Devina baru saja tiba di cafe Art, cafe yang dulu sangat sering dia kunjungi, bahkan hampir setiap hari. Banyak selebriti yang datang ke cafe ini. Bisa dikatakan jika cafe ini tempat mereka berkumpul. Tidak heran jika Sandra, istri bosnya meminta mereka bertemu di tempat ini. Sandra adalah seorang presenter, dia juga seorang model dan membintangi beberapa film layar lebar.
Sebenarnya Devina engan menginjakkan kakinya di cafe ini. Bukan masalah dengan cafenya, tapi Devina menghindari seseorang yang dulu sering mengajaknya datang ke cafe ini. Sayang Devina tidak bisa menolak permintaan Sandra. Apa lagi, bosnya itu sendiri yang memberi perintah agar Devina menemui Sandra di tempat ini. Jika dia menolak, bisa-bisa dia dipecat oleh Gilang Pratama, pimpinan utama Cakrawala Company.
Lagi pula sudah tiga tahun berlalu. Mungkin saja, orang yang Devina hindari sudah tidak lagi datang ke cafe ini. Itu harapan Devina, karena dia tidak ingin usahanya untuk move on dari masa lalu, jadi sia-sia. Salah dia sendiri, tidak bercermin siapa dirinya. Sehingga berani jatuh cinta pada orang yang sulit untuk dijangkau.
Mengedarkan pandangannya ke seluruh cafe, Devina merasa bernostalgia dengan masa lalu. Tidak ada yang berubah dengan cafe ini. Hanya ada sedikit tambahan untuk interiornya. Tawa canda yang pernah ada di cafe ini, membuat Devina tersenyum sendiri mengingat masa itu. Namun senyum itu berganti gemuruh di dalam dadanya. Di tempat ini, dia mengambil keputusan besar. Keputusan yang membawa Devina akhirnya bekerja di Cakrawala Company.
"Devina!"
Panggilan Sandra membuat Devina kembali fokus pada tujuannya datang ke cafe ini, menghapus kenangan masa lalu yang indah. Sekarang, dia bisa menemukan keberadaan istri bosnya itu. Segera saja Devina mendekat ke tempat Sandra duduk.
"Maaf membuat Mbak Sandra menunggu," ucap Devina. Merasa tidak enak hati, istri atasannya justru sudah tiba lebih awal.
Devina juga tidak bermaksud tidak sopan memanggil Sandra dengan panggilan mbak, bukan ibu. Itu karena Sandra sendiri yang meminta dipanggil mbak saja.
"Tidak apa-apa, duduklah!" Sandra mempersilakan Devina untuk duduk.
"Terima kasih," balas Devina.
"Kita makan dulu, setelah itu baru bicara," ucap Sandra.
Devina hanya bisa mengangguk saja. Menyetujui apa yang Sandra katakan. Tidak berselang lama, pelayan cafe mengantarkan makanan yang sudah dipesan Sandra sebelumnya.
Meja yang mereka tempati berada di pojok, tempat yang nyaman memang untuk bicara. Apa lagi jika yang dibicarakan adalah masalah pribadi. Memahami posisi mereka saat ini, Devina baru menyadari, akan ada hal penting yang akan Sandra bicarakan dengannya. Apa itu? Devina hanya bisa menunggu.
"Apa mbak Sandra ingin meminta aku untuk mundur jadi sekretaris?" pikir Devina.
Bukan tanpa sebab Devina berpikir seperti itu. Selama enam bulan bosnya yang bernama Gilang memimpin Cakrawala Company, sudah sepuluh kali pria itu mengganti sekertaris. Luar biasa bukan?
Devina sendiri baru satu bulan ini diangkat jadi sekretaris Gilang. Menggantikan sekretaris yang sebelumnya, yang hanya bertahan selama sepuluh hari saja. Devina tidak tahu apa penyebabnya. Rumor yang beredar, Gilang seorang yang arogan dan kejam.
Hanya rumor yang berkembang, nyatanya selama satu bulan Devina menjadi sekertaris pria tampan itu, dia nyaman-nyaman saja. Gilang seorang pria yang disiplin dalam pekerjaan. Dia juga orang yang tidak suka banyak bicara. Cukup satu kali saja dia memberi perintah, selanjutnya Devina harus berpikir sendiri untuk menyelesaikannya.
Untungnya, Gilang memiliki asisten yang tidak sekaku pria itu. Devina cukup terbantu dengan adanya Eki. Pria itu bisa Devina jadikan tempat bertanya.
Selama makan Sandra tidak bicara satu kata pun. Devina juga tidak berani mengajak Sandra bicara. Jadilah hanya suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang terdengar. Hingga makanan yang ada di piring mereka tandas, barulah Sandra kembali membuka suaranya.
"Bagaimana Gilang menurut kamu?"
Devina memberanikan diri menatap Sandra. Sungguh cantik yang sempurna. Tapi bukan itu tujuan Devina melihat Sandra. Dia hanya ingin tahu apa tujuan istri bosnya ini bertanya tentang suaminya, menurut pandangan Devina.
"Tegas dan disiplin," jawab Devina.
"Bukan itu maksud Saya. Tapi fisiknya," jelas Sandra.
"Tampan, itu pasti. Tinggi, berat badannya sesuai dengan tingginya. Bisa dikatakan sempurna sebagai seorang pria."
"Good. Jadi tidak masalah kan, jika Saya minta kamu menggoda Gilang."
"Ha!" Devina terkejut dengan permintaan istri bosnya ini.
Jika semua istri akan menjaga suaminya sebaik mungkin, tapi Sandra justru meminta Devina untuk jadi pelakor. Permintaan macam apa ini? Apa Devina terlihat serendah itu dan murahan di mata Sandra? Sehingga dia mengira Devina adalah wanita penggoda. Atau ini semacam tes yang wanita itu lakukan?
"Apa semua sekertaris pak Gilang, Mbak Sandra perlakukan seperti ini?" Sandra tertawa menanggapi pertanyaan Devina.
Jujur Devina merasa tersinggung dengan apa yang Sandra lakukan saat ini. Tapi dia tidak bisa marah. Devina hanya akan menunggu. Apa tujuan Sandra sebenarnya?
"Aku tidak pernah ikut campur masalah Gilang di perusahaan. Termasuk urusan sekretaris," jawab Sandra.
"Lalu kenapa Mbak Sandra meminta Saya datang malam ini?"
Sandra diam sesaat. Wanita itu menarik napas panjang sebelum dia kembali bicara. "Untuk meminta kamu membantu Saya. Devina, tolong goda suami Saya."
"Mbak Sandra ingin mengetes Saya. Apakah saya ini wanita murahan. Sehingga mau menerima permintaan konyol Mbak Sandra. Iya, kan?" Balas Devina.
"Maaf Mbak, Saya bekerja untuk mencari rezeki. Bukan untuk mengganggu rumah tangga atasan Saya. Jadi Mbak Sandra tidak perlu takut, Saya tidak akan menganggu suami Mbak Sandra. Masalah penilaian Saya tentang pak Gilang, Saya rasa semua orang akan menyampaikan hal yang sama dengan apa yang tadi Saya sampaikan."
"Saya tidak sedang mengetes kamu, Devina. Tapi Saya benar-benar ingin kamu menggoda suami saya. Jangan takut masalah uang. Saya akan membayar kamu untuk tugas satu ini. Anggap saja kamu bekerja dengan Saya. Dan pekerjaan yang Saya berikan adalah menggoda suami saya."
Dari semua penjelasan Sandra, hanya satu yang ada dalam pikiran Devina, "Mengapa?" tanyanya.
"Mengapa mbak Sandra ingin Saya menggoda pak Gilang?" Ulang Devina pertanyaannya. Kali ini lebih jelas.
"Untuk itu Saya tidak bisa memberi tahu kamu. Ini masalah antara Saya dan Gilang. Saya tidak ingin orang lain tahu."
Devina tidak lagi bertanya. Sandra punya hak untuk tidak menceritakan masalah rumah tangganya. Masalahnya, mengapa Devina yang Sandra pilih untuk membantunya. Lagi pula, Devina tidak punya bakat untuk jadi pelakor, meskipun hanya pura-pura.
"Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Saya akan memberi kamu waktu untuk berpikir selama dua hari," ucap Sandra.
Devina keluar dari cafe Art dengan perasaan yang tidak menentu. Sandra menawarkan uang yang tidak sedikit, jika dia bersedia menggoda Gilang hingga pria itu tertarik padanya. Uang yang sangat Devina butuhkan.
"Tidak!' Devina bicara dalam hati sambil menggelengkan kepala. Dia tidak bisa menerima tawaran Sandra. Sebanyak apapun itu uangnya, apa yang dia lakukan itu tidak baik.
"Mbak Devina," sapa pak Bambang.
"Pak Bambang?" balas Devina terkejut, melihat sopir yang biasa mengantarkan dia dan Gilang bertemu klien diluar.
"Maaf, Saya mengejutkan Mbak Devina," ucap pak Bambang.
"Saya hanya heran saja melihat Bapak ada di cafe ini," balas Devina.
"Saya mengantar pak Gilang," jawab pak Bambang, sambil menunjuk sebuah mobil mewah milik bos mereka.
"Pak Gilang mau jemput bu Sandra ya? Tapi sepertinya dia sudah pulang."
"Bukan Mbak. Pak Gilang justru mau jemput Mbak Devina."
"Saya?" beo Devina.
Devina memijat keningnya. "Ada apa dengan pasangan suami istri ini?" tanyanya bergumam.
Pak Bambang yang masih berdiri di dekat Devina, tentu saja bisa mendengar apa yang gadis itu katakan. Baru saja pria paruh baya itu akan membalas gumaman Devina, suara yang sangat dia kenal sudah lebih dulu bicara.
"Kamu sakit Devina?" tanya Gilang. Tangannya langsung terulur untuk menyentuh kening sekretarisnya. Devina speechless dengan apa yang baru saja bosnya lakukan.
"Saya antar kamu ke dokter," ucap Gilang.
"Tidak perlu Pak. Saya baik-baik saja," jawab Devina setelah mengembalikan kesadarannya yang baru saja terbawa perasaan.
"Kalau begitu, biar Saya antar kamu pulang."
Devina sudah menolak. Tapi Gilang tetap memaksa. Maka, disinilah Devina saat ini berada. Di dalam mobil pribadi bosnya. Mewah dan sangat nyaman. Sampai-sampai membuat Devina ingin memejamkan mata.
Namun suara Gilang mengurungkan niat Devina. Pria itu berkata, "Apa yang Sandra bicarakan?" tanyanya.
Devina malu sendiri. Dia sudah sempat salah sangka mendengar penjelasan pak Bambang, tentang Gilang yang datang sengaja untuk menjemputnya. Ternyata Gilang ingin mencari tahu tentang istrinya.
"Jadi apa yang kamu dan Sandra bicarakan?" ulang Gilang pertanyaannya. Karena sekretarisnya ini hanya diam saja.
Ragu! Itulah yang Devina rasakan saat ini. Dia ragu untuk memberitahu permintaan Sandra pada Gilang. Apa tanggapan pria itu tentang dirinya. Tapi, dia dan Gilang sudah terlanjur membuat kesepakatan.
Siang harinya, Gilang tidak sengaja mendengar percakapan Devina dengan Sandra yang datang ke Cakrawala Company. Istrinya mengajak Sekretarisnya makan siang bersama. Namun Gilang ada pertemuan dengan rekan bisnisnya. Karena Eki tidak bisa menemaninya, maka Gilang mengajak Devina. Akhirnya, Sandra memindahkan pertemuan mereka di malam hari.
Diperjalanan pulang dari bertemu rekan bisnis Cakrawala Company, Gilang berkata pada Devina, "Terima saja tawaran Sandra yang mengajak kamu makan malam," ucapnya.
"Baik Pak," jawab Devina patuh. Dia masih baru sebagai sekretaris, tentu saja tidak berani menolak perintah bosnya itu. Takut nasibnya akan sama dengan senior-seniornya terdahulu.
"Tapi kamu harus memberi tahu Saya, apa yang Sandra bicarakan," ucap Gilang. "Ini tugas tambahan!" tegas pria itu.
Karena itulah Devina berani kembali menginjakkan kakinya di cafe Art. Bahkan Eki diperintahkan langsung oleh Gilang untuk mengantar Devina ke cafe itu untuk menemui Sandra.
Sekarang pria itu menjemput Devina. Sepertinya dia sudah tidak sabar menunggu hingga esok hari, apa yang Sandra bicarakan dengan Devina.
"Katakan saja Devina," ucap Gilang setelah memperhatikan Devina yang terlihat ragu.
Devina ingin memberitahu Gilang. Masalahnya ada pak Bambang bersama mereka. Devina pun memperhatikan pak Bambang yang serius dengan kemudinya.
"Pak Bambang orang yang bisa dipercaya. Dia sudah menjadi sopir saya sejak saya masih kecil."
Devina mengerucutkan bibirnya. Sombong sekali bosnya ini. Tidak perlu dijelaskan jika dia sultan, sudah naik mobil dari dalam perut. Tidak seperti Devina yang harus jalan kaki ke sekolah, jika ayahnya tidak bisa mengantar.
"Tidak usah mengumpat," tegur Gilang.
Devina memalingkan wajahnya melihat Gilang. Bagaimana bosnya ini bisa tahu apa yang dia pikirkan. Jangan-jangan bosnya ini cenayang.
"Kenapa?" tanya Gilang.
Devina menggeleng. "Tapi bapak jangan marah dengan mbak Sandra," ucap Devina. Dia tidak ingin pasangan suami istri itu bertengkar. Meskipun permintaan Sandra sangat tidak masuk akal, bagi Devina.
"Katakan saja," balas Gilang.
Devina menarik napas panjang lalu menghembuskannya berlahan. "Menurut Bapak, Saya ini wanita seperti apa?" tanya Devina pada Gilang.
Gilang yang sebelumnya menghadap ke depan, kini menoleh pada Devina. "Kamu cerdas," jawabnya.
"Apa saya terlihat seperti wanita murahan?"
Gilang menyatukan alisnya. "Apa Sandra mengatakan kamu wanita murahan?"
Devina menggeleng. "Tidak secara langsung. Saya bukan wanita seperti itu. Tapi mbak Sandra minta Saya menggoda Bapak," ucap Devina sambil menghela napas.
Hening. Tidak ada lagi yang bicara setelahnya. Devina mengira Gilang marah, karena dia bicara buruk tentang Sandra. Padahal pria itu sedang memikirkan rencana apa lagi yang Sandra buat.
"Saya tidak bermaksud menjelekkan istri Bapak," ucap Devina memecah keheningan.
"Saya tahu," balas Gilang. "Kamu terima saja tawaran Sandra?" ucap Gilang lagi.
"HA!" Devina terkejut.
"Pak tolong jangan cap Saya sebagai wanita seperti itu. Saya bekerja murni mencari uang untuk membantu ayah saya membiayai sekolah kedua adik kembar Saya. Tidak ada niatan untuk mengoda rekan kerja, apa lagi atasan seperti Bapak. Saya wanita baik --- ."
"Saya tahu Devina," ucap Gilang memotong ucapan sekretarisnya ini.
"Kamu terima tawaran Sandra. Anggap saja ini tugas baru kamu, diluar tugas kamu sebagai sekretaris Saya," ucap Gilang menjelaskan.
"Mbak Sandra memberikan saya waktu dua hari untuk berpikir. Saya ju ---."
"Satu hari," ucap Gilang.
"Saya tunggu jawaban kamu besok malam," ucap Gilang lagi.
Dan tanpa terasa, mereka sudah sampai di kediaman orang tua Devina. Kembali Devina dibuat terkejut. "Darimana Pak Bambang tahu tempat tinggal Saya?" tanyanya.
Pak Bambang hanya tersenyum. Dia tidak berani menjawab. Takut salah bicara. Untung saja Gilang segera membantunya. "Dari alamat yang kamu masukkan di biodata karyawan," jawab pria tampan itu.
Devina tidak percaya begitu saja. Tapi berdebat dengan bosnya tidak mungkin dia lakukan. Jadilah Devina memilih diam saja.
"Terima kasih Pak Bambang, sudah mengantar Saya pulang," ucap Devina.
Saat gadis itu akan bicara dengan Gilang, pria itu justru membuka pintu dan turunan dari mobil. Devina mengikuti apa yang Gilang lakukan, dia turun dari mobil dan mendekati Gilang yang sudah berdiri di pintu gerbang halaman rumah orang tuanya.
"Terima kas ---."
"Masuk," ucap Gilang, yang lagi-lagi tidak membiarkan Devina menyelesaikan ucapannya.
Dan Devina hanya bisa menurut apa yang Gilang perintahkan. Dia membuka gebang untuk masuk. Saat berbalik untuk menutup gerbang, Gilang sudah mengekor di belakangnya.
"Saya akan menemui orang tua kamu," ucap Gilang sambil mengarahkan pandangannya ke teras.
Ayah Devina sudah menunggu anak gadisnya yang belum juga pulang. Tidak biasanya Devina pulang lebih dari jam tujuh malam, sejak dia bekerja di Cakrawala Company. Beda halnya saat putrinya itu masih bekerja sebagai asisten Elang. Waktu kerjanya tidak tetap, mengikuti jadwal syuting dan pemotretan Elang.
Melihat ayahnya menunggu di teras, Devina segera mendekat. Gilang kembali mengekor dan ikut mencium punggung tangan pria paruh baya tersebut.
"Saya Gilang Pak, atasan Devina. Maaf, malam ini putri Bapak pulang terlambat. Ada pekerjaan tambahan," ucap Gilang.
"Tidak apa-apa Pak Gilang. Terima kasih sudah mengantarkan putri Saya," balas ayah Devina.
Gilang tersenyum. Devina tidak percaya melihatnya. Selama satu bulan jadi sekretaris pria itu, baru kali ini Devina melihat GIlang tersenyum.
"Saya pamit pulang Pak," ucap Gilang.
Pak Dewa menggangguk. "Silakan," ucapnya.
***
Devina merebahkan tubuhnya di kasur setelah dia membersihkan diri. Dia ingin segera tidur. Mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Masalah permintaan Sandra dan Gilang, dia akan memikirkannya nanti, setelah lelahnya hilang. Biasanya Devina meminta petunjuk dengan sholat malam. Tapi dia sedang kedatangan tamu bulanan, membuat dia tidak bisa melakukannya.
Keinginan Devina untuk segera tidur terusik dengan suara panggilan telepon. Nada khusus yang dia sematkan untuk nomor yang memanggilnya saat ini, membuat jantung Devina bergetar. Sudah lama sekali, Elang tidak menghubunginya secara langsung. Biasanya pria itu menggunakan salah satu nomor adik kembarnya.
"Siapa pria yang bersama kamu di cafe Art, Nana?"
Boleh kah Devina marah dengan Elang? Devina tidak lagi bekerja dengannya. Mereka juga tidak memiliki hubungan apa-apa. Tapi pria itu masih saja ingin tahu dengan kehidupan pribadi Devina.
"Bos tempat aku bekerja," jawab Devina.
Sekesal apapun Devina pada Elang, ternyata hatinya masih saja lemah setiap kali bicara dengan pria itu. Perasaan itu masih sangat kuat, sekeras apapun Devina mencoba mengenyahkan perasaannya.
"Ada hubungan apa kamu dengan dia?" tanya Elang.
Devina mendengus. Elang yang ada diseberang sana bisa mendengarkan. "Aku berjanji pada ayah untuk menjaga kamu, Nana," ucap Elang.
"Ayah juga kenal dia bos aku," balas Devina. Dia tahu, itu hanya alasan Elang saja.
"Nan ---."
"Aku ngantuk," potong Devina.
"Aku ingin kamu kembali jadi asistenku, Na. Biar aku bisa tetap menjaga kamu," ucap Elang. Dia tidak peduli dengan alasan Devina.
Andai saja Elang tahu alasan Devina berhenti jadi asisten pria itu, mungkin dia tidak akan meminta Devina kembali bekerja dengannya. Sayangnya Devina tidak bisa memberi tahu Elang, jika tunangan pria itu yang memintanya mengundurkan diri jadi asisten Elang.
"Aku sudah nyaman dengan pekerjaan aku sekarang," tolak Devina permintaan Elang.
Setelah menyelesaikan panggilan telepon dari Elang, Devina segera mengnonaktifkan smartphone miliknya. Dan gadis itu benar-benar pergi ke alam mimpi, mengenyahkan semua masalah dan sesak yang dia rasakan. Hingga suara alarm membuat Devina terjaga.
Setelah siap dengan pakaian kerjanya, Devina turun untuk sarapan bersama orang tua dan kedua adik kembarnya. Kemarin dia sudah melewatkan makan malam bersama keluarganya, Devina tidak ingin melewatkannya lagi pagi ini.
Tiba di meja makan, Devina dibuat terkejut dengan keberadaan Elang dan Gilang. Dia sampai mengucek mata, mungkin dia sebenarnya masih berada di dunia mimpi. Sayangnya dia tidak sedang bermimpi.
"Itu Devi sudah turun," ucap bunda Helen.
"Nana, ayo sarapan bersama," ucap Elang sambil menarik kursi untuk Devina duduk.
Devina melihat kepada kedua adik kembarnya. Biasanya kedua anak laki-laki itu yang meminta Elang datang dan merepotkan pria itu. Padahal Devina sudah berkali-kali mengingatkan, untuk tidak merepotkan Elang lagi. Karena dia sudah tidak bekerja pada pria itu.
"Bukan kami," jawab Langit dan Bumi, bersamaan.
Tidak ingin memperpanjang masalah, Devina beralih pada Gilang. "Maaf membuat Bapak menunggu," ucap Devina.
Devina menyalahkan Gilang. Salah bosnya, baru mengirimkan pesan pagi ini, jika mereka akan menemui rekan bisnis Cakrawala Company sebelum ke kantor.
"Tidak apa-apa, Saya jadi bisa ikut sarapan bersama," balas Gilang.
Setelah melewati drama yang dilakukan elang, akhirnya devina dan Gilang bisa pergi meninggalkan kediaman orang tua Devina.
Seperti biasa, tidak ada yang bicara selama dalam perjalanan. Bagi Devina itu membosankan. Tapi mau bagaimana lagi, bosnya bukan orang yang suka banyak bicara. Bagaimana dia bisa menggoda pria yang pribadinya sedingin kutub selatan ini.
Untung saja jalanan yang mereka lalui tidak terlalu padat. Sehingga mereka bisa cepat sampai di hotel yang akan jadi tempat pertemuan pagi ini. Seharusnya Eki yang ikut bersama Gilang, entah mengapa pagi ini, tiba-tiba saja Gilang memintanya untuk menemani pria itu.
Gilang turun dari mobil diikuti Devina. Sekarang mereka berdua berada di lobby hotel. Bersiap untuk masuk ke aula yang sudah di siapkan untuk pertemuan pagi ini.
"Gilang," sapa seseorang yang Devina kenal sebagai produser film. Pria yang mengundang Cakrawala Company untuk ikut dalam pertemuan pagi ini.
Tidak hanya Cakrawala Company saja. Ada beberapa perusahaan lainnya yang juga ikut hadir dalam pertemuan pagi ini. Acara pertemuan pagi ini untuk mengajak Cakrawala Company dan beberapa perusahaan lainnya ikut andil dalam pembuatan sebuah film.
Salah satu pemeran dalam film tersebut adalah Elang. Karena itulah Elang datang pagi-pagi sekali ke rumah orang tua Devina. Maksud hati ingin menjemput mantan asistennya itu. karena dia mengetahui, bahwa pagi ini akan ada jadwal pertemuan dengan sekretaris Cakrawala Company yang akan menemani pimpinannya.
Elang tidak menyangka, jika pimpinan Cakrawala sendiri yang menjemput mantan asistennya itu. Jadilah dia sedikit berulah. Elang tidak suka saja melihat kedekatan Devina dengan Gilang. Dia juga sudah mengingatkan Devina, bahwa Gilang adalah suami Sandra.
Bukan karena Gilang, Devina menolak satu mobil dengan Elang. Tapi dia ingat pesan Wina, untuk menjauh dari Elang. Devina terlanjur berjanji untuk menjauh. Nyatanya, Elang sendiri yang masih suka menghubunginya.
Devina melihat Sandra yang datang bersama asistennya. Dia baru tahu, jika pertemuan pagi ini dihadiri Sandra. Devina heran sendiri, mengapa suami istri itu tidak datang bersama saja? Gilang justru menjemputnya. Sementara Sandra datang dengan asistennya. Seorang wanita, tapi gagah seperti pria. Di mata Devina, terlihat lebih ke seperti bodyguard dari pada asisten.
"Pak, tidak mau menyapa mbak Sandra?" tanya Devina.
"Tidak perlu," jawab Gilang. Pria itu kembali ke mode dingin dan tidak banyak bicara. Devina hanya menyarankan yang baik untuk pasangan itu. Terlepas dari masalah mereka. Jika tidak mau ya sudah.
Hingga pertemuan berakhir, Gilang justru mengajak Devina segera kembali ke perusahaan. Mengabaikan istrinya. Untungnya Sandra datang mendekat dan langsung memeluk suaminya. Memperlihatkan, seolah hubungan mereka baik-baik saja.
Tapi Devina yakin, ada yang Gilang dan Sandra sembunyikan dari hubungan mereka. Ditambah permintaan aneh Sandra, yang memintanya menggoda Gilang. Lalu Gilang yang terkesan memaksanya untuk menerima tawaran Sandra.
Sandra jadi penasaran, dia pun memutuskan akan menerima tawaran Sandra untuk menggoda Gilang. Hanya menerima, seperti yang Gilang katakan pada Devina saat perjalan pulang mereka ke perusahaan.
"Devina, Saya hanya minta kamu terima tawaran Sandra. Selanjutnya biar Saya yang mengatur semuanya. Kamu juga tidak perlu benar-benar menggoda Saya,"
Devina baru saja tiba di rumah. Sore ini, ayah Dewa yang menjemputnya ke perusahaan. Gilang yang sebelumnya akan mengajak Devina makan malam, sekaligus menagih jawaban gadis itu, tidak bisa menahan Devina. Tidak mungkin dia membiarkan apa yang dilakukan ayah Devina sia-sia.
Jadilah malam ini Gilang menelpon Devina untuk meminta jawaban. "Bagaimana Vivi?" tanyanya.
"Vivi?" ulang Devina panggilan yang baru saja Gilang sematkan untuknya. Atau Gilang salah sambung. Yang dia hubungi seharusnya Vivi, tapi justru menelpon dia.
"Bagus Vivi dari pada Nana," ujar Gilang.
Devina menyipitkan matanya. "Ada apa dengan bosnya ini?" batin Devina. Tidak mungkin kan pria ini cemburu dengan Elang yang memanggilnya Nana.
"Itu nama yang akan Saya gunakan untuk memanggil kamu, di depan Sandra. Biar dia percaya Saya tergoda sama kamu," ucap Gilang menjelaskan.
Menarik napas panjang, Devina mengisi rongga dadanya dengan udara. Bersiap untuk memberikan jawaban. Dia sudah memikirkan matang-matang. Memikirkan baik dan buruknya.
"Bismillah," ucap Devina dalam hati.
"Saya bersedia bantu Bapak," jawab Devina. Gadis itu murni akan membantu Gilang, untuk mencari tahu tujuan Sandra memintanya menggoda Gilang.
Keesokan harinya Gilang kembali menjemput Devina. Hanya saja, pagi ini dia tidak ikut sarapan seperti kemarin. Dia hanya menunggu Devina di teras, sambil ngobrol dengan bunda Helen.
"Kamu sudah mengabarkan Sandra?" tanya Gilang.
Mereka sudah berada dalam kendaraan yang dikemudikan pak Bambang. Tidak ada pertemuan di luar kantor sebenarnya, Gilang hanya sengaja menjemput Devina saja. Entah mengapa, dia merasa tenang saat berada di dekat Devina. Berbeda jauh auranya dengan Sandra.
"Belum," jawab Devina jujur.
"Kenapa? Bukankah kamu sudah bersedia."
"Saya menunggu mbak Sandra bertanya. Setidaknya biar dia tahu, Saya keberatan dengan permintaanya. Ya, biar terlihat seperti terpaksa saja," jawab Devina.
Gilang tersenyum. Sayang sekali Devina melewatkannya. "Good," balas Gilang. Tangannya terulur menepuk-nepuk pucuk kepala Devina.
Devina merasakan darahnya berdesir, jantungnya berpacu sedikit lebih cepat, atas perlakuan Gilang barusan. "Ada apa denganku? Mengapa jadi aku yang tergoda?" batin Devina.
"Pak, mengapa Bapak mau Saya menerima permintaan mbak Sandra?" tanya devina penasaran.
"Nanti juga kamu akan tahu," jawab Gilang.
"Mulai hari ini kamu kekasih Saya, Devina. Pak Bambang saksinya," ucap Gilang.
"Kekasih pura-pura kan, pak?" tanya Devina untuk memastikan. Jangan sampai dia salah mengartikan kata kekasih menurut Gilang. Mereka hanya akan berakting di depan Sandra saja. Tidak dengan yang lain.
"Apa kamu ingin sungguhan?"
Devina langsung mengibaskan telapak tangganya dihadapan Gilang, "Bukan begitu maksud Saya," jawabnya.
"Sungguhan juga tidak apa-apa," balas Gilang.
"Pak! Tolong jangan bercanda," sahut Devina.
"Siapa yang bercanda?"
"Bapak."
"Den sudah sampai," ucap pak Bambang, menyela perdebatan antara bos dan sekretaris itu. Atau antara pasangan kekasih?
Tiba di meja kerjanya, Devina kembali disibukkan dengan pekerjaan. Jika sudah begini, Devina akan sedikit lupa dengan dunia nyata. Apalagi untuk membuka pesan yang dia terima.
Sandra yang menghubungi Devina merasa kesal. Karena sekretaris suaminya itu tidak juga mengangkat panggilannya.
"Temui saja dia di Cakrawala," ucap asisten Sandra, yang bernama Dita itu menyarankan.
Maka, disinilah sekarang Sandra berada, di depan meja kerja Devina yang kosong. "Kemana anak itu?" ujar Sandra.
"Eki, kamu tahu dimana Devina?" tanya Sandra, begitu melihat asisten suaminya.
"Ada diruangan pak Gilang," jawab Eki.
Sandra bergegas masuk ke dalam ruangan Gilang. Dan dia terkejut, saat melihat ada kedua orang tuanya di ruangan suaminya itu.
"Ma, Pa," ucapnya terkejut.
"Silakan di minum Bu, Pak," ucap Devina.
Sekretaris Gilang itu meninggalkan meja kerjanya karena diminta Gilang untuk menyiapkan minuman. Sandra sempat salah sangka, mengira Devina berduaan dengan Gilang. Mengapa dia harus marah mendengar Devina berada di ruangan GIlang, dan berduaan dengan pria itu. Bukankah dia yang meminta Devina untuk menggoda Gilang? Apa sebenarnya yang Sandra inginkan?
Orang tua Sandra menemui Gilang untuk meminta pria itu melarang Sandra bekerja. Mereka ingin putri mereka segera hamil. Ketakutan terbesar mereka, Gilang meninggalkan Sandra karena tidak bisa memiliki anak.
"Aku tidak mau berhenti bekerja, Ma." Sandra langsung membentak ibunya.
Bisa gila dia jika hanya di rumah saja. Hidupnya akan terkekang. Apa lagi jika sampai memiliki anak. Sandra tidak suka di kekang. Dia ingin bebas.
Devina yang masih berada di ruangan Gilang terkejut melihat Sandra yang berani terhadap orang tua. Apa lagi pada seorang ibu. Dia melihat Gilang. Pria itu tampak biasa saja. Memasang wajah dingin.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!