“Hai, namaku Aisyah Halwatuzahra. Ini kisahku dengan Fazwan Dzuhairi Ji-hyeon. Kisah yang bahkan harus berakhir sebelum Kami sempat memulainya ...”
“... HAHA EGO! EGO memang perusak segalanya! Kami sudah saling mengenal sejak lama, karena Ibu Kami bersahabat dari sebelum sama-sama saling menikah, hingga akhirnya Kami bersahabat ...”
“... Kami sempat berpisah karena Ji-hyeon harus bersekolah di kampung halamannya. Ji-hyeon kembali saat Kita berumur 15 tahun ...”
“Kami mulai sering bertemu pada saat umur Kami yang ke 19 tahun, namun pertemuan itu terasa hambar, tidak seperti dulu lagi, karena Kami hanya bisa saling menatap satu sama lain, tanpa adanya komunikasi di dalamnya ...”
“ Hingga saat umur Kami 24 tahun, Kami kembali harus berpisah, karena Ji-hyeon bekerja di Kalimantan yang jauh dari tempatku saat ini ...”
“... Aku ingin suatu saat Dia tahu, jika aku pernah mencintainya dengan tulus, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti mencintainya lagi.” ucap Aisyah tersenyum dengan berlinang airmata.
Aisyah mulai mengabadikan kisahnya menjadi sebuah aksara indah yang hanya bisa ia kenang suatu saat nanti di buku diary miliknya.
“Layaknya matahari dan bulan yang saling bertemu disaat pergantian petang dan malam, namun tidak pernah saling berdampingan indah di langit angkasa, seperti itulah kita, dekat, saling mengenal, tapi tidak pernah ditakdirkan untuk bersama.”
“Aku akan selalu mencintaimu layaknya bulan yang selalu menemani bintang di langit malam. Diantara ribuan bintang di langit malam, mungkin aku tidak akan pernah terlihat olehmu, karena terhalau oleh gemerlapnya cahaya bintang yang indah nan memikat hati itu.”
“Aku memiliki seorang kekasih saat ini, dia sangat baik padaku, dan kita berencana akan menikah, tetapi mengapa hatiku terasa pilu mendengar kabar kepergianmu lagi.”
“Bertahun-tahun lamanya aku menunggu kedatanganmu, namun hubungan kita yang dulu sedekat bulan dan bintang di langit malam, justru menjadi se-asing bulan dan matahari.”
“Kisah kita bahkan harus usai, sebelum sempat dimulai, hanya karena jarak yang memisahkan kita selama ini.”
“Aku mencintai kekasihku, tetapi mengapa memori ingatanku kembali memutar kisah lama kita yang sempat sedekat bulan dan bintang di langit malam itu.”
“Apakah itu pertanda jika sebenarnya aku masih mencintaimu duhai Tuanku? Jika memang benar seperti itu, ku harap takdir menghapusnya, agar aku tidak merasa jika aku sudah menyakiti hati kekasihku lagi.”
“Ingatkah engkau Tuan? Aku adalah Istri semasa kecilmu yang bodohnya berharap menjadi Istrimu ketika Kita dewasa nanti.”
“Janjimu yang tidak ingin mengakhiri kisah Kita masih tersimpan rapih di dalam memori ingatanku.”
“Aku sudah berusaha untuk menghapusnya, tetapi ternyata ingatan itu ternyata punya tempat tersendiri yang aku sendiri pun merasa kesulitan untuk menghapusnya.”
“Aku tidak tahu apa yang takdir inginkan padaku, padamu, dan pada kekasihku saat ini. Aku harap ada titik terang di dalamnya, agar aku tidak perlu lagi berjuang untuk menghapuskan memori ingatan itu.”
“Tuan, mungkin ribuan aksara indah juga tidak mampu untuk membendungnya, karena saking indahnya dirimu bagiku.”
“Kita sudah lama berpisah karena takdir memisahkan Kita, tetapi ingatan tentangmu terlalu kuat untuk aku musnahkan Tuan.”
“Tuan, tenang saja, aku tidak akan mengganggumu, biarkan aku berkelahi dengan diriku sendiri terkait hati dan memori ingatanku yang terkadang menyebut namamu itu Tuan.”
“Jika boleh jujur, selama ini aku mencintaimu Tuan, aku sangat mencintaimu, hingga Kamu pergi meninggalkanku pun aku selalu mendoakanmu agar jarak berbaik hati untuk mengembalikanmu lagi.”
“Jarak memang mendekatkan Kita Tuan, tapi nyatanya jarak itu juga berhasil membuat hubungan Kita menjadi se-asing ini.”
“Lagi dan lagi aku mendoakanmu, agar takdir membuat asing Kita ini menjadi dekat, namun ternyata asing Kita terlalu kuat untuk bisa menjadi dekat, hingga akhirnya jarak memisahkan Kita lagi.”
“Saat ini, aku sudah tidak berharap apapun lagi Tuan, berbahagialah dengan duniamu sendiri, dan lupakanlah aku, biarkan aku sendiri di sini.”
“Aku tidak akan meninggalkan kekasihku untuk alasan apapun itu Tuan, walaupun sesekali hati dan memoriku terasa pilu mengingat semua tentang Kita.”
“Katanya “cinta yang paling tulus adalah doa”, sekarang bagaimana Tuan? Aku mendoakan pasanganku saat ini, agar modal nikah Kami cepat terkumpul, dan juga mendoakanmu, tetapi kali ini bukan untuk bersama lagi Tuan, melainkan untuk dihapuskan segala tentangmu itu Tuan.”
“Maaf Tuan, jika aku lancang mencintai dan mendoakanmu selama ini, berbahagialah Tuan, aku sudah mengikhlaskan segala tentangmu.”
“Semoga di manapun Kamu berada, Kamu tidak pernah melupakanku, jika bukan sebagai seseorang yang paling dekat denganmu, ingatlah aku sebagai seseorang yang pernah mengenalmu, dan temanmu, teman yang hanya kenal nama saja, tanpa adanya rasa sedikitpun diantara Kita.”
“Selamat tinggal Tuan, jika suatu saat nanti Kita bertemu kembali dengan pasangan Kita masing-masing, aku harap Kamu masih mengingat siapa namaku.”
“Aku ikhlas Tuan, Tuan berhak bahagia, begitupun denganku. Aku bahagia bersama dengan pasanganku saat ini, jangan lagi hadir di dalam kehidupanku ya Tuan.”
“Aku harap kali ini takdir berpihak padaku. Aku harap kali ini takdir benar-benar mau membantuku untuk menghapuskan segala macam tentangmu.”
“Maaf jika gadis penuh dengan luka ini pernah merepotkan hari-harimu, aku pamit, sampai jumpa di titik terbaik menurut takdir yaitu perpisahan.”
“Saat ini aku hanya ingin fokus dengan kekasihku saja, aku akan berusaha lebih keras lagi untuk menghapuskan segala macam tentangmu itu Tuan.”
“Aku tahu, kalau aku itu banyak kurangnya, semoga pasanganku nantinya bisa menerima segala macam kekurangan yang ada di dalam diriku.”
“Congrats atas dunia barunya tanpaku ya Tuan, satu lagi boleh? Aku cuma mau bilang “aku pernah mencintaimu setulus itu, hingga aku selalu mendoakan hubungan Kita kembali seperti semula” hanya itu saja Tuan.”
“Selamat tinggal untuk kisah Kita yang usai bahkan sebelum sempat untuk dimulai.”
“Hm.. Manis sekali, tapi pahit! Ji-hyeon, semoga suatu saat Kamu bisa menemukan, dan membaca ceritaku ini. Hanya ini yang dapat aku berikan untukmu, karena aku tak mampu mengutarakan rasaku ini secara langsung padamu ...”
“... jadi aku memilih untuk mengabadikan namamu di dalam aksara, walaupun akan dibaca semua orang, tapi ku rasa itu jauh lebih baik, setidaknya aku sudah mengutarakan perasaanku padamu, dan untuk kekasihku saat ini, maafkan aku ...”
“... Semoga kisah indah Kita akan abadi, sama seperti aksara indah yang aku tuliskan untukmu ini. Tetaplah bersamaku, aku mencintaimu ...”
“... walaupun terkadang aku masih mengingat beberapa momen masa laluku dengan Ji-hyeon, tetapi itu tidak akan merubah apapun pada kisah indah Kita, karena pada akhirnya aku akan tetap memilihmu sebagai Pria yang akan menemaniku seumur hidupku.”
Aisyah mendapat kabar jika Ji-hyeon akan ditugaskan ke Kalimantan untuk bekerja, seketika hatinya terasa pilu.
“Mengapa hatiku terasa perih saat mendengar kabar tentangnya yang akan ditugaskan jauh dariku? Aku dan Dia bukanlah “Kita” karena tidak pernah ada “Kita” di dalam kisah ini ...”
“... Aku dan Dia hanya dua orang yang tidak sengaja bertemu, lalu saling mengenal satu sama lain. Penyebutan kata “Kita” lebih pantas untuk dua orang yang saling memiliki satu sama lain, namun tidak denganku dan Dia, karena tidak pernah saling memiliki satu sama lain ...”
“... Aku memang pernah mencintainya, tapi tidak dengan Dia yang tidak pernah mencintaiku. Aku tidak tahu mengapa hatiku saat ini menjadi seperti ini ...”
“... Dadaku terasa sesak, seperti seseorang sedang merasakan rasa kecewa yang mendalam di lubuk hatinya, tapi mengapa? Saat ini aku sudah memiliki seorang kekasih, namun mengapa dadaku terasa sesak mendengar kabar tentangnya, apakah itu berarti, aku belum benar-benar melupakannya? ...”
“... Ya Allah, mengapa aku harus merasakan sensasi seperti ini? Aku mohon, hilangkan perasaanku padanya, karena aku tidak ingin menyakiti perasaan orang yang aku cintai saat ini,” pinta Aisyah meneteskan airmatanya.
Aisyah mengingat momen-momen kebersamaannya dengan Ji-hyeon dulu.
Aisyah menghampiri anak-anak perempuan yang sedang bermain, dan bermaksud ingin bergabung dengan Mereka, namun tidak ada satupun yang mau bermain dengannya.
Ji-hyeon yang kala itu tidak saling mengenal dengan Aisyah pun sering mengamatinya, hingga akhirnya Mereka saling berkenalan.
“Hai,” ucap Ji-hyeon tersenyum menatapnya.
“Hai juga, ada apa ya?” tanya Aisyah.
“Aku Ji-hyeon, aku udah lama liatin Kamu, aku juga sama sepertimu, tidak memiliki satupun teman, entahlah! Mengapa Mereka tidak ada yang mau berteman denganku, oh iya, siapa namamu?” tanya Ji-hyeon.
“Aisyah,” jawab Aisyah menundukkan wajahnya dan nampak ketakutan.
“Tidak perlu takut, nampaknya Kita seumuran, apa Kamu mau berteman denganku?” tanya Ji-hyeon.
Aisyah hanya terdiam menunduk, tidak menjawab tawaran Ji-hyeon untuk menjadi temannya.
“Rumahku ada di belakang sana, rumah yang cat hijau,” ucap Ji-hyeon menunjukkan di mana rumahnya.
Aisyah hanya menatapnya, namun masih takut untuk berbicara.
“Bagaimana? Apa Kamu mau menjadi temanku?” tanya Ji-hyeon sekali lagi.
“Hm iya,” jawab Aisyah tersenyum kecil menganggukkan kepala menatapnya.
Mendengar jawaban dari Aisyah pun membuat Ji-hyeon sontak tersenyum.
“Main yuk!” ajak Ji-hyeon.
“Hm aku nganterin ini dulu ya ke Ibu aku, sama makan dulu, aku belum makan soalnya, nanti sore aja ya Kita mainnya, gimana?” tanya Aisyah.
“Oke, hm aku anterin pulang aja gimana? Biar nanti aku bisa ke rumah Kamu,” ucap Ji-hyeon.
“Hm iya, rumah aku di sana,” unjuk Aisyah.
Ji-hyeon mengantarkan Aisyah pulang ke rumahnya, agar nanti seterusnya Ji-hyeon bisa mengajaknya pergi bermain.
“Ini rumahku,” ucap Aisyah.
“Lho! Ini rumah Kamu?” tanya Ji-hyeon yang nampak terkejut.
“Ii-iya, emang kenapa ya?” tanya Aisyah.
“Ayok ikut aku!” ajak Ji-hyeon menarik tangan Aisyah, namun Aisyah hanya terdiam.
“Hm kenapa?” tanya Ji-hyeon.
Aisyah memberikan isyarat dengan menatap tangan Ji-hyeon yang memegang tangannya.
“Oh iya aku ngerti, sorry!” ucap Ji-hyeon melepaskan pegangannya.
“Hm iya, gak apa-apa,” jawab Aisyah.
“Yaudah yuk, ikut aku!” ajak Ji-hyeon.
“Ke mana?” tanya Aisyah.
“Ke rumah aku, rumah aku ada di belakang rumah Kamu,” ucap Ji-hyeon.
“Beneran?” tanya Aisyah.
“Iya, ayok, makanya ikut aku!” ajak Ji-hyeon.
“Hm oke!” jawab Aisyah.
Aisyah mengikuti Ji-hyeon ke rumahnya.
“Itu rumah aku yang cat hijau,” ucap Ji-hyeon menunjukkan rumahnya.
“Hm, oke, yaudah aku balik dulu ya, lapar banget nih!” ucap Aisyah memegangi perutnya.
“Eh iya, aku anter balik ya!”
“Hm gak usah deh, tinggal ke depan berapa langkah doang kok!”
“Ya gak apa-apa, kan aku yang ajak Kamu ke sini, ya sudah seharusnya aku mengantarkan Kamu pulang lagi ke rumah, yaudah yuk!” ajak Ji-hyeon.
“Hm.. Iya!” jawab Aisyah yang nampak tersipu malu.
Ji-hyeon mengantarkan Aisyah lagi ke rumahnya, dan nampak Aisyah yang terbawa perasaan akan hal itu. Ibu Aisyah tersenyum melihat anaknya yang akhirnya memiliki seorang teman bermain di rumah.
“Tante,” ucap Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala menatap Ibu Aisyah.
Aisyah menoleh ke belakang dan melihat Ibunya yang sedari tadi memperhatikan Mereka.
Ibu Aisyah menghampiri Mereka dan meminta Ji-hyeon untuk masuk ke dalam.
“Ayok masuk! Ngobrolnya di dalam saja,” ucap Ibu Aisyah.
“Hm iya Tante, makasih,” jawab Ji-hyeon tersenyum menganggukkan kepala.
Ibu Aisyah langsung merangkul Ji-hyeon dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
“Duduk dulu ya, biar Tante ambilkan minum untuk Kamu,” ucap Ibu Aisyah tersenyum menatapnya.
“Eh gak usah Tante! Gak usah repot-repot, aku langsung pulang aja ya Tante!” ucap Ji-hyeon.
Ketika baru saja berpamitan untuk pulang, terdengar suara gemuruhnya petir yang membuat Ji-hyeon akhirnya tidak jadi untuk pulang ke rumahnya.
“Tuh! Dengar kan? Langit saja tidak merestui untuk Kamu pergi, sudah, di sini saja dulu, makan sama Aisyah ya, kebetulan Aisyah juga belum makan, Kamu makan bareng Dia saja ya, biar Tante masakkan dulu,” ucap Ibu Aisyah mengambil kantung plastik yang tadi Aisyah bawa.
“Hm gak usah Tante!”
“Udah! Gak apa-apa kok! Sebentar ya!”
“Hm.. Iya Tante!” jawab Ji-hyeon yang nampak sungkan.
Ibu Aisyah pun pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan Mereka, sedangkan Ji-hyeon dan Aisyah masih nampak gugup satu sama lain, mengingat saat itu merupakan hari pertama Mereka berkenalan.
Tak lama kemudian Ibu Aisyah kembali dengan membawa air serta makanan ringan.
“Makan ini dulu ya, sembari menunggu mie-nya matang, ayok dimakan!” pinta Ibu Aisyah.
“Hm.. Iya Tante, makasih!” jawab Ji-hyeon.
“Iya, sama-sama, yaudah Tante tinggal lagi ya, ngobrol dong! Jangan diam-diam kayak gitu terus! santai saja, anggap saja rumah Kamu sendiri,” ucap Ibu Aisyah tersenyum dan langsung pergi meninggalkan Mereka karena takut panci kesayangannya gosong jika terlalu lama ditinggal.
“Dimakan makanannya,” pinta Aisyah.
“Iya,” jawab Ji-hyeon meminum minumannya.
Ji-hyeon membuka toples kue dan memakannya, begitupun dengan Aisyah yang juga ikut mencicipi kue yang dihidangkan Ibunya diatas meja itu.
“Hm... Enakk!” ucap Aisyah tersenyum menggoyangkan kepalanya.
“Hm.. Iya, bener, enak banget!” ucap Ji-hyeon yang juga nampaknya menikmati citra rasa kue yang dihidangkan oleh Ibu Aisyah.
Ji-hyeon memakan kue-nya dengan terus memandang Aisyah yang memejamkan matanya, karena saking keenakan memakan kue-nya.
Ibu Aisyah datang dengan membawa tiga mangkok mie kuah, lengkap dengan nasi dan telurnya.
“Ayok dimakan dulu mie-nya, nanti keburu dingin gak enak,” ucap Ibu Aisyah meletekkan kedua mie diatas meja.
“Iya Tante, makasih,” ucap Ji-hyeon.
“Iya sama-sama,” ucap Ibu Aisyah tersenyum menatapnya.
“Aisyah, Umi makan di dalam saja ya, biar Kamu bisa lebih puas berbicara dengan Dia,” ucap Ibunya meledeknya dan langsung pergi meninggalkan Mereka dengan membawa satu mie lagi yang tidak Ia taruh diatas meja tadi.
“Ah Umi!” panggil Aisyah yang nampak kesal pada Ibunya, karena terus meledeknya dengan Ji-hyeon.
“Hm yaudah makan yuk!” ajak Aisyah.
“Iya,” jawab Ji-hyeon.
Ibunya nampak tersenyum bahagia mengintip dibalik dinding ruangan. Ibu Aisyah pergi ke dapur dan makan diatas meja makan yang terletak di dapur.
“Oh iya, Kamu kelahiran tahun berapa?” tanya Aisyah sembari menyeruput kuah mie-nya.
“2.000, Kamu?” tanya Ji-hyeon.
“Hm iya sih bener seumuran!”
“HEHE! Iya!”
“Tadi Kamu bilang, kalau Kamu udah lama ngeliatin aku, dari kapan? Kenapa diam saja?”
“Hm aku sungkan sebenarnya sama Kamu, tapi ya lama-kelamaan aku kasian juga, karena gak punya teman main,”
“Aku gak butuh dikasihani ya sama Kamu! jika niat Kamu ingin berteman denganku didasari oleh rasa kasihan, maaf, aku tidak membutuhkannya. Lebih baik aku sendiri, kesepian, karena tidak memiliki satupun teman, daripada memiliki satu teman yang didasarkan atas rasa kasihan!”
“Eh.. Bukan kayak gitu maksud aku, Kamu salah paham! Bukannya aku mau temenan sama Kamu karena kasihan sama Kamu, enggak ya!”
“Terus maksud kasian tadi itu apa?”
“Ya aku kasihan sama diriku sendiri gitu maksudnya. kadang aku mikir, aku salah apa, kekuranganku yang mana, sampai-sampai tidak ada satupun orang yang mau berteman denganku.”
“Oh gitu..”
“Iya!”
“Jujur saja, aku juga merasa demikian. Mereka menjauhiku karena Mereka berpikir aku gila, padahal tidak!”
“Apa maksudmu itu?”
“Hm aku indigo Ji, aku bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata.”
“Benarkah?”
“Iya!”
“Aku ingin sekali menjadi sepertimu.”
“Mengapa Kamu ingin menjadi orang sepertiku?”
“Agar aku bisa merasakan sedalam apa luka dihatimu itu, karena aku tahu, Kamu pasti tersiksa dengan kelebihan yang Kamu miliki itu.”
“Tidak Ji! ini bukan kelebihan bagiku, melainkan sebuah kutukan. Tidak ada kelebihan yang membuat seseorang merasakan penderitaan, hanya kutukan saja yang membuat seseorang merasa menderita menjadi seseorang yang berbeda dari orang lain.”
“Kamu itu istimewa!”
“Maksudmu?”
“Ya karena tidak semua orang diberikan sesuatu yang sama sepertimu, walaupun caranya menyakitkan, tapi lihatlah! Takdir ingin Kamu terlihat istimewa, dan berbeda dari Cewek diluar sana! semua itu tergantung bagaimana dengan penerimaan diri Kamu sendiri saja ...”
“... Jangan pernah mengatakan itu kutukan, anggap saja Kamu orang istimewa yang terpilih oleh takdir untuk mengemban tanggungjawab yang jauh lebih besar daripada Mereka.”
“Tapi karena itu semua orang menjauhiku!"
“Semua orang katamu? Lantas aku apa? Apa Kamu tidak menganggapku ada? Hei! Aku manusia lah! Lihat! Kakiku menyentuh tanah!” ucap Ji-hyeon tersenyum dan melompat-lompat di hadapan Aisyah.
Melihat tingkah konyol Ji-hyeon sontak membuat Aisyah tertawa bahagia.
“Nah! Gitu dong senyum!” ucap Ji-hyeon tersenyum menatapnya.
“Apa sih Ji!” ucap Aisyah yang nampak baper oleh perkataan Ji-hyeon.
Ji-hyeon kembali duduk dan melanjutkan makannya. Ji-hyeon terus tersenyum memandang wajah Aisyah, sembari mulutnya yang tidak berhenti makan.
“Kalau aku lihat-lihat, Kamu manis juga ya,” ucap Ji-hyeon pelan dan tersenyum menatapnya.
“Kamu ngomong apa tadi? Sorry aku gak dengar.”
“Hm.. Bukan apa-apa kok!”
“Tadi kayaknya Kamu ngomong deh, ngomong apaan? Ngomong aja kali, gak apa-apa!”
“Siapa yang ngomong? Aku dari tadi diem makan mie kok! salah dengar kali Kamu!”
“Tapi tadi kayak suara Kamu deh!”
“Ada makhluk halus kali di sekitar Kita, dan yang Kamu dengar itu suara salah satu dari Mereka yang menyerupai suaraku.”
Mendengar hal itu, sontak Aisyah melihat ke sekelilingnya.
“Hm.. Gak ada siapa-siapa kok, gak ada hantu satupun,” ucap Aisyah.
“Ya mungkin Kamu salah dengar aja kali, mungkin suara dari TV, karena Kita sebelahan, jadi Kamu mikirnya itu suara aku.”
“Hm.. Bisa jadi sih, kok aku ngantuk ya habis makan mie?” tanya Aisyah mengusap matanya.
“Duduk dulu setengah jam, jangan langsung tidur, nanti sakit perut lagi Kamu.”
“Tapi aku ngantuk!” ucap Aisyah yang langsung rebahan diatas sofa.
“Hei! Duduk dulu! ayok bangun!” pinta Ji-hyeon menarik tangan Aisyah.
Ji-hyeon duduk disampingnya, dan Aisyah yang sudah sangat mengantuk pun menyandarkan kepalanya dibahu Ji-hyeon. Ji-hyeon sempat terkejut akan hal itu, tetapi ia tersenyum bahagia, nampaknya Ji-hyeon mulai jatuh hati pada Aisyah.
“Mengapa jantungku berdebar kencang seperti ini, ada apa denganku? Apa itu artinya aku jatuh cinta padanya? ...”
“... Jika memang benar ini cinta, semoga akan ada akhir yang indah diantara Kita, namun bagaimana jika suatu saat jarak memisahkan Kita? ...”
“... Mungkinkah jarak akan berbaik hati untuk menyatukan Kita kembali? Atau justru menjadi dua pribadi asing seperti tidak saling mengenal satu sama lain? ...”
“... Semoga “asing” tidak pernah ada ditengah-tengah antara aku dan Kamu. Kisah denganmu adalah kisah yang tak pernah ingin aku akhiri, semoga saja takdir merestuinya, semoga saja takdir berpihak pada Kita. Aisyah ...”
“... Aku tahu, jika Kita terlalu dini untuk memilih pasangan hidup, tetapi aku tidak tahu, mengapa ini bisa terjadi padaku, Aisyah. Entah mengapa, pertemuan Kita berhasil memikat hatiku, dan membuat jantungku berdetak kencang saat Kamu berada disampingku sedekat ini ...”
“... Jika benar ini yang dinamakan sebagai “cinta monyet” semoga kedua monyet itu saling mencintai satu sama lain, hingga ajal memisahkan keduanya, bukan karena adanya monyet ketiga yang hadir diantara keduanya ...”
“... Eh apaan sih! Kenapa jadi bahas monyet segala deh? Kan kasian si monyet lagi pada tidur aku omongin. Eh tapi kan bisa juga si monyet lagi pada makan pisang ya, kan enak tuh hujan-hujan kayak gini makan pisang, apalagi pisang goreng, ngomongin pisah goreng ...”
“... jadi pengen pisang goreng deh, ah dasar pengenan banget sih lu Ji jadi orang! Ah nanti habis dari sini nyari yang jual pisang goreng deh, syukur-syukur masih hangat, baru diangkat dari penggorengan, jadi lezatnya mendukung suasana,” ucap Ji-hyeon yang terpikirkan oleh pisang goreng.
Ji-hyeon menggeser perlahan tubuh Aisyah dan berpamitan pulang pada Ibunya.
“Tante, aku pamit pulang dulu ya,” ucap Ji-hyeon.
“Buru-buru banget! Gak main sama Aisyah dulu?”
“Aisyah tidur Tante, habis makan mie langsung ketiduran, aku pamit pulang aja ya Tante, assalamualaikum,” ucap Ji-hyeon tersenyum mencium punggung tangan Ibu Aisyah.
“Iya, walaikumsalam,” jawab Ibu Aisyah.
Ji-hyeon pun pergi untuk mencari pisang goreng, sedangkan Ibu Aisyah menghampiri Aisyah di ruang tamu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!