***
Dentuman keras musik DJ menggema mengisi seluruh penjuru ruangan sebuah club elite yang ada di pusat kota. Selain itu suasana tempat tersebut nampak sedikit remang karena lampu utama dimatikan dan digantikan dengan lampu warna warni yang menyala bergantian. Di sudut kiri sebuah ruangan vip, tampak tiga orang gadis tengah terawa riang sembari memainkan sebuah permainan disana.
Truth or dare. Bukankah itu permainan biasa? Tapi jika dimankan oleh ketiga gadis tersebut, ToD tersebut menjadi berbeda. Bedanya, ToD ini tidak seperti ToD biasa. Sebab jika mereka menolak melakukan dare atau menjawab jujur pertanyaan yang diberikan, mereka harus meminum satu sloki minuman merah pekat yang biasa disebut wine.
Sebenarnya mereka bertiga sudah sering bermain seperti ini. Mereka juga kompak mengatakan kapok dengan permaian seperti ini. Karena pada akhirnya mereka akan tepar sebab terlalu banyak minum. Namun entah kenapa mereka malah kembali memainkannya. Seolah permainan dengan peraturan seperti itu sangat nagih sekali.
"Lo semua udah ngerti cara mainnya kan? Masa iya enggak, kan udah sering main," celetuk seorang gadis berambut panjang berwarna blonde.
"Tahu. Kita berdua gak bego kayak lo."
"Bajingn sekali ya moncongnya!" rutuknya kesal.
"Udah kali, malah adu bacot. Main cepet lah," lerai temannya yang lain.
"Ya udah iye!"
Botol kosong bekas wine mereka pinjam dari meja bartender. Botol tersebut pun berputar diatas meja di depan mereka bertiga. Dengan antusias mereka melihat ujung botol ituu yang terus berputar dengan cepat, lalu lambat laun mulai melambat. Sampai akhirnya ujung atas botol tersebut mengarah pada seorang gadis berambut bop.
"Anj-, kenapa gue duluan?!" umpatnya kesal.
"Truth or dare?"
"Truth," jawabnya.
"Tumbenan banget lo milih truth."
"Ssstt, diem Ce."
"Lo pernah HS?"
"Najong! Napa nanyanya langsung begitu amat! Serasa ditodong gue!"
"Jawab!"
"Kagak lah. Gue masih perawan ting-ting. Tapi gue penasaran, kapan-kapan kayaknya gue coba deh," jawabnya santai.
"Orang gila!!" rutuk Grace.
Sebelumnya perkenalkan, gadis yang baru saja merutuki temannya itu bernama Gracellina. Berparas cantik, tubuh tinggi dan berkulit putih. Grace sapaan akrabnya, tapi lebih sering dipanggil Cece karena lebih mudah disebut. Gadis muda yang baru saja lulus kuliah. Saat ini dia sedang menganggur dan bingung harus mencari pekerjaan seperti apa.
Grace memiliki dua orang teman setia sejak berada di taman kanak-kanak. Mereka bernama Arleta Natasha dan Rea Alisya. Dua orang manusia yang selalu mengajaknya dan memaksanya untuk ikut mereka ke club. Selain hobby clubbing, keduanya juga cukup nakal. Namun anehnya Grace tidak pernah bermain sejauh kedua temannya ini. Dia masih memiliki batasannya sendiri dalam bermain dan bergaul. Yang penting tidak ketinggalan saja.
"Come on, girl. Kita udah dua puluh dua tahun loh. Masa lo gak mau main jauh kayak gue," ucap Rea penuh rayu. Memang diantara mereka bertiga, Rea lah yang sangat nakal sekali.
Namun dibalik sifat nakalnya itu, Rea tetap menjadi teman yang baik untuk Grace dan juga Leta. Meskipun sesekali dia juga mempengaruhi keduanya untuk ikut clubbing menemaninya.
"Cece mah anak baik. Dia gak mungkin terjun ke dunia lo, Re." Celetuk Leta.
"Lo juga sama kayak gue ya anjir. Bedanya belum sejauh gue!"
"Iye deh. Ngikut aja gue mah."
"Gue emang nakal. Tapi gue gak bisa senakal kalian. Kalian tahu bokap gue seremnya kayak gimana. Kalo aja gue ke gap lagi HS, bisa-bisa nyawa gue melayang detik itu juga," tutur Grace.
"Tapi kan gak ada yang tahu identitas lo yang sebenarnya, Ce. Lagian bokap lo juga sibuk banget kayaknya. Gak mungkin ketahuan lah."
"Mainnya gak gitu. Lo berdua aja yang gak tahu gimana dia kalo bertindak buat dapet info tersembunyi soal gue. Intinya bokap gue nyeremin mampus. Gue masih pengen hidup aman dan nyaman."
"Tapi menurut kalian berdua nih ya, mendingan HS sesudah atau sebelum nikah?" tanya Leta.
"Gue udah jebol, neng. Gue juga bukan penganut no s*x before marriage. Gak tahu kalian berdua gimana," timpal Serlin.
"Cece udah pasti penganutnya ini. Kalo gue belum tahu. Tapi ngomong-ngomong, diantara kita bertiga cuma Cece yang gak pernah pacaran. Dia cuma sekedar deket aja sama cowok-cowok," ucap Luna.
"Nah iya, kapan lo punya cowok, Ce?"
"Gak tahu. Gue kan udah bilang sama kalian kalo gue sukanya sama cowok yang uumuurnya dua sampe tiga tahun lebih tua dari gue. Selama ini kan yang deketin gue kebanyakan seumuran. Paling parah om-om. Ya gue gak mau lah anjir! Apalagi om-om, iuhhh!!"
"Demen yang tua tapi gak minat om-om maksudnya kek mana, Ce? Kan mereka juga umurnya lebih tua dari lo."
"Ish, maksudnya gue gak mau kalo sama om-om. Mana lagi mereka pasti udah punya bini anjir. Masa iya gue jadi pelakor. Gue cantik, gue bervalue, masa iya dapetnya om-om hidung gajah!"
"Hidung belang! Sekate-kate bawa gajah!"
Grace dan Rea terkekeh pelan mendengar ucapan Leta barusan. Mereka pun melanjutkan permainan. Botol kembali berputar cepat sampai akhirnya berhenti. Awalnya botol itu terlihat akan berhenti di depan Rea. Namun ternyata dugaan tersebut salah. Sebab botol tersebut berhenti tepat di depan Grace.
"Dare or dare?" tanya Rea.
"Gak boleh gitu. Yang bener," ucap Grace.
"Khusus lo gak ada truth ya!"
"Mana bisa!!"
"Udah, berantem mulu. Lo pilih apa?" lerai Letta.
"Truth."
"Siapa sebenarnya orang tua lo? Selama bertahun-tahun gue kenal sama lo, gue belum pernah lihat orang tua lo dan gak pernah tahu lo itu siapa," ucap Rea.
"Anjir," gumam Grace.
"Ada deh pokoknya. Kalian kan tahu ibu asuh gue, itu juga orang tua gue."
"Gak ada. Kalo lo gak mau jawab, minum sloky itu atau pilih dare."
"Gue gak mau mabok malam ini," erang Grace.
"Ya udah dare. Salah sendiri gak mau jawab jujur."
"Ya udah dare," putus Grace. Dari pada kedua temannya ini kembali mencecarnya dengan pertanyaan seperti tadi. Dia juga enggan minum malam ini.
Sebelum memberikan dare, kedua mata Rea celingukan kesana kemari. Seolah sedang mencari target. Sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang cukup tepat untuk mengerjai temannya ini.
"Lo lihat cowok itu?" tanya Rea seraya menunjuk ke arah pria yang sedang duduk dikurusi depan bartender.
"Lihat."
"Lo samperin dia, bertingkah seolah lo suka sama di-,"
"MOH! Ganti darenya!"
"Ya udah, langsung lo kiss aja itu cowok."
"Makin gila!!"
"Kalo lo gak setuju, gampang aja. Kasih tahu gue sama Letta siapa orang tua lo sebenarnya."
"Fine!!" putus Grace sembari berjalan pergi dari hadapan kedua temannya.
Melihat Grace yang menurut, Rea dan Letta pun tersenyum puas. Siapa suruh so misterius, bahkan sudah bertahun-tahun.
tbc.
im back!!! Kangen ndakk? heheh. komen-komen yup, biar aku bertahan disini wkwk
***
Grace duduk tepat disebelah pria yang ditunjuk oleh Rea tadi. Sebenarnya dia canggung dan takut melakukan hal ini. Ditambah ini juga ciuman pertamanya. Tapi bagaimana, dia juga tidak bisa memberitahu tentang siapa dirinya sekarang pada kedua temannya itu. Kehilangan first kissnya sepertinya sepadan dengan apa yang selama ini ia pertahankan, yaitu identitasnya.
Grace memesan dua minuman pada bartender di depan. Dia memesan dua gelas wine. Setelah minuman tersebut tersaji di depannya, Grace menggeser satu gelas ke hadapan pria ini.
Si pria tentu saja mengernyit heran. Tiba-tiba gadis ini duduk disampingnya dan menyodorkan minuman untuknya. Maksudnya apa?
"Minum saja. Anggap saya sedang mentraktir anda," ucap Grace.
Gadis itu menarik gelas miliknya lalu meminumnya. Meskipun dia enggan minum, tapi demi mengusir rasa canggung yang hinggap di dirinya, ia pun meminum wine tersebut sampai habis sedangkan pria yang ia berikan minuman tersebut hanya diam saja dan tidak bereaksi apa-apa. Bahkan Grace seperti dianggap angin lalu saja olehnya.
Grace berdecih pelan melihatnya. "Saya tidak suka bertle-tele. Tujuan saya datang menghampiri anda untuk ini."
Tiba-tiba Grace menarik kerah kemeja pria di depannya ini dan menyatukan bibir keduanya. Saat melakukan hal itu, Grace menutup kedua matanya. Hanya kecupan singkat saja.
Sedangkan si pria masih terdiam. Tentu saja dia terkejut dengan hal itu. Tubuh tinggi tegap yang biasanya tidak pernah bereaksi apa-apa saat ada wanita penghibur menyentuhnya, kini berubah seketika saat gadis tak diundang ini menciumnya secara tiba-tiba. Seumur hidupnya, baru kali ini ia merasakan sebuah sensasi aneh ketika tak sengaja melakukan kontak fisik dengan wanita. Sangat aneh sekali.
"Maaf karena saya lancang dan tentu bertindak kurang sopan kepada anda. Saya terpaksa melakukannya karena dare yang diberikan oleh kedua teman saya," ucap Grace sesaat setelah ia melepaskan tautan bibir keduanya.
Pria di depannya ini tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya diam saja sembari terus memandang ke arah Grace. Tatapan pria ini terlihat seperti marah pada Grace. Ya wajar saja, sebab Grace tiba-tiba menciumnya tanpa ijin. Berlama-lama ditatap seperti itu, tentu saja sangat tidak nyaman. Grace pun segera pergi dari hadapan pria itu begitu saja.
Grace kira hanya dengan meminta maaf maka semua yang ia lakukan tadi sudah selesai. Nyatanya tidak, sebab saat ia hendak melangkah pergi, tangannya ditarik dengan cukup kuat. Bukan hanya ditarik untuk berhadapan dengan pria ini, tapi pria ini juga membawanya pergi ke sebuah ruangan yang tak jauh dari sana. Ruangannya tertutup.
"HEI, SAYA SUDAH MEMINTA MAAF! LEPASKAN TANGAN SAYA," pekik Grace.
Pria di depannya ini sama sekali tidak mengindahkan ucapan Grace. Dia justru membuka kasar pintu depannya dan langsung menghempaskan tubuh Grace ke atas sofa yang ada di ruangan tersebut. Grace hanya bisa terpekik karena ulah pria ini.
"Siapa nama mu?" tanyanya.
"Anda tidak perlu tahu," ketus Grace. Ia segera bangun dari duduknya dan hendak pergi. Namun lagi-lagi pria ini menahannya. Bahkan kali ini pria ini memojokannya ke dinding yang ada disana. Kedua tangan Grace ditahan di sisi kiri dan kanan tubuhnya.
"Saya ulangi sekali lagi, siapa nama mu?" tanyanya.
"Sudah ku bilang anda tidak perlu tahu!"
Pria di depannya ini tersenyum smirk. "Kau pikir bisa pergi begitu saja setelah melakukan tindakan merugikan bagi saya? Mencium saya tanpa persetujuan, tentu saja itu termasuk tindakan kriminal!"
What the hell!!
Tindakan kriminal katanya? Grace tidak salah dengar kan? Yang benar saja!
"Sudah saya bilang, itu semua karena dare ... hmpptttt."
Bibir pink merona milik Grace langsung dibungkam begitu saja oleh pria asing ini. Gerakannya yang sangat cepat sama sekali tidak bisa terbaca oleh Grace. Tangan Grace berusaha melawan. Namun energinya lebih dulu melemah karena ia kehabisan oksigen. Ini merupakan ciuman pertama baginya, dan tentu saja Grace tidak memiliki pengalaman apapun. Dia sangat bodoh dalam hal seperti ini.
"Very sweet, just like strawberries. I like it."
***
Semua pandangan tertunduk kala tatapan tajam melayang dari seorang pria yang tengah duduk dengan gagahnya di kursi kebesarannya. Tidak ada yang berani mengangkat pandangan mereka setelah mendengar gebrakan meja yang berasal dari pria tersebut. Gebrakan mejanya memang tidak kencang, tapi tentu saja mereka tetap takut. Pasalnya yang menggebrak meja adalah bos besar mereka.
"Ada apa tuan? Kami masih belum selesai menjelaskan apa yang ingin kami jelaskan," ucap seorang pria berkepala plontos.
Orang yang menggebrak meja tersebut adalah Atlas. King Atlas Gavriel Collin. Pria itu tengah mengadakan rapat dadakan setelah mendapatkan satu informasi tentang para pekerjanya ini. Sebenarnya rapat ini juga rutin diadakan tiap bulannya, hanya saja untuk bulan ini sebetulnya rapat ini sudah digelar. Namun tiba-tiba Atlas meminta para manager dan wakil manager di perusahaan cabang miliknya datang.
"Seharusnya aku yang bertanya. Sebenarnya apa kinerja mu selama ini?" tanya Atlas.
"Maksud tuan?"
Atlas hanya diam saja dengan pandangan tajam yang sangat tidak bersahabat. Si pria berkepala pelontos itu terlihat kebingungan, karena memang dia tidak tahu apa maksud bosnya ini.
Atlas tipekal orang yang malas bicara banyak. Makanya dia langsung menekan tombol di remote yang ada disampingnya. Remote itu langsung menampilkan sebuah gambar yang ada di layar proyektor didepan mereka.
"T-tuan, saya tidak seperti ini. Ini pasti salah paham. Saya tidak mungkin berhubungan dengan perusahaan Marvin," ucapnya.
"Kembalikan semua tunjangan yang diberikan perusahaan dan kemasi barang-barang mu. Mulai besok kau tidak perlu bekerja lagi," putus Atlas sembari bangkit dari duduknya dan pergi dari sana.
"TUAN. INI SEMUA TIDAK BENAR, SAYA TIDAK MUNGKIN MENGKHIANATI ANDA!!" pekiknya sembari berusaha mengejar Atlas.
Namun sayangnya para bodyguard langsung menahan pria itu agar tidak berhasil mencegah Atlas pergi. Sebenarnya Atlas juga cukup menyayangkan pemecatannya ini pada pria plontos itu. Tapi dia sudah berkhianat padanya dan informasi tentang hal itu juga sesuai denga fakta dan kenyataan. Bahkan Atlas juga memiliki buktinya.
Foto yang ditampilkan di proyektor itu adalah foto pria plontos itu ketika dia bertemu beberapa kali dengan pria bernama Marvin. Marvin merupakan rival bisnisnya yang sejak dulu selalu berusaha menjatuhkan perusahaan Atlas. Namun sayangnya, sampai detik ini usaha Marvin selalu berakhir sia-sia.
"Tuan besar meminta anda menemuinya di kantor. Beliau sudah menunggu anda," ucap Daren, asisten Atlas.
Atlas menganggukan kepalanya. "Siapkan saja mobilnya. Dan cari tahu beberapa klien kita yang pergi pada pria itu. Apakah mereka menerima kerja samanya atau tidak."
"Baik tuan."
Atlas pun segera masuk ke dalam mobil miliknya yang ternyata sudah terparkir dan siap untuk membawanya pergi ke tempat tujuan.
tbc.
gimana-gimana? Masih dalam proses review ya
***
Sebenarnya Atlas sudah tahu tujuan papanya memanggilnya ini apa. Sebab sebelumnya papanya sudah memberikan warning padanya. Tapi Atlas selalu mengabaikan hal itu. Sebab Atlas memang belum memiliki pikiran menuju ke hal sana. Dan bukan hanya papanya saja yang menginginkan hal tersebut, tapi mamanya juga. Rasanya beban terberatnya saat ini bukan soal kerjaan, tapi soal kemauan mama dan papanya.
Atlas berjalan memasuki area kantor milik papanya. Dari lobby sampai ke lift, tak henti-hentinya ia mendapatkan sapaan dan juga senyuman dari karyawan wanita. Sementara karyawan pria hanya menundukan sedikit kepalanya sembari memberi hormat. Wajar, sebab ini Atlas. Anak kandung pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Atlas sendiri tidak menjawab sapaan itu dan hanya cuek saja. Covernya memang seperti itu sejak dulu sampai detik ini.
Bukan hanya wanita yang ada di kantornya atau pun kantor papanya, wanita yang ia temui diluar saat ada pertemuan dengan klien pun selalu seperti itu. Bahkan tak jarang dia juga selalu mendapatkan undangan dari model-model papan atas. Sayangnya Atlas tidak pernah datang ke undangan tersebut. Toh dia juga tidak mengenalnya.
Tok.. tok... tok.
"Masuk."
Atlas pun segera membuka pintu besar yang ada di depannya lalu masuk. Disana papanya tengah berdiri menghadap ke arah jendela yang langsung menampakan pemandangan indah tengah kota.
"Ada apa dad?" tanya Atlas.
"Bagaimana dengan tikus-tikus di kantor mu? Apakah mereka sudah kau tangani?" tanya Arman. Ayah kandung Atlas, pemilik Collin's Group.
"Sudah. Hal itu tidaks sulit bagi ku," ucap Atlas seraya duduk di kursi yang ada di depan meja kerja sang ayah.
"Langsung ke intinya saja, dad. Aku tidak suka bertele-tele."
Arman tersenyum tipis mendengar ucapan sang anak. Sifatnya sebelas dua belas dengannya. Bahkan sepertinya gen-nya menurun dengan baik pada Atlas. Buktinya dari ucapan, tingkah, bahkan sifat sangat mirip sekali dengannya. Istrinya sendri tidak kebagian apa-apa. Bahkan wajah Atlas mirip sekali dengan Arman. Hanya saja Atlas ini versi muda dari Arman.
"Pernikahan. Jika kamu tidak mampu menikah dalam waktu dekat ini, terpaksa kerja sama yang kamu inginkan tidak akan pernah terjadi. Dan lagi, dad tidak akan memberikan sedikit pun harta dan aset milik dad kepada mu," tutur Arman.
Sudah Atlas duga. Papanya ini memang selalu tegas dan tidak pernah goyah. Sejak dulu selalu keras padanya.
***
Setelah kejadian di club kemarin, Grace sedikit banyak diam dibanding biasanya. Dia bahkan selalu termenung sendirian di rumahnya ini. Hal itu tentu saja disadari oleh ibu asuhnya, yaitu ibu Lita.
"Nak, kamu ini kenapa? Dari kemarin ibu lihat kayaknya cuma diem aja? Bahkan kamu makan gak bener. Ada masalah?"
Grace terkesiap mendengar suara sang ibu. Ia pun tersenyum kecil dan berjalan mendekat ke arah sang ibu dan memeluknya.
"Gak papa, bu. Cece oke kok."
"Beneran?"
Grace menganggukan kepalanya mantap. "Iya. bu. Cece gak papa kok. Beneran."
"Ya sudah kalau begitu. Makan sana, udah hampir siang ini. Kamu belum makan kan dari pagi?"
"Iya bu."
Grace pun berjalan menuju ke meja makan. Tentunya bersama dengan sang ibu. Dengan telaten dan penuh sayang, ibu Lita memberikan nasi beserta lauk pauknya untuk Grace. Grace memang sudah terbias dengan hal ini. Dia justru senang dengan perhatian seperti ini.
"Ngomong-ngomong, kamu beneran mau kerja diluar? Kamu gak perlu kerja pun, hidup kamu bakalan tetap tercukupi."
Beberapa hari yang lalu Grace memang sempat mengatakan jika dia akan mencari pekerjaan. Awalnya Lita sempat terkejut, karena setahu dia orang itu tidak akan membiarkan anak ini bekerja sembarangan. Tapi menimbang kembali, Grace sangat gigih terhadap apa yang ingin dia dapatkan. Jadi sepertinya larangan orang itu tidak akan berpengaruh apa-apa.
"Kayaknya iya, bu. Tapi Cece belum tahu kerja dimana, udah si apply beberapa lamaran ke perusahaan hedon. Ya semoga aja keterima."
"Baylee Corp, kamu melamar kesana juga?"
"Ya nggak, bu. Sama aja nyerahin nyawa."
Lita terkekeh pelan mendengar ucapan anak ini. Dia memang berbeda sekali dengan kedua orang tuanya. Untungnya dia selalu diberi kebebasan untuk memilih.
"Ya siapa tahu. Tapi kali ini ibu gak bisa bantu apa-apa kalo sampe orang-orang itu tahu. Kamu harus menghadapinya sendiri."
"Ibu," rengek Grace.
"Kamu sudah besar. Sudah lama loh, seharusnya sejak dulu publik tahu siapa kamu."
"Malas, nanti jadi seleb. Kan gak bisa hidup enak kalo kayak gitu."
"Ibu tahu. Tapi bagaimana pun kamu harus tetap kembali sama jati diri kamu yang sebenarnya."
"Iya bu. Kalo gitu nanti sore Cece mau keluar, boleh? Ada janji sama temen-temen Cece."
"Siapa? Rea sama Leta?"
Grace menganggukan kepalanya. Dia memang sudah membuat janji dengan kedua manusia itu di sore nanti. Kebetulan sudah beberapa hari dia tidak bertemu dengan mereka.
"Ya sudah hati-hati. Ibu juga ada janji sama Arsy. Maunya dia kamu ikut, tapi ketemunya diluar. Takutnya malah keciduk, nanti kamu ngambek katanya."
"Ya bagus kalau beliau tahu dan mengerti. Bilang aja nanti aku yang temuin mereka di rumah."
"Okay sayang."
***
Atlas memijat pelipisnya pelan. Pertemuan terakhir dengan papanya sedikit mengusik pikirannya. Bahkan hal itu terus menganggunya beberapa hari ini. Atlas sudah mencoba mengabaikannya, tapi tetap saja hal itu nyangkut di kepalanya.
Atlas tentu saja mempermasalahkan soal kerja sama, bukan soal warisan. Karena dia juga sudah memiliki segalanya. Yang dia inginkan hanya kerja sama itu. Tapi papanya sangat sulit sekali memberikan jalan. Atlas tahu, papanya seperti ini karena masih kesal dengannya di masa lalu.
Waktu itu Atlas diminta menjadi direktur utama di perusahaan Collin's Corp. Tetapi dia menolaknya karena dia ingin mendirikan perusahaannya sendiri. Yaitu perusahaannya sekarang, Atlas Group.
Sebenarnya Atlas Group juga tidak kalah besarnya dengan Collin's Corp. Hanya saja eksistensi Collin's Corp berada diatas Atlas Group. Makanya Atlas sangat ingin sekali kerja sama itu. Belum lagi setelah bekerja sama dengan perusahaan papanya, dia bisa dengan mudah menjalin kerja sama dengan Baylee Corp.
Tapi masalahnya disini, dia harus menikah dulu baru papanya akan memberikan kerja sama itu. Dan hal itu menjadi beban karena awalnya Atlas sudah berikrar tidak akan menikah sampai kapan pun.
"Tuan," panggil Daren.
"Ini daftar beberapa wanita yang berasal dari keluarga terpandang. Sala satunya anak dari keluarga Baylee. Hanya saja saya tidak bisa menemukan identitasnya."
"Keluarga Baylee memiliki anak perempuan?"
Daren menganggukan kepalanya. "Iya. Tetapi tidak ada satu pun yang tahu soal anak itu. Baik media atau pun publik. Keluarga Baylee sepertinya sengaja menutupinya."
tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!