Di sudut kelas yang hampir penuh, Bayu duduk menyendiri, menghindari keramaian. Buku catatannya penuh coretan tidak jelas—bukan karena ia tak paham materi, tetapi karena pikirannya sedang sibuk memikirkan cara menyelesaikan tugas esai filsafat tentang eksistensialisme.
Di depan kelas, dosen baru saja menyelesaikan penjelasannya. "Ingat, deadline minggu depan. Pastikan esai kalian memiliki argumen yang kuat. Jangan copy-paste dari internet, ya."
Bayu mendesah panjang. Laptopnya sudah hampir tak bisa diandalkan, dan internet di kost-nya sering lebih lambat dari siput. Ia menyenderkan tubuh ke kursi, matanya menatap langit-langit seakan mencari pencerahan.
Dimas, yang duduk di sebelahnya, melirik. "Lu ngapain melamun gitu? Lagi merenungi absurditas hidup, filsuf kita yang satu ini?"
Bayu hanya menoleh malas. "Camus pernah bilang, absurd itu terjadi saat manusia mencoba mencari makna dalam hidup yang nggak punya makna."
"Ya, ya, itu sih alasan biar lu nggak bikin tugas, kan?" Dimas terkekeh sambil membereskan bukunya.
Bayu mengangkat bahu, malas membalas. Ia tahu Dimas benar. Tapi apa boleh buat, pikirannya benar-benar buntu.
Saat kelas bubar, Bayu bergegas keluar. Ia ingin cepat sampai di kost untuk melanjutkan esainya. Tapi di tengah perjalanan menuju halte bus, suara seorang perempuan menghentikannya.
"Bayu?"
Ia berhenti. Suara itu terdengar familiar, tapi otaknya kesulitan menghubungkannya dengan wajah. Saat ia menoleh, di sana berdiri seorang perempuan dengan rambut sebahu, mengenakan sweater putih yang sederhana tapi manis.
"Rara?" Suara Bayu nyaris berbisik.
Perempuan itu tersenyum lebar. "Akhirnya kamu masih ingat aku!"
Bayu terdiam sejenak. Rara, teman masa kecil yang sudah sebelas tahun tak ia temui, kini berdiri di depannya. Dulu, Rara adalah anak yang selalu ceria dan sering membelanya dari ejekan anak-anak lain.
"Kok bisa di sini?" tanya Bayu, masih bingung.
"Aku kuliah di sini, jurusan psikologi. Kamu?"
"Filsafat," jawab Bayu singkat.
Rara tertawa kecil. "Serius? Bayu yang dulu malas baca bisa masuk filsafat? Dunia ini memang penuh kejutan."
Bayu hanya tersenyum kecil, tak tahu harus menjawab apa.
"Eh, aku buru-buru ke kelas. Tapi nanti kita ngobrol lagi ya!" Rara melambaikan tangan dan berlalu pergi, meninggalkan Bayu yang masih mencoba memahami kejadian barusan.
Di kost, Bayu duduk di lantai sambil menatap laptop tuanya yang mulai memanas. Bukannya mengetik esai, ia malah memikirkan pertemuannya dengan Rara.
"Kenapa dia muncul sekarang?" gumamnya pelan.
Pikirannya kembali melayang ke masa kecil. Ia ingat bagaimana Rara selalu mengajaknya bermain di taman kecil di kampung, berbagi cerita, dan bahkan membela Bayu saat anak-anak lain mengejek tubuh kurusnya.
Tiba-tiba ponsel jadulnya berbunyi. Itu Dimas.
"Yu, besok lu jadi minjem motor gue buat ke pasar, kan?"
"Iya, gue bayar bensin, kok."
"Bayar pake apa? Duit lu aja pas-pasan," ledek Dimas.
Bayu tersenyum kecil. "Epictetus bilang, orang kaya itu bukan yang punya segalanya, tapi yang nggak butuh apa-apa."
"Yah, filsafat lagi! Udah, besok jangan jatuhin motor gue aja."
Setelah telepon berakhir, Bayu kembali termenung. Hidupnya yang sederhana sering jadi bahan lelucon, tapi ia tak pernah terlalu ambil pusing. Namun, kali ini, kehadiran Rara membuatnya merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya—atau mungkin sesuatu yang baru saja muncul.
Keesokan harinya, Bayu memutuskan untuk makan siang di kantin. Ia memesan nasi goreng sederhana, lalu mencari tempat duduk yang kosong. Namun, kantin terlalu penuh, dan ia hampir menyerah ketika mendengar suara itu lagi.
"Bayu! Sini, duduk sama aku!"
Rara melambaikan tangan dari sudut kantin, dikelilingi beberapa teman perempuan dari jurusannya. Bayu mendekat dengan ragu-ragu, merasa canggung berada di tengah-tengah mereka.
"Kenalin, ini Bayu," kata Rara, memperkenalkan Bayu kepada teman-temannya. "Dia teman masa kecilku."
Bayu hanya mengangguk kecil. Ia merasa semua mata memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Bayu, jurusan filsafat ya?" salah satu teman Rara bertanya dengan nada penasaran.
"Iya," jawab Bayu singkat.
"Pasti pintar banget ya, baca buku tebal tiap hari."
Bayu tersenyum tipis. "Pintar sih enggak. Socrates aja bilang, yang aku tahu cuma satu hal: aku nggak tahu apa-apa."
Teman-teman Rara terkikik, sementara Rara sendiri tersenyum lembut, seolah melihat sisi lain dari Bayu yang dulu.
"Bayu ini jenius, lho," kata Rara tiba-tiba. "Dulu waktu kecil dia suka bikin teka-teki sendiri."
Bayu tertawa kecil, merasa malu. "Itu dulu. Sekarang udah nggak."
Setelah beberapa percakapan, Bayu akhirnya pamit lebih dulu. Namun, sebelum pergi, ia mendengar salah satu teman Rara berbisik.
"Teman kecil? Seriusan, Ra? Ada apa sih sama dia?"
"Rahasia," jawab Rara sambil tersenyum misterius.
Sore itu, Bayu berjalan menuju halte bus. Ia masih mencoba mencerna pertemuannya dengan Rara dan segala sesuatu yang ia katakan. Namun, pikiran itu terhenti ketika ia melihat sosok yang sama sedang duduk di taman kampus.
"Bayu!" panggil Rara, melambaikan tangan.
Bayu mendekat, ragu-ragu. "Ngapain di sini?"
"Ngadem aja. Duduk sini," jawab Rara, menepuk tempat di sebelahnya.
Bayu duduk, menjaga jarak beberapa langkah. Mereka hanya diam, mendengarkan suara angin dan gemerisik dedaunan di atas mereka.
"Kamu masih ingat nggak, dulu kita sering main di taman kampung?" tanya Rara tiba-tiba.
Bayu mengangguk. "Iya. Tapi itu udah lama banget."
Rara tertawa kecil. "Aku inget banget, kamu tuh paling takut naik sepeda roda dua. Harus aku yang dorong dulu baru kamu mau coba."
Bayu hanya tersenyum. "Iya, aku payah waktu itu."
"Tapi sekarang beda, kan?" Rara menatapnya dengan ekspresi serius.
Bayu menoleh, bingung. "Beda gimana?"
Rara hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu berdiri. "Nggak apa-apa. Aku senang kita bisa ketemu lagi."
Sebelum Bayu bisa bertanya lebih jauh, Rara melangkah pergi, meninggalkan dia sendirian di taman. Bayu hanya duduk di sana, dikelilingi oleh pertanyaan yang tak terjawab.
Bayu terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari baru saja menembus tirai tipis di kamar kost-nya yang sempit. Ia masih mengingat percakapannya dengan Rara kemarin. Apa maksudnya? Kenapa Rara seperti menyiratkan sesuatu?
Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Ia mencoba mengalihkan pikiran dengan membaca buku filsafat yang baru ia pinjam dari perpustakaan kampus: "Being and Nothingness" karya Jean-Paul Sartre. Namun, hanya beberapa paragraf masuk ke otaknya sebelum pikirannya kembali ke Rara.
Ia menghela napas panjang. "Bayu, fokus. Jangan mikirin yang nggak penting," gumamnya pada diri sendiri. Tapi, kenangan masa kecil mereka mulai bermunculan di pikirannya.
Bayu kecil adalah anak yang pendiam, sering bermain sendiri di depan rumah. Tetangganya sering menganggap dia aneh karena lebih suka membaca buku cerita daripada bermain sepak bola seperti anak-anak lain.
Namun, Rara berbeda. Dia adalah satu-satunya teman yang selalu mengajaknya keluar rumah.
"Ayo, Bayu! Kita bikin rumah pohon di belakang!" Rara kecil menarik tangannya dengan penuh semangat.
"Tapi aku nggak bisa naik pohon," jawab Bayu malu-malu.
"Nggak apa-apa, aku dorong kamu dari bawah."
Mereka menghabiskan banyak waktu bersama, bahkan ketika anak-anak lain mengejek Bayu karena tubuhnya yang kurus dan sikapnya yang aneh. Rara selalu membela dia.
"Aku nggak peduli mereka bilang kamu aneh. Menurutku, kamu spesial," kata Rara suatu hari, saat mereka duduk di taman.
Namun, ketika usia mereka menginjak sembilan tahun, keluarga Rara pindah ke kota. Bayu tidak pernah mendengar kabar darinya sejak itu. Hingga sekarang.
Di kampus, Bayu merasa lebih gelisah dari biasanya. Ia duduk di kelas filsafat sambil menulis catatan dengan rapi, meski pikirannya melayang.
Dimas, seperti biasa, menyadari kegelisahan temannya. "Bayu, lu kok dari tadi diem aja? Biasanya kalau ada yang aneh, lu langsung keluarin kutipan filsafat."
Bayu menoleh, mencoba mengelak. "Nggak ada apa-apa, Dim. Gue cuma lagi mikir soal tugas."
Dimas menggeleng. "Alah, nggak mungkin. Jangan bilang ini gara-gara cewek."
Bayu mengangkat bahu. "Kenapa, emangnya?"
Dimas menatapnya dengan tatapan penuh godaan. "Hah! Bener kan! Jadi siapa dia? Cerita dong."
"Lu kepo banget, Dim."
"Ayolah. Gue temen lu dari awal masuk kampus. Kapan lagi gue denger cerita cinta filsuf kayak lu?"
Bayu menghela napas. "Bukan cerita cinta. Gue cuma ketemu temen lama, itu aja."
Namun, tatapan Dimas menunjukkan bahwa ia tidak percaya. "Seriusan? Temen lama siapa?"
"Rara," jawab Bayu akhirnya.
Dimas terdiam sejenak, lalu tertawa. "Rara? Yang mana tuh? Anak psikologi yang manis itu?"
Bayu hanya mengangguk, merasa canggung.
"Wow, jadi lu punya sejarah sama dia? Kok nggak bilang-bilang dari dulu?"
"Karena nggak ada yang perlu diceritain," jawab Bayu cepat.
Dimas masih tersenyum penuh arti. "Hmm, gue rasa bakal ada cerita menarik dari sini."
Selesai kelas, Bayu memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Ia berharap bisa menemukan tempat yang tenang untuk berpikir. Namun, rencananya gagal ketika ia melihat Rara duduk di salah satu meja, tersenyum padanya.
"Bayu! Sini duduk."
Bayu ragu sejenak, tapi akhirnya mendekat. "Ngapain di sini?"
"Baca buku, lah. Kamu sendiri?"
"Nyari referensi buat tugas."
Rara mengangguk sambil menunjuk kursi di depannya. "Duduk sini. Aku udah lama nggak ngobrol sama kamu."
Bayu duduk dengan canggung. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu berubah, ya," kata Rara tiba-tiba.
"Berubah gimana?"
"Dulu kamu nggak pernah bisa diam. Sekarang malah pendiam banget."
Bayu mengangkat bahu. "Waktu ngubah orang, Ra."
Rara tersenyum kecil. "Tapi kamu tetap Bayu yang aku kenal. Masih suka berpikir terlalu banyak, kan?"
Bayu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia membuka bukunya dan mencoba terlihat sibuk.
Namun, Rara terus mengajaknya berbicara. "Masih inget nggak, waktu kecil kita pernah berantem gara-gara aku ngambil buku favoritmu?"
Bayu teringat. "Iya. Buku itu sobek gara-gara kamu, kan?"
Rara tertawa. "Tapi kamu tetap maafin aku."
Bayu tersenyum kecil, merasa sedikit lebih rileks. Tapi suasana itu terganggu ketika teman-teman Rara datang menghampiri meja mereka.
"Ra, ayo! Kita ada janji ngerjain proyek bareng."
Rara menoleh ke arah mereka, lalu kembali menatap Bayu. "Aku harus pergi. Tapi nanti kita ngobrol lagi, ya."
Bayu hanya mengangguk, merasa lega sekaligus bingung. Rara benar-benar mengacaukan dunianya.
Malam itu, Bayu duduk di kamar kost sambil mencoba menulis esai filsafat. Tapi seperti sebelumnya, pikirannya terus melayang ke Rara.
Ia membuka buku catatannya dan mulai menulis sesuatu yang berbeda:
"Apakah hubungan masa kecil bisa kembali sama seperti dulu? Atau apakah waktu mengubah segalanya menjadi sesuatu yang asing?"
Tulisannya terhenti ketika ia mendengar suara di luar. Dimas datang tanpa pemberitahuan, membawa makanan ringan.
"Bayu! Gue tau lu pasti lagi melamun. Makanya gue bawain cemilan."
Bayu mendesah. "Kenapa lu nggak pernah ada niat buat kasih gue ruang sendiri?"
"Karena lu butuh dihibur. Jadi, Rara ini gimana ceritanya?"
Bayu melirik tajam. "Dim, gue serius. Ini nggak ada apa-apa."
Dimas tertawa kecil. "Yakin? Gue liat tatapan lu beda waktu di kantin tadi. Ada sesuatu, kan?"
Bayu tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia berkata, "Kalo hidup gue kayak tugas filsafat, mungkin gue lebih gampang nyelesainnya."
"Alah, filsafat lagi. Udah, lu nggak usah mikir berat-berat. Kalau lu suka sama dia, ya bilang aja."
"Gue nggak suka, Dim."
"Serius?"
Bayu mengangguk. "Dia cuma temen lama."
Namun, jauh di dalam hatinya, Bayu merasa ada sesuatu yang berubah sejak kehadiran Rara.
Pagi di kampus seperti biasa: ramai, penuh dengan mahasiswa yang tergesa-gesa menuju kelas, beberapa berkerumun di kantin untuk sarapan, dan sisanya—seperti Bayu—berusaha menghindari perhatian.
Bayu duduk di bangku taman dekat fakultas filsafat. Tumpukan buku berada di pangkuannya, tapi matanya menatap kosong ke arah lapangan parkir.
“Bayu!” panggil suara yang sangat ia kenal.
Ia mendongak. Rara berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, mengenakan kemeja putih yang terlihat rapi. Ia membawa dua gelas kopi di tangannya.
“Ngapain duduk sendirian?” Rara duduk di sampingnya tanpa meminta izin. Ia menyodorkan salah satu gelas. “Nih, aku bawain kopi.”
Bayu mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba bawain kopi?”
“Anggap aja sebagai bentuk nostalgia. Dulu, tiap kali aku ngajak kamu belajar, kamu selalu minta aku bawain jajanan dulu biar mau kerja sama.”
Bayu tersenyum kecil, mengingat kenangan itu. Namun, ia segera mengembalikan fokusnya ke buku di tangannya. “Makasih, tapi aku nggak minta.”
“Ya ampun, Bayu. Kamu ini selalu dingin banget.”
Bayu tidak menjawab. Ia membuka buku Meditations karya Marcus Aurelius dan pura-pura membaca. Tapi Rara tidak menyerah.
“Kamu lagi baca apa?”
“Marcus Aurelius,” jawab Bayu singkat.
“Oh, filsuf Romawi itu? Aku pernah dengar, tapi nggak paham sih.”
Bayu mendongak, sedikit terkejut. “Kamu tahu Marcus Aurelius?”
“Yah, tahu dikit-dikit. Dulu aku pernah baca tentang stoicism. Mereka bilang itu ajaran tentang mengendalikan emosi, kan?”
Bayu mengangguk pelan. Ia tidak menyangka Rara tahu hal seperti itu. Biasanya, orang-orang hanya menganggap minatnya terhadap filsafat sebagai sesuatu yang membosankan.
“Jadi, kenapa kamu suka filsafat?” tanya Rara, menatapnya dengan penuh minat.
Bayu terdiam sejenak. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang sederhana, tapi ia tahu jawabannya tidak sesederhana itu. “Karena... filsafat membantu aku memahami hal-hal yang sulit dijelaskan. Termasuk tentang diri sendiri.”
Rara tersenyum kecil. “Kamu tahu nggak? Aku selalu kagum sama cara berpikir kamu.”
Bayu tersentak mendengar kata-kata itu. “Kagum? Kenapa?”
“Karena kamu selalu punya cara unik untuk melihat sesuatu. Waktu kecil, aku sering merasa kamu seperti punya dunia sendiri, dan itu bikin aku penasaran.”
Bayu tidak tahu harus merespons apa. Jadi, ia hanya menunduk dan kembali membaca bukunya. Tapi dalam hatinya, ia merasa hangat mendengar pujian itu.
Setelah kelas filsafat selesai, Bayu kembali ke taman yang sama. Ia berpikir akan punya waktu untuk merenung sendirian, tapi Dimas tiba-tiba muncul entah dari mana.
“Gue bilang apa, Bayu? Lu pasti nggak bisa ngelupain dia, kan?” Dimas duduk di sampingnya sambil menyandarkan tubuhnya ke bangku.
“Dimas, gue nggak ngerti lu ngomong apa.”
“Alah, jangan pura-pura bego, deh. Gue liat tadi lu ngobrol sama Rara di taman. Dia bawain kopi lagi! Wih, udah kayak pacar aja.”
Bayu menutup bukunya dengan kasar. “Dia cuma temen lama. Udah gue bilang.”
“Hmm, temen lama yang perhatian banget, ya? Gue sih nggak percaya.”
Bayu mendesah. “Dim, lu tuh terlalu banyak mikir aneh-aneh.”
Dimas tertawa kecil. “Gue pikir itu kerjaan lu, filsuf kampus.”
“Kalau gitu, coba lu jawab ini,” Bayu berkata, mencoba mengalihkan topik. “Menurut Plato, cinta adalah usaha untuk menemukan separuh jiwa kita yang hilang. Jadi, cinta itu lebih soal melengkapi diri sendiri, bukan soal orang lain. Kalau gue nggak butuh dilengkapi, buat apa mikirin cinta?”
Dimas terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Tapi Plato nggak pernah ketemu Rara, kan?”
Bayu melemparkan pandangan tajam, tapi Dimas hanya tertawa terbahak-bahak.
“Udah, Bayu. Gue serius. Kalau lu terus-terusan mikir kayak gitu, kapan hidup lu bakal bahagia?”
“Stoik bilang kebahagiaan datang dari menerima apa yang ada dan tidak tergantung pada orang lain.”
“Dan itu bikin lu jadi sendirian, bro.”
Bayu tidak menjawab. Ia tahu Dimas punya poin, tapi ia tidak mau mengakuinya.
Hari berikutnya, Bayu sedang asyik membaca di perpustakaan saat suara langkah kaki mendekat.
“Bayu,” suara lembut Rara memanggilnya.
Ia mendongak dan melihat Rara berdiri di depannya dengan senyum cerah. “Aku butuh bantuan kamu.”
Bayu mengerutkan kening. “Bantuan apa?”
“Aku lagi ngerjain tugas kelompok, dan salah satu tugasnya adalah wawancara tentang pandangan hidup. Kamu kan jurusan filsafat, pasti punya jawaban menarik.”
Bayu menghela napas. “Kenapa harus aku?”
“Karena aku percaya sama pandangan kamu. Lagipula, kamu selalu punya cara unik untuk menjawab pertanyaan.”
Ia tidak bisa menolak. Akhirnya, mereka duduk bersama di salah satu meja kosong.
“Jadi,” Rara memulai, “apa pandangan kamu tentang tujuan hidup?”
Bayu berpikir sejenak sebelum menjawab. “Menurut filsafat stoik, tujuan hidup adalah mencapai ketenangan batin dengan menerima apa yang ada di luar kendali kita dan fokus pada apa yang bisa kita kendalikan.”
Rara mencatat jawaban itu dengan serius. “Kalau cinta? Apa menurut kamu itu bagian dari tujuan hidup?”
Bayu terdiam, tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. “Cinta...” Ia berhenti sejenak. “Bagi sebagian orang, mungkin iya. Tapi bagi aku, cinta lebih seperti ilusi yang diciptakan oleh kebutuhan manusia untuk merasa utuh.”
Rara menatapnya dalam-dalam. “Kamu benar-benar nggak percaya sama cinta, ya?”
“Bukan nggak percaya. Aku cuma berpikir cinta itu terlalu rumit untuk dijadikan fokus utama hidup.”
Rara tersenyum tipis. “Kamu tahu, aku nggak setuju. Tapi aku suka cara kamu berpikir.”
Bayu hanya mengangguk, merasa bahwa percakapan ini terlalu personal.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, salah satu teman Rara datang dan memanggilnya.
“Ra, kita harus pergi sekarang. Deadline tugasnya bentar lagi, nih.”
Rara mengangguk dan berbalik ke arah Bayu. “Makasih, Bayu. Kita ngobrol lagi nanti, ya.”
Bayu hanya melambai pelan, tapi dalam hatinya, ia tidak bisa berhenti memikirkan pertanyaan Rara. Apa benar cinta hanyalah ilusi, atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!