Arya mengemasi barang-barang di mejanya. Dilihatnya jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 5 sore.
"Waduh, telat. Jangan-jangan kehabisan nih", ucapnya pada diri sendiri.
Segera dipakainya jaket kulit ala geng motor, warisan dari abangnya yang kini sudah memiliki penata gaya pribadi, isterinya.
"Zack, gue duluan ya. Gambar detail fasadnya gue kirim ntar malam aja. Gue ada urusan penting nih, menyangkut ketahanan negara",
Yang ditegur hanya mencibir dengan mata yang masih setia menatap layar komputer di depannya.
"Halah, lagaknya kayak anggota badan intelejen aja lo", itu Zaki, teman satu ruangannya.
Seperti menyadari sesuatu, Zaki kemudian menatap Arya tajam.
"Beneran ya! Awas kalo gak. Sudah dikejar-kejar Bang Irwan dari kemarin nih. Capek gue!"
"Ajakin ngopi aja kali, biar istirahat dulu. Entar kalo sudah gak capek lagi, lo berdua bisa lanjutin kejar-kejarannya", Arya menyahut asal sambil tertawa.
"Somplak lo! Gue serius nih. Awas kalo sampai lo PHP", kali ini Zaki menatap tajam sambil mengarahkan telunjuknya ke Arya.
"Siap bos! Don't worry. Kapan sih gue pernah PHP ke elo?!", Arya mengambil helmnya yang terlihat mengkilap tanpa lecet.
"Pertanyaan lo salah. Harusnya, kapan sih gue pernah gak PHP ke elo"
"Udah, lo cepetan pergi sana. Malah gangguin gue kerja lagi", Zaki mulai jengah dengan kelakuan Arya dan memilih kembali menatap layar di depannya.
"Sori.. sori.. Iya deh, gue cabut dulu. Assalamualaikum.."
"Wa'alaikumussalam", sahut Zaki sambil mengibaskan tangannya seolah mengusir Arya supaya secepatnya pergi dari situ.
Arya yang melihatnya hanya tersenyum kemudian keluar dari ruang kerjanya.
Di lobi kantor dia berpapasan dengan Irwan. Most wanted bujangan yang merupakan salah satu manajer proyek di perusahaan konsultan arsitektur tempatnya bekerja sekarang. Pria usia 31 tahun itu masih betah melajang karena terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain. Maksudnya, urusan proyek pimpinan di kantor ini.
Sementara Arya sendiri, sarjana arsitektur yang telah memasuki tahun ketiganya bekerja selaku staf arsitektural di bawah Irwan.
"Zaki masih ada Ar?"
"Ada bang, ada. Kayaknya dia lagi nungguin abang tuh", Arya masih tak puas mengerjai Zaki.
"Oh ya? Bagus kalau begitu", Irwan kemudian menaiki tangga menuju ke ruang kerja mereka.
Arya sontak berlari keluar menuju parkiran dan segera menyalakan motornya.
Tiba-tiba..
"Arya... Somplak lo!", terdengar teriakan Zaki dari jendela di lantai dua yang memang sudah diperkirakan Arya.
Arya hanya tertawa puas, lalu melajukan motornya menuju ke warung pecel lele beberapa ratus meter dari kantornya.
"Aduh... Sudah tutup. Habis deh gue, bakal kena setrap nih", panik ia menatap warung yang cuma tinggal spanduknya yang masih membentang.
Dengan lesu akhirnya dia kembali melajukan motornya.
Saat berhenti di lampu merah, motor Arya bersebelahan dengan sebuah mobil sport keren keluaran Perancis yang kalau ditengok bagian depannya mengingatkan dia dengan moncong ikan.
Arya yang tengah mengagumi keindahan mobil itu tersentak ketika kaca mobil itu turun dan menampilkan keindahan lain di dalamnya. Arya seketika meluruskan pandangannya, takut memandang yang tidak layak untuk dipandang.
"Boleh kenalan gak?", tanya salah seorang gadis di mobil itu. Ya, ternyata bukan hanya satu, tapi ada dua.
Arya hanya melirik dan mengangguk sopan tanpa kata-kata.
"Aku Nola, dan ini Yuna"
Arya kembali mengulang gerakannya. Kedua gadis itu mengerutkan dahinya.
"Nama kamu siapa?"
Arya kembali hanya mengulang gerakannya.
"Eh, lu gagu ya? Manggut-manggut gitu aja dari tadi", gadis itu kini sudah kesal.
Dan Arya pun sekali lagi mengulang gerakannya beberapa saat sebelum lampu merah berganti warna.
Arya memacu motornya segera menjauh dari mobil itu.
"Ya Allah.. tolong lindungi mata dan hati hamba. Tuh mobil keren banget! Bisa-bisa malah jadi gak bersyukur sama ni motor", ucapnya lirih.
Hampir tiga puluh menit lamanya ia berkendara sampai akhirnya tiba di rumah. Rumah dua lantai bergaya arsitektur tropis, dengan pekarangan rumput yang luas dan pepohonan yang lumayan rimbun. Di depannya terparkir dua buah mobil. Sebuah SUV hitam dan sebuah city car abu-abu yang tengah di lap-lap dengan cermat oleh seseorang.
"Assalamualaikum mang, betah banget ngelapnya?", Arya menyapa orang itu yang merupakan sopir ayahnya.
"Wa'alaikumussalam mas. Baru pulang?", balas Sapta ramah dengan senyum khasnya yang berhias kumis tipis.
"Gak kok, baru mau berangkat", Arya menjawab asal.
Sapta mengernyit.
"Ya Mang Sapta gimana sih?! Orang jelas-jelas Arya baru pulang"
Sapta jengah.
"Saya ini orang Indonesia mas. Jadi nyapanya ya gitu. Kalo mas gak suka, silahkan keluar dari Indonesia", Sapta kemudian kembali ke kegiatannya semula.
"Cie.. gitu aja ngambek. Tapi rasanya pernah denger kalimat kayak gitu deh. Tapi dimana ya?"
"Loh, kok malah ngelamun. Gak masuk mas? Ditungguin ibu tuh dari tadi...", Sapta akhirnya harus menyadarkan Arya dari lamunan tak perlu.
"Eh, iya mang. Maaf, soalnya ucapan mamang tadi sangat inspiratif. Saya jadi terinspirasi",
Sapta memandang Arya dengan tatapan bingung. Anak majikannya yang satu ini memang agak lain.
Arya kemudian turun dari motor lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, Arya langsung menuju dapur dan mengambil air minum di kulkas.
"Mas, Mas Arya. Sini deh, coba lihat ini", Ratih, asisten rumah tangga ibunya yang merangkap pasangan jiwa Sapta tergopoh-gopoh menghampiri Arya sambil membawa ponselnya.
"Apaan sih bik?", Arya mengernyit.
Di layar ponsel Ratih terpampang foto Arya tengah tersenyum lebar, duduk di atas motor lengkap dengan segala atribut wajibnya saat berangkat kerja.
"Kok ada foto saya bik? Dapat darimana? Atau... Jangan-jangan bibik nguntit Arya ya?! Diam-diam naksir kan.. awas lho, Arya bocorin ke Mang Sapta baru tahu", ancam Arya.
Telapak tangan Ratih mendarat dengan cepat dan cermat di lengan Arya demi mendengar ucapan itu.
"Mas Arya ini ngomong apa toh? Lagian kalo benar bibik nguntit Mas Arya, fotonya kan candid gitu. Lah, ini fotonya menghadap kamera gini kok", Ratih protes tak terima dengan tuduhan Arya yang mengada-ada.
"Terus dapat darimana?", Arya bingung sambil mengingat-ingat sendiri kapan dia mengambil foto itu.
"Itu dikirimin sama Monik, itu lho.. ART nya Bu Dwi. Dia dapat dari novel online"
"Hah? Novel online? Ngapain saya ke situ bik? Eh, maksudnya kenapa foto saya sampai ada di situ?", Arya jadi tambah bingung.
"Foto mas dipakai authornya jadi ilustrasi tokoh novelnya. Pasti dia dapat dari medsos lalu semaunya nyomot buat dipasang di novel", tuduh Ratih yang sepertinya memang benar adanya.
"Tapi kayaknya saya gak pernah pasang foto beginian di medsos bik. Siapa yang posting ya?"
Ia lalu mengambil ponsel Ratih dan mengamati latar foto itu. Kemudian ia seperti teringat sesuatu.
"Oo... Saya ingat bik. Ini waktu saya singgah ke warungnya Pak Yayan mau beli koyo gara-gara malam sebelumnya keseleo habis main futsal. Terus, Pak Yayan bilang kalo hari itu saya bisa dapat koyo gratis sebagai pelanggan yang ke 100. Dan dia minta foto saya buat dokumentasi"
Ratih menanggapi dengan raut muka yang seolah berkata, masa sih?
"Iya bik.. Arya juga tahu itu gak masuk akal. Tapi lumayan kan dapat koyo gratis cuma modal difoto doang, ya gak?", ujarnya seraya tersenyum sambil menaikkan alisnya.
"Halah.. paling itu akal-akalan si Echa anaknya, yang dari jaman dia masih orok sudah naksir Mas Arya"
"Eh, berarti tu bocah dong yang posting foto saya ke medsos? Aduh.. gak ijin lagi", Arya menggaruk kepalanya.
"Tapi bik, novel apaan sih. Kok sampai saya jadi modelnya. Kalo yang dipasang foto begitu, pasti tentang anak geng motor atau bad boy gitu kan?", ucapnya dengan percaya diri.
"Sebentar", ucap Ratih lalu menggeser-geser tampilan layar ponselnya.
"Ini nih, judulnya Petualangan Gadis Tangguh dan Pemuda Manja" Ratih menunjukkan layar ponselnya ke Arya yang menampilkan novel yang dimaksudnya.
"Hah? Pemuda manja? Keterlaluan banget sih! Gimana ceritanya tampilan sangar begitu malah dibilang manja?!", Arya tak terima, harga dirinya terasa diinjak-injak.
"Ya suka-suka authornya lah mas. Mungkin karakternya dianggap sesuai dengan tampilan mas"
"Enak aja.. sesuai dari Hongkong", Arya mengumpat kesal.
"Terus yang jadi gadis tangguhnya memangnya benar-benar terlihat tangguh?", Arya masih tak terima dan berharap penulis itu benar-benar tak becus dalam memilih foto.
"Ini yang jadi ceweknya mas", ucap Ratih seraya menunjukkan foto seorang gadis.
Arya terdiam sebentar melihat foto itu. Seorang gadis berhijab biru, dengan kulit cerah dan mata yang tajam.
"Cuantik bener ya mas? Mukanya juga mirip lho sama Mas Arya"
Ucapan Ratih menyadarkan Arya dari lamunannya yang entah memikirkan apa.
"Hadeuh.. kenapa saya sampai bisa jadi obyek halu para pembaca novel online sih bik"
Arya lalu seraya menyerahkan ponsel Ratih. Tapi dalam hatinya tak bisa memungkiri perkataan Ratih tadi.
"Udah deh bik, gak penting gitu juga. Arya mau ke kamar dulu"
Ia kemudian berlalu menuju tangga ke lantai atas.
"Arya... Mana pecel lele bunda?", tiba-tiba terdengar suara dari arah kamar tidur di lantai satu.
Langkah Arya seketika terhenti dan wajahnya meringis.
Dilihatnya seseorang tengah berjalan keluar dari situ. Itu adalah Aisyah Muthmainnah, ibunya.
"A.. anu bunda, warungnya tutup. Mungkin lelenya masih pada cuti, jadinya gak bisa digoreng..", jawab Arya asal sambil tersenyum memelas, takut akan tanggapan ibunya.
"Kamu lagi sibuk banget ya? Ya udah, besok-besok juga gak papa"
Aisyah kemudian berlalu menuju halaman belakang.
Arya jadi bingung, kemudian menatap Ratih minta penjelasan atas kejadian di luar nalar barusan.
"Ibu lagi sedih, bapak mau pergi satu minggu ke Jambi ngisi seminar di sana", ucap Ratih.
"Ya ampun.. kaya ABG baru jadian aja. Satu minggu aja kali"
"Bukan masalah satu minggunya Ar...", teriak Aisyah dari halaman belakang.
"Ayah perginya rombongan, terus Viona juga ikut" suaranya terdengar sedih.
Arya terkekeh, mendengar ibunya keberatan kalau ayahnya harus pergi bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA.
"Cemburu nih ceritanya? Ya udah, bunda ikut aja", usul Arya seraya menyusul ibunya ke halaman belakang.
"Gak ah, nanti ayahmu ge er kalau tahu bunda ikut karena cemburu"
Arya hanya melengos. Ya sudah lah, terserah. Perempuan memang gak pernah ada yang pas, apalagi kalau perempuan itu adalah ibunya.
Selesai mandi, Arya mulai membuka dan menghadapi layar laptopnya. Sembari menunggu waktu magrib, dia berencana melanjutkan pekerjaannya agar bisa memenuhi janji pada Zaki. Tapi ingatannya kembali pada perempuan tangguh di novel online tadi. Sontak tangannya meraih ponsel lalu mengunduh aplikasi novel tersebut.
Setelah berhasil masuk, Arya menuliskan judul yang ia cari. Novel yang dimaksud muncul dan saat dibuka, terpampang fotonya yang diikuti oleh foto gadis hijab biru.
Entah mengapa dia begitu penasaran. Apa dia tertarik dengan gadis itu? Mungkin. Dan jujur saja ia ingin tahu lebih tentangnya.
Diambilnya screenshot foto itu untuk melakukan pencarian lewat gambar. Dan dari beberapa hasil yang tampil, tak ada yang terhubung ke medsos gadis itu. Seolah fotonya itu satu-satunya yang ada di Internet.
Sejurus kemudian, Arya seperti tersadar kemudian segera menutup dan menjauhkan ponselnya seraya menggelengkan kepala.
Dan selanjutnya dia membuka aplikasi menggambar di laptopnya dan larut dalam pekerjaannya.
***********
"Mas Zaki, aku disuruh Bang Irwan minta gambar kerja struktur atap gedung serbaguna kemarin" Tiara, staf bagian estimasi anggaran biaya pembangunan, masuk ke dalam ruangan tim Irwan.
Suaranya saja yang terdengar tanpa terlihat gerakan mulutnya yang tertutup cadar.
"Aduh.. yang benar aja Ra. Baru juga dua hari bisa kerja kalem, sekarang kok dikejar-kejar lagi sih?!", Zaki memelas.
"Ya gimana? Aku kan cuma disuruh".
"Kenapa sih cewek-cewek semuanya pada manut gitu sama Bang Irwan?", Zaki kesal karena merasa didesak.
"Lo ngiri ya Zack? Tapi kayaknya cakra lo masih kalah terang dibanding Bang Irwan. Masih kelap-kelip", Arya menimpali seraya terkekeh menyebalkan.
"Apa an sih lo, kok malah ngebuli gitu. Lagian ini semua juga gara-gara lo yang bikin desain atap jumpalitan begitu. Kan gue jadi susah ngitungnya".
"Lah, kok malah gue yang disalahin. Itu image gue Zack, kalo jelek siapa yang dapat bulian? Gue juga kan?"
"Aduh.. kok kalian berdua malah ribut sih? Ini yang aku minta jadinya gimana?" Tiara akhirnya menengahi.
"Yang dinding sama lantai emang sudah selesai?".
"Sudah dari kemaren. Makanya hari ini disuruh ngitung atap, biar cepat selesai".
"Sudah?! Cepet amat. Kalem dikit dong kerjanya", protes Zaki semaunya.
"Lho, aku kerjanya biasa aja kok. Gak cepet-cepet juga"
"Maksud Zaki itu, kamu ritmenya dibikin lebih slow lagi Ra. Menyesuaikan kemampuan dan kelambatan Zaki, gitu..", Arya masih tak mau ketinggalan.
"Eh, lo ga usah ikutan ngomong ya kalau gak mau jadi bebek penyet. Omongan lu gak mencerahkan".
"Ya secara gue bukan motivator, wajar lah..", mulut Arya gatal untuk tak menyahut.
"Stop, stop. Jadi kapan nih gambarnya bisa aku ambil? Biar nanti kalo Bang Irwan nanyain aku bisa jawab" kini Tiara yang jadi kesal dengan kedua orang di hadapannya.
"Eh, maksud lo biar bisa ngadu ke Bang Irwan kalo kerjaan gue belum selesai, gitu?"
"Auk ah. Terserah Mas Zaki. Pokoknya aku tunggu secepatnya. Kalau sudah selesai, tolong kirim ke E-mail ku", ucap Tiara sengit seraya meninggalkan ruangan.
"Mampus lo, diomelin ninja. Untung gak dilempar kunai" Arya tak tahan hanya diam.
"Nih, kunai nih..", sahut Zaki sambil mengacungkan penggaris siku besar ke arah Arya yang hanya tertawa cekikikan.
Tak berapa lama kemudian, Irwan masuk ke ruangan itu dan duduk di kursinya dengan wajah kuyu. Entah lelah, sedih, atau malah mengantuk.
Zaki tak ingin menyapa, takut dimintai konfirmasi pekerjaannya yang jalannya sudah seperti motor butut lagi sekarat.
"Lesu amat Bang?", Arya yang menyapa.
Irwan hanya menatapnya sebentar kemudian menghela nafas. Meski begitu, bujangan yang every year selalu jadi of the year itu tak kehilangan karismanya. Itulah yang membuat banyak wanita jadi macam ikan hidup di jauhkan dari air. Klepek-klepek.
"Gak papa kok. Gimana perkembangan proyek gedung serbaguna?"
Zaki melengos dalam hati.
"Aman bang, Insya Allah akhir minggu ini juga sudah rampung", Arya menjawabnya tanpa kesepakatan yang disambut Zaki dengan pandangan melotot.
"Baguslah kalau begitu. Zaki, kalau perlu bantuan, bilang ke saya ya", tawar Irwan seolah paham situasi Zaki.
Zaki hanya mengangguk sungkan. Ia tak ingin dianggap tak kompeten walaupun sebenarnya ia merasa kewalahan dengan beban pekerjaannya.
"Bang, belum ada tambahan personil teknik sipil nih? Kasian Zaki kalo harus menghandle perhitungan struktur sendirian".
Zaki melirik ke arah Arya. Dia tak menyangka rekannya itu ternyata punya perhatian terhadap kesulitannya.
"Itu... Sebenarnya ada sih. Kemarin ada lamaran masuk dengan kualifikasi itu dan cukup berpengalaman. Hanya saja kukira kita tak memerlukannya jadi dia dimasukkan ke timnya Pak Nandar".
"Lho.. kok Bang Irwan gak ambil sih?! Bukannya dari kemarin-kemarin kita memang sudah nyari?", protes Arya.
"Ya.. gimana ya? Kayaknya aku lupa. Maaf. Nanti aku cari lagi, dan minta langsung dimasukkan ke tim kita".
Terlihat ada rasa menyesal di mata Irwan.
"Iya bang, gak papa. Sementara biar saya yang handle sendiri dulu. Tapi ngejarnya jangan cepat-cepat ya, ntar saya ngos-ngosan habis nafas, terus mati. Nanti siapa yang ngasih makan isteri sama bayi saya?"
"Ya suami barunya lah.. gitu aja bingung", celetuk Arya asal.
Dan akhirnya kunai itu terlempar juga dari tangan Zaki. Untungnya Arya berhasil menghindar.
**********
Irwan tengah duduk di salah satu kursi di ruang meeting. Matanya mencuri pandang ke arah sosok di seberang meja. Intan, wanita cantik usia hampir 30 tahun. Dengan outfit casual dipadu hijab simpel, siapa pun yang melihatnya pasti sepakat kalau Intan adalah wanita yang benar-benar menarik. Pembawaannya yang ramah dan percaya diri akan membuat pria manapun jatuh hati. Singkat kata, dia adalah Irwan versi wanita.
Tak percaya? Lihatlah Arya dan Zaki yang kini juga jadi salah tingkah tak jelas hanya karena mendengar Intan memperkenalkan diri. Yang mengejutkan mereka adalah, Intan menyebut kalau Irwan dulu adalah seniornya di sekolah tinggi teknik ternama di tanah air.
Sontak dua pasang mata itu melirik ke arah Irwan yang kini terlihat tersenyum salah tingkah. Ada apa ini? Apa Irwan sudah kehilangan cakra penangkal wanitanya? Atau cakra Intan yang terlalu kuat hingga mengalahkan pertahanan Irwan?
Setelah perkenalan singkat itu, meeting dilanjutkan dengan evaluasi beberapa proyek yang sedang berjalan.
Saat meeting berakhir, Arya segera berdiri karena perutnya sudah merengek-rengek minta diisi.
"Zack, makan siang yuk".
"Bentar, gue mau ngirim file ke Tiara dulu".
"Nanti aja kali, cepetan! Gue sudah busung lapar nih", Arya merengek tak sabar.
"Iya, bentar lagi juga selesai, gak sabaran amat sih lo".
Setelah urusan Zaki selesai, mereka berdua segera beranjak dari ruang meeting.
Di lobi, mereka melihat Intan sedang berbincang akrab dengan Tiara. Bahkan sepertinya terlalu akrab.
Setelah beberapa saat, Intan berlalu menuju ruangannya dan meninggalkan Tiara di sofa ruang tunggu.
"Woi, Shinzo Hattori. Mau ikut makan bareng kita gak?".
Tiara cemberut dipanggil begitu oleh Arya, hanya saja sekali lagi tak ada yang melihatnya.
Ia kemudian beranjak mengikuti dua lelaki di depannya karena memang dia juga sudah lapar.
"Kamu kenal Mbak Intan sebelumnya?", tanya Zaki penasaran dengan interaksi Intan dan Tiara di lobi tadi.
Tiara mengangguk sambil menyibak sedikit cadarnya dengan hati-hati untuk menyuap makanannya.
"Mbak Intan itu kakakku", Tiara hanya menyahut santai.
Sementara dua orang di hadapannya menganga.
"Serius? Kakak kandung?", tanya Arya tak yakin.
Tiara hanya mengangguk.
"Kok kamu kecil, gak kaya Mbak Intan?".
Tiara melotot tak terima, dan tentu saja itu jelas terlihat.
"Maksud Mas Arya apa? Aku anak pungut, gitu?", protesnya.
"Ya siapa tahu.. Makanya aku nanya".
Tiara menyerah, sudah paham dengan tabiat dua makhluk di depannya.
"Mbak Intan cantik banget ya Ra, berarti kamu juga dong. Secara kakak adik kan?", kini Zaki yang penasaran.
"Woi, ingat tuh yang di rumah. Main puji cewek lain aja lo".
Arya mengingatkan, tapi Zaki malah tertawa cekikikan.
"Aku gak mau ngaku-ngaku loh. Lagian dari kecil banyak yang bilang kalau kami berdua gak terlalu mirip".
"Nah... Tu kan? Ukuran beda, tampilan beda. Kamu yakin kamu bukan anak pungut Ra?"
"Mas Arya.. please deh. Aku kecil karena ibuku ukurannya juga S. Masa iya aku harus tes DNA dulu sih. Terserah, mau percaya atau gak", Tiara menyerah.
"Dia kenal sama Bang Irwan juga kan? Jangan-jangan mantan terindah nih" Zaki tertawa diikuti Arya, tapi tidak dengan Tiara.
Dia hanya menghela nafas.
Melihat itu, kedua lelaki itu sontak terdiam dan berdehem. Mereka tahu kalau Tiara sepertinya juga menaruh hati pada Irwan. Lagipula wanita mana yang tidak?
"Gak mungkin kali Zack, orang perempuan di kampusnya kan bejibun. Mana mungkin bisa kebetulan begitu. Ya kan Ra?", Arya berusaha menetralkan suasana canggung.
"Memang begitu kok. Memang Bang Irwan dan Mbak Intan dulu pacaran".
Arya dan Zaki sontak ternganga lagi.
"Beneran nih Ra?", tanya Zaki tak percaya.
Tiara mengangguk.
"Mereka pacaran sampai Mbak Intan lulus. Lalu Bang Irwan pengen melanjutkan magisternya ke Inggris. Dia kemudian ngajak Mbak Intan menikah supaya bisa dia boyong ke sana. Tapi Mbak Intan menolak"
"Kenapa?", tanya Zaki, berharap Tiara mau melanjutkan ceritanya.
"Lo yang kenapa Zack, kepo banget urusan orang", Arya merasa kesal dengan sikap Zaki.
Tapi sepertinya Tiara tidak keberatan memberi tahu mereka.
"Karena Mbak Intan gak bisa ninggalin aku sendirian. Sebab disini cuma ada kami berdua dan gak ada yang bisa menjaga aku selain dia", mata Tiara berkaca-kaca.
"Mbak Intan mengesampingkan perasaannya demi aku. Aku yang menyebabkan mereka gak bisa menikah", kini Tiara sudah mulai terisak.
Sadarlah mereka bahwa Irwan tak kunjung menikah karena tak bisa move on dari Intan.
"Maaf ya Ra, kita malah jadi bikin kamu sedih. Tapi kalau bisa distop dulu ya Ra, nangisnya. Takutnya kita dituduh yang lain ngapa-ngapain kamu", bujuk Arya hati-hati.
Tiara kemudian menyeka air matanya, seolah membenarkan ucapan Arya.
"Ehm.. ngomong-ngomong.. Mbak Intan nya sudah nikah belum Ra?", tanya Zaki yang entah mengapa dengan gaya sedikit malu-malu.
Arya tak percaya pertanyaan itu keluar dari mulut Zaki.
"Ya ampun Zack.. lu keterlaluan amat. Ngapain lu nanya-nanya gitu? Mau poligami? Walaupun itu diperbolehkan di mata agama, tapi belum tentu di mata isteri lo kan?".
"Apa an si lo?! Nyambar aja kayak bensin. Gue nanyain Mbak Intan bukan buat gue kali. Tapi buat Bang Irwan. Kasian tuh, sudah hampir jadi bujang lapuk gitu belum nikah juga".
Arya terdiam kemudian manggut-manggut tanda paham maksud Zaki.
"Gimana Ra?", tanya Arya.
"Ya. Apanya Mas?!", Tiara sepertinya sempat blank karena melamun entah memikirkan apa.
"Mbak Intan sudah nikah belum?".
"Mm..maksudnya? Oh, Bb..belum. Belum kok mas, Mbak Intan belum nikah. Ehm.. Mas Arya.. naksir sama Mbak Intan ya?", tanya Tiara ragu-ragu.
Arya dan Zaki sekali lagi melongo.
"Waduh, ni anak tadi habis traveling kemana? Kok jadi gak nyambung gini ngomongnya?".
Arya mendengus kesal, sementara Zaki menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita berdua ini mau menyatukan kembali mahligai cinta yang pernah terputus antara Bang Irwan dan Mbak Intan Ra.. Makanya nanya Mbak Intan sudah nikah apa belum? Kalau belum, berarti masih ada kesempatan buat Bang Irwan", terang Zaki yang tumben bisa sabar.
Tiara terdiam sejenak.
"Ya gue juga ngerti Ra, kalau lu termasuk fans fanatiknya Bang Irwan. Tapi jujur, pas tadi meeting baru kali ini gue ngelihat pandangan Bang Irwan seperti itu sama seorang cewek. Cinta gak bisa didustakan Ra".
"Mas Zaki ngomong apaan sih? Siapa juga yang naksir Bang Irwan", Tiara merasa kesal dengan tuduhan Zaki.
"Bilangnya aja gak naksir, tapi kalau Bang Irwan ada perlu, sambutannya manis.. banget kaya gulali. Lah giliran kita, dapat tumis pare campur daun pepaya", kini malah Arya yang kembali menuduhnya, diangguki Zaki dengan mantap.
"Iih.. kalian maunya apa sih? Kok malah mojokin aku. Terus, aku jadinya musti ngapain coba?!".
Zaki membenarkan posisi duduknya.
"Gini Ra, nanti gue sama Arya ngompor-ngomporin Bang Irwan buat PDKT, terus ngelamar Mbak Intan lagi. Nah.. tugas lo, memastikan Mbak Intan menerima lamaran itu. Ngerti gak?".
"Kenapa lo jadi semangat banget sih Zack, mau jodohin Bang Irwan?", tanya Arya penasaran pada Zaki yang sedari tadi terus mencecar Tiara.
"Ya.. kali aja kalau dia sudah punya isteri, dia ada kesibukan baru. Jadinya gak terlalu sering ngejar-ngejar kerjaan gue lagi, gitu..".
Arya dan Zaki akhirnya malah sama-sama tertawa.
"Dasar licik lo! Tapi gue akuin cerdas sih" puji Arya.
Zaki membusungkan dadanya dengan ekspresi sombong.
"Jadi, gimana Ra. Lo sanggup gak? Demi kebahagiaan kakak lo. Kasian kan, dia selama ini sudah berkorban buat lo".
Arya sontak menyenggol Zaki.
"Lo ngomong apaan sih? Gak perlu kayak gitu juga kali", Arya khawatir kalau ucapan Zaki menyinggung Tiara.
Tiara hanya diam. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Iya deh Mas, nanti aku coba", Tiara terlihat tak begitu bersemangat.
"Nah.. gitu dong. Kita balik sekarang yuk, hari ini gue yang traktir kalian", Zaki tersenyum seraya menuju kasir.
***********
Hari ini Arya tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Ia dan Zaki sengaja janjian untuk menyusun strategi demi kelancaran rencana mereka.
"Gini Zack, timnya Pak Nandar kan baru kelar tuh proyek besarnya. Proyek yang ada juga masih tahap survey, jadinya Mbak Intan gak terlalu sibuk tuh".
"Terus?", sahut Zaki dengan dahi berkerut.
"Nah.. nanti lo ngomong sama Pak Hermawan, minta Mbak Intan ditransfer sementara ke tim kita buat bantu lo nyelesain kerjaan lo yang molornya sudah gak bisa ditolerir".
"Eh, maksud lo apa nih?"
"Jangan emosi dulu bro.. Itu nanti alasan lo ke Pak Hermawan. Beliau kan pasti pengennya semua proyek cepat selesai. Supaya keinginannya terkabul, lo minta Mbak Intan memback up lo biar kerjaan kita bisa berjalan sesuai jadwal. Gitu..".
"Aduh.. gimana ya? Gue sebenarnya males nih menghadap Pak Hermawan. Berasa banget aura pimpinannya. Gue merasa tertekan, sampai-sampai ruangannya juga berasa mau menghimpit gue Ar" ujar Zaki tidak nyaman.
"Tenang aja.. ntar gue temenin. Gue yang ngomong ke beliau, lo bagian ngasih alasan aja. Oke?".
Zaki hanya mengangguk malas, tak mengira kalau ternyata rencana mereka harus dijalani seperti ini.
Tapi di luar dugaan, ternyata rencana mereka berjalan sukses. Ya.. paling tidak untuk tahap Intan pindah sementara ke tim mereka. Kesuksesan itu ditandai dengan dipanggilnya Irwan, Nandar dan juga Intan ke ruangan direktur utama, Hermawan Prasodjo.
Tak berapa lama, di ambang pintu ruang kerja tim Irwan, muncul sosok yang mereka rindukan. Maksudnya untuk jadi penolong Zaki sekaligus pasangan hidup Irwan.
Seluruh karyawan pria di situ sontak berdiri, termasuk Irwan yang terlihat salah tingkah. Sementara dua orang yang wanita, terlihat bingung dengan tingkah rekan kerjanya yang mereka anggap berlebihan.
"Assalamualaikum semuanya", sapanya ramah yang dibalas dengan suka cita oleh penghuni ruangan itu.
"Untuk sementara mulai hari ini saya diperbantukan di sini, karena katanya ada kondisi darurat. Bukan begitu Zaki?", tanya Intan tersenyum menatap Zaki dengan mata indahnya.
Zaki spontan salah tingkah yang tentu saja mendapat reaksi wajah konyol dari Arya.
"Eh, anu.. iya mbak. Betul" sahut Zaki malu-malu.
"Saya mohon arahannya, karena mungkin sistem kerja di sini berbeda dengan di tempat saya dulu. Kalau saya salah, jangan ragu untuk meluruskan. Dan kalau perlu masukan, saya dengan senang hati akan memberikan pendapat sesuai kemampuan dan pengalaman saya", suara merdu Intan menggetarkan jiwa para lelaki di sana, terutama Irwan.
"Baiklah, maaf kalau mengganggu kerja kalian. Silahkan dilanjutkan. Saya mau menghadap komandan pasukan dulu", ucapnya tersenyum sambil melirik ke arah Irwan.
Percayalah, Arya dan Zaki bahkan hampir muntah melihat reaksi Irwan yang tak pernah mereka temui selama mengenalnya. Memang cinta bisa membuat orang berubah 180 derajat. Dan bagi Irwan yang sebelumnya pernah kembali ke 0, ini adalah 180 derajatnya yang kedua dengan orang yang sama.
"Ini... meja kerja kamu. Dan Ehm... Perlengkapan yang kamu minta juga sudah disiapkan. Semoga.. kamu betah bekerja di sini".
Irwan sangat kentara tengah menahan gugupnya.
"Kalau ada yang kurang atau.. Ehm.. perlu tambahan lain, jangan sungkan untuk.. memberitahu aku", sambung Irwan dengan sikap tubuh yang terlihat kaku.
Intan pun sepertinya juga terlihat sedikit salah tingkah.
"Ngomong ke saya juga boleh mbak. Demi mbak, saya siap sedia setiap saat untuk memenuhi semua keperluan mbak supaya mbak merasa bahagia kerja di tim kami", sahut salah seorang staf dengan percaya diri.
Intan tersenyum lebar, sementara Irwan terlihat sedikit kesal dengan bawahannya.
"Terima kasih banyak. Saya merasa jadi orang istimewa di sini".
"Memang benar gitu kok mbak. Mbak Intan istimewa di hati kami dan juga di hati Bang Irwan. Ya kan bang?", Arya menimpali seraya tersenyum.
Sontak Irwan jadi gelagapan. Dalam hatinya dia mengutuk Arya yang mulutnya tak punya saringan.
Suasana mendadak sepi. Irwan tersadar ternyata semua mata tertuju padanya, pun mata Intan yang seperti menunggu konfirmasi atas sesuatu dari dirinya.
"Ehm.. ya, ya, tentu saja. Bu Intan istimewa di hati kita semua", jawabnya tanpa berani melihat Intan.
Irwan kemudian segera kembali duduk di kursinya.
"Baiklah, sekarang kita kembali bekerja. Perkenalan pribadi nanti sambil jalan aja", ucapnya lagi sambil berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan.
*********
Intan menyendok sayur ke dalam mangkuk kemudian membawanya ke meja makan. Di sana sudah tersaji lauk dan nasi serta peralatan makan. Seorang gadis usia awal 20 -an sedang menatapnya, entah apa yang dipikirkannya.
"Ayo kita makan, mbak sudah lapar banget dari tadi", ajak Intan sambil tersenyum pada Tiara.
Mereka pun mulai makan malam bersama, sama seperti malam-malam sebelumnya. Hampir tak pernah mereka makan malam sendiri kalau mereka berdua ada di rumah.
Mereka berdua sepakat melakukan itu sebagai sarana interaksi intensif di tengah kesibukan mereka. Intan yang sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan konsultan, juga harus mengurus toko kue peninggalan ibu mereka. Sementara Tiara hanya membantu sebisanya.
Intan, lebih mirip seorang ibu ketimbang kakak bagi Tiara. Ibu mereka yang sudah menjanda sejak Tiara SMP, meninggal dunia enam tahun yang lalu. Beberapa bulan sebelum Intan lulus kuliah.
Bayangkan betapa berat beban yang harus ditanggungnya. Saat harus berkutat dengan tugas akhirnya, dia masih harus membagi waktunya mencari nafkah sekaligus mengurus adik semata wayangnya. Dan di saat itu pula, Irwan yang jadi penyemangatnya harus meninggalkannya ke Inggris demi menjalankan keinginan orang tua melanjutkan pendidikan di sana.
Tiara menyuap makanannya sambil memandangi wajah kakaknya. Kakaknya yang begitu cantik, namun hingga usia hampir 30, belum juga menerima satupun pinangan dari lelaki yang antri melamarnya.
Itu juga yang membuatnya resign dari kantor lamanya kemudian bekerja di perusahaan yang sama dengan Tiara. Di sana ada seorang atasan yang menaruh hati padanya, hanya saja terlalu memaksanya hingga membuatnya jengah. Kebetulan perusahaan tempat Tiara bekerja memerlukan tenaga tambahan yang sesuai dengan kemampuannya.
"Mbak, mbak senang gak kerja di kantor yang sekarang?", tanya Tiara membuka obrolan.
Intan tersenyum menatap adiknya.
"Alhamdulillah, mbak senang soalnya bisa sering ketemu kamu"
"Senang ketemu Tiara atau ketemu Bang Irwan?", Tiara senyum usil.
Dia sedang berusaha melaksanakan tugas dari Zaki.
Intan tertawa, kemudian mengambil minum. Sejurus kemudian matanya hanya menatap isi piring yang kini hanya di aduk-aduknya. Pikirannya entah dimana.
"Mbak, mbak masih ada rasa gak sama Bang Irwan?"
Intan kembali tersenyum.
"Kita harus menjaga hati terhadap sesuatu yang tidak bisa kita miliki Ra".
Tiara mengerutkan dahinya.
"Maksudnya?"
"Maksudnya kita tidak boleh mengharapkan suami orang untuk menjadi milik kita, meskipun kita menyukainya. Itu bisa membuat kita jadi bibit pelakor", sahut Intan kemudian terkekeh.
Tapi Tiara malah terlihat bingung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!