Di tengah hiruk pikuk bandara internasional Incheon, suara langkah kaki dan roda koper yang bergesekan dengan lantai menjadi latar belakang dari atmosfer yang sibuk. Suara pengumuman penerbangan terdengar bersahutan, diselingi sapaan dalam berbagai bahasa dari para petugas bandara.
Di antara keramaian itu, tampak seorang gadis muda berjalan dengan langkah ringan, seolah waktu berjalan lebih lambat untuknya. Senyuman kecil menghiasi wajahnya, menunjukkan kelebihan sekaligus semangat yang sulit disembunyikan.
Gadis itu bernama Rindira, namun ia lebih sering dipanggil, Riin. Ia adalah seorang gadis asal Indonesia yang baru saja menyelesaikan perjalanan panjang selama 7 jam dari Jakarta.
Rambut coklat gelapnya yang ikal sebahu terlihat rapi, meskipun terlihat sedikit kusut akibat perjalanan panjang. Dua koper besar mengapit tubuh rampingnya, dan meski susah payah, ia tetap tersenyum, membayangkan hari-hari barunya di Korea, tempat ia akan memulai babak baru dalam hidupnya.
Sebagai lulusan jurusan sastra Inggris dari salah satu universitas ternama di Indonesia, Riin memiliki latar belakang akademis yang luar biasa. Namun, yang membuatnya benar-benar berbeda adalah kemampuannya menguasai beberapa bahasa asing, termasuk Jepang dan Korea. Kemampuan ini bukan hanya hasil dari pendidikan formal, tetapi juga dedikasinya untuk belajar secara mandiri melalui buku, film dan juga berinteraksi langsung. Kombinasi dari tekad dan kecintaannya pada bahasa telah membuka pintu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia mendapat kesempatan bekerja sebagai penulis dan penerjemah di sebuah perusahaan penerbitan terkemuka di Seoul.
Setelah mengambil kopernya, Riin memutuskan untuk duduk sejenak di area cafe bandara. Ia membeli segelas ice Americano, memanfaatkan waktu untuk menenangkan diri dan mengisi energi sambil menunggu teman lamanya datang menjemput. Matanya menatap keluar jendela, melihat pesawat yang berjajar rapi di landasan, sementara bayang-bayang masa depan yang dia impikan perlahan-lahan mulai terasa nyata.
Di sudut lain bandara, Cho Jae Hyun, CEO muda dengan reputasi mengesankan di dunia penerbitan Korea, baru saja tiba setelah menyelesaikan perjalanan bisnisnya.
Langkahnya tegap, mencerminkan otoritas dan kepercayaan diri yang menjadi ciri khasnya. Setelan jas casual yang ia kenakan terlihat rapi dan mahal, menambah kesan dingin dan tak tersentuh pada sosoknya. Meski wajahnya tak menunjukkan tanda-tanda lelah, pikirannya sibuk dengan rencana dan jadwal rapat yang menantinya di perusahaan.
Jae Hyun adalah orang yang selalu bergerak cepat, seperti mesin yang tak pernah berhenti, sepenuhnya fokus pada ambisi dan tanggung jawabnya.
***
Riin, dengan dua koper besar dan segelas kopi di tangan, berjalan perlahan menyusuri area kedatangan.
Troli barang yang mengangkut dua koper besarnya ia dorong perlahan, sedikit berderit, seolah mencerminkan kehati-hatiannya. Ia sadar betul akan sifat cerobohnya. Ia berulang kali memastikan bahwa kopi di tangannya tidak tumpah. Namun, takdir rupanya memiliki rencana lain.
Saat pandangannya sempat teralihkan ke papan informasi yang menunjukkan jadwal keberangkatan, kakinya tak sengaja menginjak tali sepatu yang sudah longgar sejak tadi. Ia kehilangan keseimbangan, dan tanpa sempat berpikir, tubuhnya terhuyung ke depan, langsung menabrak seseorang.
Tumpahan kopi dingin itu terasa seperti bencana kecil. Cairan coklat mengotori jas hitam mahal yang dikenakan pria itu, sementara sebagian kecil juga mengenai sepatu dan kaos kaki Riin sendiri. Suara nafas yang tertahan dan keheningan sesaat membuat suasana semakin tegang . Hingga akhirnya, suara rendah namun penuh kemarahan terdengar memecah keheningan.
"Apa-apaan ini?!" seru pria itu, matanya tajam menatap Riin yang masih terpaku di tempatnya.
Cho Jae Hyun kini berdiri dengan jas yang basah dan aroma kopi yang menyengat. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak diliputi amarah. Ia benci kekacauan, apalagi di tempat umum seperti ini.
Riin, yang tersadar dari keterkejutannya, buru-buru membungkuk meminta maaf. "Maaf, aku sungguh-sungguh tidak sengaja," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Namun permintaan maaf itu tampaknya tidak cukup untuk meredakan kemarahan Jae Hyun. "Apa kau tidak bisa lebih berhati-hati?!" bentaknya dengan nada tajam. Matanya menyapu pakaian Riin, yang tampak jauh lebih sederhana dibandingkan miliknya. "Kalau kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri, jangan menyulitkan orang lain!"
Kata-kata itu membuat Riin merasa tersinggung, meskipun ia tahu dirinya memang ceroboh. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan diri untuk tidak membalas. Tapi harga dirinya sebagai gadis muda yang mandiri tidak bisa membiarkan dirinya dihina begitu saja.
"Hei, aku kan sudah minta maaf," balas Riin akhirnya, suaranya sedikit gemetar namun jelas menunjukkan ketidaksengajaan.
Jae Hyun mendengus, jelas tidak puas dengan tanggapan itu. "Sengaja atau tidak, tetap saja ini akibat kecerobohanmu!" katanya sambil melepas jas basahnya dengan gerakan frustasi. "Ini pakaian kerja, dan sekarang semuanya berantakan karena ulahmu!"
Suasana hati Riin yang awalnya penuh penyesalan, kini berganti dengan rasa kesal. "Ternyata pakaian bagus tidak menjamin seseorang memiliki sikap yang baik, ya?" sindirnya, matanya menatap Jae Hyun tajam. "Kalau kau mau mengganti pakaianmu sekarang, cari saja laundry terdekat. Apa itu terlalu sulit untuk pria kaya sepertimu?"
Perkataan itu membuat Jae Hyun kehilangan kesabaran. Ia menunjuk ke arah Riin dengan gerakan cepat, meskipun tetap menjaga jarak. "Anak kecil yang ceroboh sepertimu harusnya introspeksi diri! Dan aku tidak butuh pelajaran hidup darimu!"
"Aku bukan anak kecil!" sergah Riin. Kini, ia benar-benar marah. "Dan aku hanya membela diri karena kau terus menyalahkan ku tanpa henti! Kalau kau hanya ingin uang untuk biaya laundry, bilang saja dari tadi, tidak perlu berlaga seperti ini!"
Seketika, Jae Hyun terdiam. Nafasnya memburu, mencoba mengontrol emosi yang nyaris meledak. Setelah beberapa detik, untuk menyudahi pertengkaran itu. "Berdebat denganmu hanya membuang waktuku," umumnya dengan nada datar, matanya memancarkan kejengkelan. "Aku juga tidak butuh uang dari anak kecil seperti dirimu!"
Jae Hyun berbalik, hendak beranjak pergi. Namun sebelum ia benar-benar pergi, ia berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi yang sedikit melunak, meskipun suaranya tetap tegas. "Ikat tali sepatumu yang benar." katanya singkat sebelum melangkah pergi.
Riin terpaku. Perkataan itu, meskipun terdengar ketus, namun terasa seperti sebuah nasehat yang tulus. Perlahan, ia menunduk, mengikat tali sepatunya dengan benar, sambil merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Amarah, malu, sekaligus sedikit terhibur bahwa pria itu, meskipun menjengkelkan, masih memperdulikan hal kecil seperti itu.
Tidak lama kemudian, petugas kebersihan mulai membersihkan tumpahan kopi di lantai. Riin berterima kasih sambil memutar badan sebelum melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Di dalam benaknya, wajah dan suara pria tadi terus terngiang. Dia tidak tahu bahwa pertemuan kecil yang penuh pertengkaran itu akan menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya.
***
Langit Seoul yang berwarna jingga mulai meredup, menggantikan terang matahari dengan nuansa sore yang tenang. Di area penjemputan bandara Incheon, orang-orang terlihat bergegas menyambut kedatangan kerabat, sahabat maupun kekasih dengan pelukan hangat atau lambaian tangan antusias. Di tengah keramaian itu, mata Riin tertuju pada seorang wanita dengan rambut lurus sebahu yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu memegang selembar karton besar bertuliskan 'Selamat datang, Riin!' dengan huruf warna-warni yang ceria.
"Ah Ri." gumam Riin, senyum kecil mulai muncul di wajahnya yang sempat muram. Ia mempercepat langkah kakinya menuju wanita itu.
Ah Ri menyambutnya dengan wajah penuh semangat. Dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dari Riin dan aura percaya diri yang khas, Ah Ri memancarkan kehangatan yang menenangkan. "Riin!" serunya antusias. Ia bahkan hendak memeluk Riin, namun langkahnya terhenti ketika menyadari pakaian Riin yang basah dan ekspresinya yang sedikit suram.
"Astaga! Apa yang terjadi padamu?" tanya Ah Ri dengan ada khawatir, matanya memeriksa Riin dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Riin mendesah pelan, merasa lega melihat wajah familiar di negeri yang masih terasa asing ini. "Aku tidak sengaja menabrak seseorang di dalam," jelasnya sambil memandang noda kopi yang mulai mengering di pakaiannya. "Ice coffee-ku tumpah mengenai aku dan... pria itu."
"Pria itu?" Ah Ri mengangkat alis, penasaran. "Lalu apa dia marah? Apa dia menuntut ganti rugi?"
Riin menggeleng. "Dia memang marah, sangat marah. Tapi dia menolak ganti rugi yang ku tawarkan. Hanya saja... dia benar-benar menyebalkan!" suaranya melemah di akhir kalimat, mengingat kembali tatapan tajam dan kata-kata tajam pria yang ia tabrak. Meskipun ia sudah mencoba melupakannya, namun rasa malu dan sedikit kesal masih membekas di dadanya.
Ah Ri menghela nafas panjang, selalu merangkul bahu Riin dengan lembut. "Syukurlah kalau dia tidak memperpanjang masalahnya. Tapi, astaga, kau baru saja tiba di Korea tapi sudah mendapat insiden seperti ini. Kau memang selalu punya bakat untuk menarik perhatian dalam cara yang tidak biasa," ucapnya dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.
Riin tersenyum tipis, meskipun matanya masih menyiratkan rasa lelah. "Bakat yang tidak ingin Ku pertahankan," katanya setengah bergurau, mencoba merespon dengan nada lebih ringan.
"Sudahlah," ujar Ah Ri sambil mendorong troli Riin dengan satu tangan dan merangkul bahunya dengan tangan lain. "Sekarang kita pulang. Istirahatkan tubuh dan pikiranmu. Lupakan saja pria menyebalkan itu. Besok adalah hari yang baru, dan kau punya banyak hal seru yang menunggumu di sini."
Riin mengangguk pelan. Kata-kata Ah Ri sedikit mengangkat beban di hatinya. Meski kejadian di bandara sulit dilupakan, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanannya di negeri asing ini. Ia harus fokus pada tujuan utamanya, karir barunya dan tantangan-tantangan menarik yang akan dihadapi.
***
Riin dan Ah Ri akhirnya tiba di apartemen mereka, sebuah bangunan modern dengan jendela kaca besar yang memantulkan lampu-lampu jalanan. Apartemen itu berada di kawasan Mapo-gu, daerah yang ramai namun tetap nyaman. Dikelilingi oleh cafe-cafe kecil dan toko-toko serba ada yang buka hingga larut malam. Tempat itu terasa hidup namun tidak berlebihan, cocok untuk mereka yang bekerja di kota sibuk ini.
Ah Ri membimbing Riin menuju lift dengan membawa salah satu koper besarnya. "Aku yakin kau akan suka tempat ini," kata Ah Ri dengan nada optimis saat mereka naik ke lantai 5. "Memang tidak besar, tapi cukup nyaman untuk kita berdua. Dan yang paling penting lokasinya strategis."
Setelah pintu lift terbuka, mereka berjalan menyusuri koridor yang terang dan bersih. Di ujung koridor, Ah Ri membuka pintu apartemen mereka menggunakan kode digital. "Selamat datang di rumah baru kita," katanya dengan nada ceria.
Riin melangkah masuk, mengamati apartemen yang terlihat modern namun tetap sederhana.Ruang tamunya tidak terlalu besar hanya berisi sofa, meja kopi mungil dan televisi yang diletakkan di atas rak minimalis. Dinding putih polos memberikan kesan bersih, sementara beberapa tanaman hias di sudut ruangan menambah kesan hangat. Dapur kecil dengan peralatan modern terletak di sebelah kanan, lengkap dengan meja makan kecil untuk 2 orang.
"Ini kamarmu," ujar Ah Ri sambil membuka pintu di sisi kiri apartemen.
Riin melangkah masuk ke dalam kamar barunya. Ukurannya tidak besar, tetapi cukup untuk sebuah tempat tidur single, lemari pakaian kecil dan meja kerja di dekat jendela. Tirai putih yang menggantung di jendela memberikan sentuhan lembut pada ruangan itu. Dari jendela, bisa melihat pemandangan sebagian kota yang gemerlap dengan lampu-lampu neon.
"Ukuran kamar kita kurang lebih sama," jelas Ah Ri sambil menaruh koper Riin di samping lemari. "Hanya saja, satu hal yang sedikit merepotkan adalah kita harus bergantian menggunakan kamar mandi karena di sini hanya ada satu kamar mandi."
Ah Ri menunjuk ke arah pintu kamar mandi yang terletak di antara kamar mereka. "Tapi itu tidak masalah, kan?"
"Tidak sama sekali," jawab Riin sambil tersenyum.
***
Malam itu, di apartemen mewahnya yang berada di kawasan Gangnam, Jae Hyun memasuki kamar mandinya dengan langkah berat. Desain kamar mandinya modern dengan dominasi marmer putih yang bersih, diterangi lampu-lampu redup yang memberikan kesan elegan. Sebuah bathub besar berbentuk oval berada di tengah ruangan, dikelilingi aroma lavender dari diffuser otomatis. Namun, suasana tenang itu tak cukup untuk meredakan kekesalan yang membara di dalam dirinya.
Jae Hyun melemparkan jas kotornya ke keranjang pakaian, gerakannya kasar seperti menumpahkan rasa frustasi. "Soal, gadis ceroboh itu," gumamnya sambil melepaskan t-shirt putihnya yang juga kotor terkena tumpahan kopi. Bayangan insiden di bandara terus berputar di kepalanya. Cara gadis itu terhuyung, kopi yang meluncur tanpa ampun ke arah jas mahalnya, serta argumen panas yang terjadi setelahnya. Semuanya terasa seperti adegan film komedi absurd yang tidak ingin ia tonton lagi.
Setelah menanggalkan seluruh pakaiannya, ia melangkah masuk ke dalam bathtub yang sudah dipenuhi air hangat. Jae Hyun membenamkan tubuhnya perlahan, membiarkan kehangatan air meresap ke dalam otot-ototnya yang tegang. Ia mencoba memejamkan mata, berharap ritual rutinnya ini bisa membantunya melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saat Jae Hyun berusaha memejamkan matanya, wajah gadis itu muncul lagi. Rambut ikalnya yang sedikit berantakan, ekspresi panik saat meminta maaf, dan_yang paling membuatnya kesal_tatapan matanya yang berani ketika mulai membalas omelannya. Gadis itu jelas ceroboh, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Jae Hyun tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
"Ck," dengusnya sambil membuka matanya lagi. Ia menatap langit-langit kamar mandi dengan pandangan tajam. "Kenapa wajah gadis itu terus muncul? Dia yang bersalah, tapi kenapa justru aku yang tidak bisa berhenti memikirkannya?" gumamnya dengan suara rendah. Rasa frustasinya semakin meningkat. Ia bukan tipe orang yang mudah terusik oleh hal kecil, apalagi sesuatu yang tidak penting seperti insiden tumpahan kopi.
Tapi entah bagaimana, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Gadis itu tidak hanya meninggalkan noda kopi di jas mahalnya, tetapi juga semacam jejak di pikirannya_seperti teka-teki yang belum selesai ia pecahkan.
"Cho Jae Hyun, Kau pasti sudah terlalu lelah," katanya pada diri sendiri, mencoba mengabaikan pikirannya. "Lupakan saja. Tidak ada gunanya memikirkan seseorang yang bahkan tidak akan kau temui lagi."
Namun, meski ia mencoba mengalihkan pikirannya, bayangan garis itu tetap mengintai di sudut pikirannya. Matanya yang besar dan jernih, cara ia menatapnya dengan campuran keberanian dan ketidak sabaran. Sesuatu dalam dirinya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang insiden kopi, tetapi ada hal lain yang belum ia pahami sepenuhnya.
Setelah beberapa saat, Jae Hyun akhirnya bangkit dari bathtub, membiarkan air menetes dari tubuhnya ke lantai marmer. Ia mengambil handuk putih bersih dari rak dan mulai mengeringkan tubuhnya. Di dalam hati, dia bertekad untuk melupakan kejadian itu, "Besok adalah hari baru. Tidak ada alasan untuk terus memikirkan sesuatu yang tidak penting," gumamnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi.
Namun, bahkan saat ia berbaring di tempat tidurnya yang luas dengan sprei linen yang halus, pikirannya tetap tersesat. Gadis ceroboh itu, entah bagaimana, telah meninggalkan kesan yang sulit dihapus.dengan desahan panjang, Jae Hyun memejamkan matanya, berharap tidur akan terjadi pelarian yang ia butuhkan. Tapi, malam itu, tidur nyenyak tampaknya bukan hal yang mudah baginya.
***
Hari pertama di Colors Publishing terasa seperti babak baru dalam kehidupan Riin. Kantor ini memiliki suasana modern dan dinamis. Ruangannya luas, didominasi warna-warna netral seperti putih, abu-abu, dan biru muda dengan sentuhan tanaman hijau di sudut-sudutnya. Langit-langit yang tinggi dan jendela kaca besar memberikan pencahayaan alami yang membuat ruangan terasa lebih lega dan nyaman. Ada meja-meja kerja yang tersusun rapi, dihiasi komputer modern dan beberapa pernak-pernik pribadi milik karyawan yang memberi kesan ramah.
Ketika Ah Ri memandu Riin melewati lorong, ia memperhatikan suasana sekitar. Beberapa karyawan tampak sibuk dengan tumpukan manuskrip, sementara lainnya mengetik dengan serius di komputer mereka. Beberapa terlihat bercanda ringan di dekat pantry, menunjukkan bahwa meskipun lingkungan ini profesional, tetap ada ruang untuk kehangatan.
"Ini adalah area editorial utama," jelas Ah Ri sambil menunjuk barisan meja kerja yang tertata rapi. "Kebanyakan pekerjaan tim kreatif dilakukan di sini. Dan, itu," tambahnya sambil melambai ke arah seorang pria yang tengah berbicara dengan rekannya, "adalah Kim Seonho, kepala editor kita."
Seonho, yang baru menyadari panggilan Ah Ri, menoleh dan melangkah mendekat. Ia adalah pria dengan wajah tegas namun ramah, dihiasi sepasang lesung pipit yang dalam ketika ia tersenyum. Penampilannya yang kasual namun rapi_dengan kemeja biru muda yang lengan panjangnya digulung sampai siku_memberikan kesan seseorang yang approach able namun profesional.
"Riin~a, perkenalkan ini adalah Kim Seonho. Ia adalah kepala editor di sini, kau bisa memanggilnya editor Kim." jelas Ah Ri.
"Salam kenal, saya Rindira atau biasa dipanggil Riin. Saya adalah penulis dan penerjemah baru di sini. Mohon bantuannya editor Kim." sapa Riin sambil membungkukkan badannya.
"Kau tidak perlu terlalu formal denganku. Anggap saja aku sebagai rekan kerja biasa. Tapi jangan lupa tetap hormat, ya," tambah Seonho dengan nada bercanda. Pria bernama Kim Seonho itu menyambut Riin dengan hangat, terlebih lagi senyum dengan lesung pipinya yang sesaat membuat Riin cukup terpesona.
Percakapan ringan ini berhasil membuat suasana lebih santai. Ah Ri melanjutkan perkenalannya dengan menjelaskan bahwa Riin akan bekerja dekat dengan Seonho karena proyek-proyek awalnya akan melibatkan banyak revisi naskah dan penyesuaian gaya terjemahan.
"Riin~a, itu meja kerjamu. Sengaja aku mengaturnya berdekatan dengan editor Kim karena kalian akan sering berkomunikasi untuk pekerjaan kedepannya." jelas Ah Ri lagi seraya menunjuk salah satu meja kerja yang bersebrangan dengan meja editor Kim.
Ketika mereka tiba di meja kerja Riin, ia menyadari bahwa lokasinya cukup strategis_tidak terlalu jauh dari jendela besar yang menawarkan pemandangan kota Seoul, namun tetap dekat dengan rekan-rekan kerjanya. Di atas meja sudah ada satu set komputer, beberapa buku referensi, dan sebuah papan kecil bertuliskan namanya: Rindira_Penulis & Penerjemah.
"Aku bisa membantumu jika ada yang perlu diatur," ujar Seonho sambil menunjuk meja kerja itu. "Tapi, jangan ragu untuk bertanya pada siapa pun di sini. Kami semua cukup ramah, setidaknya di awal," tambahnya dengan nada menggoda.
"Ah, baiklah. Mungkin aku juga akan banyak bertanya nantinya selagi dalam masa penyesuaian." ucapnya pelan, namun Seonho masih bisa mendengarnya.
"Aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu asalkan kau mentraktirku makan siang atau segelas kopi." candanya yang langsung mendapat pukulan kecil dari Ah Ri.
Ah Ri yang berdiri di samping mereka, memutar bola matanya. "Hei, jangan menyulitkan temanku ya!" tegur Ah Ri. "Kau tahu dia baru datang dari negara lain. Beri dia waktu untuk beradaptasi."
"Aku hanya bercanda." balas Seonho seraya menyunggingkan senyum khasnya.
"Sudah cukup bercandanya. Riin, kau masih harus bertemu dengan beberapa orang lagi," kata Ah Ri dengan tegas namun tetap ramah.
***
Mereka berhenti di depan meja Kim Min Gyu. Pria itu duduk dengan postur sedikit membungkuk, fokus pada layar komputer yang dipenuhi kode-kode berwarna. Sebuah headphone besar menutupi telinganya, membuatnya tak menyadari kehadiran mereka hingga Ah Ri melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Min Gyu-ssi,” panggil Ah Ri dengan nada sedikit menggoda, membuat pria itu cepat melepas headphone nya dan menoleh dengan senyum kaget. "Sepagi ini kau sudah sibuk?"
Min Gyu mengusap tengkuknya dengan canggung sambil tersenyum lebar. "Ada sedikit perbaikan sistem yang harus kutangani secepat mungkin. Kau tahu kan, CEO kita itu sangat teliti dan tak terima kesalahan apapun. Jadi aku harus memastikan segalanya terkendali."
Riin, yang berdiri sedikit di belakang Ah Ri, memperhatikan Min Gyu dengan rasa ingin tahu. Pria itu tinggi, dengan tubuh atletis yang jelas terlihat meski ia hanya mengenakan kemeja santai. Senyumnya yang dihiasi lesung pipi membuatnya tampak ramah.
Ah Ri menunjuk ke arah Riin dengan gestur halus. “Aku mengerti. Tapi aku butuh waktumu sebentar. Aku ingin memperkenalkan pegawai baru kita. Ini Riin,” katanya sambil menoleh pada Riin, yang langsung berdiri lebih tegap. “Dia penulis dan penerjemah baru di tim ini.”
“Oh, halo!” Min Gyu bangkit dari kursinya dan membungkukkan badan sopan. “Aku Kim Min Gyu, ahli IT di sini. Selamat bergabung, Riin-ssi.”
“Salam kenal, Min Gyu-ssi,” balas Riin sambil ikut membungkuk. "Salam kenal, aku Rindira tapi biasa disapa Riin. Mohon bantuannya."
Ah Ri tersenyum kecil melihat interaksi mereka. “Riin, aku mengenalkanmu pada Min Gyu karena dia orang yang harus kau cari jika ada masalah teknis, terutama soal komputer. Dan satu hal lagi,” ia melirik Min Gyu, “dia lebih muda darimu, tapi di kantor ini, budaya senioritas tetap diutamakan.”
"Baiklah." jawab Riin singkat seraya mengangguk paham.
Min Gyu melambaikan tangannya dengan santai. “Jangan terlalu formal. Di luar kantor, kau bisa anggap aku teman atau adikmu. Tapi di sini, ya, anggap saja aku sedikit lebih senior.”
Suasana di antara mereka menjadi lebih santai. Riin merasa lega karena Min Gyu ternyata adalah orang yang mudah diajak bicara. Kehangatan itu memberinya keyakinan bahwa ia bisa menjalani hari-harinya di kantor ini dengan baik. Ah Ri, yang tampaknya puas dengan perkenalan itu, menepuk pundak Min Gyu.
“Kalau begitu, lanjutkan pekerjaanmu, Min Gyu-ssi. Kami tidak akan mengganggu lagi,” kata Ah Ri sambil melirik Riin. “Ayo, kita lihat meja kerjamu.”
***
"Kau hanya mengenalkanku pada editor Kim dan Min Gyu?" Riin mengangkat alisnya, suaranya terdengar heran.
Ah Ri mengangguk ringan sambil tersenyum. "Mereka yang paling penting dan paling sering berkomunikasi denganmu nantinya. Untuk karyawan lain, kalian bisa saling mengenal seiring berjalannya waktu."
Riin memutar pandangan ke sekitar. Suasana kantor cukup tenang, hanya ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka di bilik masing-masing. Sekilas ia melihat seorang wanita berambut pendek tengah mencoret-coret naskah dengan alis berkerut, sementara seorang pria dengan rambut acak-acak duduk dengan headphone besar, tampak terbenam dalam pekerjaannya.
"Oh iya," Ah Ri memotong lamunan Riin. "Kau harus bertemu satu orang lagi."
"Siapa?" tanya Riin, memiringkan kepala dengan penasaran.
“CEO perusahaan ini,” jawab Ah Ri dengan nada santai, seolah itu bukan hal besar. “Bukankah kau harus menandatangani kontrak resmi terlebih dahulu?”
“Oh, benar juga. Jadi, kapan aku bisa bertemu dengannya?” Riin berusaha terdengar biasa saja, tapi nada suaranya sedikit bergetar.
Ah Ri menatapnya sambil tersenyum, kali ini lebih penuh pengertian. “Aku akan memanggilmu nanti kalau dia sudah datang.”
“Baiklah,” jawab Riin sambil memainkan jemarinya yang saling menggenggam. “Apa aku perlu menyiapkan sesuatu?”
Ah Ri tersenyum kecil, seolah-olah menyembunyikan sesuatu. "Aku sudah menyiapkan kontrak kerja milikmu. Kau hanya perlu menyiapkan mentalmu saja, karena..."
Nada suaranya menggantung, membuat Riin semakin penasaran. "Karena apa?" Riin bertanya lagi, kali ini dengan nada mendesak.
Ah Ri tersenyum tipis, seolah mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar itu. “Karena... bagaimana ya... Bos kita sedikit unik.”
“Unik bagaimana?” desak Riin, matanya menatap Ah Ri dengan campuran penasaran dan cemas.
Ah Ri menghela napas, akhirnya memutuskan untuk berterus terang. “Dia cukup dingin, terkadang galak, terutama kalau pekerjaan tidak sesuai rencana. Dia pria yang sangat teliti, perfeksionis tingkat tinggi. Tapi kau tidak perlu khawatir,” lanjutnya dengan nada lebih lembut, “sebenarnya dia pria yang baik. Selama kau bekerja dengan benar dan tidak melakukan kesalahan, kau akan baik-baik saja.”
Riin mendengarkan dengan seksama, tapi penjelasan itu justru membuat imajinasinya bekerja terlalu keras. Dalam benaknya, ia membayangkan seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan, alis yang selalu berkerut, dan suara berat yang menggema setiap kali ia marah. “Bos tua” itu tampak menakutkan, seperti sosok yang bisa memecat orang hanya dengan tatapan tajam.
Riin menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi rasa khawatir itu tetap membayangi. Ia tahu betapa pentingnya memberikan kesan pertama yang baik, apalagi pada seorang CEO yang memiliki reputasi seperti itu. “Semoga aku tidak melakukan kesalahan saat bertemu dengannya,” gumamnya hampir pada dirinya sendiri.
***
Langit pagi yang cerah menyinari gedung kaca tinggi tempat Colors Publishing beroperasi. Di dalam kantor, hiruk-pikuk aktivitas pagi mulai terasa. Suara langkah kaki, nada dering telepon, dan denting keyboard memenuhi udara. Aroma kopi segar menguar dari sudut pantry, sementara meja-meja kerja dihiasi berkas dan tumpukan naskah.
Namun, suasana berubah drastis saat seorang pria melangkah masuk. Dengan setelan jas hitam mahal yang begitu rapi, ia melangkah penuh keyakinan. Cho Jae Hyun, CEO Colors Publishing, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Aura dingin dan otoritatif yang memancar darinya membuat seluruh ruangan seakan berhenti sejenak. Beberapa karyawan buru-buru menunduk memberi salam, sementara yang lain mencuri pandang sebelum kembali fokus ke pekerjaan mereka, takut tertangkap basah.
Namun, Jae Hyun sama sekali tidak memedulikan sapaan itu. Baginya, waktu adalah investasi, dan setiap detiknya harus digunakan untuk memastikan perusahaan berjalan sesuai ekspektasi tinggi yang ia tetapkan. Ia hanya ingin hasil sempurna, tidak peduli betapa tegangnya para karyawan di sekitarnya.
“Selamat pagi, Sajangnim,” sapa Ah Ri, sekretarisnya yang setia, dengan nada sopan namun akrab. Ia telah cukup lama bekerja di bawah Jae Hyun untuk memahami pola pikir dan kebiasaan pria itu.
“Pagi,” balas Jae Hyun singkat. Tatapannya dingin, hampir tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat siapa pun merasa harus langsung bergerak. Ia tak memperlambat langkah, langsung menuju ruangannya yang luas dengan pemandangan kota Seoul di balik jendela besar. Begitu masuk, ia melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling meja kerja yang tertata sempurna, lalu berbalik menatap Ah Ri.
“Apa agenda hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi sambil menjatuhkan diri ke kursi kulit hitamnya yang terlihat semewah jas yang ia kenakan.
“Hari ini, Anda harus menyerahkan kontrak kerja kepada pegawai baru kita, seorang penulis sekaligus penerjemah. Setelah itu, ada beberapa dokumen yang perlu ditandatangani,” jelas Ah Ri sambil meletakkan map berisi agenda harian dan berkas lainnya di atas meja Jae Hyun yang tampak selalu tertata rapi.
Jae Hyun mengangguk, duduk di kursi kerja kulit hitam yang elegan, dan mulai membuka salah satu map dengan teliti. “Panggil pegawai baru itu,” katanya setelah membaca sekilas. Tatapannya kini terangkat, menatap Ah Ri dengan sorot mata tajam. “Aku harus memastikan sendiri kenapa kau begitu bersikeras merekomendasikannya dibandingkan kandidat lain.”
Ah Ri tersenyum tipis, penuh percaya diri. “Baiklah, Sajangnim. Saya jamin, Anda tidak akan kecewa.” Ia membungkuk sopan sebelum bergegas keluar untuk memanggil Riin.
***
Di ruang tunggu, Riin duduk dengan gelisah. Telapak tangannya sedikit berkeringat, dan ia terus merapikan ujung blazernya meskipun tidak ada yang salah dengan pakaian itu. Pikirannya melayang-layang, membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Apa yang akan dia katakan? Bagaimana jika CEO itu tidak menyukainya? Bagaimana jika dia melakukan kesalahan fatal?
“Riin,” suara Ah Ri memanggilnya, membuyarkan lamunan. “Ayo, waktunya bertemu Sajangnim.”
Riin mengangguk pelan, mencoba mengatur napas. Dia berdiri, merapikan diri untuk terakhir kali, dan melangkah mengikuti Ah Ri. Setiap langkah menuju ruang CEO terasa semakin berat, seperti menyeret dirinya menuju sesuatu yang tak terhindarkan.
Setelah pintu ruang kerja itu terbuka, Ah Ri memberi isyarat agar Riin masuk. Riin melangkah masuk dengan hati-hati, mencoba terlihat percaya diri meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara yang terdengar lebih kecil dari yang ia harapkan.
Pria itu, yang duduk membelakangi Riin dengan kursi putar besar, perlahan berbalik. Begitu mereka saling menatap, waktu seolah berhenti.
Riin membeku. Wajah pria itu terlalu dikenalnya. Pria dengan tatapan tajam dan dagu tegas itu adalah orang yang menjadi korban kecerobohannya di bandara kemarin. Sosok yang ia pikir tak akan pernah ia temui lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.
‘Si anak kecil ceroboh rupanya,’ batin Jae Hyun, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang lebih mirip ejekan.
‘Si pria sombong,’ pikir Riin dengan cepat. Napasnya tercekat, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak.
Ah Ri yang masih berada di ruangan itu merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan Riin dan Jae Hyun yang penuh ketegangan membuatnya bingung. Ia menatap mereka bergantian, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Ah Ri,” suara Jae Hyun memecah kebekuan. “Keluarlah. Aku perlu bicara empat mata dengan pegawai baru ini.”
Nada perintahnya tegas, tidak menyisakan ruang untuk bantahan. Ah Ri mengangguk meski dengan raut bingung. “Baiklah, Sajangnim.” Dengan sopan, ia membungkuk dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya.
Kini, Riin berdiri sendirian di hadapan pria itu. Jae Hyun menyandarkan diri di kursinya, menyunggingkan senyum tipis yang terasa licik. “Jadi, kita bertemu lagi,” katanya perlahan, nada suaranya rendah namun menggema di ruangan yang kini terasa semakin dingin.
Riin menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar. 'Habislah aku!' pikirnya panik. Wajahnya berusaha tetap tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa takut.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!