Angin dari Masa Lalu
---
Hembusan angin gunung berdesir lembut, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang baru saja diguyur hujan. Udara pagi di Desa Ciwaruga terasa dingin dan sejuk, tetapi tangan Rangga Wisesa terus bekerja, menggenggam cangkul yang berat tanpa mengeluh. Peluh menetes dari dahinya, bercampur dengan tanah yang menempel di kulitnya.
Di sekelilingnya, ladang kecil milik Pak Wirya tampak masih setengah dikerjakan. Batang-batang padi yang melambai diterpa angin seperti melambaikan semangat yang tak kenal lelah, sama seperti pemuda berusia dua puluh lima tahun itu. Rangga sudah terbiasa membantu warga desa, meski hatinya kadang terasa kosong.
“Rangga! Hatur nuhun, atuh,” seru Pak Wirya dari kejauhan, suaranya serak namun penuh kehangatan. “Kalau bukan karena kamu, entah kapan sawah ini selesai. Anak-anak muda di desa sekarang sudah jarang mau turun ke ladang.”
Rangga berhenti sejenak, mengusap keringat di dahinya. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat. “Tidak apa-apa, Pak. Saya juga cuma numpang latihan tenaga. Kalau tidak begini, badan saya malah kaku.”
Pak Wirya tertawa kecil, suara seraknya menggema di lembah. “Latihan tenaga, katanya! Kamu ini pendekar atau petani, Rangga?”
Rangga tidak menjawab, hanya mengangkat bahu sambil menyandarkan cangkulnya ke tanah. Ia tahu Pak Wirya hanya bercanda, tetapi kalimat itu seperti menyentuh bagian dalam hatinya yang terluka. Seorang pendekar? Mungkin tidak. Rangga tahu dirinya belum layak disebut seperti itu. Ia hanyalah pemuda desa yang masih mencari tujuan hidup, meskipun masa lalunya pernah membawanya ke dunia persilatan yang kejam.
Matanya mengarah ke pegunungan di kejauhan. Gunung Kendan, dengan puncaknya yang sering diselimuti kabut, berdiri kokoh di antara langit dan bumi. Gunung itu selalu menarik perhatiannya sejak kecil. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Gunung itu seperti memanggilnya, berbisik dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh hatinya.
“Rangga!” Suara Pak Wirya membuyarkan lamunannya. “Kamu melamun lagi.”
“Oh, maaf, Pak,” Rangga menjawab sambil tersenyum canggung. “Tadi saya hanya... memikirkan sesuatu.”
“Memikirkan Gunung Kendan, ya?” Pak Wirya menyipitkan mata, seperti mencoba membaca pikiran pemuda itu. “Ah, semua orang di desa ini pernah merasa begitu. Gunung itu memang punya daya tarik sendiri. Tapi hati-hati, Nak. Banyak cerita yang bilang gunung itu penuh misteri.”
“Misteri apa, Pak?” Rangga bertanya, setengah tertarik, setengah skeptis.
Pak Wirya mendekat, menurunkan suaranya. “Katanya, di dalam gua-gua di kaki gunung itu ada sesuatu yang dijaga oleh leluhur kita. Sesuatu yang tidak boleh disentuh oleh manusia biasa. Tapi saya sendiri belum pernah melihat apa-apa. Saya cuma tahu gua itu tempat berteduh kalau hujan.”
“Gua di kaki gunung?” Rangga mengulang, matanya berbinar.
Pak Wirya mengangguk. “Ayo, saya tunjukkan. Mungkin kita bisa istirahat di sana sebentar sebelum melanjutkan pekerjaan.”
Tanpa banyak bicara lagi, Rangga mengikuti Pak Wirya menyusuri jalur setapak yang curam. Hutan kecil di kaki gunung menyambut mereka dengan suasana sejuk dan hening. Suara ranting yang patah di bawah langkah kaki mereka terdengar seperti bisikan di tengah keheningan. Krek-krek. Di kejauhan, burung-burung berkicau, menambah kedamaian suasana.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka sampai di depan sebuah gua kecil. Mulut gua itu dipenuhi lumut dan tanaman merambat, seolah-olah menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Dinding batu di sekitar gua terlihat tua, dengan beberapa ukiran samar yang hampir tertutup oleh lumut.
Rangga berhenti di depan pintu gua, merasakan udara di sekitarnya yang terasa lebih dingin daripada sebelumnya. Angin berputar lembut di sekitar mereka, menciptakan suara wuuushhh yang hampir menyerupai bisikan.
“Pak, ini gua apa?” tanya Rangga sambil menunjuk ke arah ukiran di dinding.
Pak Wirya mengerutkan dahi, mencoba melihat lebih jelas. “Ah, saya nggak tahu pasti. Dulu orang tua di desa bilang ini gua keramat. Tapi nggak ada yang tahu kenapa. Saya sih cuma pakai untuk berteduh kalau hujan.”
Rangga mendekat, menyentuh dinding gua dengan jemarinya yang kasar. Pola ukiran di dinding itu membentuk lingkaran besar, dengan tulisan-tulisan kuno di tengahnya. Tulisan itu bukan aksara biasa. Ada sesuatu yang aneh, seperti memancarkan energi yang tidak terlihat. Ketika Rangga menekan salah satu bagian ukiran, terdengar suara klik kecil diikuti gemuruh pelan dari dalam gua.
Pak Wirya mundur dengan wajah panik. “Eh, Rangga! Kamu ngapain?”
Tapi Rangga tidak menjawab. Ada dorongan kuat di dalam dirinya, seperti sebuah kekuatan tak kasat mata yang memanggilnya masuk ke dalam gua. Ia melangkah maju tanpa ragu, meskipun pikirannya dipenuhi pertanyaan.
“Pak, saya rasa ini bukan gua biasa,” ucapnya pelan.
Pak Wirya menelan ludah, tampak ragu. “Kamu hati-hati, ya, Rangga. Kalau ada apa-apa, saya lari duluan!” katanya sambil berjaga di luar.
Rangga melangkah masuk ke dalam gua, diikuti oleh suara srekk... srekk dari pasir yang terinjak. Suasana di dalam gua terasa lebih sunyi, seperti dunia di luar telah menghilang. Namun, kegelapan tidak sepenuhnya menelan ruang itu. Cahaya samar merembes dari celah-celah dinding, menciptakan bayangan yang bergerak pelan.
Ia terus melangkah hingga tiba di sebuah ruangan besar di tengah gua. Ruangan itu dipenuhi stalaktit yang menjuntai dari langit-langit, seolah menjadi gigi-gigi tajam yang menjaga sesuatu. Di tengah ruangan, terdapat sebuah prasasti batu besar berukir dengan tulisan kuno yang sama seperti di dinding pintu gua.
Namun, yang paling menarik perhatian Rangga adalah patung pendekar di atas prasasti itu. Patung itu memegang pedang dengan kedua tangan, mengangkatnya ke atas kepala seolah menantang langit. Wajah patung itu terlihat tegas, tapi juga bijaksana.
“Tapak Angin Kendan…” gumam Rangga, membaca tulisan di prasasti itu. Suaranya menggema di ruangan tersebut.
Saat ia mendekat, prasasti itu tiba-tiba memancarkan cahaya redup. Angin berhembus lebih kencang, wuuusshhh!, membuat rambut Rangga berantakan. Ia menutup matanya sesaat, tetapi di dalam angin itu, ia mendengar suara.
“Jadi penjaga atau penghancur… Pilihanmu, Rangga.”
Rangga membuka matanya dengan cepat, tetapi ruangan itu kembali sunyi. Tidak ada orang lain di sana. Hanya dirinya, patung pendekar, dan prasasti yang kini tampak lebih terang. Tapi kata-kata itu tetap terngiang di telinganya, seperti bisikan dari sesuatu yang tidak terlihat.
Cahaya redup yang memancar dari prasasti di depan Rangga membuatnya melangkah mundur beberapa langkah. Ruangan di dalam gua itu begitu sunyi hingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Hembusan angin aneh yang tadi terdengar kini menghilang, meninggalkan suasana yang menegangkan. Namun, suara bisikan yang sebelumnya ia dengar masih menggema di kepalanya.
"Jadi penjaga atau penghancur… Pilihanmu, Rangga."
Rangga menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Apa ini?" gumamnya pelan. Tatapannya beralih dari prasasti ke patung pendekar di atasnya. Patung itu, meski hanya batu, seolah-olah menatapnya kembali dengan sorot mata yang penuh arti.
"Rangga! Kamu baik-baik saja?" suara Pak Wirya menggema dari luar gua, memecahkan keheningan.
Rangga menoleh ke arah suara itu. "Baik, Pak! Tapi… saya rasa tempat ini bukan gua biasa."
Pak Wirya muncul dengan langkah hati-hati, tubuhnya setengah membungkuk seperti takut ada sesuatu yang akan menyerang mereka. “Duh, Rangga, ini tempat keramat. Kamu nggak boleh sembarangan. Kalau ada apa-apa, kita bisa kena tulah.”
“Pak, lihat ini,” kata Rangga sambil menunjuk prasasti yang kini bersinar lembut. “Apa menurut Bapak ini sesuatu yang biasa?”
Pak Wirya mendekat dengan ragu. Matanya membesar ketika melihat cahaya di prasasti. Ia menelan ludah, suaranya bergetar. “Duh Gusti… Saya nggak pernah tahu kalau di dalam gua ini ada yang seperti ini.”
Rangga mendekati prasasti itu lagi, matanya mengamati tulisan-tulisan kuno yang terukir di atasnya. Tulisan itu tidak ia kenali, tetapi entah mengapa, ia merasa seolah memahami artinya. Jarinya dengan perlahan menyentuh ukiran itu, dan tiba-tiba, kilatan cahaya muncul. Suara angin kembali terdengar, kali ini lebih kencang, wuuushhh!
“Rangga! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Pak Wirya sambil mundur ketakutan.
“Aku tidak tahu! Ini bergerak sendiri!” Rangga berteriak, berusaha menjaga keseimbangan saat angin di sekitarnya semakin kencang.
Cahaya dari prasasti itu membentuk pola lingkaran di udara, seperti lingkaran energi yang memutar dengan kecepatan luar biasa. Dalam kilatan cahaya itu, muncul bayangan seorang pria yang berdiri tegak dengan pedang di tangannya. Suaranya berat dan bergema.
“Siapa yang berani menyentuh warisan Tapak Angin Kendan?”
Rangga terdiam, matanya melebar. Ia mencoba menjawab, tetapi mulutnya terasa kaku. Bayangan itu bergerak mendekatinya, tatapannya tajam seolah ingin menembus jiwa Rangga.
“Kamu adalah keturunan penjaga, atau sekadar pencari kuasa?” tanya bayangan itu lagi.
“Aku… aku hanya menemukan tempat ini tanpa sengaja,” jawab Rangga akhirnya, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu apa-apa tentang prasasti ini. Tapi… aku merasa harus berada di sini.”
Bayangan itu mengangguk perlahan. “Jika takdir yang membawamu ke sini, maka kamu harus membuktikan dirimu layak. Ilmu Tapak Angin Kendan bukan untuk sembarang orang. Ia adalah kekuatan yang bisa menciptakan atau menghancurkan.”
Seketika, kilatan cahaya menghilang, dan suasana kembali tenang. Rangga berdiri terpaku, sementara Pak Wirya merosot ke tanah dengan wajah pucat.
“Rangga… kita harus pergi dari sini,” bisik Pak Wirya. “Tempat ini bukan untuk manusia biasa.”
Namun, Rangga tetap berdiri di tempatnya, matanya tertuju pada prasasti yang kini kembali memancarkan cahaya lembut. “Aku rasa tempat ini memang memanggilku, Pak. Ada sesuatu di sini yang harus aku pahami.”
“Jangan gila, Nak! Kalau kamu terus di sini, kita bisa kena tulah!” Pak Wirya mencoba menarik tangan Rangga, tetapi pemuda itu tidak bergerak.
“Tulah atau bukan, aku tidak bisa mengabaikan ini, Pak.” Rangga menoleh padanya, sorot matanya penuh tekad. “Bapak bisa kembali ke desa duluan kalau mau. Tapi aku akan tetap di sini.”
Pak Wirya menghela napas panjang. “Dasar anak muda keras kepala… Baiklah, aku akan menunggumu di luar. Tapi cepatlah, sebelum malam tiba.”
Setelah Pak Wirya pergi, Rangga kembali mendekati prasasti itu. Kini, ia merasa lebih tenang, meski hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Ia memperhatikan tulisan di prasasti itu sekali lagi, mencoba menguraikan maknanya.
Tiba-tiba, sebuah pola muncul di tengah prasasti, membentuk simbol yang bercahaya. Di bawah simbol itu, ia menemukan sebuah cekungan kecil, cukup dalam untuk menampung sesuatu. Rangga merogoh sakunya, berharap menemukan sesuatu yang cocok, tetapi kosong.
“Apa ini semacam kunci?” gumamnya sendiri.
Tanpa disadari, angin di dalam gua kembali berhembus, membawa suara bisikan yang samar namun jelas. “Temukan kuncinya… dan kebenaran akan terungkap.”
Rangga mengerutkan dahi. Kunci? Kunci apa? Ia tidak punya petunjuk. Namun, ia tahu satu hal: ia tidak bisa mengabaikan tempat ini. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Saat ia melangkah keluar dari gua, matahari mulai condong ke barat. Pak Wirya berdiri di dekat pohon, wajahnya tampak lega melihat Rangga keluar dengan selamat.
“Sudah selesai? Kamu menemukan apa yang kamu cari?” tanya Pak Wirya.
Rangga menggeleng pelan. “Belum, Pak. Tapi aku rasa aku tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.”
Pak Wirya hanya menghela napas. “Aku nggak tahu apa yang kamu cari, Nak. Tapi hati-hati. Gunung Kendan ini bukan tempat biasa.”
Rangga menatap gunung itu sekali lagi, kini dengan pandangan yang berbeda. Ia merasa beban yang besar sedang menantinya, tetapi ia juga merasa yakin bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh.
---
Rangga menemukan prasasti kuno yang menyimpan rahasia besar, tetapi ia menyadari bahwa ada kunci yang hilang untuk membuka kekuatan sebenarnya dari Tapak Angin Kendan.
Rangga kembali ke Desa Ciwaruga bersama Pak Wirya, tetapi kehadiran mereka disambut oleh kekacauan. Desa diserang oleh pasukan aliran hitam yang mencari sesuatu yang terkait dengan prasasti Gunung Kendan. Rangga mencoba melindungi warga, tetapi kekuatannya masih belum cukup untuk melawan mereka.
Matahari mulai terbenam saat Rangga dan Pak Wirya kembali ke Desa Ciwaruga. Langit berwarna jingga dengan semburat ungu, menciptakan pemandangan yang indah, tetapi suasana hati Rangga tidak seindah langit di atasnya. Pikiran tentang prasasti di gua itu terus menghantuinya. Apa arti bisikan itu? Apa maksudnya menjadi penjaga atau penghancur?
Namun, langkah Rangga terhenti ketika ia melihat kepulan asap hitam yang membubung di kejauhan. Asap itu berasal dari desa. Matanya membesar, dan tanpa pikir panjang, ia berlari menuju arah asap tersebut.
“Rangga, tunggu!” Pak Wirya berteriak dari belakang, tetapi pemuda itu tidak peduli.
Saat mendekati desa, suara jeritan mulai terdengar. “Tolong! Tolong!” Seruan warga yang ketakutan memecah keheningan senja. Suara dentingan logam saling beradu dan gelegar api semakin jelas.
“Tidak mungkin...” gumam Rangga dengan napas memburu.
Ketika ia tiba di desa, pemandangan yang mengerikan terbentang di depan matanya. Rumah-rumah terbakar, dan orang-orang berlarian mencari tempat perlindungan. Beberapa dari mereka tergeletak di tanah, terluka atau lebih buruk. Di tengah kekacauan itu, beberapa pria berpakaian hitam dengan topeng menyerang tanpa ampun, menebas siapa saja yang mencoba melawan.
“Aliran hitam...” desis Rangga, suaranya penuh kemarahan.
Ia segera berlari ke arah para penyerang. Salah satu dari mereka berbalik, melihat Rangga mendekat dengan tinju terkepal.
“Kamu siapa? Pergi atau—”
Belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tinju Rangga menghantam rahangnya dengan keras. Bughh! Pria itu tersungkur, tetapi dua rekannya segera maju menggantikan posisi. Mereka menyerang dengan pedang terhunus. Rangga melompat mundur, menghindari serangan pertama, lalu berputar menghindari serangan kedua.
“Terlalu lemah untuk menjadi ancaman,” ejek salah satu pria berpakaian hitam itu sambil melancarkan tebasan ke arah Rangga.
Rangga memiringkan tubuhnya, menghindari bilah itu dengan jarak tipis. Ia menangkap lengan pria itu dan memutar tubuh lawannya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Dengan satu tendangan keras ke belakang, pria itu jatuh menghantam tanah.
Namun, satu serangan dari belakang membuat Rangga terkejut. Ia berbalik, tetapi bilah pedang itu terlalu dekat untuk dihindari. Tepat saat ia berpikir itu akan berakhir buruk, sebuah batu melayang dan mengenai kepala pria bersenjata itu. Gedebug!
“Rangga, awas!” Suara Larasati terdengar dari arah samping. Gadis itu berlari dengan wajah penuh tekad, memegang sebatang kayu panjang yang ia gunakan untuk menghalau musuh yang mendekat.
“Laras! Apa yang kamu lakukan di sini?” Rangga bertanya, terkejut.
“Apa yang kelihatan? Aku melindungi desaku!” jawab Larasati dengan nada tajam sambil memukul seorang penyerang lainnya.
Rangga ingin memprotes, tetapi ia tidak punya waktu untuk berdebat. Dua pria berpakaian hitam lainnya sudah mendekat, dan Rangga bersiap untuk bertarung lagi. Mereka berdua menyerang secara bersamaan, membuat Rangga harus mengerahkan semua refleksnya untuk menghindari serangan itu. Ia menggunakan gerakan yang ia pelajari dari latihan dasar dengan Ki Jayeng, tetapi ia menyadari bahwa tanpa senjata, melawan para pendekar bersenjata adalah tugas yang berat.
“Rangga, hati-hati!” teriak Larasati.
Salah satu pria itu mengayunkan pedangnya dari atas. Rangga memiringkan tubuhnya, tetapi ujung bilah itu masih sempat menggores lengannya. Darah mengalir, tetapi Rangga tidak mundur. Ia menangkap pergelangan tangan pria itu dan memelintirnya dengan keras hingga pedang itu terlepas dari genggamannya. Dengan cepat, Rangga menangkap pedang itu dan menggunakannya untuk menangkis serangan lawan berikutnya.
Dentang logam memenuhi udara. Trang! Trang! Kedua pria itu menyerang tanpa henti, tetapi Rangga terus bertahan. Namun, serangan mereka semakin cepat, dan tenaga Rangga mulai melemah.
“Tolong kami! Tolong!” jerit seorang wanita dari kejauhan. Rangga menoleh dan melihat seorang ibu yang memeluk anaknya, dikepung oleh tiga pria berpakaian hitam.
“Laras, jaga dirimu!” teriak Rangga sebelum berlari ke arah wanita itu.
Dengan pedang di tangannya, Rangga menyerang salah satu pria yang mengancam ibu dan anak itu. Trang! Pedangnya bertemu dengan bilah lawan, tetapi kali ini ia merasa lebih percaya diri. Serangan demi serangan ia lancarkan, hingga akhirnya ia berhasil melumpuhkan dua dari tiga pria itu. Yang terakhir mencoba melarikan diri, tetapi Rangga tidak mengejarnya. Ia membantu wanita itu berdiri dan memastikan anaknya selamat.
Namun, ketika ia berbalik, pemandangan lain membuat darahnya mendidih. Rumah Pak Wirya, tempat ia sering singgah, telah dibakar. Tubuh Pak Wirya tergeletak di depan pintu, tidak bergerak.
“Tidak...” Rangga berlari mendekat, berlutut di samping tubuh pria tua itu. Ia mencoba memeriksa nadinya, tetapi semuanya sudah terlambat. Pak Wirya sudah tiada.
Air mata menggenang di mata Rangga, tetapi kemarahannya lebih kuat. Ia menggenggam pedangnya dengan erat, tubuhnya gemetar. Namun, sebelum ia bisa melakukan apa-apa, suara tawa dingin terdengar dari belakangnya.
“Jadi ini dia bocah yang mencuri prasasti kami?”
Rangga berbalik dengan cepat. Di depannya berdiri seorang pria tinggi dengan jubah hitam yang panjang. Wajahnya tertutup topeng, tetapi tatapan matanya memancarkan kebencian.
“Siapa kamu?” tanya Rangga dengan nada tajam.
“Aku hanya utusan,” jawab pria itu sambil melangkah mendekat. “Kami datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milik kami. Dan kau… seharusnya tidak menyentuh apa pun di gua itu.”
Pria itu melambaikan tangannya, dan tiba-tiba angin kencang berhembus. Wuuusshhh! Rangga hampir terjatuh, tetapi ia bertahan.
“Ilmu ini...” Rangga bergumam, mengenali kekuatan yang mirip dengan apa yang ia rasakan di dalam gua.
Pria itu mengayunkan tangannya, dan angin berubah menjadi tekanan yang menghantam Rangga dengan keras. Tubuhnya terpental, menghantam tanah dengan suara brak!
“Rangga!” Larasati berteriak, berlari ke arahnya.
Namun, pria berjubah hitam itu hanya tertawa. “Kau terlalu lemah untuk melindungi desa ini. Pergilah sebelum kau benar-benar mati.”
Rangga mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa berat. Ia tahu pria itu jauh lebih kuat darinya. Dengan bantuan Larasati, ia berhasil berdiri, tetapi ia tahu mereka tidak bisa bertarung lebih lama.
“Kita harus pergi, Rangga,” bisik Larasati. “Kita tidak akan menang.”
Rangga menggigit bibirnya, menahan rasa malu dan frustrasi. Ia ingin melawan, tetapi ia tahu Larasati benar. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk mundur. Mereka melarikan diri ke hutan, meninggalkan desa yang terbakar dan penuh kehancuran.
Rangga gagal melindungi Desa Ciwaruga dari serangan aliran hitam. Kekalahannya membuatnya menyadari bahwa ia belum siap menghadapi kekuatan besar yang ada di dunia persilatan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!