Aluna Aurelia Pradipta perempuan itu duduk di lantai di samping tempat tidur dengan menekuk kedua lututnya menyembunyikan wajahnya di antara lutut itu. Tubuhnya bergetar, bahkan sampai menangis sesegukan tak kuasa menahan penderitaannya selama ini.
Perempuan itu mendongak memperlihatkan matanya yang sembab, sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, juga rambutnya yang berantakan. Ia kembali meraung mengingat kejadian beberapa saat yang lalu. Suami dan ibu mertuanya menampar dirinya. Tak puas dengan itu mereka juga mencaci maki dirinya.
Awal kejadian itu dipicu lantaran dirinya meminta uang kepada sang suami untuk membantu biaya pengobatan sang ibu. Namun ternyata ibu mertuanya tidak mengizinkan sang anak untuk memberikan uang itu. Aluna yang sudah tidak tahan dengan sikap ibu mertuanya akhirnya mengeluarkan semua apa yang ia pendam selama ini. Ibu mertuanya makin menjadi dan berakting jika dirinyalah yang paling menderita hidup di rumah itu.
Tak tahan dengan semua itu Aluna akhirnya meminta cerai dari sang suami, tetapi sang suami justru tersulut emosi lantas mendaratkan pukulan di wajahnya. Belum puas dengan itu, ibu mertuanya pun ikut menampar pipinya dan juga mencaci maki dirinya.
Jangan harap kamu bisa lepas dariku, Aluna. Aku tidak akan pernah menceraikanmu! ingat itu!
Dasar perempuan tidak tahu diri. Untung saja anakku mau menikahmu. Jika tidak, kamu tidak akan hidup enak seperti ini.
Aluna memukuli dadanya sendiri karena merasa sesak, seperti ada benda besar yang menghimpitnya. Perasaan kecewa semakin besar saat kembali mengingat apa saja yang terjadi selama ia menikah dengan Hariz.
Dua tahun yang lalu …
SAH
Aluna Aurelia Pradipta 25 tahun menitihkan air mata kebahagiaan saat ia resmi menyandang gelar sebagai nyonya Hariz Devandra. Setelah menjalin hubungan pacaran selama lima tahun akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Kini mereka sudah resmi manjadi sepasang suami dan istri.
Setelah melangsungkan acara ijab kabul keduanya beranjak dari kursi yang mereka dudukki, berjalan ke hadapan para orang tua untuk meminta restu. Sampai mereka tiba di hadapan orang tua Hariz. Sang ayah mertua menyambut putri menantunya itu dengan amat senang. Berbeda dengan sang ibu, beliau memang tidak sepenuhnya merestui hubungan sang anak dengan Aluna sebab Aluna berasal dari keluarga yang sederhana. Lebih tepatnya jatuh miskin karena ditipu oleh rekan bisnis mereka. Meskipun begitu Aluna masih bertahan sebab ia yakin Hariz akan selalu mendukungnya seperti apa yang dia lakukan saat menjalin tali kasih selama ini.
Malam pertama yang indah sudah dilewati sampai tidak terasa pernikahan mereka sudah berlangsung lebih dari 2 tahun. Aluna yang sebelum menikah adalah wanita karir memiliki butik sendiri, namun usahanya harus dialihkan untuk menutupi hutang keluarganya. Setelah menikah Aluna memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, ia mencoba untuk menjadi istri yang baik. Karier Hariz saat itu meroket, semua kebutuhan mereka terpenuhi dari segi finansial. Namun ada yang kurang selama dua tahun itu Aluna harus menerima setiap cacian, sindiran, maupun makian dari sang mertua juga adik iparnya sebab dirinya tidak kunjung hamil.
Sudah miskin, tidak bisa mengandung, dan penampilanmu yang kumel itu rasanya kamu tidak pantas untuk anakku.
Sempat tidak percaya diri dan terpuruk dengan keadaan itu, tetapi Hariz memberikan dukungannya hingga Aluna mampu berdiri kembali. Di dalam keluarga sang suami hanya ayah mertua yang selalu bersikap baik padanya, itu pula yang membuatnya mampu bertahan sampai detik itu.
Sampai suatu ketika sang ayah mertua meninggal dunia karena serangan jantung. Semuanya berubah dalam sekejab. Rumah tangga Aluna dan Hariz diterpa badai. Setelah sang ayah mertua meninggal, ibu mertua dan adiknya memutuskan untuk tinggal serumah dengan mereka. Awalnya Aluna merasa ragu, sebab tahu tabiat ibu mertua dan juga adik iparnya. Akan tetapi Aluna mencoba melihat dari posisi sang suami dan akhirnya mau menerima keberadaan dua orang itu di rumahnya.
Badai besar pun dimulai saat itu juga. Dalam setiap hal ibu mertua dan adik ipar selalu ikut campur sampai masalah finansial. Karir Hariz yang sedang naik daun harusnya membuat kemudahan bagi Aluna, tetapi justru yang terjadi sebaliknya. Uang bulanan yang biasa Hariz berikan berkurang. Sebagian diberikan untuk ibu mertua dan juga adik iparnya. Mereka mengatakan jika Aluna tidak becus mengelola keuangan.
Biar Ibu saja yang mengurus segala keperluan rumah tangga kalian. Ibu lebih berpengalaman.
Aluna kembali harus mengalah dan mencoba mengatur keuangan yang tidak seberapa untuk memenuhi kehidupan mereka semua. Sebagian uang belanja yang dipegang oleh ibu mertuanya juga dipakai oleh sang ibu dan adik iparnya untuk memenuhi hasrat berbelanja dan juga gaya hidup mewah mereka, bukan untuk memenuhi kebutuhan rumah seperti yang dikatakan oleh ibu mertuanya pada Hariz.
Semakin hari rumah tangga mereka tidak harmonis seperti dulu. Hampir setiap hari Aluna dan Hariz bertengkar hebat pemicu utamanya masalah finansial. Banyak tagihan kartu kredit yang melebihi limit, makanan yang disiapkan tidak seperti biasanya, dan masih banyak lagi pemicu pertengkaran, dari hal kecil menjadi hal besar. Aluna sudah menjelaskan jika dirinya sama sekali tidak pernah memakai benda itu untuk berbelanja kebutuhan dirinya sendiri dan memberitahu jika kartu kredit miliknya dipinta oleh sang ibu dan juga uang belanja yang memang kurang. Lagi dan lagi alasan sang ibu mertua membuat Hariz bungkam, bahkan dalam posisi salah pun Hariz masih membela sang ibu sedangkan Aluna selalu diposisikan pada pihak yang salah meskipun dirinya benar. Akhirnya semua uang belanja Hariz berikan ke ibunya.
Setelah semua dikuasai oleh ibu mertuanya kehidupan rumah tangga Aluna makin tidak karuan, bahkan Aluna dijadikan seperti pembantu di rumahnya sendiri. Penderitaan Aluna makin bertambah ketika Hariz tidak membelanya bahkan terus berada di pihak keluarganya yang jelas-jelas sudah salah.
Puncaknya malam itu, untuk pertama kalinya Hariz melakukan tindakan KDRT. Lagi dan lagi Aluna hanya dapat menangisi nasibnya. Tersirat keinginan untuk mengakhiri hidupnya, tetapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkan hal itu. Tiba-tiba suasana menjadi gelap, ternyata mati listrik. Hujan, petir, dan angin kencang terdengar begitu menyeramkan di luar sana. Dalam kegelapan Aluna berusaha untuk bangkit mencari benda pipih miliknya. Aluna mendapatkannya lantas menyalakan senter di ponselnya. Ia berjalan keluar kamar, berjalan tertatih dalam kegelapan mencari kunci mobil miliknya di lemari kabinet, dekat garasi rumah. Setelah mendapatkannya, Aluna pergi meninggalkan rumah itu menggunakan mobil.
Aluna merasa kesabarannya sudah berada diambang batas. Ia memutuskan untuk pergi menemui sahabatnya, mencurahkan semua isi hati dan masalahnya kepada sang sahabat, Rania. Beruntung sang sahabat welcome dengan dirinya hingga berjanji akan membantu Aluna bangkit dari keterpurukannya dan membalas perbuatan mereka.
Hujan deras tidak menyurutkan niat Aluna untuk pergi ke tempat tujuannya yaitu menemui Rania, sahabatnya. Kini hanya ada nama itu di pikirannya. Aluna berharap Rania mau membantunya.
Setelah mengendari mobilnya selama beberapa jam Aluna sampai di kediaman Rania. Ia turun dari mobil menuju pos penjagaan meminta kepada penjaga agar mengizinkan dirinya menemui Rania. Namun ternyata Rania sedang tidak di tempat. Aluna mulai putus asa saat itu, tetapi sepertinya Tuhan selalu mendukungnya, Rania pulang ketika Aluna akan pergi.
"Aluna," panggil Rania dari dalam mobil. Namun karena derasnya hujan Aluna tidak mendengarnya.
Rania keluar dari mobil, ia membuka payung, lantas mengejar Aluna. "Aluna," panggil Rania lagi. Kali ini lebih keras.
Mendengar ada yang memanggil namanya Aluna pun berbalik, senyumnya mengembang, harapannya seolah kembali datang ketika melihat Rania.
"Rania ...." Suara Aluna sudah hampir hilang.
"Ya Tuhan, Aluna." Rania membagi payungnya bersama Aluna. "Apa yang terjadi padamu." Rania terkejut melihat keadaan Aluna, meksipun wajah Aluna basah Rania masih bisa melihat luka lebam di pipi dan juga luka disudut bibir sang sahabat.
"Rania ... tolong aku," mohon Aluna lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Rania.
"Ayo kita masuk dulu. Ceritakan di dalam. Lukamu juga harus segera diobati," ajak Rania.
"Tapi —" Ucapan Aluna dipotong oleh Rania.
"Aku tidak ingin mendengar penolakan, Aluna," tukas Rania. "Ayo."
Rania menuntun Aluna untuk masuk ke dalam rumahnya. Di depan pintu masuk sudah ada Farel, suami Rania yang sedang menunggu mereka.
"Aluna." Bukan cuma Rania, Farel pun terkejut melihat kondisi Aluna. "Dia kenapa?"
"Aku tidak tahu. Mas tolong." Rania menyerahkan payung yang ia pegang kepada Farel.
"Berikan padaku." Farel mengambil alih payung yang Rania pegang. "Bawa masuk Aluna," suruh Farel. "Dan Aluna berikan kunci mobilmu. Aku akan suruh penjaga untuk memasukkan mobilmu."
Aluna mengangguk lantas memberikan kunci mobilnya kepada Farel.
"Ayo masuk, Aluna," ajak Rania.
Aluna sudah berganti pakaian yang diberikan oleh Rania serta lukanya sudah diobati. Tidak lupa juga Rania memberikan segelas susu hangat untuk menghangatkan tubuh Aluna.
Setelah keadaan Aluna lebih baik, ia duduk bersama Rania dan Farel. Ia dicecar begitu banyak pertanyaan oleh Rania. Tidak ada pilihan lain, Aluna akhirnya menceritakan semua yang telah terjadi kepada berduanya.
"Ini sudah keterlaluan, Aluna. Kamu tidak boleh diam saja," geram Rania.
"Itu benar, Aluna. Jika kamu mau kami bisa membantumu untuk menuntut mereka. Ini sudah masuk tindakan KDRT," tawar Farel.
"Terimakasih banyak untuk kalian. Tapi … untuk saat ini belum bisa," tolak Aluna.
"Aluna …." Rania geram dengan jawaban Aluna, ia lantas mengenggam tangannya. "Apa karena kamu masih mencintai laki-laki berengsek itu?" tanya Rania.
"Bukan itu saja," jawab Aluna.
"Lalu?" desak Rania.
"Rania, bisakah kita tidak membahas ini dulu. Kedatanganku ke sini sebenarnya ingin meminta bantuanmu. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus meminta tolong sama siapa lagi," mohon Aluna.
"Okey, okey, tenanglah. Apa yang bisa aku bantu?" tanya Rania.
"Aku butuh uang 100 juta untuk biaya operasi ibuku. Kamu bisa ambil mobil aku, ponsel, ataupun cincin ini." Aluna menyerahkan kunci mobil, ponsel, dan juga akan melepas salah satu cincin yang ia pakai tetapi dicegah oleh Rania.
"Pegang semua itu. Kamu akan butuh semua itu nanti," cegah Rania.
"Tapi ibuku lebih penting saat ini," ucap Aluna dengan wajah yang memelas.
Rania menoleh ke arah sang suami dan meminta pendapatnya dengan bahasa isyarat. Setelah mendapatkan persetujuan Rania kembali bicara pada Aluna.
"Kami akan membantumu untuk pengobatan tante Lusi. Kamu tidak perlu memberikan semua itu kepada kami. Ingat kamu pernah membantuku sekarang giliran aku yang membantumu," ucap Rania.
"Benarkah?" Aluna merasa sangat senang hingga dirinya kehilangan kata-katanya. "Terima kasih, Rania, Farel. Aku janji akan mengembalikan uang itu jika suatu saat nanti aku memiliki uang," ucap Aluna lega.
"Jangan pikirkan itu. Aku akan tranfer sekarang," ucap Rania.
Aluna mengangguk cepat kemudian mengusap air matanya. Aluna sangat bersyukur masih ada yang mau membantunya dalam keadaannya saat ini.
Uang sudah masuk ke rekening Aluna. Mereka bersiap untuk sama-sama pergi ke rumah sakit. Saat ketiganya sampai teras, ponsel Aluna berdering. Ada nomor sang ayah muncul di layar ponselnya, Aluna meminta izin untuk menerima panggilan itu lebih dulu.
"Halo, Papa. Aku sudah mendapatkan uangnya. Aku akan pergi ke sana, tunggu ya," ucap Aluna dengan tidak sabarnya.
"Aluna …."
Wajah bahagia Aluna berubah menjadi cemas saat mendengar suara tangis sang ayah.
"Papa … ada apa?" tanya Aluna.
Tidak ada respon dari sang ayah membuat Aluna bertambah cemas.
"Papa …."
"Mama kamu sudah pergi, Aluna. Mama kamu sudah meninggal, Nak."
PRANK
Aluna menjatuhkan ponselnya membuat Farel dan Rania terkejut.
"Mama!" jerit Aluna. Tangisannya langsung pecah detik itu juga.
Tubuh Aluna merosot dan terduduk di lantai teras rumah. Farel dan Rania berlari menghampiri Aluna yang sedang menangis sesegukan.
"Mama," jerit Aluna.
"Aluna, Aluna, ada apa?" Rania menangkup kedua sisi wajah Aluna.
"Mama, Ran."
"Tante Lusi kenapa?"
"Mama udah gak ada. Mama meninggal, Ran."
Rania dan Farel terkejut bahkan Rania sampai membungkam mulutnya mencegah dirinya agar tidak berteriak.
"Mama udah gak ada, Ran." Tangis Aluna pecah kembali.
Rania ikut menangis tak mampu menahan kesedihannya ditambah lagi tak tega melihat keadaan Aluna. Direngkuhnya tubuh Aluna mencoba memberikan dukungan. Bahkan Farel juga tak mampu menahan air matanya.
"Kamu harus kuat, Aluna." Farel mengusap pundak Aluna.
"Mas, ayo kita ke rumah sakit sekarang," ajak Rania.
"Ayo." Farel menganggukkan kepalanya.
Farel dan Rania membantu Aluna berdiri kemudian membantunya masuk ke mobil. Setelah itu mereka melesat cepat menuju rumah sakit menggunakan satu mobil.
Sampai di rumah sakit Aluna berlari keluar dari mobil berlari tidak peduli jika tidak menggunakan alas kaki, bahkan panggilan Rania pun Aluna abaikan.
*****
Sungguh Aluna masih tidak percaya dengan kepergian sang ibu. Dirinya mencoba kuat demi sang ayah. Namun hal yang paling membuat Aluna kecewa adalah tidak adanya Hariz di sisinya. Bukan hanya Hariz, keluarga dari sang suami tidak ada satupun yang hadir di acara pemakan sang ibu. Aluna sudah mencoba untuk menghubungi sang suami, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada kejelasan tentang keberadaan sang suami. Bahkan mertua dan adik iparnya dengan teganya tidak mau memberitahukan keberadaan Hariz.
"Aluna, makan ya," bujuk Rania.
Rania yang sedang melamun di tempat tidur menoleh ke arah pintu. Ada Rania yang membawa makanan untuk dirinya.
"Aku tidak lapar, Ran," tolak Aluna.
Aluna mendesah pasrah lantas menjauhkan ponselnya dari dekat telinganya.
"Masih tidak bisa dihubungi?" tanya Rania yang langsung mendapatkan anggukkan dari Aluna.
"Aluna …." Rania menaruh makanan di meja nakas lantas mengenggam tangan Aluna. "Kamu tidak bisa berdiam diri seperti ini. Kamu harus melawan mereka," bujuk Rania. "Mereka akan semena-mena sama kamu."
"Dengan apa aku melawan mereka, Ran. Aku bahkan tidak punya apa-apa untuk melawannya mereka," resah Aluna.
"Ada aku, ada Farel," ucap Rania.
"Tapi aku tidak mau merepotkan kalian," tolak Aluna.
"Jangan bicara seperti itu, Aluna." Rania menyelipkan rambut Aluna ke belakang telinganya. "Kamu harus bangkit, Aluna. Jangan biarkan mereka berbuat semena-mena sama kamu. Aku tidak tega melihat keadaan kamu."
"Tapi —" Ucapan Aluna dipotong oleh Rania.
"Tidak ada tapi-tapian. Farel juga tidak keberatan dengan ini," tukas Rania.
Aluna terdiam untuk mencerna perkataan Rania. Hingga ia memutuskan untuk tidak berdiam diri.
"Baiklah, aku akan coba," ucap Aluna.
"Good. Sekarang makanlah. Oh iya aku sama Farel ada kejutan untuk kamu," ucap Rania.
"Kejutan apa?" tanya Aluna.
"Kalau dikasih tahu itu namanya bukan kejutan lagi," jawab Rania. "Ayo sekarang makan."
"Terima kasih, Rania," ucap Aluna.
"Simpan ucapan terima kasihmu untuk besok, okey," ucap Rania seraya menyuapkan makanan ke mulut Aluna.
Kejutan yang Rania janjikan terpaksa ditunda sebab kejadian tidak terduga kembali Aluna dapatkan. Tiga hari yang lalu sang ibu meninggal, kini disusul oleh sang ayah. Meninggalnya kedua orang tuanya jelas menjadi pukulan terbesar bagi Aluna, belum lagi keberadaan Hariz yang belum diketahui sampai detik itu. Bahkan hingga hari ketujuh kematian sang ibu.
"Suami dan keluarga kamu itu sudah keterlaluan, Aluna," geram Rania. "Bukan hanya tidak datang, mereka bahkan tidak menelpon untuk sekedar mengucapakan bela sungkawa," sambung Rania geram.
Aluna tidak mampu bicara apapun, ia hanya mampu mendengar omelan sang sahabat dan semuanya itu memang benar. Perempuan itu hanya bisa duduk bersandar pada dinding ruang tengah yang tidak seberapa di temani oleh air mata yang tidak tahu kapan akan berhenti.
"Mereka pergi berlibur ke Paris."
Aluna dan Rania menoleh ke sumber suara. Farel baru saja tiba di rumah orang tua Rania.
"Siapa yang berlibur ke Paris?" tanya Aluna lirih serta suaranya yang serak, tetapi masih bisa didengar oleh Rania maupun Farel.
"Mertua dan adik iparmu," jawab Farel. "Dan … suamimu," imbuh Farel.
Aluna memejamkan matanya dibarengi tetesan air matanya. Sakit sekali hatinya mendegar kabar itu. Bahkan mereka bisa berlibur tanpa dirinya dan dalam kondisi seperti itu.
"Sabar ya." Rania memeluk Aluna yang makin membuat sang sahabat menangis.
"Ran … apa mereka sudah tidak menganggap aku ada," tangis Aluna.
"Dengar, Aluna." Rania menarik dirinya terlebih dahulu lantas mengusap air mata di pipi Aluna dengan ibu jarinya. "Kali ini lawanlah!" Rania memberikan sebuah kunci kepada Aluna. "Sebelum kamu menikah kamu adalah seorang wanita karir. Tidak ada yang tidak mengenal dan tidak suka dengan produk yang kamu luncurkan. Jadi … ambilah ini. Kembali menjadi dirimu sendiri," ucap Rania.
"Ini …?" Aluna memerhatikan kunci di tangannya, ia merasa tidak asing.
"Kunci butik milikmu," ungkap Rania.
"Butik? Bagaimana kunci ini ada di tangan kamu?" tanya Aluna penuh selidik.
"Aku membelinya dari pemilik sebelumnya. Mereka menutup tempat itu karena tidak bisa mengelolanya. Sebenarnya aku ingin memberikan padamu dulu sebagai hadiah pernikahanmu, tapi saat itu kamu memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Maka aku menyimpannya," jelas Rania.
"Rania …." Tangis haru Aluna pecah, ia memeluk Rania karena tidak mampu bicara apa-apa. "Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya berterima kasih padamu dan juga Farel."
Rania mengusap-usap punggung Aluna. "Tetap bahagia, Aluna. Jadilah dirimu sendiri." Rania menyentuh dagu Aluna dan memberikan senyumannya.
"Jangan sungkan pada kami, Aluna," ucap Farel.
"Ini sudah malam, sebaiknya kalian pulang. Kalian juga butuh istirahat," ucap Aluna melihat Farel dan Rania bergantian.
"Tidak, Aluna. Bagaimana mungkin kami bisa meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini," tolak Rania. "Aku dan Farel sudah memutuskan menginap di sini," sambungnya.
"Tapi di sini tempatnya kecil, juga mungkin tidak nyaman," ucap Aluna.
"Jangan pikirkan itu. Besok kita juga harus pergi ke butik untuk mengantar kamu. Jadi dari pada kita bolak balik mending kami nginep," terang Farel membuat Aluna makin tidak enak hati pada mereka.
"Kalian benar tidak apa-apa?" tanya Aluna disambut gelengan oleh Farel dan Rania.
-
-
Kejutan untuk Aluna sepertinya tidak sampai di situ saja. Waktu pukul 10 malam saat mereka akan beristirahat tiba-tiba ada yang datang ke rumah itu, seorang pria paruh baya. Aluna sangat mengenali orang itu. Aluna yang akan menutup pintu dikejutkan oleh panggilan laki-laki. Terlihat pria paruh baya itu berjalan tergopoh-gopoh menghampiri dirinya.
"Aluna," sapanya.
Aluna mengerutkan keningnya, matanya menyipit guna memperjelas ingatan dan juga penglihatannya.
"Bapak Roger, kan?" tanya Aluna.
"Syukurlah kamu masih mengenali saya, Aluna," ucap Roger lega.
"Tentu saja saya masih bisa mengenali Anda. Mari silahkan masuk," ucap Aluna.
Aluna menggeser tubuhnya mberikan jalan untuk Roger. Setelah itu mereka duduk di lantai yang hanya beralasan tikar.
"Aluna, siapa yang datang?" tanya Rania yang kembali keluar kamar bersama Farel.
"Oh perkenalkan, Rania. Beliau ini pak Roger. Pengacara keluarga kami dulu," jelas Aluna.
"Oh iya. Saya Rania dan ini suami saya, Farel." Rania dan Farel bergantian mengalami Roger kemudian mereka duduk bersama di ruang tamu itu.
"Bapak ada keperluan apa kemari. Mama sama papa sudah …." Aluna tidak mampu lagi untuk meneruskan kata-katanya.
"Saya tahu, Aluna. Saya tahu. Maka dari itu setelah mendapatkan kabar ini saya buru-buru ke sini," ucap Roger. "Saya minta maaf, Aluna. Andai saya datang ke sini lebih awal mungkin kedua orang tua kamu masih hidup," terang Roger.
"Maksud Bapak?" tanya Aluna tidak mengerti.
"Bapak tahu tentang keadaan ibumu. Tapi saya tidak bisa membantu banyak," sesal Roger. "Tapi … sebulan yang lalu ada seseorang yang datang menemui saya. Dia orang yang sudah menipu dengan membawa lari uang ayahmu," ungkap Roger.
Pada akhirnya Roger menceritakan alasan orang itu menemui dirinya. Yandi Herlambang, teman dan rekan bisnis mendiang sang ayah tidak berani bertatap muka langsung dengan mereka sebab merasa malu atas tindakannya.
"Yandi tidak berniat untuk menipu ayah kamu. Dia butuh uang untuk membangun kembali perusahaannya yang sudah diambang kebangkrutan," jelas Roger.
"Tidak berniat? Dia sudah melakukannya dan tidak mau mengakuinya." Aluna menggeleng tidak percaya.
"Aluna …." Rania mengusap pundak Aluna untuk memenangkan dirinya.
"Saya tahu, Aluna. Tapi beliau sudah merasa menyesal. Sebelum Beliau meninggal beliau menitipkan ini pada saya. Harusnya saya langsung memberikan semua ini pada ayahmu pada saat itu juga, tapi saya menundanya sebab istri saya sakit dan harus dibawa keluar negeri untuk berobat. Sampai saya dengar kabar mengenai kondisi ibu kamu yang makin parah. Tapi saya datang terlambat Aluna. Maafkan saya," sesal pak Roger.
"Meninggal?" tanya Aluna masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Kanker otak menjadi penyebabnya," jelas Roger.
"Lalu apa yang dia berikan pada mendiang ayah saya?" tanya Aluna.
"Ini cek berisi uang 5 Miliyar, tabungan beliau di bank, aset rumah, dan juga apartement. Jika diuangkan mungkin mencapai angka puluhan bahkan mungkin ratusan milyar," jelas Roger. "Beliau sudah menulis surat kuasa untuk memindahkan semua ini atas nama ayah Anda, tetapi beliau lebih dulu pergi. Saya akan membantu kamu untuk mengurus semua ini jadi milik kamu, Aluna," ucap Roger.
"Anda sedang tidak bercanda, kan?" tanya Aluna memastikan.
"Tidak, Aluna. Saya serius. Ini saya bawa surat-suratnya." Roger mengambil beberapa berkas dan memberikannya kepada Aluna. "Silahkan kamu lihat sendiri."
Aluna memeriksa semua berkas itu dibantu oleh Farel dan juga Rania. Ketiganya tercengang melihat itu semua.
"Aluna, kamu sangat beruntung," ucap Farel.
"Ini jalan untuk kamu, Aluna. Kamu bisa membalas apa yang sudah suami serta keluarganya lakukan padamu," imbuh Rania.
"Pak Roger, terima kasih." Aluna mencium punggung tangan Roger sembari menangis haru.
"Saya juga tahu kondisi rumah tangga kamu, Aluna. Saya ikut prihatin." Roger mengusap punggung Aluna. "Jika kamu butuh bantuan saya untuk mengurus mereka, saya siap membantu," sambungnya.
"Dari mana Bapak tahu?" tanya Aluna.
"Sebelum saya ke sini, saya pergi ke rumah kamu. Penjaga di sana mengatakan segalanya kepada saya," jelas Roger.
"Lihat Aluna, bahkan Tuhan sepertinya mendukung kamu untuk membalas semua keburukan yang dilakukan suamimu dan keluarganya," ucap Rania disambut anggukkan oleh Aluna.
Perempuan itu kini bisa menunjukkan senyumannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!