Langit senja di Barat Sektor 5 menyemburatkan warna oranye redup yang kontras dengan jalan-jalan penuh debu. Sebuah motor sport dengan desain ramping dan suara halus meluncur melalui gang-gang sempit. Pengendaranya, seorang pria muda, mengenakan jaket kulit gelap yang punggungnya berkilauan terkena cahaya matahari terakhir hari itu. Ketika ia tiba di sebuah bangunan sederhana di sudut jalan, mesinnya dimatikan, meninggalkan keheningan yang penuh arti.
Galang menurunkan helmnya, memperlihatkan wajah tegas dengan tatapan mata yang membawa cerita bertahun-tahun perjalanan. Motor itu—Honda CBR 1000RR Fireblade dengan sentuhan modifikasi khusus—adalah bagian dari identitasnya. Ia memarkirkannya dengan hati-hati di depan dojo kecil yang tampak tua tetapi tetap berdiri kokoh, seperti pemiliknya.
Seorang pria paruh baya muncul dari pintu dojo, menyeka peluh di dahinya dengan handuk kecil. Ia memperhatikan keponakannya dengan senyuman kecil, meskipun matanya menyiratkan kekhawatiran yang sulit disembunyikan.
“Sudah lama, Galang,” katanya, suaranya hangat meskipun bergetar oleh usia. “Aku kira kamu tidak akan pernah kembali ke tempat ini.”
“Aku juga tidak pernah merencanakannya, Paman,” jawab Galang datar, suaranya rendah tetapi penuh makna. “Tapi keadaan berubah.”
Pak Dharma, pamannya, mengangguk pelan. “Ya, segalanya berubah. Tapi tidak selalu ke arah yang lebih baik. Jalanan di sini sekarang penuh dengan anak-anak yang lupa caranya menghormati orang lain.”
Galang hanya diam. Ia tak perlu mendengar lebih banyak untuk tahu bahwa pamannya sedang membicarakan geng-geng yang kini menguasai setiap sudut Barat Sektor 5. Namun, ia tidak datang untuk terlibat dalam konflik. Setelah kehilangan mimpinya di dunia balap, yang ia inginkan hanyalah kedamaian.
Malam itu, Galang duduk di beranda dojo, ditemani secangkir teh yang mengepul. Ia membersihkan motornya dengan perlahan, memperhatikan setiap detail seperti seorang seniman merawat karya agungnya. Keheningan itu pecah oleh suara langkah kaki yang tergesa-gesa, disertai napas berat seseorang yang mendekat.
“Galang!” seruan itu membuatnya menoleh. Seorang pria muda dengan wajah penuh luka muncul dari kegelapan. Galang segera berdiri, mengenali Tama, sahabat lamanya.
“Tama, apa yang terjadi padamu?” tanyanya, memperhatikan bekas luka di pipi dan dahi temannya.
Tama mencoba mengatur napasnya sebelum menjawab. “Mereka… mereka datang ke bengkelnya. Mereka bilang aku harus menyerahkan tempat itu, atau mereka akan mengambilnya paksa.”
“Mereka?” Galang menyipitkan matanya. “Siapa yang kamu maksud?”
“Blooded Scorpio,” jawab Tama dengan suara lemah. “Mereka bilang ini wilayah mereka sekarang. Aku mencoba melawan, tapi mereka terlalu banyak…”
Galang memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan amarah yang mulai berkobar dalam dirinya. “Kamu aman di sini malam ini,” katanya akhirnya. “Besok, kita akan urus ini.”
Keesokan paginya, Galang menyalakan motornya. Suara mesinnya menggema lembut, memberikan rasa percaya diri pada Tama yang duduk di belakangnya. Mereka menuju bengkel kecil milik Tama, sebuah tempat sederhana tetapi penuh kenangan bagi sahabatnya. Namun, suasana berubah tegang saat mereka tiba.
Tiga pria berjaket kulit berdiri di depan bengkel, masing-masing terlihat seperti pemilik tempat itu. Salah satu dari mereka memandang Galang dengan senyum mengejek. “Jadi, ini temanmu, Tama? Dia pikir dia bisa melawan kami?”
Galang turun dari motornya dengan tenang, tatapannya tajam. “Aku tidak melawan siapa pun. Aku hanya ingin tahu apa yang kalian lakukan di sini.”
Pria yang berdiri di tengah melangkah maju, tubuhnya lebih besar dari Galang. “Ini wilayah Draxa. Bengkel ini sekarang milik Blooded Scorpio.”
Galang tidak bergerak sedikit pun. “Aku rasa tidak,” jawabnya dengan nada dingin.
Pria itu tidak memberikan peringatan lagi. Dengan cepat, ia mencoba menyerang Galang. Namun, Galang sudah mengantisipasi. Ia bergerak ke samping, menghindari serangan itu, dan memanfaatkan momentum untuk membalas. Serangannya akurat, langsung ke arah yang membuat lawannya kehilangan keseimbangan.
Dua lainnya mencoba menyerang bersamaan. Galang tidak mundur. Dengan gerakan cepat, ia mengandalkan teknik bela diri yang telah ia latih selama bertahun-tahun di dojo pamannya. Tendangan berputarnya mengenai lawan pertama, sementara pukulan yang menyusul melumpuhkan yang kedua.
Tama berdiri terpaku, tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. “Galang… apa kamu baru saja…?”
“Ini bukan apa-apa,” potong Galang, memalingkan perhatian dari lawan-lawannya yang tergeletak di tanah. “Kamu harus siap. Mereka akan kembali.”
Pria yang tersisa bangkit dengan susah payah. “Kamu tidak tahu apa yang kamu hadapi,” katanya sambil melangkah mundur. “Draxa akan memastikan kamu menyesal.”
Setelah mereka pergi, Tama menatap Galang dengan cemas. “Apa kamu yakin ingin melibatkan diri dalam semua ini? Mereka bukan orang sembarangan.”
“Aku tidak mencari masalah, Tama,” jawab Galang sambil memeriksa kondisi bengkelnya. “Tapi aku tidak akan membiarkan siapa pun merusak apa yang penting bagimu.”
Malam itu, kabar tentang Galang sampai ke telinga Draxa. Pemimpin Blooded Scorpio itu tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak memandang remeh. “Jadi, dia pikir dia bisa melawan Blooded Scorpio? Kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan.”
Di dojo, Pak Dharma memperingatkan Galang sekali lagi. “Blooded Scorpio tidak akan tinggal diam, Galang. Mereka akan datang untukmu.”
“Aku tahu,” jawab Galang tenang. “Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang bukan milik mereka.”
Namun, malam itu, Galang tidak bisa tidur nyenyak. Ia memikirkan apa yang akan datang. Meski ia tidak mencari konflik, jalannya seolah-olah sudah dipenuhi oleh badai. Ketika ia menatap motor yang terparkir di sudut dojo, pikirannya melayang ke masa lalu, ketika jalanan menjadi medan pertarungan sekaligus tempat ia merasa hidup.
Di sisi lain kota, Draxa sedang menyusun rencana. Di markas Blooded Scorpio, suasana tegang. “Kita akan menunjukkan padanya siapa yang menguasai tempat ini,” kata Draxa sambil menatap anggota-anggotanya. “Galang akan menyesal pernah menginjakkan kaki di Sektor 5.”
Malam semakin larut. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma bahaya yang semakin dekat. Galang tahu, perang telah dimulai, meski ia tidak pernah memintanya.
Ketika fajar mulai menyingsing, suara motor terdengar di kejauhan. Galang sedang membersihkan motornya di halaman dojo ketika Pak Dharma keluar membawa secangkir teh hangat. “Apa rencanamu sekarang, Galang?” tanya pamannya, tatapannya penuh keingintahuan.
Galang menghela napas. “Aku tidak punya rencana, Paman. Aku hanya ingin memastikan Tama aman. Setelah itu, aku akan kembali menjalani hidupku.”
Pak Dharma mengangguk perlahan, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya yakin. “Kamu tahu, ketika kamu melawan mereka, itu bukan hanya tentang Tama. Mereka akan menganggap ini tantangan terhadap kekuasaan mereka. Mereka tidak akan mundur.”
Galang tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka melangkah terlalu jauh.”
Sementara itu, di markas Blooded Scorpio, Draxa sedang merencanakan langkah selanjutnya. Dia duduk di atas motor besar miliknya, dikelilingi oleh anggota-anggota setianya. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Siapa Galang ini sebenarnya? Mengapa dia berani melawan kita?”
Salah satu anggotanya, seorang pria dengan rambut acak-acakan dan jaket kulit yang sudah usang, menjawab, “Dia dulu pembalap profesional. Tapi dia menghilang setelah kecelakaan besar beberapa tahun lalu.”
Draxa mengangguk perlahan, mencerna informasi itu. “Kalau begitu, dia bukan orang sembarangan. Tapi kita akan lihat seberapa jauh dia bisa bertahan.”
Di dojo, Tama sedang berbicara dengan Galang. “Kamu tidak harus melakukan ini untukku, Galang,” katanya dengan nada penuh penyesalan. “Aku tahu mereka berbahaya. Aku bisa pergi dari sini, mencari tempat lain.”
Galang menatapnya tajam. “Meninggalkan bengkelmu bukanlah solusi. Itu milikmu, Tama. Kamu sudah bekerja keras untuk membangun tempat itu. Aku tidak akan membiarkan mereka merebutnya darimu.”
Tama terdiam, lalu mengangguk pelan. Dia tahu Galang serius, dan meskipun dia merasa khawatir, ada sesuatu dalam diri Galang yang memberinya rasa percaya diri.
Menjelang siang, suara motor terdengar mendekat. Galang dan Tama keluar dari dojo untuk melihat siapa yang datang. Empat motor berhenti di depan dojo, dan para pengendara turun dengan gaya angkuh. Salah satu dari mereka adalah pria yang pernah kalah dari Galang sehari sebelumnya.
“Kami punya pesan dari Draxa,” katanya dengan nada mengejek. “Dia bilang dia ingin bertemu langsung denganmu, Galang. Jalan utama di luar barat, tengah malam nanti. Kalau kamu cukup berani, datanglah.”
Galang tidak segera menjawab. Ia hanya menatap mereka dengan ekspresi tenang. “Aku akan ada di sana,” katanya akhirnya.
Para anggota Blooded Scorpio tertawa kecil sebelum menaiki motor mereka lagi. Suara mesin meraung ketika mereka pergi, meninggalkan debu beterbangan di udara.
Tama menatap Galang dengan wajah penuh kekhawatiran. “Apa kamu yakin ini ide yang bagus? Itu jelas perangkap.”
“Aku tahu,” jawab Galang sambil melipat tangannya. “Tapi aku tidak akan menghindar. Jika Draxa ingin bermain, aku akan pastikan dia tahu siapa yang dia hadapi.”
Pak Dharma, yang mendengar percakapan itu, hanya menghela napas. “Galang, berhati-hatilah. Kamu mungkin kuat, tapi Draxa itu licik. Dia tidak bermain sesuai aturan.”
Galang hanya mengangguk. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa Draxa bukanlah lawan yang mudah. Tapi ia juga tahu bahwa ini adalah langkah yang tak terhindarkan. Jika dia ingin melindungi Tama dan tempat mereka, dia harus menghadapi Draxa secara langsung.
Malam itu, Galang memeriksa motornya dengan cermat. Ia memastikan semua komponen dalam kondisi sempurna, dari mesin hingga suspensi. Baginya, motor ini bukan hanya kendaraan, tetapi juga senjata yang membantunya bertahan di jalanan.
Ketika waktu mendekati tengah malam, Galang menyalakan mesinnya. Suara mesin terdengar seperti gemuruh kecil di tengah keheningan malam. Tama berdiri di depan dojo, menatapnya dengan penuh harap. “Jangan terluka, Galang.”
“Aku akan baik-baik saja,” jawab Galang dengan senyuman tipis sebelum melaju ke jalan utama. Angin dingin malam menyambutnya saat dia meluncur melalui gang-gang yang sepi, pikirannya fokus pada pertemuan yang akan datang.
Di tengah jalan utama, di bawah lampu jalan yang remang-remang, Draxa sudah menunggu. Di sekelilingnya, beberapa anggota Blooded Scorpio berdiri dengan motor mereka, menciptakan suasana tegang. Galang memarkir motornya dengan tenang dan turun, menatap langsung ke arah Draxa.
“Kamu akhirnya datang,” kata Draxa dengan senyuman dingin. “Aku penasaran, apa kamu benar-benar seberani itu, atau hanya bodoh?”
“Ini bukan soal keberanian atau kebodohan,” jawab Galang. “Ini soal keadilan. Aku tidak akan membiarkan kalian merusak hidup orang lain hanya karena kalian merasa punya kuasa.”
Draxa tertawa kecil. “Kata-kata yang bagus. Tapi kita lihat apakah tindakanmu sebanding dengan ucapanmu.”
Galang mempersiapkan dirinya. Pertemuan ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang prinsip. Ia tahu bahwa malam ini, segala sesuatu akan berubah.
Langit senja di Barat Sektor 5 memancarkan warna oranye keemasan yang memudar, melukiskan kontras antara keindahan alam dan kekacauan di jalanan. Jalan-jalan sempit dipenuhi debu, dan bangunan tua dengan cat yang mulai pudar berdiri seperti saksi bisu atas berbagai pertempuran kecil yang mewarnai hari-hari di sana. Sektor 5 dulunya adalah pusat kehidupan kota, tempat di mana berbagai usaha kecil berkembang. Namun, itu cerita masa lalu. Kini, tempat itu dikuasai oleh geng-geng jalanan yang saling memperebutkan wilayah.
Di antara gang-gang yang gelap, suara mesin motor sport memecah keheningan. Honda CBR 1000RR Fireblade dengan suara halus melaju, pengendaranya menghindari lubang dan pecahan kaca di sepanjang jalan dengan keahlian yang luar biasa. Di atas motor itu, Galang, seorang pria muda dengan wajah keras yang menyimpan banyak cerita, mengenakan jaket kulit hitam yang memantulkan sinar terakhir matahari.
Galang tiba di sebuah dojo kecil di sudut jalan. Bangunan itu sederhana, dengan dinding kayu yang telah rapuh dimakan waktu. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tetap kokoh: semangat penghuninya. Ia memarkir motornya dengan hati-hati, lalu melepas helm, memperlihatkan wajah dengan rahang tegas dan tatapan yang dalam. Ketika ia melangkah masuk, pintu dojo terbuka, dan seorang pria paruh baya muncul.
“Galang,” suara hangat tetapi penuh rasa prihatin terdengar dari Pak Dharma, pemilik dojo sekaligus pamannya. Pria itu menyeka keringat di dahinya dengan handuk kecil. “Aku kira kau tak akan pernah kembali.”
Galang menghela napas. “Aku juga tak pernah merencanakan ini, Paman,” jawabnya singkat. “Tapi keadaan berubah.”
Pak Dharma mengangguk perlahan, matanya menatap keponakannya dengan campuran perasaan. “Ya, segalanya berubah. Tapi tidak selalu ke arah yang lebih baik.”
Mereka berbincang sebentar di dalam dojo, membicarakan keadaan Sektor 5 yang kini dikuasai geng-geng liar. Pak Dharma bercerita tentang Blooded Scorpio, geng paling berkuasa di wilayah itu, yang terus memeras para pedagang kecil. Namun, Galang tampak enggan terlibat. Setelah bertahun-tahun berlalu sejak ia meninggalkan dunia balap motor dan konflik, ia hanya menginginkan kedamaian.
---
Malam Penuh Ketegangan
Malam itu, Galang duduk di beranda dojo. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan gerimis sore tadi. Ia membersihkan motornya dengan telaten, tangannya mengelus bodi kendaraan itu seolah sedang berbicara dengan teman lama. Motor itu bukan sekadar alat baginya. Itu adalah simbol dari siapa dirinya dulu—seorang pembalap jalanan yang diakui. Namun, semua berubah setelah kecelakaan yang hampir merenggut nyawanya.
Keheningan malam pecah oleh suara langkah kaki yang tergesa-gesa. Seorang pria muda dengan wajah penuh luka muncul dari kegelapan. Nafasnya berat, bajunya robek, dan darah mengalir dari pelipisnya.
“Galang!” serunya panik.
Galang segera berdiri, mengenali pria itu. “Tama, apa yang terjadi?”
Tama, sahabat lamanya, mencoba mengatur napas. “Mereka… mereka datang ke bengkelnya. Mereka bilang aku harus menyerahkan tempat itu, atau mereka akan menghancurkannya.”
“Mereka siapa?” tanya Galang, nadanya tajam.
“Blooded Scorpio,” jawab Tama dengan suara gemetar. “Mereka bilang ini wilayah mereka sekarang.”
Galang menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang mulai membara. “Tenanglah,” katanya. “Kau aman di sini malam ini. Besok kita akan urus ini.”
---
Kenangan dan Perencanaan
Setelah Tama tertidur, Galang termenung di halaman dojo. Ingatannya melayang ke masa lalu. Ia dan Tama dulu sering menghabiskan waktu di bengkel kecil itu, memodifikasi motor dan merancang strategi balapan. Bengkel itu adalah tempat di mana mereka bermimpi besar, sebelum kehidupan mengambil jalan yang berbeda. Tama tetap bertahan di sana, berjuang mempertahankan mimpinya, sementara Galang tersesat dalam kecewa dan kesepian.
Fajar tiba, dan Galang serta Tama menaiki motor menuju bengkel kecil itu. Perjalanan singkat itu terasa panjang karena pikiran mereka dipenuhi kecemasan. Ketika mereka tiba, pemandangan di depan bengkel membuat Tama terdiam. Tiga pria berjaket kulit berdiri di sana, dengan sikap sombong. Salah satu dari mereka, seorang pria besar dengan tato di lengan, maju mendekati mereka.
“Jadi, ini temanmu?” tanyanya dengan nada mengejek. “Kau pikir dia bisa melawan kami?”
Galang turun dari motornya dengan tenang. “Aku hanya ingin tahu apa urusan kalian di sini.”
Pria itu tertawa. “Ini wilayah Draxa. Bengkel ini milik kami sekarang.”
“Aku rasa tidak,” jawab Galang dingin.
---
Pertarungan Awal
Tanpa banyak bicara, pria itu melayangkan pukulan ke arah Galang. Namun, Galang dengan mudah menghindar, memanfaatkan momentum serangan itu untuk menjatuhkan lawannya. Kedua pria lain mencoba menyerang bersamaan, tetapi Galang, dengan pengalaman bela diri yang ia pelajari dari Pak Dharma, melumpuhkan mereka dengan gerakan cepat dan akurat.
Tama menyaksikan dengan mata terbelalak. Ia tahu Galang adalah seorang pembalap yang tangguh, tetapi ia tidak pernah melihat sisi ini sebelumnya.
Namun, pertempuran kecil itu hanyalah permulaan. Salah satu pria yang terluka bangkit perlahan dan berkata dengan nada penuh dendam, “Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi. Draxa akan memastikan kau menyesal.”
---
Pertemuan Tengah Malam
Malam berikutnya, Galang menerima undangan dari Blooded Scorpio untuk bertemu di jalan utama. Pak Dharma memperingatkannya untuk berhati-hati, tetapi Galang tahu ia tidak bisa menghindar. Dengan memeriksa motornya satu per satu, ia mempersiapkan diri.
Di bawah remang lampu jalan, Draxa, pemimpin Blooded Scorpio, berdiri di tengah kerumunan. Ia menatap Galang yang datang dengan ekspresi penuh percaya diri. Pertemuan itu segera berubah menjadi pertarungan langsung antara Draxa dan Galang, sebuah duel untuk menentukan siapa yang lebih berkuasa di jalanan.
---
Langit malam di Sektor 5 gelap tanpa bulan. Hanya lampu-lampu jalan yang redup menjadi saksi pertemuan itu. Suara mesin motor bergemuruh di kejauhan, menandai kedatangan rombongan Blooded Scorpio. Galang sudah tiba lebih dulu, berdiri di samping motornya yang diparkir dengan rapi di tepi jalan. Angin dingin malam itu tak cukup untuk menggoyahkan keteguhannya.
Motor-motor itu berhenti dengan raungan keras, memecah keheningan. Draxa, dengan jaket kulit yang dihiasi emblem Scorpio besar di punggungnya, turun dengan gerakan santai, seolah ia sudah yakin akan menang. Di belakangnya, enam anggota geng berdiri, membentuk lingkaran. Mereka tersenyum mengejek, seperti serigala yang bersiap mengoyak mangsa.
“Jadi kau benar-benar datang,” kata Draxa, suara beratnya menggema di jalan kosong itu. “Aku salut dengan keberanianmu, meskipun itu mungkin hal terakhir yang kau miliki.”
Galang menatapnya dengan tatapan dingin. “Aku tidak datang untuk berbicara panjang lebar. Apa maumu?”
Draxa tertawa kecil, mengangkat bahu. “Kau tahu apa yang aku mau. Temanmu Tama harus tahu tempatnya. Bengkelnya ada di wilayahku, dan aku tidak suka ada orang yang melawan. Tapi kau membuat semuanya lebih menarik. Sekarang ini tentang harga diri.”
Galang mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah. “Harga diri bukan soal memeras orang lain. Kalau kau punya keberanian, kau tidak akan menyandera mereka yang lebih lemah.”
Draxa berhenti tertawa, wajahnya menjadi dingin. “Kau ingin bermain hero? Baiklah. Kita selesaikan ini sekarang.”
Ia melangkah maju, melepaskan jaket kulitnya dan memberikan isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Lingkaran yang terbentuk kini menyisakan ruang bagi dua pria itu, bersiap menghadapi duel yang menentukan.
Duel dengan Draxa
Pertarungan dimulai tanpa peringatan. Draxa melayangkan pukulan pertama, sebuah serangan kuat yang ditujukan ke kepala Galang. Tapi Galang sudah mengantisipasi. Ia menunduk dengan cepat, memutar tubuhnya untuk menghindar, lalu melancarkan pukulan ke sisi tubuh Draxa. Serangan itu tepat sasaran, membuat Draxa mundur selangkah.
Namun, Draxa tidak mudah dijatuhkan. Ia membalas dengan ayunan tangan yang lebih cepat dari dugaan Galang, mengenai bahunya dan membuatnya kehilangan keseimbangan sejenak. Galang menahan rasa sakit, melompat mundur untuk menjaga jarak.
“Kau cukup tangguh,” kata Draxa, menyeringai. “Tapi aku sudah bertarung lebih lama daripada kau bisa mengendarai motor.”
Galang tidak menjawab. Ia tetap fokus, membaca gerakan lawannya. Ketika Draxa maju lagi, Galang mengubah taktiknya. Alih-alih hanya menghindar, ia memanfaatkan tenaga Draxa untuk melancarkan serangan balik. Dengan gerakan cepat, ia menangkap tangan Draxa yang menyerang, memutar tubuhnya, dan meluncurkan tendangan ke lutut lawannya.
Draxa terjatuh, tapi hanya sebentar. Dengan tawa penuh amarah, ia bangkit, kali ini terlihat lebih hati-hati. “Kau pintar, aku beri kau itu. Tapi aku belum selesai.”
Pertarungan berlanjut. Kali ini, Draxa mengandalkan kekuatan tubuhnya yang besar, mencoba memojokkan Galang. Namun, Galang terus bergerak lincah, menghindari setiap serangan dengan efisiensi. Ia tahu, satu kesalahan kecil bisa membuat Draxa mengambil kendali.
Akhirnya, setelah beberapa menit, Draxa meluncurkan serangan besar—sebuah pukulan berat yang diarahkan ke kepala Galang. Namun, ini adalah kesalahan besar. Galang memanfaatkan momen itu, menghindar ke samping, dan dengan cepat meluncurkan pukulan lurus yang menghantam rahang Draxa dengan keras. Draxa terhuyung, darah menetes dari sudut bibirnya.
Suasana hening. Anggota Blooded Scorpio tampak ragu untuk bergerak, melihat pemimpin mereka kehilangan keseimbangan. Draxa mengangkat tangan, menghentikan mereka. Ia menatap Galang dengan sorot mata penuh kebencian.
“Kau menang malam ini,” katanya dengan suara rendah. “Tapi jangan berpikir ini sudah selesai.”
Dengan susah payah, ia kembali ke motornya, memberi isyarat pada anak buahnya untuk pergi. Dalam sekejap, suara motor mereka menggema di kejauhan, meninggalkan debu dan ketegangan di udara.
Setelah Pertarungan
Tama, yang menunggu dengan gelisah di dojo, hampir tidak percaya ketika Galang kembali tanpa cedera serius. Ia bergegas menghampiri sahabatnya.
“Galang, kau… kau benar-benar melawan mereka?” tanya Tama, matanya penuh kekhawatiran dan rasa kagum.
“Aku hanya memastikan mereka tidak menyentuh bengkelmu lagi,” jawab Galang singkat, meletakkan helmnya di atas meja. “Tapi ini belum selesai.”
Pak Dharma, yang mendengar percakapan itu, mendekati mereka. “Galang,” katanya dengan nada serius, “kau tahu bahwa Draxa tidak akan menyerah begitu saja. Dia akan kembali, dan kali ini dengan cara yang lebih licik.”
“Aku tahu, Paman,” kata Galang sambil memandang ke arah dojo yang sunyi. “Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka terus menindas orang lain.”
Pak Dharma menghela napas. “Jika ini jalan yang kau pilih, aku hanya bisa berharap kau siap untuk menghadapi apa pun.”
Rencana Balas Dendam Draxa
Di markas Blooded Scorpio, Draxa duduk dengan wajah muram. Di sekelilingnya, anggota geng berbicara pelan, tak berani menatap pemimpin mereka secara langsung.
“Kita tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja, Draxa,” kata salah satu anggota, mencoba menyemangatinya. “Orang-orang akan mulai meremehkan kita.”
Draxa mengangkat tangannya, membuat semua orang diam. “Aku tahu,” katanya dingin. “Tapi ini bukan soal kekuatan. Kita akan menyerang di tempat yang paling lemah.”
Ia menatap sebuah peta di meja kayu di depannya, menunjukkan wilayah Sektor 5. “Kita akan menghancurkan apa yang dia lindungi. Bengkel itu. Dojo itu. Semuanya.”
Rencana itu mulai disusun. Draxa tahu, untuk mengalahkan Galang, ia harus menyerang dari sudut yang tidak terduga.
Ketegangan Memuncak
Malam berikutnya, suara langkah kaki yang berat terdengar mendekati dojo. Tama, yang sedang membantu Pak Dharma merapikan peralatan, berhenti sejenak. Wajahnya memucat ketika melihat sekelompok pria mendekati pintu dojo dengan sikap mengancam.
“Pak Dharma! Galang!” teriak Tama.
Galang segera keluar, berdiri di depan pintu dengan tubuh tegap. “Apa yang kalian inginkan sekarang?” tanyanya tajam.
Pemimpin kelompok itu tersenyum sinis. “Kami hanya ingin mengingatkanmu. Draxa akan datang, dan kali ini dia tidak main-main.”
Galang tidak menjawab. Ia hanya mengepalkan tangannya, bersiap menghadapi ancaman yang sudah pasti datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!