Deburan ombak mengiringi tangisan pilunya. Seakan-akan hatinya ikut terombang-ambing oleh dasyatnya angin yang bertiup kencang. Biasanya orang bermain ke pantai untuk bermain-main menikmati indahnya laut. Bermain kejar-kejaran bersama orang terkasih. Atau sekedar membuat sebuah istana pasir. Untuk menyegarkan pikiran agar mendapat energi baru.Tapi ia disini duduk melamun dengan air mata yang membanjiri matanya. Dengan dada yang dipenuhi dengan rasa menyesakkan. Ingin sekali ia berteriak memaki atau mengeluarkan segala beban dihatinya. Ia termenung memandang ombak yang berkejaran sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Lama ia duduk sambil menangis meratapi nasibnya yang malang. Haruskah ia pulang ke Indonesia? Tanah kelahirannya? Tetapi apa yang akan dikatakan pada bundanya? Bisa-bisa ia diusir dari rumah bunda dan tak pernah dianggap anak. Ia bingung, kalau ia tak pulang kehamilannya akan semakin membesar, tentu saja ia akan dikeluarkan dari kampus.Tetapi kalau pulang ke Indonesia bagaimana ia akan menjelaskan pada bundanya?
"Bagaimana kalau aku diusir bunda? Memikirkannya membuat air mataku tak mau berhenti. Oh Tuhan apa yang harus ku lakukan?" batin wanita itu bimbang.
Ia mengingat kembali laki-laki tampan yang sangat dicintainya, yang selalu bersikap manis padanya.Yang mengajarkannya tentang cinta dan membuatnya bahagia selama setahun lebih ini. Pria itu berhasil memporak-porandakan janjinya pada bunda, bahwa sebelum lulus ia tidak boleh berpacaran. Gara-gara lelaki yang menghancurkan hidupnya itu, ia melanggar larangan bunda. Sehingga kini nasibnya begitu naas hanya karena cinta. Cinta memang seringkali membutakan mata hati seseorang, tanpa bisa membedakan yang mana yang baik dan mana yang buruk.
Hawa dingin dari air laut mulai membuatnya kedinginan karena duduk terlalu lama di pinggir pantai itu. Bibirnya mulai membiru terkena sapuan angin dingin. Namun berbanding terbalik dengan pikirannya yang semakin memanas dan kacau. Seolah kehidupannya sudah berakhir.
Iya, dia Medina Salsabila gadis cantik berusia dua puluh tahun itu mahasiswa semester empat di Fakultas Kedokteran universitas terbaik di dunia itu. Kecerdasannya membuat ia mendapatkan beasiswa di universitas yang di idam-idamkan sebagian besar mahasiswa di dunia itu. Ia merasa sangat beruntung. Mengingat keluarganya tidak cukup kaya untuk membiayai biaya kuliah di sana, yang bernilai ratusan juta rupiah per semesternya. Awalnya bundanya tak merestui sebab tak ada sanak saudara yang tinggal di Amerika. Apalagi ia sangat khawatir melepas anak perempuannya tinggal seorang diri di negara yang sangat jauh. Namun, kebulatan tekadnya meluluhkan hati sang ibu. Dulu ia berjanji untuk selalu menjaga diri dan tidak akan terpengaruh pergaulan bebas. Namun kenyataannya sekarang ia hamil tanpa suami. Malang, kekasihnya yang juga mahasiswa dari Indonesia di Harvard university menolak untuk bertanggung jawab. Malah dengan teganya, ia menyuruh Medina menggugurkan kandungannya.
Sehingga ia sangat membenci laki-laki itu. Yang tega menghamilinya kemudian seenaknya saja menyuruhnya untuk menggugurkan anak yang tak berdosa. Sebenarnya ia masih sangat mencintai laki-laki yang sudah dikencaninya selama satu tahun lebih itu. Nama laki-laki itu terlanjur terpatri dihatinya, namun ia merasa benci bila mengingat apa yang diperbuat lelaki itu padanya sehingga menghancurkan masa depannya. Menghancurkan harga dirinya sebagai wanita.
Saat melihat semua keadaan yang tidak memungkinkan, wanita itu merasa semua tak ada gunanya. Karena solusinya hanya satu, yaitu pertanggungjawaban kekasihnya. Sayang, hal itu tidak akan pernah ia dapatkan sampai kapan pun. Gibran dengan egois mencampakkannya. Medina gelap mata, merasa tak bisa hidup lagi.
Perlahan wanita itu menanggalkan mantel dan sepatu yang ia pakai. Pikirannya yang kacau membutakan hatinya. Tak ada jalan lain selain untuk menyelesaikan semua. Hanya satu jalan, semua akan baik-baik saja jika ia menghilang. Ia dan bayinya tak perlu lagi merasakan penderitaan. Ia tak harus menanggung rasa malu itu sendirian.
Wanita itu berdiri, meletakkan semua barang bawaannya di sebuah kursi duduk. Perlahan tapi pasti ia mendekat ke arah bibir pantai. Kini rasa dingin sudah tak dirasa lagi.
Sementara itu di sisi pantai lain, ada seorang lelaki sama kacaunya dengan keadaan Medina. Lelaki muda itu menghembuskan napas kasar beberapa kali. Seolah beban berat hidupnya begitu berat.
Dia adalah Rayga Arkana Dewanto. Seorang pebisnis muda yang sudah lama tinggal di kota Newyork. Lelaki itu datang ke pantai untuk menenangkan diri. Pikirannya kacau karena omanya mendesaknya untuk pulang. Omanya ingin menjodohkan dirinya dengan wanita lain. Wanita yang tidak ia cintai. Padahal Ray sudah memiliki kekasih, wanita pilihannya sendiri.
Semua bukan salah omanya. Karena yang menjadi masalah adalah Aurel. Kekasih Ray yang masih belum siap menikah dengannya. Wanita itu lebih mementingkan karirnya. Menolak untuk segera menikah. Beberapa kali Ray membujuk, namun wanita itu tetap teguh pada pendiriannya. Hingga oma memberi pilihan pada Ray. Menikah dengan Aurel, atau omanya akan menjodohkannya dengan wanita lain.
Ia pusing memikirkan kehidupannya yang rumit. Satu sisi ia ingin menikah dengan wanita yang ia cintai, satu sisi lain ia tak ingin membuat omanya sedih. Karena hanya omanya yang ia punyai, setelah lama orang tuanya tiada.
"Arghhh, sialan! Apa yang harus aku lakukan?" gumam pria itu.
Ia mengalihkan pandangannya ke sudut lain tak seberapa jauh darinya. Dan ia melihat seorang wanita duduk di sebuah bangku dengan bercucuran air mata. Sikap gadis itu sangat mencurigakan. Di cuaca sedingin itu, wanita itu tiba-tiba membuka mantel dan sepatunya. Ray melihat dengan jelas wanita muda yang kelihatannya juga orang Indonesia semakin mendekati bibir pantai.
Otak Ray langsung menangkap maksud wanita itu. Wanita itu mungkin ingin mengakhiri hidupnya.
"Argh, hidupku saja serumit ini. Kenapa aku harus memikirkan orang lain? Hah aku rasa aku sudah gila." Ray memutuskan untuk mengalihkan pandangannya dan bersikap acuh tak acuh. Tak ingin mencari masalah lagi, walau hanya sekedar menegur gadis itu.
Ray mengalihkan pandangannya ke arah lainnya. Tak ingin hati nuraninya mengalahkan pikirannya untuk tetap egois. Hanya orang asing yang bahkan tak ia kenali. Jadi, ia tak boleh ikut campur dengan urusan wanita itu. Atau semuanya akan lebih memusingkannya.
Gadis itu terlihat menyedihkan. Ia terlihat sangat rapuh. Semakin lama langkahnya semakin melambat ketika mendekati ombak yang bergulung. Sepertinya ia masih memiliki rasa takut. Namun sejurus kemudian ia berubah pikiran. Dengan mantap ia mendekati ombak dan tubuh ringkih itu tergelung ombak besar.
"Argh, sialan!" Ray mengacak rambutnya dengan kasar. Hatinya melemah melihat wanita itu.
Hati kecil Ray meronta, merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan wanita itu. Ia berlari sekuat tenaga menghampiri wanita asing itu. Tanpa menghiraukan dinginnya air laut ia melepas mantel dan sepatu miliknya. Dan ia terjun ke air menyelamatkan wanita malang itu.
.
.
.
.
.
.
Tahap revisi, aku rombak tulisanku. Beserta alurnya. Jadi bagi yang baru membaca maaf jika ada yang kurang nyambung. Karena belum selesai 🙏🙏🙏
Hati kecil Ray meronta, merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan wanita itu. Ia berlari sekuat tenaga menghampiri wanita asing itu. Tanpa menghiraukan dinginnya air laut ia melepas mantel dan sepatu miliknya. Dan ia terjun ke air menyelamatkan wanita malang itu.
"Uhuk, uhuk uhuk." Medina terbatuk-batuk setelah Ray membawanya ke tepian pantai. Kini wanita itu menggigil kedinginan.
"Hei! Are you crazy?"
"Huhuhu, kenapa kamu menyelamatkan aku?" gumam Medina menangis. Usaha terakhirnya untuk mengakhiri hidup juga harus gagal.
"Kamu orang Indonesia juga?" tanya Ray.
"Kenapa kamu harus menyelamatkan aku? Kenapa? Aku ingin mengakhiri semuanya." Tangis Medina semakin menjadi.
"Kenapa hatiku sakit sekali mendengar tangisannya? Dia hanya orang asing. Bahkan aku sendiri juga sedang bingung dengan masalah yang sedang aku hadapi. Huh, Rasanya aku sudah gila," batin Ray.
"Nona ...," Rayga memanggil lembut Medina dan mengulurkan sebuah sapu tangan miliknya.
Medina menyambut sapu tangan itu dengan kebisuan. Kemudian sapu tangan tersebut digunakannya untuk menyeka kedua matanya yang basah.
"Nona, bagaimana kalau kita ke kafe sebelah sana? Anda bisa menghangatkan diri di sana. Dan Anda juga perlu mengganti baju. Agar tidak sakit. Nanti saya carikan baju untuk Anda." Rayga menunjuk sebuah kafe tak jauh dari tempat mereka berdiri.
Medina terdiam tak lantas mengiyakan. Bagaimanapun juga Ray hanya orang asing. Walau lelaki itu telah menolongnya, tapi ia harus tetap waspada. Namun ketika ia menatap maya Ray yang penuh ketulusan, akhirnya ia mengiyakan perkataan Ray.
Rayga membantu Medina berdiri dan berjalan sampai di sebuah kafe yang masih berada di area pantai itu. Setelah mereka duduk, Rayga melambaikan tangan ke arah waitress untuk memesan minuman. Ia memesan kopi susu untuknya dan segelas susu cokelat untuk Medina. Ia berpamitan pada Medina untuk membelikan baju ganti untuk wanita itu. Medina hanya mengiyakan karena tubuhnya basah dan kedinginan.
Tak lama Ray datang dengan dua buah paper bag. "Maaf saya membelinya asal. Semoga muat."
"Terima kasih Tuan."
"Silakan ganti baju dulu, baru nanti gantian saya."
"Tidak apa-apa Tuan. Silakan Anda mengganti baju."
"Tolong jangan keras kepala di waktu yang seperti ini," ucap Ray kesal.
"Baiklah Tuan. Terima kasih bajunya. Nanti uang anda akan saya ganti Tuan."
"Iya, terserah Anda Nona."
Medina menuju toilet dan mengganti bajunya. Sementara Ray duduk menunggu pesanan datang. Tak lama pesanan datang dan Medina juga sudah kembali. Kini Ray yang pergi ke toilet dan mengganti bajunya. Medina menunggu dalam diam.
"Kenalkan saya Rayga. Anda bisa panggil saya Ray." Ray yang sudah kembali dari toilet mengulurkan tangan.
"Saya Medina." Medina menyambut tangan Ray.
"Silakan diminum! Kenapa? Anda menunggu saya?" Medina mengangguk.
"Maaf Nona Medina, saya bukannya mau ikut campur atau sok tahu. Tapi saya penasaran kenapa Anda melakukan ini? Mungkin Anda bisa bercerita kepada saya sehingga saya bisa memberikan solusi atau membantu Anda mungkin," kata Ray dengan tulus.
Medina tersenyum hambar. Ia terdiam sebentar merangkai kata-kata. Kemudian ia menceritakan semua kisahnya. Entah mengapa ia begitu percaya pada laki-laki dihadapannya itu.
"Saya adalah seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran di Harvard University semester empat. Saya anak sulung dari dua bersaudara. Adik saya masih bersekolah SMA. Ayah saya sudah meninggal lima tahun yang lalu karena sakit keras. Jadi tinggalah bunda seorang yang mengasuh kami berdua. Saya bisa kuliah karena mendapat beasiswa. Bunda semula tak memberi izin. Tapi saya tak gentar membujuk beliau, karena saya berpikir kesempatan yang baik tak akan datang dua kali. Akhirnya beliau mengalah dan mengizinkan, asal saya menjaga diri dan dilarang pacaran selama di Amerika. Namun saya melanggar larangan bunda. Saya mempunyai seorang kekasih, orang Indonesia yang juga kuliah disana. Kami sudah satu setengah tahun lebih berpacaran. Awalnya dia bersikap biasa saja dan sangat baik terhadap saya. Saya sangat menyayanginya. Dia sangat baik dan menyayangi saya juga. Namun ternyata dia tega menghancurkan hidup saya dengan memperkosa saya. Dan sekarang setelah saya hamil, dia tidak mau bertanggungjawab. Saya bingung harus bilang apa sama bunda saya. Saya terlalu takut. Saya ragu mau pulang atau tidak." Medina bercerita sambil menangis.
Rayga merasa iba terhadap gadis itu ia menepuk-nepuk kecil punggung tangan gadis itu. Ia setulus hati bersimpati pada wanita yang duduk di hadapannya itu.
"Saya tahu ini pasti sangat berat bagi Anda, tapi Anda harus kuat. Pulanglah, sebesar apapun kemarahan orang tua. Pintu maaf dari mereka untuk kita tidak akan pernah tertutup." Rayga mencoba menghibur gadis malang itu.
Sungguh Ray tak mengerti kenapa dirinya sangat peduli dengan wanita asing yang belum genap sehari ia kenal. Pikiran Ray berkecamuk, ia berpikir keras bagaimana ia dapat membantu wanita itu. Tiba-tiba terbersit ide gila dalam pikirannya untuk membantu wanita ini.
"Nona Medina, saya tahu kita baru saja saling kenal. Tapi kalau anda tidak keberatan maka saya akan coba membantu Anda, bagaimana?" Rayga menggenggam erat tangan gadis itu, menyalurkan sedikit rasa hangat di hati Medina.
"Ma-maksud anda apa Tuan?" Medina mengernyit kebingungan mendengar ucapan laki-laki yang baru dikenalnya itu.
"Bagaimana kalau saya pura-pura menjadi suami anda? Kita bisa bilang kalau kita sudah menikah di sini. Saya tahu anda pasti heran, kenapa saya orang asing ini mau membantu anda. Saya juga tidak tahu kenapa saya ingin sekali membantu anda.Tapi sumpah niat saya tulus tanpa pamrih Nona. Mari kita pulang ke Indonesia bersama-sama." Rayga tanpa ragu menyampaikan ide gilanya itu. Tak ada niat buruk sedikitpun. Ia hanya ingin membantu, karena tak tega melihat penderitaan gadis itu.
"Tapi bagaimana saya bisa membalas budi baik Anda Tuan? Saya tak punya apa pun yang bisa diberikan untuk membalas kebaikan Anda." Medina berkaca-kaca memandang laki-laki tampan yang ada didepannya.
"Saya tulus Medina. Saya akan bantu kamu. Mulai sekarang jangan panggil saya Tuan lagi. Panggil saja saya Mas Ray. Saya juga panggil kamu Medina, bagaimana apa kamu setuju?" Rayga meyakinkan gadis itu.
"Tapi saya rasa ide ini sangat tidak masuk akal. Saya dan Anda? Saya rasa saya hanya akan merepotkan Anda saja." Medina mencoba menolak karena tak ingin menyusahkan siapa pun, apalagi dia hanya orang asing.
"Medina, kita hanya akan berpura-pura sebagai suami istri. Saya janji tak akan menyentuh kamu atau bersikap kurang ajar selama kita bersama." Rayga membujuk Medina kembali. Sungguh situasi yang terbalik. Laki-laki ini malah memaksa untuk membantu, seharusnya yang memohon untuk dibantu adalah Medina.
"Baiklah, saya terima tawaran Mas Ray. Tapi Mas Ray sendiri yang ingin membantu saya ya? Saya tidak pernah memaksa Mas Ray untuk membantu. Saya juga tak akan menahan anda untuk berhenti nanti.Saat Mas Ray ingin pergi dari kehidupan saya suatu saat nanti." Medina sedikit tak enak hati merepotkan orang lain.
"Deal." Rayga langsung mengulurkan tanganya seakan tak mendengar perkataan Medina.
"Deal, terimakasih Mas Ray." Medina menyambut uluran tangan Rayga.
"Em, kamu tinggal di asrama kampus kan? Baiklah besok saya akan menjemputmu dan kita pulang ke Indonesia bersama-sama."
"Baik Tuan." Ada kelegaan dalam hati Medina ketika mendapatkan bantuan dari Ray. Masalah nanti biarlah dia pikirkan sendiri.
"Dia berwajah tampan dan baik hati, sungguh sempurna," batin Medina tak henti menatap Ray.
"Huh, apa yang sebenarnya kupikirkan? Sadarlah Medina," ucap gadis itu seraya memukul keningnya.
Medina menggelengkan kepalanya karena tiba-tiba terpesona pada pria itu.
Harvard University
Gadis itu berjalan dari tempat parkir menuju ke kelasnya sendirian saja dalam keheningan. Sesekali ia bersenandung kecil menghilangkan kecanggungan karena terbiasa kemana-mana berdua dengan sang bestfriend. Ia yang biasa akan bersenda-gurau dengan sahabatnya kini harus terbiasa sendirian, karena sahabatnya tiba-tiba memutuskan untuk cuti. Dia adalah Hani sahabat dekat Medina. Di tangannya menyangga beberapa buku berukuran lumayan besar sehingga tidak bisa masuk ke dalam tas tangan miliknya. Sedang asyik berjalan, ia dikejutkan oleh sebuah tangan besar yang mencengkeram tangan mungilnya.
"Gibran!" Gadis itu terkejut hampir saja ia mengangkat buku yang dipegangnya ingin memukul orang yang lancang mencekal tangannya.
"Astaga, hampir saja ... aku mau pukul kamu. Kenapa mengagetkanku tiba-tiba?" Hani bernafas lega mendapati kekasih sahabatnya yang menarik tangannya. Ia langsung tahu maksud pria tampan itu mencarinya.
"Han, bisa bicara sebentar? Kita duduk di kafe sana yuk. Ada yang mau aku tanyain. Lima belas menit saja. Ini masih awal, kelas kamu belum dimulai kan? Please." Pria itu mengatupkan kedua tangannya di depan gadis berperawakan mungil tersebut.
Gadis itu melirik jam di tangannya masih ada waktu dua puluh lima menit sebelum kelasnya dimulai. Ia kemudian mengangguk pelan, mengekor langkah pemuda itu menuju kafe yang disebut.
"Mau minum apa Han?" Gibran membolak-balikan buku menu setelah mereka duduk di bangku kafe.
"Nggak usah, langsung saja ke intinya. Aku tak punya banyak waktu. Kamu mau tanya apa?" Hani langsung pada pokok pembicaraan tak mau membuang-buang waktu.
"Han, kamu tahu nggak Medina ada dimana? Aku cari dia di kampus beberapa hari ini nggak ada. Aku telepon nomornya nggak aktif juga." Gibran langsung mengemukakan maksudnya yang ingin tahu keberadaan kekasih, ralat mantan kekasihnya. Karena dia sendiri yang memutuskan untuk mencampakkan gadis itu.
"Ck, aneh. Kamu kan pacarnya? Mana mungkin kamu nggak tahu pacarmu dimana?" Hani berbicara seolah-olah tak mengerti apapun.
Hani menghembuskan nafas kasar, ia menetralkan emosinya yang sebenarnya meluap-luap. Ingin rasanya ia meninju wajah pria kurang ajar itu.
"Hahahaha, benar juga ya? Kamu kan sudah mencampakkannya. Bagaimana bisa, kamu tau dia ada dimana? Dan kenapa baru sekarang, kamu sok peduli?" sindir Hani.
Hani terdiam sebentar melirik wajah Gibran yang pucat pasi. Kemudian ia berkata lagi, "Dua minggu yang lalu, dengan air mata berlinang dia curhat sama aku. Dia mengatakan bahwa hubungan kalian telah berakhir. Dia terlihat kusut dan hancur. Aku memang nggak tau masalah kalian apa? Tapi aku yakin masalahnya di kamu. Apa sih kurangnya sahabatku itu? Dia sangat mencintaimu. Setiap hari yang dia bicarakan kamu. Di hatinya hanya ada kamu. Setiap ia bercerita tentangmu matanya akan berbinar. Kamu pikir hatinya nggak hancur kamu campakkan begitu saja? Aku kira kamu berbeda dengan laki-laki lainnya, ternyata kamu sama aja brengsek." Hani memaki Gibran karena tak mampu menahan amarahnya mengingat bagaimana sahabatnya hancur gara-gara laki-laki di depannya itu.
Gibran terdiam terkena pukulan telak tepat di hatinya oleh makian Hani. Semua perkataan Hani benar adanya. Benar, ia pria brengsek yang sudah memperkosa pacarnya sendiri. Ia pria bejat yang memberikan obat tidur kedalam minuman pacarnya untuk memuluskan rencana jahatnya. Bahkan ketika Medina memohon pertanggungjawaban ia tak segan-segan menyuruh wanita itu untuk menggugurkan kandungannya. Kurang brengsek apa coba? Kalau saja Hani tahu, ia pasti sudah menghajarnya sampai babak belur.
Flashback On
Dua bulan yang lalu Gibran meminta Medina datang ke apartemennya. Awalnya Medina menolak keras ajakan kekasihnya itu. Ia tak pernah mengunjungi rumah seorang pria. Dan ia tahu itu bukan hal yang benar untuk dilakukan. Karena ada seribu kemungkinan yang akan terjadi kalau mereka hanya berduaan. Walaupun sudah berpacaran selama setahun dengan Gibran ia selalu menetapkan batasan di antara mereka. Ia ingin menjaga amanah bunda.
Namun Gibran tak menyerah, ia terus membujuk Medina sehingga Medina menyetujuinya. Gibran sangat penasaran pada Medina yang selalu membatasi dirinya dengan Gibran. Bahkan untuk berciuman saja Medina tak mau. Karena itulah Gibran yang sudah dikuasai oleh pikiran setan, ingin menjebak Medina.
Tak ada yang aneh dengan mereka saat itu. Mereka hanya menonton televisi bersama sambil bersenda gurau. Kemudian Gibran memasakkan makanan untuk mereka berdua. Medina sangat bahagia dengan perlakuan manis kekasihnya, ia tak sedikit pun pernah menyangka ada niat terselubung di balik kebaikan lelaki itu.
Ketika Gibran menata makanan di meja, Medina meminta izin pergi ke toilet sebentar. Gibran yang sedang menjalankan rencananya, tersenyum penuh kemenangan dan yakin rencananya mulus. Di saat gadis itu berada di toilet Ia menyiapkan dua gelas jus jeruk untuknya dan Medina. Namun jus jeruk yang disiapkan untuk Medina sudah ia campur dengan obat tidur.
Medina keluar dari toilet dan akhirnya makan bersama. Medina sangat bahagia menikmati makanan buatan sang kekasih. Selesai makan Medina menenggak habis jus jeruk yang Gibran siapkan untuknya.
Tiba-tiba ia merasa pusing dan jatuh pingsan. Gibran yang tahu mangsanya sudah terjerat, membawa Medina ke kamarnya. Dan dengan tega ia menodai gadis malang itu. Ia menelanjangi gadis itu, tubuh seksi yang semakin membuatnya bernafsu untuk segera menikmatinya. Ia sudah kehilangan akal sehat dan nuraninya. Ia menyalurkan semua nafsu birahinya kepada kekasihnya yang tidak sadar. Ia tersenyum lebar, saat mengetahui gadisnya yang masih suci. Ia beruntung menjadi pria pertama yang menjamahnya. Tak ada penyesalan sama sekali, ia malah bangga melakukan perbuatan bejat itu. Ia menikmati tubuh gadis itu dengan bahagia. Bahkan bukan hanya sekali ia melakukan hal keji itu saat gadis itu tengah pingsan. Ia mendapatkan pelepasan berkali-kali sampai kelelahan. Parahnya lagi, ia melakukannya tanpa pengaman. Setelah puas, akhirnya ia ikut tidur memeluk kekasihnya.
Pagi harinya Medina terkejut melihat dirinya telanjang dalam pelukan Gibran. Ia kecewa saat melihat ada bekas darah di sprei tempat tidur. Ia menyadari apa yang telah terjadi saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah tubuhnya. Ia sakit hati saat dada dan lehernya dipenuhi bercak merah tanda kepemilikan. Hatinya hancur, tangisnya pecah seketika. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia percaya melakukan hal keji kepadanya. Semua harapannya hancur. Apa yang dijaganya selama ini dihancurkan begitu saja oleh kekasih yang paling dicintainya. Ia sudah menghianati kepercayaan bunda.
Gibran yang tidurnya terusik karena tangisan Medina akhirnya bangun. Ia mencoba menenangkan gadis yang meraung-raung itu. Gadis itu mengamuk, memukul Gibran dengan guling sambil berteriak histeris. Gibran mencoba menenangkan gadis itu dengan kata-kata manis. Ia memeluk tubuh polos kekasihnya yang berusaha memukul-mukul dadanya. Berharap wanita itu akan segera berhenti mengamuk.
***
Satu setengah bulan kemudian Medina mengajak Gibran bertemu di sebuah taman. Ini pertemuan mereka setelah perang dingin selama satu setengah bulan setelah kejadian hari itu. Medina membawa testpack dengan dua garis merah, ia menyerahkan testpack itu pada Gibran. Ia menuntut laki-laki itu bertanggungjawab menikahinya.
"Semua ini adalah kesalahan kamu, kamu harus bertanggungjawab. Kamu harus menikahiku." Medina menghiba dengan cucuran air mata.
"Heh, kamu sudah gila? Aku nggak mau. Aku belum siap untuk menikah apalagi punya bayi. Dan kalau orang tuaku tahu aku akan dihapus dari ahli waris." Gibran menolak mentah-mentah.
"Lebih baik kamu menggugurkan bayi itu. Belum tentu juga itu anakku. Bisa saja kamu melakukannya dengan laki-laki lain. Mulai sekarang, kita putus," kata gibran sambil meletakkan segepok uang dolar di tangan Medina.
"Dasar brengsek. Aku tak semurahan itu untuk melakukannya dengan pria lain. Makan uang kamu!" Medina melemparkan uang tersebut ke wajah Gibran. Kemudian Medina berlari meninggalkan tempat itu dengan menangis tersedu-sedu. Hatinya begitu hancur, ia berasa habis manis sepah dibuang.
Flashback off
Gibran mengingat semua memori kejahatan yang ia lakukan pada Medina termasuk ketika ia menolak bertanggungjawab dan dengan kejam menyuruh Medina melenyapkan darah dagingnya. Kini ia sudah kembali ke realitas, dengan tak sabar ia mendesak Hani. Bahkan sampai meremas lengan Hani kuat, berharap mendapat jawaban.
"Han, please kasih tau dimana Medina? Aku mengaku salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kembali pada Me," desak Gibran.
"Terlambat. Medina memutuskan untuk cuti sementara waktu. Ia sudah pulang ke Indonesia." Hani memotong perkataan Gibran. Kemudian ia berlalu meninggalkan Gibran yang terdiam karena terkejut.
"Argggghhhhh. Sialannn! Brengsekk ...."
Lelaki itu mengacak rambutnya dan mengumpat frustasi. Ia menyesal telah menolak Medina dengan bayinya. Ia begitu merindukan gadis itu. Kini Medina sudah kembali ke Indonesia. Ia tak tahu alamat Medina di Indonesia. Bagaimana ia akan mencarinya. Gibran menyesal dan kehilangan arah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!