Vincent masuk ke bar itu dengan langkah santai, tapi fokusnya setengah ke telepon di tangan. Musik menggema, menghantam udara seperti denyut jantung kota yang liar. Sambil menempelkan ponsel ke telinga, ia berusaha mendengar suara Desta di seberang.
“Ini aku udah di dalam. Lo di mana?” Vincent sedikit mengeraskan suara karena DJ sepertinya sengaja memutar bass paling maksimal malam ini.
“Masuk aja. Gue di table lima,” jawab Desta, suara laki-laki itu nyaris tenggelam di antara sorakan crowd.
Vincent menghela napas. Tentu saja meja lima. Sudah jadi basecamp resmi Desta setiap kali mereka nongkrong di tempat seperti ini.
Langkahnya semakin masuk ke dalam, mengikuti denyut musik yang seolah menggoda semua orang untuk melupakan realitas. Lampu-lampu neon berkedip seperti bintang buatan, sementara lantai dansa penuh dengan orang-orang yang bergerak mengikuti irama. Ada yang menari liar, ada yang hanya memandang, seakan menunggu giliran untuk tenggelam dalam suasana mabuk.
Dari kejauhan, Vincent menangkap Desta melambai, dengan senyum khasnya yang terlalu percaya diri. Vincent balas melambai, lalu mempercepat langkah. Satu hal yang selalu konsisten dari Desta: dia selalu dikelilingi perempuan cantik. Malam ini pun tidak berbeda. Tapi, bukankah itu alasan mereka ada di sini? Escape mode on, mengusir kejenuhan kerja yang makin hari makin menyesakkan.
“Hei, bro!” Desta menyambut dengan tepukan di bahu. “Ngapain, lama banget?”
“Ada kerjaan yang harus gue beresin dulu di kantor.” Vincent menjawab sambil mengambil tempat duduk di samping sahabatnya. Seorang perempuan dengan lipstik merah menyala langsung menuangkan minuman untuknya. “Thanks,” ucapnya ramah.
“Yah, maklum sih. Namanya juga CEO,” goda Desta sambil menyeringai. “Kerjaannya pasti segunung.”
Vincent mendesah, malas menanggapi. “Please, jangan bawa-bawa status gue di sini,” katanya tegas. Matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar terlalu banyak.
Desta tertawa kecil. “Oke, oke. Gue ngerti. Lo paling nggak suka urusan kantor menyusup ke tempat kayak gini.” Dia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. “Santai, bro. Malam ini cuma buat senang-senang.”
Vincent mengangkat gelasnya, meski tanpa banyak ekspresi. Mereka bersulang, bunyi gelas beradu hampir tenggelam oleh dentuman musik.
Desta kembali sibuk dengan dua perempuan di sebelahnya, sementara Vincent menyeruput minumannya perlahan. Perempuan di sampingnya mulai menggoda, menempelkan diri lebih dekat sambil melemparkan senyum yang dipoles sempurna.
“Gue nggak ngerti kenapa lo masih betah jadi workaholic.” Desta menyela, meski separuh fokusnya ke perempuan di sebelah. “Lo harus belajar kayak gue. Hidup itu harus dinikmati.”
“Gue menikmati hidup gue, kok,” balas Vincent tenang. “Cuma cara kita beda aja.”
“Ah, bullshit.” Desta tertawa lepas. “Lo bahkan lupa gimana rasanya fun, kan?”
Vincent tersenyum tipis, lalu meneguk minumannya sampai habis. “Kalau fun versi lo adalah duduk di sini sama perempuan-perempuan yang bahkan nggak tahu namanya siapa, gue nggak akan merasa kalah.”
Desta tergelak, tertawa terlalu keras sampai perempuan di sebelahnya ikut tertawa, meski jelas tidak paham konteksnya. “Santai, bro. Lo harus kasih diri lo waktu to breathe. Gue janji, malam ini bakal bikin lo lupa sama semua angka-angka di spreadsheet lo.”
Vincent hanya mengangguk, meski dalam hati ia tahu betul, ini bukan caranya melupakan beban kerja. Tapi siapa tahu? Terkadang, membaur di antara kekacauan adalah cara tercepat untuk menemukan kembali ketenangan. Atau setidaknya, itu yang Desta percayai.
***
Vincent duduk gelisah, sementara Desta sibuk dengan bibir perempuan di sebelahnya. Adegan itu terlalu norak untuk dibiarkan begitu saja di depan matanya. Rasa risih memuncak, dan akhirnya ia memutuskan untuk pamit.
“Gue ke toilet bentar,” katanya setengah malas, meski Desta sepertinya terlalu sibuk untuk mendengar.
Vincent bangkit, meninggalkan meja dan melangkah menerobos kerumunan yang semakin heboh di lantai dansa. Musik DJ memekakkan telinga, dan bau alkohol bercampur parfum memenuhi udara. Ia akhirnya sampai di toilet pria, menarik napas lega sebelum mendorong pintu masuk. Tapi napas itu langsung tertahan begitu melihat seorang gadis berdiri di depan wastafel, membungkuk dengan wajah pucat, muntah.
Gadis itu sangat cantik, dengan mata sayu dan rambut sedikit acak-acakan. Tapi jelas ini bukan tempatnya.
“Ehm, permisi. Gue pikir lo salah toilet,” ujar Vincent, mencoba terdengar sopan di tengah situasi yang agak canggung.
“Hah?” Gadis itu mendongak sedikit, tampak bingung sambil menyeka mulut dengan tisu. Lipstik merah di bibirnya belepotan, menambah aura kacau pada wajahnya yang sebenarnya menarik.
“Ini toilet pria.” Vincent menunjuk ke tulisan *MEN* di pintu, memastikan ia tidak salah lihat.
“Oh.” Alih-alih malu, gadis itu malah tertawa pelan, suara tawanya serak seperti efek samping terlalu banyak alkohol.
Vincent hanya bisa menghela napas. Sudah jelas dia mabuk berat.
Di saat yang sama, pintu salah satu bilik toilet terbuka, dan seorang pria keluar dengan ekspresi panik.
“Val!” panggil pria itu sambil menghampiri gadis tersebut. “Bukannya gue bilang tunggu di luar?”
Vincent berdiri diam, mengamati interaksi mereka.
“Maaf, dia mabuk berat,” ujar pria itu sambil memberi tatapan meminta maaf pada Vincent.
“It’s okay.” Vincent mengangkat bahu, memilih untuk tidak memperpanjang urusan. Setidaknya gadis ini punya ‘pawang’. Ia melangkah masuk ke bilik toilet, mengabaikan mereka berdua.
Setelah selesai, Vincent berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Pandangannya tertuju pada sebuah gelang perempuan yang tertinggal di sana. Gelang itu sederhana, tapi cukup mencolok dengan gantungan kecil berbentuk bintang. Tanpa berpikir panjang, Vincent memasukkan gelang itu ke dalam saku celananya.
Keluar dari toilet, ia melihat lagi gadis yang tadi—Val, kalau ia tidak salah dengar. Kali ini, gadis itu sedang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman pria tadi.
“Minggir!” seru gadis itu, mendorong pria itu, tapi jelas dia terlalu lemah untuk benar-benar melawan.
“Ayolah, Val,” bujuk pria itu, nadanya terdengar semakin licik. “Hanya kita berdua di sini. Nggak ada yang bakal tahu.”
Gadis itu terus menggeleng, dengan tubuh limbung. Mata setengah terpejam, tapi ada ketakutan nyata di wajahnya.
Vincent menghentikan langkahnya, memerhatikan sejenak dari kejauhan. Tapi saat tangan pria itu mulai menyusup ke dalam baju si gadis, amarahnya meledak.
“Hey!” seru Vincent lantang.
Pria itu menoleh, ekspresinya berubah kaget sebelum akhirnya tersenyum miring. “Ada apa, Bro? Nggak usah ikut campur.”
Vincent menatapnya dingin. “Jangan ganggu dia.”
“Dia pacar gue,” sahut pria itu dengan nada menantang. “Apa urusan lo?”
Vincent memandang gadis itu yang kini memohon dengan suara nyaris tak terdengar. “Tolong ... Gue ...”
Vincent tersenyum sinis. “Dia nggak mau lo sentuh,” tegasnya.
“Kita udah biasa kayak gini.” Pria itu tertawa, seolah menganggap Vincent bodoh. Tapi tawanya berhenti saat Vincent melangkah lebih dekat, tatapannya seperti pisau yang siap menusuk.
“Gue rasa dia bukan pacar lo,” ujar Vincent, masih sinis.
“BACOT!” Pria itu kehilangan kesabaran, melayangkan pukulan ke arah Vincent. Sayang, tangannya lebih cepat daripada otaknya. Vincent dengan mudah menghindar, lalu membalas dengan satu pukulan telak ke wajah pria itu.
Pria itu jatuh ke lantai, pingsan seketika.
“Wow, satu pukulan langsung K.O.?” Vincent mendecakkan lidah. “Memalukan.”
Ia mengalihkan perhatian ke gadis itu. Val menatapnya dengan mata lelah, tapi ada rasa lega di sana.
“Thanks,” ucapnya lirih. Sejurus kemudian tubuhnya limbung dan jatuh—tepat ke pelukan Vincent.
“Great,” gumam Vincent, setengah kesal, setengah pasrah. “Malam yang sial.”
***
“Thanks, Mr. Harold. Nanti saya bayar untuk kamarnya,” kata Vincent begitu pintu tertutup di belakang pemilik bar, mencoba terdengar sopan meski sebenarnya lebih dari sekadar canggung.
Mr. Harold, pria paruh baya yang selalu rapi dengan jas hitamnya, melambaikan tangan santai. “Santai saja, Pak Vincent. Kamar ini memang khusus tamu VIP yang tidak bisa pulang. Anda tahu lah, tempat seperti ini memang selalu ada yang kebablasan.”
Vincent tersenyum lega. Ada untungnya juga ia kenal baik dengan pemilik bar Black and Beat ini. Meminta satu kamar untuk gadis yang pingsan di pelukannya tadi tidak jadi urusan besar.
“Kalau begitu saya permisi dulu. Kalau anda membutuhkan sesuatu, panggil saja.” Setelah pamit, Mr. Harold berbalik dan menghilang di balik lorong.
Vincent menghela napas panjang. Dia mendorong pintu kamar pelan, memastikan gadis yang terbaring di tempat tidur tidak terganggu. Kamar VIP ini tidak besar, tapi cukup nyaman—dengan dinding kedap suara, sofa kecil, dan pencahayaan hangat. Sempurna untuk seseorang yang butuh istirahat.
“Hhh... benar-benar merepotkan.” Vincent bergumam pelan sambil melonggarkan kerah kemejanya. Ia menarik kursi ke sisi tempat tidur, duduk, dan merogoh ponselnya. Ada beberapa notifikasi masuk, tapi satu pesan menarik perhatiannya.
Chat dari Megan. -Besok siang aku ke kantor, kita lunch bareng.-
Vincent mengerutkan kening sambil membaca pesan itu. Megan, perempuan yang dipilihkan orang tuanya sebagai calon pasangan hidup, selalu memiliki cara untuk mengambil kendali. Dan, Vincent tidak punya energi untuk membalas saat ini. Ia hanya menghela napas panjang dan menyimpan kembali ponselnya ke saku.
Perhatiannya teralihkan ke gadis yang terbaring di depannya. Val, begitu pria mabuk tadi memanggilnya. Wajahnya terlihat damai sekarang, meski ada jejak kelelahan di sana. Namun, detik berikutnya, ketenangan itu lenyap.
Vincent terperangah saat melihat gadis itu mulai menangis dalam tidurnya.
“Dia menangis?” gumam Vincent pelan.
“Jangan … jangan pergi. Kumohon ….” suara Val pecah, lirih, tapi cukup membuat Vincent memusatkan perhatiannya. Air mata mengalir di pipi gadis itu, membuat Vincent penasaran tentang mimpi Val.
“Hey … bangun,” ujar Vincent pelan, tidak ingin membuatnya terkejut. Ia menyentuh bahu Val dengan hati-hati.
Gadis itu membuka mata perlahan. Napasnya masih tidak beraturan, dan butuh beberapa detik sebelum ia fokus pada Vincent. "Lo… siapa?” tanyanya dengan suara lemah.
“Gue—” Vincent membuka mulut, tapi kalimatnya terpotong saat Val tiba-tiba meraih tangannya dan menariknya ke dalam pelukan erat.
“Eh—!!” Vincent membelalak, kaget luar biasa.
“Jangan pergi … aku takut … kamu di sini aja … kumohon, Sam,” kata Val, tangisnya kembali pecah di bahu Vincent.
Sam?
Nama itu membuat alis Vincent terangkat. Tapi sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Bibir Val menyentuh bibirnya.
Apa-apaan ini?! seru Vincent dalam hati, panik.
Namun, entah kenapa tubuhnya membeku. Val mencium dengan penuh perasaan, bibirnya bergerak lembut tapi juga mendalam. Vincent merasa dirinya tenggelam dalam momen itu, sesuatu yang seharusnya tidak terjadi.
Dia bisa saja menolak, menarik tubuhnya dan pergi. Tapi alih-alih melakukannya, Vincent membiarkan dirinya hanyut. Bibir mereka bertemu lebih lama, bergerak seolah saling mengenal meski mereka adalah dua orang asing. Napas mereka bercampur. Val membuka mulutnya sedikit, dan tanpa sadar Vincent merespons. Lidah mereka bertemu, dan ciuman yang awalnya lembut mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih liar, lebih mendesak.
Waktu seakan berhenti, tapi logika Vincent perlahan kembali. Ia menarik diri dengan cepat, menghentikan segalanya.
“Hey—stop it!" seru Vincent dengan salah tingkah.
Val membuka matanya, bingung dan masih setengah mabuk. Mata mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, hanya keheningan yang mengisi ruangan.
“Gue bukan Sam,” kata Vincent pelan, mencoba menenangkan gadis itu. Tapi di balik kata-katanya, jantungnya masih berdetak kencang, seolah belum siap meninggalkan momen yang baru saja terjadi.
Val menatap kosong ke arahnya, seakan mencoba memahami sesuatu. Napasnya masih tersengal, mata yang berkaca-kaca membuat Vincent sedikit tidak nyaman—antara kasihan dan bingung harus bereaksi bagaimana.
“Lo terlalu mabuk. Lo harus istirahat,” tambah Vincent sambil berdiri, berharap bisa mengakhiri situasi yang semakin aneh ini. Tapi, tangan Val yang kecil dan dingin tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.
"Tolong disini saja," ucap Val lirih.
Vincent berhenti, menatap gadis itu dengan ekspresi dilematis. Ia bisa saja menolak, tapi melihat cara Val menggenggam tangannya, seolah hidupnya bergantung pada kehadirannya, membuat Vincent tidak tega.
"Gue mohon," lanjut Val.
Val mencoba duduk tegak, meski gerakannya masih lemah. Kini mereka saling berhadapan, hanya beberapa inci memisahkan mereka. Mata Val yang basah oleh air mata, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Kesedihan, kelelahan, atau mungkin ... ketakutan?
Tangan Vincent, hampir tanpa sadar, bergerak menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Val. Sentuhannya lembut, refleks membuatnya terkejut sendiri.
Apa yang gue lakuin, sih? Batin Vincent.
"Boleh gue minta sesuatu?" tanya Val lirih.
"Apa?" tanya Vincent.
"Cium gue lagi," pintanya dengan nada memohon.
“Hah?” Vincent kaget, memastikan ia tidak salah dengar. Tapi Val tidak menjelaskan lebih lanjut. Sebelum Vincent sempat menolak atau bertanya, Val sudah bergerak maju.
Lagi.
Val menyatukan bibir mereka lagi, tapi kali ini Vincent tidak menolak. Setelah ciuman pertama tadi, terus terang Vincent menginginkan lebih.
Sebagai laki-laki normal, tentu saja dia menginginkan hal yang seperti ini. Dia tidak munafik atau sok suci. Selain pengaruh alkohol, zat feromonnya juga menguar.
Ciuman liar dan panas itu terus terjadi. Tangan Val bergerak membuka satu persatu kancing kemeja Vincent. Sedangkan Vincent entah kenapa tangannya tak bisa dikontrol untuk menelusup masuk ke dalam baju model crop top yang dipakai Val.
Tak butuh waktu lama, Vincent mulai bergerak meremas dua bagian indah Val yang tertutup bra berenda yang entah berwarna apa.
Ciuman di bibir terus terjadi, lalu Vincent menurunkan bibirnya ke leher Val. Gadis itu mengangkat wajah, memberikan akses pada Vincent agar bisa leluasa menjelajah di area sana.
Disertai dengan embusan napas dan desah berat, jari telunjuk Vincent berhasil masuk ke dalam bra Val. Ujung kulit telunjuknya bertemu dengan sesuatu area yang sensitif. Detik itu juga napas Val semakin memburu seolah memberikan titah pada Vincent untuk memenuhi segala keinginannya.
Tanpa Val tahu, sesuatu di dalam celana Vincent mulai mengeras, menuntut untuk keluar. Vincent menarik tangannya keluar dari crop top dan mulai melepaskan ikat pinggangnya.
Val hanya memerhatikan dengan mata sayu. Namun, detik berikutnya dia terperangah ketika celana itu lolos dari pinggang Vincent dan turun ke bawah. Matanya menangkap sesuatu yang besar dan tegang dibalik itu.
Tanpa banyak bicara, Val melepaskan pakaiannya hingga tak terlapisi sehelai benangpun. Begitu juga dengan Vincent.
Malam ini tanpa Vincent ketahui ... Gadis yang tidur bersamanya telah menyerahkan mahkota sucinya tanpa sadar.
***
Vincent mengenakan kembali pakaiannya dengan gerakan tergesa, seolah berharap semua rasa bersalah yang menyesakkan dadanya bisa ikut lenyap bersama kemeja yang terkancing rapi. Namun, pikiran-pikirannya terus berteriak, seperti sirene yang memekakkan telinga.
"Shit, Vincent! Lo udah ngerebut keperawanan cewek ini!" gerutunya sambil menjambak rambutnya sendiri.
Ia memalingkan wajah, menatap Val yang tertidur pulas di ranjang. Napasnya teratur, terlihat damai, berbeda seratus delapan puluh derajat dari kegelisahan yang menguasai Vincent. Matanya kemudian tertumbuk pada bercak merah di atas sprei putih bersih. Dadanya semakin sesak.
"Sial, jadi dia benar-benar belum pernah sama sekali," bisiknya pelan.
Frustrasi meluap-luap di dalam dirinya. Ia harus memastikan sesuatu. Tanpa memikirkan apakah itu pantas atau tidak, Vincent meraih tas Val yang tergeletak di atas meja kecil di sudut kamar. Tangannya gemetar saat membuka resleting tas itu.
Sebuah dompet kecil berwarna merah muda menarik perhatiannya. Desainnya sederhana, dengan gambar kupu-kupu di bagian depannya.
"Dompet ini … kayaknya lebih cocok buat anak kecil," pikir Vincent dengan kening berkerut.
Perasaannya semakin tidak enak. Dengan hati-hati, ia membuka dompet itu, berharap menemukan KTP atau semacamnya. Tapi yang ia dapatkan adalah sebuah kartu pelajar.
"Kartu pelajar?" gumamnya dengan nada tak percaya.
Tangannya terhenti beberapa detik sebelum mengambil kartu itu dan membacanya perlahan.
"Valeska Resyanita, SMA Harmoni Jaya."
DEG!
Darah Vincent seperti berhenti mengalir. Napasnya tercekat, dan ia menatap kartu itu lekat-lekat, berharap ada kesalahan. Tapi tidak. Foto di kartu pelajar itu sama persis dengan wajah gadis yang sekarang tertidur di atas ranjangnya, tubuhnya hanya tertutup selimut.
"I—ini gak mungkin, kan?" Suaranya nyaris berbisik. Napasnya semakin berat, seolah udara di ruangan ini mendadak menghilang. "Jadi ... gadis ini masih pelajar? Oh, sial!!"
Vincent mencengkeram kartu itu kuat-kuat. Perasaan bersalah bercampur marah pada dirinya sendiri. Ia benci pada kebodohannya. Pada dirinya yang terlalu terbuai pesona Val sampai lupa bertanya hal paling mendasar: nama dan usianya.
Dengan gerakan cepat, ia mengambil ponselnya dan memoto kartu pelajar itu. Jemarinya terasa kaku saat memasukkan kartu itu kembali ke dalam dompet, lalu mengembalikan tas Val ke tempat semula.
"Tenang, Vin ... pikirin apa yang harus lo lakuin sekarang," gumamnya, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar kacau.
Tapi, sekeras apapun ia mencoba berpikir, jawabannya tetap nihil. Tangannya mencengkeram rambutnya sendiri lagi. "Ergh! Gue bingung, sial!" makinya, frustrasi memuncak.
Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. Kemudian ide itu muncul—setipis harapan, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Ia harus menemui Desta sekarang juga. Sahabatnya itu memang sering mabuk, tapi setidaknya Desta cukup pintar untuk membantu memikirkan solusi.
Dengan langkah berat dan kepala yang penuh dengan penyesalan, Vincent meninggalkan kamar itu. Di belakangnya, Val tetap tertidur dengan damai, tidak tahu bahwa dunia Vincent saat ini sedang diambang kehancuran.
***
Vincent menerobos kerumunan tamu di lounge malam itu, mencari Desta. Sosok itu ditemukan, bersandar santai di sofa dengan LC di sisinya. Desta yang sudah setengah teler hanya bisa tertawa-tawa tak jelas.
"Des! Ikut gue!" Vincent hampir berteriak agar suaranya terdengar di tengah dentuman musik.
Desta mendongak perlahan, mencoba memfokuskan matanya pada Vincent, lalu tertawa lagi. "Habis darimana, Bro? Ketemu cewek cakep, ya?" godanya sambil menggoyang gelas minuman di tangannya.
Vincent berdecak kesal. "Bantuin gue, Des!" katanya seraya menarik tangan Desta dengan paksa.
"Eh, bentar! Mau kemana?" Desta berusaha melawan, tapi langkahnya terlalu limbung untuk melarikan diri.
Vincent tidak menggubris, menyeretnya ke luar area lounge. Setelah cukup jauh dari keramaian dan suara musik mulai meredam, Vincent melepaskan cengkeramannya.
"Kenapa sih, Bro?" Desta mengerutkan kening, berusaha fokus meski pikirannya masih melayang.
Vincent menatapnya tajam. "Gue ... gue baru aja bikin kesalahan besar, Des," ucapnya berat.
Desta menegakkan tubuh, mencoba mencerna kata-kata Vincent. "Kesalahan?" tanyanya pelan. Lalu matanya membelalak. "Lo gak bunuh orang, kan?!"
"Gila! Enggak lah!" Vincent menjawab dengan nada geram.
"Oh, baguslah." Desta menghela napas lega, lalu menyeringai. "Terus apa dong? Lo panik banget."
Vincent mengusap wajahnya dengan kasar, frustrasi meluap-luap. "Gue ... gue abis tidur sama cewek."
Desta langsung tertawa terpingkal-pingkal. "Hahahaha! Bego banget, Vin. Emang apa salahnya? Kan udah biasa buat lo."
"Tck! Gue ambil keperawanan dia, Des!" Vincent membentak, membuat Desta semakin keras tawanya.
"Hahahaha ... Jackpot tuh namanya! Good job, Vin."
Vincent memutar bola matanya, kesal. "Masalahnya, dia masih anak SMA, Bego!"
"HAH?! Bocil?!" Tawa Desta langsung lenyap. Matanya membelalak, dan dia memegang bahu Vincent. "Lo serius, Vin?! Jangan bercanda, anjir!"
"Lo pikir gue keliatan kayak lagi bercanda?" Vincent mendengus.
Desta menggeleng pelan, ekspresi serius kini menggantikan wajah konyolnya. "Anjir, Vin! Kenapa bisa lo pecahin perawannya bocil? Banyak LC di sini, lo malah main sama anak sekolah?!"
"Gue gak tau dia masih sekolah, Des!" Vincent membela diri. "Dia lolos masuk bar, gue kira ya biasa aja!"
Desta mengangkat alis. "Dari mukanya kan ketauan bocil, Bray."
"Kan gelap, idiot!" Vincent mendesis.
Desta mendengus, menoyor kepala sahabatnya. "Gelap apa sange lo?"
"Udah, jangan banyak bacot! Gue bingung harus ngapain sekarang," ucap Vincent, gelisah.
Desta menatap Vincent lama, lalu menarik napas panjang. "Dia di mana sekarang?"
"Masih di rest room, gue tadi bayar Mr. Harold buat sewa kamar biar dia gak diganggu."
Desta menyipitkan mata. "Lu bayar? Jadi emang dari awal sengaja lu niat ngewe, kan?"
"Enggak! Bukan gitu ceritanya. Pokoknya sekarang bantuin gue dulu," ujar Vincent buru-buru.
Desta mendesah, mengangkat tangannya seperti menyerah. "Oke, gue pikirin dulu. Dia tau nama lo gak?"
Vincent menggeleng. "Enggak. Dia mabuk parah tadi."
"Ah, cewek mabok malah lo libas. Heran gue sama otak lo!" Desta menoyor kepala Vincent lagi.
"Udah, Des! Fokus! Gue harus ngapain sekarang?"
Desta mengangguk pelan, berpikir keras. Lalu ia menjentikkan jari. "Kasih duit aja, Bray."
Vincent mengernyit. "Kasih duit? Jadi kayak kesannya gue beli dia?"
Desta mengangkat bahu. "Setidaknya itu lebih bertanggung jawab daripada lo kabur gitu aja. Plus, bocil kayak gitu pasti mikir duit adalah solusi semua masalah."
Vincent menghela napas panjang, tahu Desta ada benarnya. "Oke. Lo ada cash gak?"
"Ada 10 juta. Lo sendiri?"
"Gue cuma lima juta."
Desta memutar bola matanya. "Kita ke Mr. Harold aja, minta bantu cairin duit lebih."
Vincent mengangguk, dan mereka berdua segera menuju ke meja manajer lounge.
***
Beberapa menit kemudian, Vincent dan Desta masuk ke rest room yang sangat sepi. Valeska masih terlelap di sofa panjang, tubuhnya terbungkus selimut.
"Bjir. Cakep banget," puji Desta tanpa sadar.
Vincent melirik tajam. "Diam, bego. Bisa bangun dia!"
Desta mengangkat tangan, mengunci mulutnya sendiri. "Yaudah, taruh aja tuh amplop di sampingnya."
Vincent berjalan pelan, menaruh amplop cokelat berisi uang di dekat tangan Val. Ia menghela napas panjang, perasaan bersalah masih menggerogotinya.
"Menurut lo, ini cukup?" tanyanya pelan.
Desta mendengus. "200 juta cukup banget buat bocil SMA, Vin. Daripada dia hilang perawan sama pacarnya, cuma dibayar boba sama seblak, mending ini."
Vincent tidak menjawab, hanya menatap Val lama, seolah mengucap permintaan maaf tanpa suara.
"Udah, yuk cabut," ajak Desta.
Vincent mengangguk, mengikuti Desta keluar dari ruangan dengan hati yang masih berat. Malam yang tadinya harus penuh kesenangan berubah jadi penyesalan.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!