John Ailil, pria bule yang agak mabuk nampak membuka kamar hotel yang ia sewa di sebuah klub malam.
"Tap"
"Tap"
"Tap"
Suara langkah kaki terdengar dari arah berlawanan John datang.
"Bruk"
"Hei!"
Baru saja John masuk dan hendak menutup pintu, namun tiba-tiba seorang gadis menyerobot masuk dan memeluk John. Wajahnya yang berkeringat menengadah menatap John, terlihat ketakutan. "Om, to-tolong aku! A-aku mau dilecehkan."
"Kamu..,"
John tak melanjutkan kata-katanya saat terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lorong hotel terdengar semakin mendekat.
"Kemana gadis itu?"
"Dia pasti belum jauh dan nggak mungkin bisa kabur."
Suara dua orang pria itu membuat gadis yang bernama Nadira itu langsung beralih memeluk erat John dari belakang.
Menyadari gadis itu benar-benar dalam bahaya, John langsung menutup pintu kamar hotelnya. Sejenak John dan Nadira terdiam, memasang telinga mereka, mendengar suara langkah kaki dua orang di luar sana. John menghela napas lega setelah mendengar suara langkah kaki itu semakin menjauh.
"Sekarang kamu sudah aman. Pergilah!" ucap John dengan logat bulenya seraya melepaskan tangan Nadira yang memeluknya.
"Om, to-tolong aku!" ucap Nadira tiba-tiba sudah berada di hadapan John, mengalungkan tangannya di leher John dan langsung mencium pria bule itu dengan serakah.
John terbelalak mendapatkan ciuman dadakan dari Nadira dan spontan mendorong Nadira.
"Brukk"
"Om John!" pekik Nadira terduduk di lantai.
"Apa yang kamu lakukan?!" bentak John terlihat marah.
Nadira beranjak berdiri. "Om, tolong... aku nggak bisa menahannya lagi," bisik Nadira gemetar saat ia mencoba mendekat.
John yang hanya sedikit mabuk dan masih sadar, menelisik wajah Nadira. Wajah gadis itu nampak memerah dan baju bagian pundaknya sobek. Namun saat John masih mengamati Nadira, gadis itu kembali meraih leher John dan mencium bibirnya.
John merasakan tubuh Nadira panas, ia yakin kalau gadis itu pasti terkena pengaruh obat peningkat gairah. Ia sedikit mendorong tubuh Nadira, hingga ciumannya terlepas. Pria itu menahan tubuh Nadira saat gadis itu hendak kembali menciumnya. "Tunggu! Kamu yakin ingin melakukannya denganku?" tanya John tak ingin dianggap mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Nadira mengangguk cepat. "Tolong aku! Aku sudah tak tahan," ucap Nadira kembali menyerang John
Mendengar Nadira yakin ingin melakukannya dengan dirinya, John pun membalas ciuman Nadira. Jujur, John yang agak mabuk dan lama tidak memenuhi kebutuhan biologisnya itu sebenarnya kesulitan menahan diri saat mendapat serangan seperti itu dari Nadira.
Bukan seorang Casanova, tapi John yang belum memiliki pasangan kadang menyewa wanita penghibur untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
Ciuman pertama mereka terasa terburu-buru, namun seiring berjalannya waktu, gerakan mereka melambat. Keheningan malam diselimuti oleh suara napas dan desir detak jantung yang berpadu, membentuk ritme intim yang tak tergesa-gesa.
"Ahh... Om..." Suara itu lolos begitu saja saat John mengecup dan menyesap leher Nadira, membuat darah John terasa mengalir lebih deras.
John menurunkan resleting gaun Nadira dengan hati-hati, membiarkan kain jatuh perlahan hingga menyingkap kulitnya yang hangat dan halus. Pandangannya bertemu dengan mata Nadira yang gelisah, penuh rasa ingin tahu dan keinginan. John mencium bibir Nadira lembut seraya membimbing Nadira ke arah ranjang dan perlahan berbaring di atasnya.
"Hah... Hah... Om...." Suara itu keluar dari bibir Nadira saat John membuai tubuhnya lebih intens. Sebelah tangannya mencengkram punggung John dan sebelahnya meremas rambut John.
Helai demi helai kain yang melekat di tubuh keduanya terlepas dari tubuh mereka tanpa sisa. Tubuh Nadira bergetar dalam kegelisahan saat John menciumi seluruh tubuhnya. Jari tangan John menggoda di bagian tubuh Nadira yang semakin basah. Gadis itu meracau tak jelas dan tubuhnya menggeliat terlihat semakin gelisah.
John yang gai rahnya sudah memuncak pun mengatur posisi memulai penyatuan. Menatap gadis yang lebih muda darinya dengan penuh hasrat.
"Om..." panggil Nadira menggigit bibirnya sendiri merasakan sakit saat John berusaha menyatukan tubuh mereka. Tangannya mencengkram erat lengan John.
"Kau... Ini pertama kalinya bagimu?" tanya John menghentikan gerakkan dan menatap Nadira dengan sorot mata penuh keraguan.
"Om, ja-jangan berhenti! A-aku sudah tak tahan. Ce-cepat lanjutkan!"pinta Nadira merasa hasratnya semakin bergelora.
"Nggak! Aku nggak akan merusak kamu," ucap John yang tahu bahwa virginity seorang wanita masih diagungkan di negeri ini, beda dengan di negara asalnya.
"La-lakukan, Om!" pinta Nadira terdengar mendesak, memeluk erat tubuh John, tak mengizinkan pria itu beranjak dari tubuhnya.
John menghela napas kasar. Ia hanya sedikit mabuk dan masih bisa berpikir. "Sebaiknya kamu berikan virgin kamu sama suami kamu nanti," ucapnya memandang prihatin pada Nadira dan kembali berusaha beranjak dari tubuh Nadira.
Nadira memeluk John semakin erat, tak mengizinkan John beranjak dan menatap tajam pada John. "Om nggak mampu menerobos?" bisik Nadira nada kecewanya samar.
"Apa maksudmu? Aku normal!" bentak John nampak tersinggung dituduh impoten.
"Kalau begitu, lanjutkan!" ucap Nadira tegas, mantap dengan keputusannya.
"Okey. Kalau begitu, kamu jangan menyesal!" ucap John dengan nada dan tatapan serius.
Tanpa menjawab, Nadira langsung meraih tengkuk John dan mencium bibir pria itu dengan agresif. John membalasnya dan tanpa ragu menggerakkan pinggulnya kembali berusaha menerobos masuk ke dalam tubuh Nadira.
"Hah... hah.. hah..." Suara itu terdengar dari mulut John dan Nadira.
Nadira mencengkram punggung John semakin kuat hingga kuku-kukunya menancap di kulit putih John saat merasakan bagian dari tubuhnya terasa semakin sakit seiring dengan John yang terus memaksa menerobos masuk ke dalam tubuhnya. Nadira menggigit pundak John untuk menahan rasa sakit yang kian menjadi.
"Akkh..." Nadira memekik menahan rasa sakit di bagian tubuhnya saat John berhasil menerobos masuk sepenuhnya.
"Ughh .." leng nguh John merasa terjepit dalam kenikmatan.
Sejenak John terdiam, lalu perlahan kembali mencium Nadira dan menggerakkan pinggulnya merasakan sensasi nikmat dari setiap gerakkan dan gesekan tubuhnya dengan tubuh Nadira.
Tubuh Nadira terombang-ambing dalam rasa sakit yang berangsur menjadi nikmat dan gelisah yang makin membuncah. Menatap wajah pria yang pernah menyelamatkannya yang kini bergerak di atasnya.
"Ah...ah... Om... lebih cepat..." racaunya bergerak gelisah di bawah kungkungan John yang terus bergerak di atas tubuhnya.
Tubuh keduanya menegang saat mereka tiba di puncak kenikmatan. Nadira memeluk erat tubuh John dalam deru napas yang memburu tak beraturan.
***
Sinar mentari menyusup dari celah-celah hordeng menyinari dua insan yang berada dibalik satu selimut yang sama. Kamar itu terlihat berantakan, pakaian berceceran di lantai dan ranjang pun terlihat berantakan.
Nadira yang berada dalam pelukan John, perlahan terbangun dan membuka matanya. Mencoba mengumpulkan memorinya tentang apa yang telah terjadi semalam.
Suara dering ponsel John terdengar, membuat John terbangun. Ia mencari keberadaan benda pipih itu, lalu menerima panggilan masuk setelah melihat siapa yang menghubunginya.
"Halo!" sapa John dengan suara serak khas bangun tidurnya.
John nampak serius mendengar apa yang dibicarakan si penelpon. Sedangkan Nadira yang ada di sampingnya hanya menatap John.
"Okey. Aku akan segera ke sana," ucap John, lalu mengakhiri panggilan. Ia menatap ke arah sekitarnya, lau mengambil pakaiannya.
"Om mau pergi?" tanya Nadira.
"Hum," sahut John bergegas memakai pakaiannya, nampak buru-buru.
"Lalu, gimana sama aku?" tanya Nadira menatap lekat John.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
John menghela napas panjang, namun sesaat kemudian malah balik bertanya, "Berapa nomor rekening kamu?"
Nadira mengernyit. "Nomor rekening? Apa maksud Om?"
John menatap Nadira dengan ekspresi lelah, kembali menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kamu butuh uang untuk pulang dan... untuk semalam, 'kan? Berapa yang kamu butuhkan? Aku akan memberikannya."
Senyum Nadira muncul, namun terasa getir. Matanya memancarkan kekecewaan. "Jadi, Om pikir aku menjual diri?" tanyanya, suaranya bergetar. Ia duduk dengan tangan kanan meremas selimut yang ia pegang untuk menutupi tubuhnya, sementara tangan kirinya terkepal.
John mengalihkan pandangan sejenak sebelum kembali menatap Nadira. "Aku tidak melihatmu seperti itu," ucapnya pelan. "Hanya saja, aku terbiasa menghargai apa pun dan tidak ingin berutang budi pada siapa pun, apalagi seseorang yang baru kukenal."
Nadira menatap John dengan mata berkaca-kaca, suaranya penuh keputusasaan. "Aku tidak menginginkan uang atau apa pun, Om. Aku hanya ingin Om menikahiku. Aku butuh seseorang yang bisa melindungi aku."
John tersenyum tipis, namun tatapannya kosong. "Aku bukan pria yang mencari hubungan romantis, apalagi komitmen seperti pernikahan. Maaf, aku tidak bisa melakukannya. Jika ada hal lain yang kamu butuhkan, hubungi aku." Dia meletakkan kartu namanya di atas ranjang, lalu berbalik menuju pintu.
Nadira merasakan hatinya hancur. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Om telah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku, lalu pergi begitu saja seolah tidak ada artinya. Tidakkah Om mengerti betapa besar artinya itu bagiku?"
Langkah John terhenti di depan pintu. Ia menarik napas dalam, lalu menoleh dengan ekspresi yang lebih tegas. "Kita melakukannya karena keinginan bersama, Nadira. Aku bahkan sudah ingin berhenti tadi malam, tapi kamu memohon untuk melanjutkannya. Tidak ada kewajiban apa pun di antara kita." John melanjutkan langkahnya dan keluar dari kamar itu.
Nadira menatap pintu yang baru saja dilalui John, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. John adalah orang yang menyelamatkannya ketika ia hampir menjadi korban pelecehan oleh sekelompok pria. Semalam, ayahnya membawanya ke klub malam itu untuk dijadikan hadiah bagi salah satu rekan bisnisnya.
Namun, Nadira berhasil melarikan diri dan secara kebetulan melihat John. Sejak pertemuan pertama mereka, saat John menolongnya, perasaan suka mulai tumbuh di hatinya. Maka dari itu, tanpa ragu, ia menyerahkan hal paling berharga yang dimilikinya kepada John, berharap cinta itu terbalas dengan pernikahan. Keyakinannya semakin kuat karena John tidak memakai cincin kawin di jarinya.
John mengendarai mobilnya menuju rumah sahabatnya yang sudah dianggapnya keluarga. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar pada kejadian semalam bersama Nadira. Tanpa bisa ditahan, ia kembali mengingat bagaimana Nadira menyambutnya dengan ketulusan yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan bayangan mata Nadira yang bersinar penuh perasaan saat menatapnya.
"Kenapa aku merasa aneh begini?" pikirnya sambil mengencangkan pegangan pada setir. "Ini seharusnya hanya semalam, tak lebih dari itu. Tapi... kenapa aku merasa dia berbeda?"
Bayangan percakapan mereka sebelum ia meninggalkan kamar itu menelusup ke benaknya. Ketidakpedulian yang ia tunjukkan, responsnya yang dingin, semua kembali menghantuinya. Sungguh, ia tak pernah merasa bersalah seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba, seperti petir yang menyambar, ingatannya melompat ke satu detail penting.
"Sial!" gumamnya seraya menepuk setir. "Semalam aku tak pakai pengaman."
Rasa khawatir mulai merayap di dadanya. Seandainya Nadira hamil, bagaimana ia akan bertanggung jawab? "Apa yang sudah kulakukan?" bisiknya pelan. "Ini bisa menghancurkan hidupnya... dan hidupku."
John memiliki trauma mendalam dalam menjalin hubungan romantis. Pengalaman pahit ditinggalkan oleh wanita yang sangat dicintainya saat ia berada di titik terendah hidupnya telah meninggalkan luka yang sulit sembuh. Saat ia seharusnya mendapatkan dukungan dan kekuatan, justru orang-orang yang dipercayainya berbalik mengkhianatinya. Kekasihnya, bahkan orang-orang terdekatnya, memilih pergi meninggalkannya di tengah keterpurukan itu. Sejak kejadian tersebut, kepercayaannya terhadap orang lain menjadi sangat rapuh.
Hanya satu orang yang tetap setia mendukungnya, Elin, istri sahabatnya, Zion. Elin selalu mempercayainya dan membantu John bangkit, memberikan dukungan yang tak pernah ia duga. Kini, bukan hanya Elin, tetapi seluruh keluarganya turut peduli dan mendukung John. Memang benar adanya, masa sulit adalah ujian untuk mengetahui siapa yang benar-benar tulus. Mereka yang setia akan bertahan di sisi kita, menghibur dan memberikan dukungan, sementara mereka yang tak tulus akan menjauh, bahkan menghilang.
***
Setelah membersihkan diri di kamar hotel, Nadira merapikan gaun yang sedikit robek di bagian dada. Ia menatap bayangannya di cermin, melihat mata sembabnya dan gaun yang kini tampak tak layak. Namun, ia tak punya pilihan. Pulang ke rumah bukan opsi yang aman, dan rasa takutnya pada ayahnya membuat pikirannya dipenuhi kecemasan.
"Aku harus menemukan Om John. Dia satu-satunya yang mungkin bisa menolongku sekarang," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menyuntikkan keberanian. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar hotel.
Di luar, kota ini terbungkus dalam awan kelabu, dan gerimis ringan turun di tanah. Suasana ini menciptakan perasaan kesedihan dan keputusasaan. Udara dingin merasuk sampai ke tulang, membuat Nadira menggigil. Ia meremas kartu nama John di tangannya, alamat apartemen itu menjadi satu-satunya harapannya. Dengan uang seadanya, ia menaiki ojek dan memberikan alamat kepada sopir. Sepanjang perjalanan, Nadira duduk diam, tangannya gemetar saat memegang tas kecilnya.
"Jika Om John tak mau membantuku... apa yang harus kulakukan? Kembali ke rumah? Tidak, itu mustahil. Tapi kalau dia menolak, ke mana lagi aku bisa pergi?" pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu.
Ojek berhenti di depan apartemen elit yang menjulang tinggi, membuat Nadira merasa semakin kecil. Gedung itu seolah memancarkan aura eksklusif yang membuatnya tak nyaman. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk, menutupi sobekan di gaunnya dengan rambut panjangnya. Di lobby, penjaga menatapnya dengan kecurigaan.
"Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga itu, suaranya formal dan tegas.
Nadira mengulurkan kartu nama John dengan tangan gemetar. "Saya... saya di sini untuk menemui John," katanya, suaranya bergetar.
Penjaga itu memeriksa kartu tersebut, kemudian mengangguk dan mengizinkannya masuk setelah memverifikasi identitas John. Dengan langkah ragu, Nadira menaiki lift ke lantai tempat unit John berada. Setiap detik terasa seperti menit, dan jantungnya berdetak lebih cepat seiring bertambahnya lantai yang dilewati.
Tiba di depan pintu unit John, Nadira mengangkat tangannya yang gemetar dan menekan bel. Suara bel yang menggema di dalam ruangan terasa memekakkan telinganya. Tapi, tidak ada jawaban. Ia menekan bel lagi, lalu lagi, tetapi tetap tidak ada respons.
Kepanikan mulai merayap. Nadira mengedarkan pandangan ke lorong yang sepi, hanya terdengar suara langkah samar dari penghuni lain yang lewat sesekali. Ia akhirnya duduk di depan pintu, memeluk lututnya, berusaha mengabaikan tatapan aneh yang datang dari beberapa orang yang lewat.
"Aku tak akan pergi sampai Om John keluar. Aku harus berbicara dengannya... aku harus," katanya dalam hati, menguatkan tekadnya sambil memejamkan mata sejenak untuk menahan air mata.
Nadira menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai marmer dingin di depan pintu unit apartemen John. Wajahnya lelah, dan tubuhnya sedikit gemetar, bukan hanya karena rasa dingin, tetapi juga karena keputusasaan yang mulai merayap di hatinya. Gaunnya yang sobek di bagian dada membuatnya merasa terpapar dan tak berdaya, namun ia mencoba menutupi rasa malunya dengan rambut panjangnya yang tergerai.
"Kenapa aku harus sejauh ini? Apakah aku salah mempercayainya?"
...🍁💦🍁...
.
To be continued
"Kenapa aku harus sejauh ini? Apakah aku salah mempercayainya?" pikir Nadira, matanya mulai basah dengan air mata yang tertahan. Pikirannya melayang kembali ke malam itu, ke mata John yang dingin namun memancarkan ketulusan yang tak bisa ia lupakan. "Dia mungkin menganggapku hanya sebagai gadis bodoh yang mendambakan cinta. Tapi… aku bukan hanya itu. Aku ingin dia tahu bahwa aku tulus, bahwa aku rela mengambil risiko untuk mendekatinya."
Suara langkah kaki terdengar samar di lorong, membuat Nadira menegakkan tubuhnya dengan gugup. Orang-orang yang melewati lorong menatapnya dengan tatapan ingin tahu, beberapa menggelengkan kepala seakan menghakimi, sementara yang lain berlalu begitu saja.
"Apa aku terlalu gegabah datang ke sini? Haruskah aku pergi sekarang sebelum dia melihatku di keadaan seperti ini? Tapi… jika aku pergi, aku mungkin tidak akan pernah punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi," gumamnya dalam hati, kedua tangannya memeluk lututnya erat.
John berjalan menyusuri lorong menuju unit apartemennya. Langkahnya terhenti saat melihat sosok seseorang duduk di depan pintu, memeluk lutut erat-erat seakan berusaha menyembunyikan dirinya. Ia mengerutkan kening, mencoba mengenali siapa yang sedang duduk di sana. Tanpa sadar, jantungnya berdetak lebih cepat, dan perasaan cemas mulai muncul di benaknya.
"Siapa yang duduk di sana?" pikirnya, semakin mempercepat langkahnya. Dari jarak dekat, akhirnya ia bisa melihat wajah orang itu, Nadira. Gadis itu tampak letih, tubuhnya tampak gemetar dan kepalanya tertunduk lemah di atas lutut.
Saat John semakin dekat, waktu terasa berjalan lambat bagi Nadira yang kian merasa kelelahan, tubuhnya terasa semakin berat dengan setiap detik yang berlalu. Hatinya sudah hampir menyerah, air matanya menetes tanpa bisa di bendung.
Suara langkah-langkah kaki yang semakin mendekat membuat Nadira mengangkat sedikit wajahnya. Tepat di depannya, sepasang sepatu berhenti, dan ia mendongak, perlahan, menatap sosok pria yang sudah sangat ia kenal. Nadira menatap John dengan mata yang penuh keletihan, tetapi juga dengan sisa-sisa harapan yang nyaris pupus.
John menatapnya dalam diam sejenak, berusaha memahami apa yang telah terjadi hingga gadis itu ada di depan pintunya dalam keadaan seperti ini.
"Nadira?" tanya John yang berdiri di depan Nadira pelan, suaranya berat dan dalam.
Nadira terdiam tanpa kata, wajahnya yang penuh air mata, menatap sosok John yang berdiri di depannya. John menatapnya dengan ekspresi campuran antara kaget dan khawatir. Nadira menatap John dengan tatapan penuh harap dan keraguan. Di sinilah ia sekarang, di depan pria yang hatinya ingin ia kejar, siap mendengar apa pun yang akan dikatakannya, meskipun itu mungkin menyakitkan.
John bisa melihat wajah pucat dan mata bengkak Nadira. Gaun sobek yang sama dari semalam melekat di tubuhnya, kini sedikit kusut. Wajahnya tampak basah oleh air mata, membuat John merasa tak nyaman melihat gadis itu dalam kondisi memprihatinkan seperti ini.
"Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya dengan nada tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.
Nadira mengangkat pandangannya yang lemah, suaranya terdengar nyaris berbisik, "Sejak keluar dari hotel."
John terdiam, merasa bersalah menyadari bahwa gadis ini sudah menunggu di depan pintunya... mungkin sejak pagi. Ia mendesah, memejamkan mata sejenak. “Ya Tuhan, berarti kamu sudah di sini seharian...” gumamnya pelan. Melihat keadaan Nadira, John merasa tak bisa meninggalkannya begitu saja. "Masuklah," katanya akhirnya, membuka pintu lebar.
Nadira mencoba berdiri, tetapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung. John segera menahan tubuhnya sebelum sempat jatuh. Napasnya tercekat saat menyadari betapa lemah gadis ini, dan ketika merasakan suhu tubuhnya, ia menyadari Nadira demam.
"Astaga, kamu benar-benar kacau," gumam John pelan, menggendong tubuh Nadira dengan hati-hati menuju salah satu kamar di unit apartemennya. Saat ia menurunkan tubuh Nadira, gadis itu sudah terpejam dalam pingsannya. John menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. "Apa yang sudah kulakukan... Aku seharusnya tak meninggalkannya begitu saja," pikirnya dengan rasa bersalah yang perlahan menyelinap.
Tak mau membiarkan Nadira dalam kondisi seperti itu, ia memutuskan untuk membeli pakaian baru di mal dekat apartemennya. Sepulangnya, ia juga memanggil dokter untuk memastikan Nadira baik-baik saja. Sambil menunggu dokter datang, John membawa semangkuk air hangat dan kain, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Nadira yang tampak lemah dan lelah.
"Aku tak tahu kenapa kamu mengejarku sejauh ini, Nadira. Kamu tahu aku tak bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan," gumamnya dalam hati sambil mulai menyeka wajah Nadira dengan hati-hati. Perlahan, John membersihkan tubuhnya dengan kain basah, menahan diri agar tidak melihat terlalu lama bekas ciuman dan jejak percintaan mereka yang masih terlihat di kulit gadis itu.
Dia tersenyum kecil sambil bergumam, “Aku benar-benar brutal semalam, ya?” Namun senyumnya segera pudar saat kesadarannya kembali. "Ini salah. Seharusnya aku tidak membiarkan dia terus mendekatiku... Tapi apa yang harus kulakukan sekarang?”
Dengan lembut, ia menggantikan pakaian Nadira dengan baju yang baru dibelinya. Sesekali John berhenti, menatap wajah Nadira yang masih terpejam, seolah kelelahan menyelimuti setiap bagian dari dirinya. “Aku tidak akan menahanmu lebih lama, Nadira. Tapi… apa yang akan kamu lakukan kalau aku menolakmu?” gumamnya, merasa hatinya terbelah antara keinginannya menjaga jarak dan nalurinya untuk menolong gadis yang tampak begitu rapuh di hadapannya.
Ketika dokter akhirnya tiba, John membuka pintu dan mengantarnya masuk ke kamar, di mana Nadira masih berbaring lemah di tempat tidur. Dokter, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, dengan pandangan tajam penuh selidik, melangkah masuk sambil membawa tas medisnya. Dia memeriksa Nadira sebentar, kemudian mengarahkan pandangannya ke John.
"Siapa gadis ini?" tanya dokter dengan nada profesional, meskipun sorot matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. "Dan, maaf, apa hubungan Anda dengannya?"
John terdiam sejenak. Ia bisa merasakan tatapan dokter yang seolah menuntut penjelasan. Dalam sekejap, ia tahu bahwa menjelaskan situasi apa adanya akan membuat segalanya lebih rumit. Menyadari kondisi Nadira yang kelelahan dan kondisi dokter yang tampak curiga, ia akhirnya memutuskan untuk mengucapkan kebohongan yang mungkin akan menambah kebingungannya sendiri nanti.
"Iya... ini istri saya. Kami baru saja menikah," jawab John, terdengar sedikit ragu. Ia segera menambahkan, "Dia... tidak terbiasa tinggal di sini, masih menyesuaikan diri."
Dokter menghela napas panjang dan menatapnya tajam. "Baiklah, Tuan. Tapi kalau begitu, sebagai suami, Anda sebaiknya lebih memperhatikan kondisi istri Anda, apalagi jika dia belum terbiasa dengan lingkungan baru," katanya. "Nona Nadira tampaknya mengalami kelelahan fisik yang cukup serius dan, sepertinya, dehidrasi juga. Apalagi jika seharian belum makan. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan demam dan kelemahan tubuh."
John merasa sedikit tertampar oleh nada tegas dokter itu, tetapi ia hanya mengangguk, tak membantah. Ia duduk di kursi sebelah ranjang Nadira, memperhatikan ketika dokter mulai memeriksa kondisi Nadira dengan saksama.
Dokter melanjutkan, sambil memasukkan termometer ke mulut Nadira. "Tadi malam pasti melelahkan baginya, terlebih lagi jika ia kelelahan fisik tanpa istirahat yang cukup. Saya sarankan agar Anda menjaga asupan nutrisinya dan memberikan waktu untuk istirahat."
John hanya bisa mengangguk lagi, menyadari betapa berat sebenarnya kondisi Nadira. Sekilas perasaannya berkecamuk, ia memang merasa bersalah, terutama melihat Nadira yang terbaring lemah di depannya.
"Apa yang sebenarnya kupikirkan semalam?" pikir John sambil menghela napas panjang. "Dia begitu rapuh… Aku seharusnya memperhatikan ini dari awal."
Dokter akhirnya bangkit dari pemeriksaan, menulis resep dan menatap John dengan lebih lembut sekarang, seolah memahami sesuatu. "Ingat, Tuan. Jika istri Anda ini kelelahan atau terluka, sebaiknya jangan abaikan. Hubungan baru, apalagi pernikahan, butuh perhatian yang penuh."
John hanya mengangguk pelan, merenungkan perkataan dokter itu. Ketika dokter pergi, ia menatap Nadira yang masih tertidur lelap dan berjanji dalam hatinya untuk tidak membiarkan gadis itu seperti ini lagi.
"Apa yang harus aku lakukan setelah gadis ini sadar?" gumam John menghela napas kasar.
...🍁💦🍁...
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!