Udara di reruntuhan terasa berat, meskipun tidak ada gravitasi nyata yang bisa ia rasakan. Arkhzentra melangkah perlahan, sepatu antigravitasi miliknya memantulkan dengung rendah di tengah sunyi yang menyelimuti zona terpencil itu. Cahaya dari helmnya menyapu dinding-dinding penuh ukiran aneh—simbol yang terasa asing tapi entah bagaimana akrab.
Ia berhenti di depan sebuah panel besar yang terukir rumit, jari-jarinya menyentuh lekukan yang mirip pola bintang. “Rhaegenth,” panggilnya pelan melalui sistem komunikator di helmnya, “kamu harus lihat ini.”
Tidak ada jawaban, hanya desahan statis. Ia mendongak, memeriksa koneksi. "Tentu saja," gumamnya, frustrasi. "Zona terlarang ini benar-benar membuat segalanya sulit."
Di tengah kekesalannya, sesuatu menarik perhatiannya—seberkas cahaya biru redup yang muncul dari dalam retakan di panel. Perlahan, ia mendekat. Tangan kanannya menyentuh panel, dan tiba-tiba ukiran di dinding menyala, merespon keberadaannya.
Cahaya itu membentuk sebuah pola, memusat pada sebuah benda di tengah ruangan. Di situ, setengah tertutup puing-puing, ada benda yang tampak seperti bola bercahaya dengan ukiran serupa. Ia meraih bola itu, jari-jarinya menyentuh permukaannya yang halus. Saat itu juga, kepalanya seperti dipenuhi ribuan suara berbisik, berbicara dalam bahasa yang tidak ia pahami.
“Arkhzentra…” suara itu memanggilnya, seperti suara yang berasal dari dalam pikirannya sendiri.
Ia tersentak, menjatuhkan bola itu. Suara gemuruh mulai terdengar dari jauh, membuat lantai di bawahnya bergetar. Tanpa sadar, ia mengambil bola itu lagi, memasukkannya ke dalam tasnya, dan berlari keluar dari ruangan.
Saat mencapai lorong utama reruntuhan, ia melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan: sebuah armada kecil Kekaisaran Timur melayang di kejauhan, perlahan mendekati reruntuhan. “Mereka menemukanku,” gumamnya.
Melalui kabut asap reruntuhan, sebuah suara yang familiar akhirnya terdengar di helmnya. “Arkhzentra, kau masih hidup?” Itu Rhaegenth. “Ada armada Kekaisaran di sekitar sini! Aku di kapalmu. Apa kau menemukan sesuatu?”
Arkhzentra tidak menjawab. Ia mendongak, melihat kapal-kapal Kekaisaran mulai menembakkan tembakan peringatan ke arah reruntuhan. Dengan satu tarikan napas, ia melompat, mengaktifkan sepatu antigravitasi untuk melarikan diri ke arah pesawatnya yang tersembunyi di balik puing.
Tembakan meledak di belakangnya. Ia berlari lebih cepat, mendengar suara peringatan otomatis dari helmnya, “Deteksi ancaman. Energi plasma meningkat.”
“Rhaegenth! Jalankan mesinnya sekarang!” teriak Arkhzentra.
Di tengah kekacauan, bola bercahaya dalam tasnya mulai bersinar lebih terang, seolah memberi respons terhadap bahaya yang mengejarnya. Tembakan terakhir dari kapal Kekaisaran menghantam dinding reruntuhan, mengguncang seluruh struktur. Arkhzentra berhasil melompat ke dalam pesawat tepat sebelum ledakan besar meruntuhkan pintu masuk reruntuhan.
“Dapatkan apa yang kita cari?” Rhaegenth bertanya, matanya penuh kekhawatiran.
Arkhzentra hanya mengeluarkan bola bercahaya itu dari tasnya. Saat bola itu mulai bersinar lebih terang, mereka berdua menyadari bahwa ini bukan sekadar artefak. "Ini lebih besar dari yang kita kira," gumam Arkhzentra.
Dan di kejauhan, kapal-kapal Kekaisaran terus mengejar.
suara komunikasi dari kapal Kekaisaran yang masuk ke sistem pesawat mereka, sebuah suara dingin berkata:
“Arkhzentra. Kau tidak akan bisa lari selamanya.”
Serangan yang Tak Terduga
Arkhzentra dan Rhaegenth mencoba melarikan diri dari armada Kekaisaran Timur. Di tengah pelarian, mereka menyaksikan kehancuran koloni Caelum, rumah mereka, oleh kapal-kapal Kekaisaran yang mengincar Penulis Takdir. Arkhzentra mulai merasakan beban tanggung jawab yang ia pikul.
“Turunkan kekuatan mesinnya, mereka akan mendeteksi jejak panas,” kata Rhaegenth sambil mengotak-atik layar kontrol pesawat. Suaranya terdengar panik tetapi tetap fokus, seperti biasa.
“Kau pikir aku tidak tahu itu?” Arkhzentra menjawab, memegang kendali pesawat dengan erat. Matanya terus memantau radar kecil yang menunjukkan tiga kapal Kekaisaran yang mengejar mereka di belakang.
Pesawat kecil mereka, Zephyr, bergetar saat meluncur di antara puing-puing asteroid yang mengelilingi reruntuhan. Setiap kali Arkhzentra membelokkan pesawat dengan tajam, Rhaegenth hampir terpental dari kursinya.
“Kita tidak bisa terus seperti ini! Kapal ini bukan dibuat untuk kecepatan!” teriak Rhaegenth, matanya melirik sistem daya yang sudah menunjukkan tanda bahaya.
“Lebih baik kita mencoba daripada tertangkap,” jawab Arkhzentra tanpa menoleh.
Tembakan pertama dari kapal Kekaisaran menghantam asteroid besar di dekat mereka, mengirimkan serpihan batu ke segala arah. Salah satu serpihan menghantam sisi Zephyr, membuat alarm pesawat berbunyi nyaring.
“Perisai kita turun 20 persen!” kata Rhaegenth sambil memeriksa layar kontrol. “Satu tembakan lagi dan kita habis!”
Arkhzentra menggertakkan giginya, mencari jalan keluar. Matanya terpaku pada radar, mencoba menemukan celah di antara asteroid untuk meloloskan diri. Namun, setiap kali ia menemukan celah, kapal Kekaisaran tampak lebih cepat dan lebih gesit.
“Kita tidak akan bisa kabur dengan kecepatan ini,” kata Rhaegenth, suaranya mulai melemah. “Mungkin kita harus menyerah. Setidaknya kita bisa mencoba negosiasi…”
“Negosiasi?” Arkhzentra menoleh tajam. “Rhaegenth, mereka baru saja menghancurkan reruntuhan tanpa ragu. Kau pikir mereka akan membiarkan kita hidup setelah ini?”
Rhaegenth terdiam. Dia tahu Arkhzentra benar, tetapi dia tidak pernah membayangkan dirinya dalam situasi seperti ini.
Tiba-tiba, layar di depan mereka berkedip, dan sebuah transmisi dari kapal Kekaisaran muncul. Wajah dingin seorang pria berpakaian seragam hitam dengan lambang Kekaisaran terlihat di layar. Orionthar Vahlrix, komandan armada.
“Arkhzentra,” suara Orionthar terdengar dalam nada rendah dan mengintimidasi, “serahkan artefak itu sekarang, dan mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menyelamatkan nyawamu. Kalau tidak…”
Transmisi terputus, tetapi ancamannya jelas.
“Kita tidak punya waktu untuk berdebat,” kata Arkhzentra, matanya kembali fokus pada radar. “Pegang sesuatu. Aku akan mencoba sesuatu yang gila.”
“Gila?” Rhaegenth mendongak, wajahnya penuh kebingungan. “Kapan rencanamu tidak gila?”
Arkhzentra menarik napas dalam-dalam dan memutar tuas kendali pesawat dengan keras. Zephyr berbelok tajam ke arah medan asteroid yang lebih padat. Alarm pesawat berbunyi lebih keras, memperingatkan risiko tabrakan.
“Aku harap mereka tidak cukup nekat untuk mengejar kita di sini,” gumam Arkhzentra.
Namun, kapal Kekaisaran tetap mengikuti mereka, meluncurkan tembakan demi tembakan ke arah asteroid, menghancurkan jalan untuk mereka lewati.
“Ini ide buruk!” teriak Rhaegenth saat mereka hampir menabrak sebuah asteroid besar. Arkhzentra membelokkan pesawat tepat waktu, membuatnya hampir keluar dari kursinya.
“Kita tidak punya pilihan lain!” balas Arkhzentra.
Sebuah tembakan plasma menghantam asteroid di depan mereka, menciptakan ledakan besar yang memaksa Zephyr keluar dari jalur. Pesawat mereka berputar liar di tengah puing-puing asteroid, dan Rhaegenth berteriak sambil mencoba menstabilkan sistem daya.
“Jika ini rencanamu untuk membunuh kita, kau melakukannya dengan sangat baik!” teriak Rhaegenth.
Tiba-tiba, suara dari sistem komunikasi pesawat berbunyi, “Deteksi energi abnormal di sektor Caelum.”
Arkhzentra dan Rhaegenth saling berpandangan. Keduanya tahu apa artinya.
“Tidak mungkin…” bisik Rhaegenth.
Mereka berdua memandang layar, yang sekarang menunjukkan gambar langsung dari koloni Caelum—tempat yang selama ini mereka sebut rumah. Kapal-kapal Kekaisaran yang lebih besar telah tiba, dan ledakan besar terlihat menghancurkan koloni.
Arkhzentra terdiam, napasnya terhenti. Tangannya yang memegang kendali gemetar.
“Kita harus kembali,” kata Rhaegenth dengan panik.
“Kita tidak bisa,” kata Arkhzentra pelan, suaranya penuh rasa bersalah. “Mereka sudah terlambat untuk diselamatkan.”
Rhaegenth menatapnya dengan marah, tetapi di dalam hatinya, ia tahu Arkhzentra benar.
“Ini salahku…” Arkhzentra berbisik, hampir tidak terdengar.
Sebelum mereka sempat memutuskan langkah berikutnya, layar radar menunjukkan sinyal baru—armada Kekaisaran masih mengejar mereka.
“Kita belum selesai di sini,” kata Arkhzentra, menggertakkan giginya. “Pegang sesuatu. Kita harus keluar dari sektor ini sekarang!”
---
Akhir Bagian:
Adegan diakhiri dengan Zephyr melompat ke kecepatan cahaya, meninggalkan sektor Caelum yang hancur di belakang mereka. Namun, tatapan Arkhzentra tetap kosong, dihantui oleh rasa bersalah atas kehancuran rumahnya.
Ringkasan:
Setelah berhasil melarikan diri, Arkhzentra dan Rhaegenth menyaksikan kehancuran koloni Caelum dari kejauhan. Dalam keheningan di pesawat, mereka menghadapi rasa bersalah dan keputusasaan yang mulai menghantui mereka berdua.
--
Kegelapan luar angkasa terasa lebih dingin dari biasanya. Di layar pesawat Zephyr, sebuah pemandangan yang tak terbayangkan muncul—puing-puing Caelum, yang dulunya penuh kehidupan, sekarang hanyalah serpihan debu yang mengambang di kehampaan. Api masih membakar beberapa bagian koloni yang tersisa, meski perlahan-lahan memudar dalam kehampaan.
Arkhzentra berdiri membeku di kokpit, tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Wajahnya kaku, seolah tidak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Rhaegenth duduk di kursinya, menundukkan kepala sambil memegang erat sisi kontrol, jari-jarinya bergetar.
“Mereka semua…” suara Rhaegenth pecah, tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Mati,” jawab Arkhzentra tanpa ekspresi. “Mereka semua mati.”
Hening sejenak. Hanya dengung mesin Zephyr yang terdengar, melayang dengan kecepatan lambat di antara bintang-bintang.
“Kau tahu apa yang paling menyakitkan?” suara Rhaegenth rendah, hampir seperti bisikan. “Kita bahkan tidak mencoba.”
Arkhzentra memutar tubuhnya sedikit, menatap punggung sahabatnya itu. “Apa maksudmu?”
“Kita tidak kembali untuk membantu mereka,” kata Rhaegenth, suaranya kini lebih keras. “Kita melarikan diri seperti pengecut.”
“Kembali untuk apa?” suara Arkhzentra datar, tapi nada kemarahan mulai terdengar di ujungnya. “Untuk mati bersama mereka? Apa itu yang kau inginkan?”
Rhaegenth berdiri dari kursinya, membalikkan tubuh untuk menghadapi Arkhzentra. Matanya memerah, tidak jelas apakah karena kemarahan atau air mata yang ia tahan. “Mereka adalah keluarga kita, Ark! Teman-teman kita! Orang-orang yang selama ini kau bilang ingin kau lindungi!”
“Dan aku melindungi kita berdua!” balas Arkhzentra, emosinya akhirnya pecah. “Kalau kita tetap di sana, kita akan mati! Seperti mereka! Apa kau tidak mengerti itu?”
“Setidaknya kita bisa mencoba,” balas Rhaegenth, suaranya melemah. “Bukannya melarikan diri…”
Kata-katanya menggantung di udara. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Keduanya berdiri dalam keheningan, saling menatap dengan rasa sakit yang sama tapi jalan pikir yang berbeda.
Arkhzentra memalingkan wajahnya terlebih dahulu, kembali memandang layar pesawat. Pandangannya terfokus pada bola bercahaya yang kini tergeletak di atas konsol.
“Ini semua salah benda ini,” katanya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kalau aku tidak menemukannya… kalau aku tidak membawanya…”
“Tapi kau membawanya,” potong Rhaegenth, nadanya dingin. “Dan sekarang, rumah kita sudah tidak ada.”
Arkhzentra menutup matanya, menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada tembakan apa pun yang pernah ia terima dalam hidupnya.
“Jadi apa yang ingin kau lakukan sekarang?” tanya Rhaegenth akhirnya, suaranya penuh kelelahan. “Kita sudah tidak punya rumah. Tidak ada tempat untuk kembali.”
Arkhzentra mengangkat bola bercahaya itu, memerhatikan ukiran-ukiran di permukaannya. Cahaya biru yang berasal dari benda itu memantul di matanya, seolah benda itu berdenyut seperti makhluk hidup.
“Aku tidak tahu,” jawabnya jujur, suaranya hampir tenggelam. “Tapi apa pun ini, mereka menginginkannya. Kekaisaran memburu kita karena ini. Mungkin ini alasan kenapa mereka menghancurkan Caelum.”
Rhaegenth terdiam, menatap bola bercahaya itu dengan rasa campur aduk.
“Apa benda itu benar-benar seberharga itu?” tanyanya akhirnya.
Arkhzentra menggeleng pelan. “Aku bahkan tidak tahu apa ini sebenarnya.”
Hening kembali menyelimuti pesawat. Kedua pria itu terjebak dalam pikiran masing-masing, memproses kenyataan yang terlalu besar untuk mereka cerna.
Tiba-tiba, suara dari sistem komunikasi mereka berbunyi. “Deteksi energi anomali dalam radius lima sektor.”
Rhaegenth segera memeriksa layar, tetapi matanya membelalak saat ia melihat data yang muncul. “Ark… ini energi yang sama seperti dari benda itu.”
Arkhzentra menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
“Sumber energi ini… ada di reruntuhan lain,” jelas Rhaegenth. “Sepertinya benda itu bukan satu-satunya.”
Arkhzentra memandangi bola bercahaya di tangannya, pikirannya penuh dengan kemungkinan baru. Jika benda ini hanyalah salah satu bagian dari sesuatu yang lebih besar, maka mungkin jawabannya ada di tempat lain—jawaban atas kehancuran Caelum, dan mungkin, jawaban atas siapa dirinya sebenarnya.
“Kita harus pergi,” katanya akhirnya, suaranya kini lebih mantap.
“Kemana?” tanya Rhaegenth, meskipun ia tahu jawabannya.
“Ke sumber energi itu,” jawab Arkhzentra. Ia menatap sahabatnya dengan tekad baru di matanya. “Jika Kekaisaran menginginkan benda ini, aku akan menemukan alasannya. Dan aku akan memastikan mereka tidak mendapatkannya.”
Rhaegenth menghela napas panjang, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi aku harap rencana gilamu kali ini tidak membuat kita terbunuh.”
Arkhzentra tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak menghapus rasa sakit di matanya. Di luar sana, bintang-bintang menunggu, bersama dengan misteri yang lebih besar dari apa pun yang pernah mereka bayangkan.
-
Adegan diakhiri dengan pesawat Zephyr meluncur ke arah koordinat baru, meninggalkan puing-puing Caelum di belakang mereka. Di tengah kehampaan luar angkasa, bola bercahaya di tangan Arkhzentra mulai bersinar lebih terang, seolah membimbing mereka ke takdir yang tak terhindarkan.
Ringkasan:
Arkhzentra dan Rhaegenth tiba di sebuah stasiun antariksa terlantar untuk memperbaiki kapal mereka setelah pengejaran. Di sana, mereka bertemu dengan Lyrientha Solvaris, seorang ilmuwan eksentrik yang mengetahui lebih banyak tentang bola bercahaya yang mereka temukan.
---
Stasiun antariksa itu tampak seperti bayangan dari masa lalu. Struktur logamnya berkarat, dinding-dindingnya penuh dengan goresan dan bekas pertempuran lama yang telah terlupakan. Lampu-lampu di sepanjang lorong berkedip-kedip, seolah mencoba bertahan meski energinya hampir habis.
“Tempat ini seperti siap runtuh kapan saja,” kata Rhaegenth sambil memeriksa indikator di helmnya. “Aku tidak percaya kita mendarat di sini.”
“Ini satu-satunya tempat dalam radius dua sektor di mana kita bisa memperbaiki Zephyr tanpa menarik perhatian Kekaisaran,” jawab Arkhzentra sambil berjalan lebih dalam ke stasiun. “Jangan banyak mengeluh.”
Rhaegenth mendengus, tapi tidak membalas. Ia mengikuti Arkhzentra melewati lorong-lorong sempit menuju ruang pusat stasiun, di mana sistem perbaikan otomatis seharusnya masih aktif. Tapi saat mereka tiba, ruangan itu kosong, hanya ada layar-layar rusak dan meja kontrol yang dipenuhi debu.
“Hebat,” gumam Rhaegenth. “Ini benar-benar tempat yang sempurna untuk mati.”
Arkhzentra mendekati salah satu panel kontrol dan menyalakannya. Layar itu berkedip-kedip sebentar sebelum akhirnya menampilkan peta stasiun. Namun, di sudut layar, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka: sinyal panas, menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian.
“Kita ada tamu,” kata Arkhzentra sambil memutar tubuhnya, menarik senjata kecil dari pinggangnya.
“Bagaimana mungkin ada orang di sini?” Rhaegenth meraih senjatanya sendiri, meskipun terlihat gugup.
Sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Mereka berdua langsung membidikkan senjata ke arah suara itu.
“Siapa di sana?” teriak Arkhzentra, suaranya menggema di ruangan kosong.
Langkah kaki itu berhenti, dan seseorang muncul dari bayangan lorong. Itu adalah seorang wanita. Rambut hitam panjangnya terikat rapi, tetapi pakaiannya lusuh dan penuh noda. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, menunjukkan bahwa ia tidak bersenjata.
“Tenang,” katanya, suaranya rendah dan tegas. “Aku tidak di sini untuk melawan.”
“Siapa kau?” tanya Arkhzentra, tetap tidak menurunkan senjatanya.
Wanita itu melangkah maju, matanya yang tajam mengamati mereka berdua. “Namaku Lyrientha Solvaris. Aku bisa bertanya hal yang sama pada kalian.”
Rhaegenth menatap Arkhzentra, bingung. “Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini?” bisiknya.
Arkhzentra tidak menjawab. Ia memandangi Lyrientha dengan curiga, mencoba membaca niatnya.
“Aku seorang peneliti,” kata Lyrientha, menjawab pertanyaan yang tidak diucapkan. “Dan kalau aku tidak salah tebak, kalian membawa sesuatu yang sangat penting.”
Arkhzentra mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”
“Bola bercahaya itu,” jawab Lyrientha, matanya menatap tas yang disandang Arkhzentra. “Aku tahu apa itu.”
Rhaegenth dan Arkhzentra saling berpandangan, kaget.
“Kau tahu apa ini?” Arkhzentra akhirnya bertanya, nada suaranya setengah ragu, setengah penasaran.
Lyrientha tersenyum tipis. “Aku sudah mencarinya selama bertahun-tahun. Dan aku tidak percaya aku menemukannya di sini, bersama dua orang asing.”
“Jawab pertanyaanku,” kata Arkhzentra, nada suaranya lebih keras. “Apa ini?”
Lyrientha mendekat, tapi berhenti ketika Arkhzentra mengangkat senjatanya lebih tinggi. Ia mengangkat kedua tangannya lagi, menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud jahat.
“Benda itu adalah bagian dari sistem yang jauh lebih besar,” jelasnya. “Sistem yang dikenal sebagai Takdir Kode.”
Arkhzentra menurunkan senjatanya perlahan, meskipun tatapannya tetap curiga. “Takdir Kode?”
“Ya,” kata Lyrientha, suaranya lebih serius. “Ini adalah inti dari jaringan kosmik yang mengatur dinamika semesta. Segala sesuatu—bintang, planet, bahkan kehidupan itu sendiri—diatur oleh sistem itu. Dan apa yang kalian miliki di sana adalah kunci untuk membuka rahasia sistem tersebut.”
“Kau bercanda, kan?” tanya Rhaegenth, suaranya penuh skeptisisme.
Lyrientha menatapnya tajam. “Kau pikir aku datang ke stasiun ini hanya untuk bersenang-senang? Aku telah mengikuti jejak benda itu selama bertahun-tahun. Dan sekarang, Kekaisaran juga tahu tentangnya. Mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.”
Arkhzentra terdiam, pikirannya sibuk memproses informasi ini. Ia memandang bola bercahaya itu, yang kini tampak lebih berat di tangannya.
“Kalau yang kau katakan benar,” katanya akhirnya, “maka ini lebih dari sekadar artefak.”
“Lebih dari itu,” jawab Lyrientha. “Ini adalah warisan dari sesuatu yang lebih tua dari apa pun yang pernah kalian bayangkan.”
Hening sejenak. Rhaegenth melirik Arkhzentra, lalu kembali pada Lyrientha.
“Jadi, apa rencanamu?” tanya Rhaegenth.
Lyrientha menatap mereka berdua dengan pandangan yang tajam, tetapi penuh harapan. “Aku butuh bantuan kalian untuk menemukan sisanya. Kalau tidak, Kekaisaran akan menggunakan sistem ini untuk mendominasi semesta.”
---
Adegan ditutup dengan Arkhzentra yang masih memegang bola bercahaya itu, matanya penuh kebingungan dan keraguan. Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!