiriku.
"Tolong ... tolong aku ...." ucapku lirih. Aku tak dapat mempertahankan kesadaranku lagi. Gelap memenuhi duniaku. Mungkin ini jalan kematian yang datang menghampiri.
"Tuan Muda, maaf ... wanita ini tiba-tiba muncul. Saya tidak dapat menghindarinya meski telah berusaha ..."
"Bukan salahmu. Dia masih hidup. Masukkan dia ke mobil!"
"Baik, Tuan."
"Hai, kalian! Serahkan wanita itu pada kami!" ucap salah satu dari 3 orang yang mendekat.
"Kenapa aku harus menyerahkannya?"
"Kau tidak perlu banyak bicara, dia adalah buruan kami. Serahkan dan kalian akan selamat. Jika tidak, jangan salahkan kami jika kalian celaka!"
"Apa kalian sedang mengancamku?"
"Apa ucapanku kurang jelas? Kalau begitu ...."
Dor ... dor ... dor ....
Tiga buah tembakan beruntun mengenai sasaran dengan tepat. Tiga buah kepala berlubang dan tiga nyawa melayang.
"Suruh orang bereskan mayat mereka. Aku akan membawa gadis itu ke rumah sakit!"
"Baik, Tuan Muda. Saya mengerti."
"Bagaimana kondisinya?"
"Tuan Li, kondisinya tidak begitu baik. Dia kehilangan banyak darah. Luka benturan di kepalanya tidak begitu serius, tetapi luka tembak di dadanya ...."
"Dokter Wang, lebih baik kau segera menemukan cara untuk menyelamatkannya atau kau menemaninya ke liang lahat!" ancam
Jonathan Li.
"Kami akan berusaha Tuan Li. Saat ini kami memerlukan transfusi darah. Sayangnya stok darah golongan A di rumah sakit ini sedang kosong. Kami akan segera mencari ...."
"Gunakan darahku!" potong Jonathan Li.
"Tuan Muda, ini ..."
"Paman Wu, kau tunggu di sini!" perintah Jonathan Li dengan dingin.
"Baik, Tuan Muda."
"Silahkan Tuan Li, mari ke dalam ruang operasi," ucap dokter Wang.
"Ingatlah, jika kau sampai gagal menyelamatkannya, kau dan tim medismu akan ikut ke liang lahat!"
"Kami mengerti Tuan. Kami akan berusaha yang terbaik," jawab dokter Wang sambil menyeka keringat dinginnya.
Akhirnya operasi dimulai setelah transfusi darah dilakukan. Sebuah operasi yang memakan waktu lama. Dokter Wang dan timnya harus ekstra hati-hati. Mereka tidak mau melakukan kesalahan sedikit pun. Bekerja dibawah tekanan Jonathan Li memang berat. Salah sedikit saja, nyawa bisa melayang.
Di kota ini, nama Jonathan Li memang tidak asing. Dia adalah salah satu pengusaha sukses yang disegani banyak kalangan. Tak hanya sukses dalam dunia bisnis, Jonathan juga sukses merajai dunia hitam.
Sudah menjadi rahasia umum jika Jonathan Li adalah salah satu orang yang kebal terhadap hukum. Berurusan dengannya seperti menggali lubang kubur sendiri. Dia bisa menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya. Meski demikian, tak berarti tidak ada yang berani padanya. Dalam dunia bisnis, memang tak ada yang berani terang-terangan menantangnya. Tatapi dalam dunia hitam, dia memiliki beberapa musuh.
Jonathan Li juga terkenal tidak suka dekat dengan wanita. Tetapi hari ini dia membawa seorang wanita yang terluka ke rumah sakit bahkan bersedia mendonorkan darahnya. Ini tentu sebuah kejadian yang langka. Mendonorkan darah berarti kehilangan sesuatu yang berharga. Tentu saja, setegas darah dari seorang Jonathan Li lebih dianggap berharga dari pada nyawa beberapa orang.
Para dokter dan tim medis yang mengetahui hal tersebut diliputi rasa penasaran. Mereka bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya jati diri wanita yang dibawa Tuan Li. Tentu saja itu hanya sebatas berada dalam pemikiran mereka masing-masing tanpa berani melontarkannya. Mereka tidak ingin kehilangan pekerjaan kerena terlalu ingin tahu. Atau lebih tepat lagi mereka masih sayang pada nyawa mereka hingga memilih mengubur rasa penasaran itu dalam-dalam.
Setelah hampir 5 jam, akhirnya operasi selesai. Ada beberapa kendala yang ditemui tim medis sehingga operasi berjalan lamban. Namun akhirnya mereka dapat bernafas lega karena berhasil melakukan operasi dengan sukses. Tidak, mereka dapat tenang bukan hanya karena operasi yang sukses, tetapi karena mereka telah berhasil menyelamatkan nyawa sendiri dari ancaman Tuan Li.
"Kapan dia akan siuman?"
"Dia akan siuman mungkin siang nanti Tuan Li. Anda tidak perlu cemas. Dia wanita yang kuat. Masa kritisnya telah lewat. Sebentar lagi dia bisa dipindahkan ke ruangan," papar dokter Wang.
"Hemmm ..." suara yang keluar dari mulut Jonathan sembari tangannya memberi isyarat bahwa dokter Wang sudah boleh pergi.
"Baiklah Tuan, saya permisi dulu," ucap dokter Wang penuh rasa hormat.
"Tuan Muda, Anda belum istirahat semalaman dan juga kehilangan banyak darah untuk transfusi. Saya rasa Anda lebih baik beristirahat dulu sekarang," kata Paman Wu.
"Aku akan ke hotel di dekat rumah sakit ini. Suruh orang mengantarkan pakaian ganti untukku! Tentang gadis itu, tempatkan beberapa penjaga di luar kamar inapnya dan cari informasi tentang dirinya!" perintah Jonathan Wu.
"Baik, Tuan Muda. Saya mengerti."
Mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Tetapi wajahnya sangat mirip dengan Wen Xia. Siapapun dia, aku tidak akan membiarkannya lepas begitu saja dari tanganku. Sejenak terlintas bayangan kematian Wen Xia dalam ingatan Jonathan Li.
Wen Xia, tunangan Jonathan Li yang mati karena insiden penculikan 5 tahun yang lalu. Dia diculik oleh salah satu musuh Jonathan Li dan tidak berhasil diselamatkan. Meski Jonathan telah melenyapkan semua pelakunya, tetapi rasa bersalahnya tidak juga bisa hilang hingga kini. Tanpa diketahui orang, dia masih menyalahkan diri sendiri atas kematian Wen Xia.
Matahari mulai merangkak naik menyusuri garis edar. Pendar-pendar hangat disertai kilau cahaya surya telah menciumi ceruk bumi. Menampakkan wajah gedung-gedung pencakar langit dengan segala kemolekan dan keangkuhannya. Seakan saling berlomba memamerkan kekokohan dan kekuasaan pemiliknya.
Jonathan Li berdiri di balik jendela kamar sebuah hotel. Pandangannya beredar menapaki sebuah sisi kota yang membentang di depannya. Dari kamar di lantai 15 yang dia tempati, mobil-mobil tampak bagai mainan yang berjajar di jalanan. Dia memicingkan mata, mencoba melihat detail dari benda yang tertangkap retina matanya.
Sayangnya, yang kini tampak bukan lagi barisan mobil yang mengular di jalanan. Dalam benaknya kini tersaji kejadian tadi malam. Mobilnya telah menabrak seorang gadis. Dia terperangah ketika melihat wajah gadis yang menjadi korbannya. Sebuah wajah yang tidak asing. Wajah yang mirip dengan Wen Xia. Tunangannya yang telah meninggal.
Tangan Jonathan mengepal erat seolah mengumpulkan amarahnya dalam genggaman tangan. Entah apa yang dia lihat. Tatapan dinginnya menukik bagai elang mengincar mangsa. Dadanya terasa sesak dengan tiba-tiba. Sesaat dia telah kehilangan kendali dirinya. Terlempar pada jantung waktu yang menyakitkan 5 tahun lalu.
Jonathan berjalan mendekati sebuah tempat tidur besar yang mewah. Dia menghempaskan tubuhnya sendiri dengan kasar. Ada kesal yang dia lontarkan. Entah pada siapa luapan emosi itu harus dia lampiaskan.
Dipandanginya langit-langit kamar dengan malas. Dia ingin tidur, tubuhnya lelah, tetapi matanya enggan terpejam. Bayang-bayang Wen Xia kembali menyapanya. Menuntunnya untuk membongkar kenangan lama yang paling menyakitkan. Dirinya gagal melindungi orang yang paling dia cintai.
Ketika itu, dia baru saja kembali dari perjalanan bisnis di luar kota. Setibanya di apartemen, dia berharap bisa melihat senyum gadis yang telah dia rindukan. Sayangnya, harapannya kandas. Apartemen Wen Xia berantakan bekas diobrak-abrik orang. Dia memeriksa ke semua ruangan tapi tak ada tanda-tanda keberadaan Wen Xia.
Jonathan Li mengamuk membabi buta. Dia mengerahkan semua anak buahnya untuk menemukan keberadaan Wen Xia. Usahanya tak membuahkan hasil. Sampai seorang musuh lamanya menghubungi. Memberi tahu Jonathan bahwa Wen Xia berada di tangannya.
"Datanglah sendirian ke gudang kosong di pinggir kota! Jangan berani macam-macam atau nyawa kekasihmu melayang!" ancam Eric Yen.
Tanpa berpikir panjang, Jonathan langsung bergegas menuju tempat yang telah disebutkan oleh musuh bebuyutannya. Dia tampak datang sendirian. Tetapi sebenarnya anak buahnya telah bersiaga meski dari jarak yang cukup terjaga darinya.
"Lepaskan dia, targetmu adalah diriku!" ucap Jonathan begitu melihat Wen Xia terikat di sebuah tiang gudang.
"Melepaskannya itu mudah, asal kau menuruti semua permintaanku," seringai Eric.
"Katakan apa yang kau inginkan?"
"Hahaha ... rupanya seorang Jonathan Li benar-benar telah jatuh cinta pada gadis kecil ini." Erik membelai wajah Wen Xia dengan sebilah pisau kecil.
"Cepat katakan, apa yang kau inginkan!" Jonathan semakin tidak sabar.
"Baiklah, jika kau memaksa maka aku tidak akan berani mengulur waktu lagi. Aku hanya memiliki dua keringanan. Keinginan pertamaku adalah ... serahkan semua saham dan daerah kekuasaanmu padaku!" Eric tersenyum licik.
"Kau hanya perlu menandatangani berkas-berkas yang telah aku siapkan ini ...." Eric menunjukkan berkas-berkas yang ada di atas meja di tengah ruangan.
"Lalu, permintaan keduamu?"
"Hahahaha .... Tuan Li, Anda sungguh orang yang tidak sabaran." Eric menyeringai. "Permintaan keduaku, berjalanlah ke sini seperti anjing, lalu memohonlah padaku dengan benar! Maka aku akan melepaskan gadis kecil ini," lanjut Eric disertai tatapan menghunus kepada Jonathan.
Jonathan mengepalkan kedua tangannya di samping badan. Dia membalas tatapan Eric dengan nyalang. Kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun. Siap meletup tetapi masih ia tahan tatkala melihat Wen Xia yang masih terikat di tiang.
Perlahan Jonathan menjatuhkan dirinya. Berlutut dengan pandangan tertunduk. Dia terdiam untuk beberapa saat.
"Merangkaklah kemari seperti anjing dan memohonlah untuk kebebasan kekasihmu ini ... hahaha ..." tawa Eric pecah.
"Tidak! Nathan, jangan .... Aku mohon jangan lakukan itu ...." Wen Xia histeris dan tak kuasa membendung air mata. Hatinya perih melihat kekasihnya menjatuhkan harga diri. Dia seorang Jonathan Li. Orang terbiasa memberi salam hormat padanya. Tapi Eric menjatuhkannya pada titik nadir dari dirinya.
"Diam kau, jal*ng!" Eric mencengkram wajah Wen Xia.
"Singkirkan tangan kotormu dari dirinya!" bentak Jonathan.
"Kau berani membentakku? Kau harus tahu kedudukanmu saat ini!" Eric menjadi beringas. Dia menggoreskan pisau kecilnya pada wajah Wen Xia.
Darah mulai mengucur. Air mata Wen Xia semakin deras mengalir. Jonathan kehilangan kendali. Dia langsung berlari dan memukul Eric. Eric semakin brutal. Perkelahian tak dapat terelakkan. Anak buah Eric membantu menangkap Jonathan. Jonathan tak dapat berkutik. Eric memukulinya hingga babak belur.
Wen Xia berteriak histeris meronta-ronta melihat kondisi Jonathan. Teriakan dan tangisan Wen Xia tidak membuat Eric berbelas kasih. Dia malah semakin kalap dan mengambil pistolnya. Eric langsung mengarahkannya pada Wen Xia dan menarik pemantiknya.
Sebuah tembakan yang tepat sasaran. Peluru menembus dada Wen Xia. Membuatnya membeku menahan nyeri. Pandangannya terpusat pada Jonathan. Ada banyak makna dari binar mata sayu Wen Xia kala itu.
"Tiiidaaaakkkk!" Jonathan berteriak sekeras yang dia bisa.
Pada saat yang sama, anak buah Jonathan berhasil menerobos penjagaan dari anak buah Eric. Dengan cepat mereka bergerak menyelamatkan Jonathan Li dan menghabisi musuh-musuhnya. Singkat cerita Eric terdesak dan hendak kabur. Tapi Jonathan menghentikan langkahnya dengan tembakan bertubi-tubi.
Eric jatuh di lantai bersimbah darah. Dia mati dengan mengenaskan. Matanya melotot menatap Jonathan. Jonathan mendekati tubuh tanpa nyawa milik Eric, menginjak, dan meludahinya.
"Membusklah kau di neraka!" umpat Jonathan.
"Nathan ..." suara lirih Wen Xia tertangkap telinga Jonathan. Membuatnya kembali tersadar bahwa dia harus segera menyelamatkan Wen Xia.
Jonathan berlari dan dengan cepat melepaskan ikatan Wen Xia. "Tenanglah, aku akan membawaku ke rumah sakit. Tidak akan terjadi apa-apa padamu."
"Tidak, sayang .... Dengarkan ... aku," suara Wen Xia semakin lirih dan nafasnya tersengal.
"Diamlah, jangan banyak bicara ... aku akan menyelamatkanmu ...." Jonathan semakin panik.
"Nathan, aku mencintaimu ..." ucap Wen Xia sambil tersenyum. Perlahan matanya tertutup. Tubuhnya kehilangan daya. Napasnya tak lagi ada.
.
"Wen Xia ... Wen Xia ... buka matamu! Wen Xia ... aku juga mencintaimu, aku sangat mencintaimu. Buka matamu, bangunlah ..." Jonathan berusaha membangunkan Wen Xia. Dia mengoncang-goncangkan tubuh Wen Xia. Tetapi usahanya tentu sia-sia. Wen Xia telah meregang nyawa.
Jonathan Li hanya bisa memeluk tubuh Wen Xia yang semakin dingin. Air matanya menitih tak terkendali. Rasanya langit telah runtuh menghimpit dirinya. Membuatnya sesak dan kalah.
Sejak saat itu, Jonathan selalu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Wen Xia. Dia larut dalam keterpurukan. Banyak pengandaian yang dia sesalkan. Dalam benaknya, kematian Wen Xia adalah kegagalan dan kecerobohannya. Ceroboh karena tidak menyuruh anak buahnya menjaga Wen Xia saat dia tidak ada. Kegagalan yang telak karena ketidakmampuan menyelamatkan Wen Xia.
Kematian Wen Xia juga menjadikan Jonathan Li semakin dingin dan kejam. Dia tidak lagi berperasaan. Dia akan menghancurkan siapapun yang menyinggungnya. Sementara itu, untuk mengenang Wen Xia, dia meminta seorang pematung untuk memahat patung Wen Xia di rumahnya. Sebuah patung yang sangat mirip dengan Wen Xia. Jonathan sering berbicara dengan patung itu disaat kesepian menikamnya.
Jika aku seorang Pygmalion, suatu saat nanti aku pasti bisa menghidupkanmu!
Begitulah kalimat yang sering diucapkan Jonathan Li di depan patung Wen Xia. Dia seperti orang gila yang bicara pada benda mati sambil meneguk minuman keras hingga mabuk tak sadarkan diri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!