"Dad, anterin Cia ke rumah Nina, dong," ajak gadis kecil yang berusia 7 tahun.
"Ngapain ke sana? Suruh aja Nina yang ke rumah. Daddy sibuk!" jawabnya datar tanpa memperdulikan sang anak yang sudah cemberut.
Tiada hari tanpa sibuk, itulah Devano Aldebaran. Seorang Presdir disalah satu perusahaan terkenal yang berusia 35 tahun.
Sudah 5 tahun lebih Devano sendiri karena istrinya meninggal akibat penyakit yang diderita. Menjadi ayah sekaligus ibu tidaklah mudah, apalagi Sancia Aldebaran seringkali membuat sakit kepala.
Tingkahnya yang jahil dan manja selalu menyusahkan Devano, tetapi dia sangat menyayangi sang anak melebihi dirinya sendiri.
"Daddy yakin nggak mau anter Cia? Padahal---"
"Padahal apa? Jangan bilang kamu mau jodohin Daddy lagi? Iya!"
"Heheh ... piss!"
Cia terkekeh sambil menunjukkan jari berbentuk huruf V, pertanda berdamai karena tatapan Devano sudah tidak bersahabat.
"Daddy nggak capek apa jomblo mulu, bosen tahu Cia liatnya."
"Kalau gitu nggak usah dilihat. Simpel, 'kan?"
"Ishh, nggak gitu konsep, Dad. Ini nih, efek kelamaan jomblo jadi dingin sama cewek!"
"Biarpun jomblo yang penting banyak duit!"
"Cihh, duit banyak, tapi jomblo sama aja nggak laku namanya. Mendingan juga punya istri, enak buat dipeluk, enak dicium. Apalagi kalau bisa kasih Cia dedek pasti---"
"Cia!"
"Huaa ... awas, ada duda jomblo lagi ngamuk! Aauuungg haha ...."
Cia berlari sekuat tenaga keluar dari ruangan kerja Devano. Dia tahu jika sang ayah pasti sedang kesal karena ulahnya yang sering menjodohkan dengan wanita lain.
Maklum saja, Cia sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu. Jadi, dia tumbuh menjadi gadis yang haus akan kasih sayang. Ditambah Devano pun terlalu sibuk bekerja sampai tidak ada waktu untuk bermain, meskipun di hari libur.
***
Malam hari Devano merasa cemas karena Cia belum pulang ke rumah. Gadis itu nekat pergi sendiri diantar oleh supir ke rumah Nina - sahabatnya sejak TK.
Saking khawatirnya Devano bergegas menyusul ke rumah Nina demi menjemput putri kesayangannya.
Setibanya di rumah Nina, Devano langsung menekan bel rumah sambil menunggu seseorang membuka pintu.
Hanya berselang 2 menit, pintu terbuka bersamaan dengan munculnya seorang wanita cantik, anggun, dan manis.
"Maaf, Tuan cari siapa, ya? Kebetulan Tuan Kris dan Nyonya Salsa sedang tidak ada di rumah. Mereka ada urusan men---"
"Di mana anak saya? Suruh dia keluar!"
"A-anak? A-anak yang mana, Tuan? Kalau bo-boleh tahu, siapa namanya?"
Wanita itu terlihat gugup menatap wajah datar Devano yang cukup menyeramkan. Namun, saat pria itu ingin menyebutkan nama sang anak, tiba-tiba saja Cia muncul dari balik pintu.
"Mommy, siapa yang mengetuk pin ... Daddy!"
"Daddy ngapain ke sini? Bukannya tadi Daddy menolak ajakan Cia, terus kenapa sekarang tiba-tiba nongol?"
Bukannya menjawab pertanyaan Cia, Devano malah terfokus pada panggilan sang anak kepada wanita yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan pakaian sederhana.
"Apa Daddy tidak salah dengar, kamu panggil dia apa tadi? Mommy?"
"Ya, dia itu Mommy Misca. Kenapa? Daddy suka sama Mommy? Cieee ... oke, gas. Oke, gas, bawa pulang sekarang. Upps, keceplosan hihih ... tapi, gapapa Cia juga suka kok, sama Mommy Misca. Dia orangnya baik, perhatian, cantik pula, pasti Oma sama Opa di Amerika senang pas pulang sudah punya mantu lagi hihih ...."
Misca benar-benar syok berat mendengar celotehan Cia. Jantungnya terasa tidak aman melihat tatapan Devano kepada sang anak persis bagaikan elang yang ingin memangsanya.
"Cukup, Cia! Daddy ingatkan sama kamu, tidak ada satu orang pun yang bisa menggantikan Mommy. Ngerti!"
Suara bentakan Devano berhasil mengejutkan Nina yang langsung memeluk kaki Misca ketika melihat kemarahan besar di mata ayah sahabatnya.
"Daddy egois! Daddy hanya memikirkan diri sendiri, sedangkan Cia juga butuh Mommy, Dad! Cia butuh kasih sayang, bukan cuma melihat tiap hari Daddy sibuk sama tumpukan kertas tak berguna itu!"
"Cia tahu kertas itu memang menghasilkan banyak uang buat kita, tapi kertas tidak akan pernah bisa memberikan kebahagiaan untuk Cia. Cia benci Daddy! Cia nggak mau pulang!"
Suara pintu yang ditutup rapat oleh Cia membuat semua orang syok. Baru kali ini anak sekecil itu mampu melawan Devano yang tidak pernah ada satu orang pun berani padanya.
Cia berlari kencang menaiki anak tangga, lalu dikejar oleh Nina yang merasa sedih menyaksikan kesedihan sahabatnya.
Devano yang tidak terima kembali mengetuk pintu secara brutal saking kesalnya. Dia merasa harga diri seorang presdir diruntuhkan oleh anaknya sendiri.
"Cia, buka pintunya. Daddy belum selesai bicara!"
Suara teriakan Devano berhasil menyadarkan Misca yang terjebak di dalam pertengkaran ayah dan anak.
Dengan gugup Misca membuka pintu secara perlahan, tetapi Devano malah mendorong pintu dan masuk mencari keberadaan Cia.
"Di mana kamu, Cia! Jangan bikin Daddy marah besar sama kamu, ya!"
"Cepat turun! Ikut Daddy pulang sekarang juga!"
Melihat kemarahan Devano, Misca berlari mengejarnya sampai menaiki anak tangga untuk menahan gejolak emosi yang meradang.
"Tuan, tunggu! Hentikan semua ini Tuan, cara Tuan itu salah. Semakin Tuan emosi, semakin membuat Nona Cia kesal dan marah. Cobalah mengerti, Tuan. Anak kecil tidak bisa dikasari, dia---"
"Ngerti apa kamu tentang anak saya, hahh! Cia itu anak saya bukan anakmu, jadi saya yang lebih tahu Cia bukan kamu. Minggir!"
"Saya paham, Tuan. Cia itu anak Tuan, tapi bukan begini cara menghadapi anak-anak. Tuan bisa ... akhhh!"
"Mommy Misca!"
"Bi Misca!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
Misca terjatuh dari beberapa anak tangga membuatnya pingsan. Nina dan Cia yang melihat kejadian tersebut bergegas turun ke lantai bawah dalam keadaan panik.
Devano sendiri langsung mencoba menolong Misca sambil menepuk pipi berulang kali. Wajahnya terlihat bersalah karena tak sengaja mendorong tubuh mungil tersebut di saat emosinya menggebu-gebu.
"Ma-maaf, saya tidak sengaja. Saya tidak bermaksud untuk mencelakakanmu. Bangunlah, bangun!"
"Bi Misca, bangun hiks ... Bi Misca jangan tinggalin Nina. Nina sayang Bi Misca hiks ...."
Nina menangis memeluk erat tubuh Misca di lantai, sedangkan Devano berjongkok melihat ketulusan dua gadis cantik yang begitu menyayangi wanita itu seperti ibunya sendiri.
"Ini semua gara-gara, Daddy! Cia marah sama Daddy! Cia benci aaaa ... hiks ...."
Cia menangis sambil menyerang Devano, walaupun tangannya terbilang kecil dan imut tetap saja tenaganya begitu kuat untuk memukuli dada sang ayah hingga terduduk di lantai.
"Ci-cia ... ma-maafkan, Daddy. Daddy tidak bermaksud untuk menyakiti wanita itu. Daddy tidak sengaja. Maafkan, Daddy. Please, jangan benci Daddy, Sayang! Daddy sayang Cia. Daddy tidak mau Cia marah. Maafkan Daddy!"
"Kalau Daddy marah sama Cia, sakiti saja Cia jangan Mommy Misca. Dia orang baik, Dad. Kalau sampai Mommy kenapa-kenapa Cia tidak akan mau lahi tinggal sama Daddy! Daddy jahat!"
Cia mendorong keras Devano sampai terjengkang ke belakang. Kemarahan di mata gadis itu benar-benar menyakitkan hatinya.
Selama ini ketika mereka bertengkar, tidak pernah Cia mengatakan kalimat yang menghancurkan hati Devano seperti ini.
Gadis kecil itu rela membenci ayahnya sendiri hanya demi membela wanita yang sama sekali bukan ibu kandungnya.
"Mommy, bangunlah, Cia di sini. Mommy tidak boleh pergi. Cia nggak mau kehilangan Mommy lagi. Cia pengen Mommy bangun. Cia sayang Mommy Misca. Cia sayang hiks ...."
Dua gadis kecil tersebut terlihat begitu sedih dan panik, sehingga Devani bergegas untuk menggendongnya, "Kita bawa wanita ini ke rumah sakit sebelum terlambat!"
Kekhawatiran di wajah mereka terlihat begitu cemas, padahal Misca hanya terjatuh dari lima anak tangga di bawah akibat keseimbangan tubuh yang tidak kuat saat menghalangi jalan Devano.
Baru juga mau keluar rumah, tiba-tiba Misca tersadar sambil memegang kepalanya yang terasa pusing.
Secepat mungkin Devano memutar arah, lalu meletakkan Misca di sofa panjang tepat di ruang tengah.
"Eergghh ... ke-kepalaku kenapa sakit banget," ucap Misca yang masih belum sempurna membuka kedua mata.
Nina dan Cia yang merasa senang langsung mengerubungi Misca, memeluknya sambil menangis.
"Syukurlah Bi Misca baik-baik saja. Nina takut Bi Misca meninggal hiks ...."
"Mommy, maafkan Cia. Ini semua gara-gara Cia. Cia janji, Cia pasti akan menghukum Daddy!"
Perlahan Misca bangun, duduk memeluk Nina dan Misca bersama-sama sambil tersenyum kecil, walaupun dia hanyalah seorang pembantu hatinya begitu lembut penuh kasih sayang terhadap anak-anak.
"Ssstt ... Sudah akhh, jangan nangis lagi. Bibi gapapa, kok. Bibi baik-baik aja, lihatlah. Bibi masih bisa senyum heheh ...,"
"Dan untuk Cia, ini bukan salahmu. Ini juga bukan salah daddymu, tapi ini salah Bibi yang kurang hati-hati. Jadi, jangan marah-marah lagi ya, kasihan daddymu pasti sedih. Apalagi seorang anak itu tidak boleh membenci orang tuanya, nanti Tuhan marah, loh. Memang Cia mau dimarahin Tuhan, hem?"
Cia menggeleng cepat, kembali memeluk Misca. Entah mengapa tutur kata yang lembut, sikapnya yang manis mampu menggetarkan hati Devano.
Pria itu seperti melihat mendiang istrinya berada di dalam tubuh Misca. Mulai dari caranya berbicara, tatapan mata kepada Cia, itu semua benar-benar mirip. Hanya saja wajah mereka berbeda, tidak ada kemiripan sama sekali.
"Ma-manda? A-apakah i-itu benar kamu, Sayang? Ji-jika benar, apakah ini pertanda kamu telah kembali meskipun meminjam raga orang lain?"
Hati Devano bergetar hebat. Bayang-bayang tentang mendiang istrinya mulai bermunculan hingga berpikir Misca adalah Manda - istri yang sudah lama meninggalkannya akibat kecelakaan 5 tahun silam.
Mata Devano tak sedikitpun berpaling, sampai akhirnya Misca menatap manik mata yang sudah berkaca-kaca.
"Tu-tuan gapapa? Tu-tuan baik-baik saja, 'kan?" tanya Misca yang malah membuat Devan jatuh pingsan.
"Daddy!"
"Om Vano!"
"Astaga, Tuan!"
Ketiga wanita cantik bangkit dari duduknya dan bersusah payah meletakkan Devano ke atas sofa panjang.
Tubuh besar, badan tinggi, belum lagi otot-otot yang kekar membuat mereka bertiga cukup kewalahan. Berbeda saat Devano mengangkat Misca yang ringan badaikan kerupuk kulit.
"Cia, ada apa sama daddymu? Kenapa Om Varo pingsan saat Bi Misca menatapnya?" tanya Nina polos.
"Biasa, duda satu ini memang meresahkan. Maklum sudah kelamaan menjomblo, sekalinya liat cewek cantik langsung tersepona hihih ...."
"Yang benar itu terpesona, Cia," timpal Nina, membenarkan ucapan Cia.
"Akhh, ya, itu maksudku. Terpesona akan kecantikan Mommy Misca yang kelewatan, sehingga Daddy terhanyut di dalam gelombang cinta yang menyesatkan. Widihh, keren ya, bahasaku hahah ...."
"Wah, dapat dari mana kata-kata itu, Cia? Pasti dari Mbah Google, 'kan? Ya, sih, keren. Lebih keren lagi kalau Bi Misca mau jadi mommymu beneran. Ya, nggak?"
"Woo, jelas. Sebentar lagi aku pastikan mereka akan terjebak di dalam perangkat anak selucu kita. Upps, keceplosan hihih ...."
Tawa Nina dan Cia begitu renyah, apalagi ketika menatap wajah Misca yang memerah bagaikan udang rebus yang siap disantap.
Tak ingin memberikan harapan besar pada kedua gadis kecil itu, Misca pun segera menasehatinya dengan lembut.
"Nina, Cia. Kalian tidak boleh dewasa sebelum usianya. Bibi tahu niat kalian baik, tapi sampai kapan pun apa yang kalian inginkan tidak mungkin terjadi. Bi Misca akan tetap menjadi pembantu dan daddynya Cia akan tetap mencintai mendiang mommy Cia. Jadi, tidak boleh memaksakan kehendak yang bukan takdirnya. Paham?"
"Yahh ... bukannya berharap itu boleh, Mom? Daddy, 'kan, duda. Mommy juga tidak punya pacar. Memang salah kalau bersama? Cia setuju, Nina pun setuju. Jadi apa yang membuat semuanya tidak mungkin?"
Misca tersenyum. Dia terkejut anak seusia Cia mampu berbicara sedewasa itu, padahal Nina sendiri saja terlihat bingung sama apa yang dikatakan sahabatnya.
Mungkin ini yang dibilang peran orang tua kepada anak itu sangatlah penting, sehingga tumbuh kembang anak dapat dipantau dengan baik. Tidak seperti Cia yang sudah bersikap dewasa sebelum waktunya.
"Suatu saat Cia akan mengerti, sekarang kalian tunggu di sini. Bi Misca mau ambil air dulu." Misca tersenyum mencubit kecil pipi mereka berdua, lalu berdiri.
Akan tetapi, saat berdiri tiba-tiba saja Devano terbangun dan langsung menarik tangan Misca hingga terjatuh ke dalam pengkuannya.
"Jangan tinggalin aku lagi, Manda. Aku rindu saat-saat kita bersama. Aku mau kita rawat Cia bareng-bareng, bukan sendiri. Please, kembalilah bersamaku. Aku tidak bisa sendiri menjalani semua ini. Aku butuh kamu, Manda. Aku butuh kamu!"
Misca terdiam mematung. Tubuhnya terasa kaku dengan mata terbuka lebar. Dia bingung, Nina pun ikut bingung. Hanya Cia yang mengerti apa maksud ucapan Devano.
"Da-daddy ... Mo-mommy Manda sudah tiada. Mommy Manda juga sudah bahagia di rumah Tuhan. Yang sekarang Daddy peluk itu Mommy Misca, bukan Mommy Manda."
Seketika jantung Devano terhenti dan melepaskan pelukannya terhadap Misca. Pria itu langsung sadar kalau yang ada di pangkuannya bukan mendiang istri tercinta, melainkan seorang pembantu yang tidak pernah dijumpai.
Dengan refleks tangan Devano mendorong Misca hingga tersungkur di lantai. Kedua gadis itu terkejut. Namun, saat Cia ingin menolong tangannya langsung ditarik oleh sang ayah dan membawanya keluar dari rumah tersebut.
"Kita pulang sekarang!"
"Nggak, Cia nggak mau pulang! Mommy ... tolong Cia!"
"Berhentilah melakukan drama, Cia. Daddy ini orang tuamu, bukan penculik!"
"Orang tua macam apa? Daddy tidak pantas menjadi orang tua karena setiap hari hanya sibuk sama tumpukan keras, sampai-sampai Daddy lupa kalau ada anak yang butuh kasih sayang!"
Kaki Devano terhenti. Dunianya seketika runtuh bersamaan dengan tangan yang mengepal kuat, jiwa yang hancur, dan hati yang terpanah busur beracun.
Perlahan tangan Devano melepaskan tangan Cia, membuatnya ikut terdiam menatap wajah sang ayah penuh penyesalan.
"Da-daddy ... ma-maaf, Ci-cia tidak---"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
"Masuklah ke mobil, Daddy tidak akan mengulanginya lagi!"
Kali ini Cia tidak berkutik. Dia langsung memasuki mobil penuh rasa penyesalan. Andaikan mulutnya tidak terlalu cerewet, mungkin kata-kata menyakitkan itu tidak akan keluar untuk Devano.
Selama di perjalanan suasana begitu hening. Tidak ada obrolan sama sekali, padahal selama ini Cia bukanlah tipe anak yang pendiam.
Beberapa kali Cia mencuri pandang menatap kedataran wajah Devano yang sama sekali tidak menolehnya. Rasa bersalah itu semakin kuat membuat hati merasa tidak tenang.
Cia tidak berani membuka suara, takut terkena semprot karena suasana hati Devano sedang tidak bagus.
Meski Cia tumbuh menjadi anak yang aktif, pemberani, juga cerewet. Tetap saja tidak akan sanggup menghadapi singa jantan yang baru bangun tidur.
Kurang lebih 35 menit, akhirnya mereka sampai di halaman rumah. Cia menoleh sambil berkata, "Dad, Cia---"
Belum selesai mengatakan sesuatu, Devano bergegas keluar dari mobil lebih dulu dan berjalan cepat memasuki rumah menuju kamar.
Cia menundukkan wajah bersamaan bulir-bulir air menetes di pipi, "Ma-maafkan Cia, Dad. Cia tidak ada maksud buat Daddy marah dan sedih. Cia tahu Daddy kerja buat Cia, tapi maaf ... Cia salah, Dad. Maafkan Cia."
Seorang pembantu mendekati Cia lantaran diutus oleh Devano untuk membawanya keluar dari mobil.
"Non Cia, ayo, turun. Ini sudah malam, Non Cia harus istirahat karena besok harus sekolah pagi. Yuk, Bibi antar ke kamar."
Cia hanya mengangguk mengikuti arahan sang pembantu. Niatnya ingin pergi ke kamar, tetapi langkah gadis itu malah terhenti di depan kamar Devano.
"Aarrghhh ... dasar pria bodoh! Bisa-bisanya kau pentingkan kerjaan daripada anakmu sendiri. Lihatlah, Devano. Lihat! Buka matamu lebar-lebar, Cia merupakan hadiah terakhir yang Manda berikan. Namun, kamu? Kamu malah menyia-nyiakannya, bodoh!"
"Sekarang Cia sudah tumbuh menjadi gadis yang tidak lagi menghormatimu sebagai seorang ayah. Cia tahu kau begitu jahat, makanya dia lebih memilih untuk menyayangi wanita itu daripada dirimu. Jadi, kau tidak perlu marah bila Cia mengatakan hal seperti itu. Ingatlah, kau hanyalah seorang pecundang bergelar ayah! Aaaa ...."
Tubuh Cia bergetar mendengar suara Devano. Untuk pertama kali seumur hidup menyaksikan betapa marahnya sang ayah saat bibirnya tak sengaja kelepasan.
Tak ingin berlarut dalam penyesalan, Cia berlari menabrak pintu hingga terbuka keras membuat Devano berbalik menatapnya.
"Hentikan Dad, hentikan! Cia minta maaf. Cia salah sudah menyakiti hati Daddy. Maafkan Cia, Dad. Maafkan Cia hiks ...,"
"Cia tidak bermaksud buat menyakiti Daddy. Cia hanya kesal karena selama ini Daddy tidak punya waktu untuk Cia. Daddy selalu sibuk, padahal Oma dan Opa selalu bilang, Daddy tidak akan bisa hidup sendiri tanpa pendamping!"
"Ingat, Dad. Mommy Manda sudah tenang di rumah barunya. Cia sayang Mommy Manda, Cia juga sayang Daddy. Tapi apa salah jika Cia ingin punya Mommy lagi? Jika bukan untuk Daddy, berikan untuk Cia. Setelah itu Daddy puas bekerja seharian ataupun tidak pulang pun Cia tidak masalah. Setidaknya di rumah ada yang memberikan perhatian pada Cia, tapi bukan pembantu!"
Tangis Cia pecah setelah mengungkapkan apa yang selama ini dipendamnya. Devano sangat paham, bagaimana perasaan sang anak.
Memang tidak mudah menggantikan nama mendiang istri di dalam hatinya, cuma jika Devano bertekad untuk mencobanya tidak masalah. Setidaknya ada usaha untuk membalikkan kebahagiaan Cia yang sudah hilang.
Devano berjongkok menyamakan tinggi Cia, kemudian memeluk erat tubuh mungil tersebut penuh kasih sayang.
"Maafkan, Daddy, Sayang. Selama ini Daddy terlalu egois, itu semua sengaja Daddy lakukan supaya tidak lagi teringat tentang mommymu. Daddy tahu, semua anak pasti menginginkan keluarga yang lengkap. Namun, Daddy butuh waktu untuk itu, Sayang. Daddy tidak bisa meneruskan masa depan, jika Daddy tidak bisa berdamai dengan masa lalu. Sekali lagi maafkan, Daddy. Daddy belum bisa jadi orang tua yang baik buat Cia. Maafkan Daddy hiks ...."
Kali ini Devano melepaskan semua rasa sedihnya yang selalu disembunyikan dari Cia. Merelakan kepergian wanita yang sangat dicintai memang tidak mudah, tetapi mengikhlaskan itu yang perlu dilakukan sekarang meski rasanya begitu menyakitkan.
Devano sadar, jika seseorang yang pergi bersama takdir tidak mungkin kembali lagi. Hanya ada sisa kenangan yang melekat, tetapi bukan berarti selalu hidup dalam bayangannya.
Setelah beberapa menit mereka saling meluapkan emosinya, kini hubungan ayah dan anak sudah mulai membaik.
Cia membantu Devano membersihkan luka serta mengobati tangannya. Malam ini dia ingin tidur bersama ayahnya untuk melepas rindu yang lama tidak dirasakan.
"Cia memang tidak butuh uangku, tapi dia butuh aku yang selalu ada waktu untuk menemaninya. Ini hanyalah permintaan kecil, mengapa sulit mewujudkannya? Entah sudah berapa banyak waktu yang aku sia-siakan, sampai Cia tumbuh menjadi gadis kecil yang dituntut untuk dewasa,"
"Sekali lagi maafkan Daddy, Cia. Daddy berjanji akan memperbaiki waktu kita. Sehat-sehat putri kecil Daddy. Tumbuhlah menjadi gadis pintar yang baik hati seperti mendiang mommymu. Selamat tidur, Sayang. Mimpi yang indah, doakan Daddy semoga kelak bisa terbebas dari siksa perasaan yang sulit dilepaskan,"
"Dan, untukmu, Manda Sayang. Tenang-tenang di sana ya, bantu aku menjaga Cia. Izinkan aku melanjutkan hidup ini supaya kelak bisa keluar dari zona yang tidak tahu sampai kapan aku sendiri. Intinya aku sayang kalian semua. I miss you so much, Baby!"
Devano mencium kening Cia yang sudah tertidur lebih dulu di dalam pelukannya. Wajah yang terlihat tenang ketika tidur, tidak setenang hati yang terus berperang melawan kenyataan. Mungkin terlihat baik-baik saja, pada dasarnya luka itu sangat membekas di dalam hati.
***
Keesokan hari, Cia berangkat sekolah diantar oleh Devano. Wajah cerianya tak dapat dibohongi. Gadis itu benar-benar bahagia karena sang ayah sudah mulai perhatian.
"Dahh, Daddy. Terima kasih, Cia bahagia banget hari ini. Hati-hati di jalan, semangat kerjanya. Cia sayang Daddy!"
Lambaian tangan mengiringi langkah gadis kecil itu memasuki ke dalam lingkungan sekolah. Sementara Devano tersenyum membalas lambaian tangan sang anak dari dalam mobil.
Senyuman yang sudah lama tidak dilihatnya kini kembali bersinar. Cia memang mirip sekali sama ibunya. Inilah yang semakin menyulitkan Devano untuk melupakan kenangan indah tersebut.
"Cukup, Devano! Manda sudah tenang. Aku tidak boleh mengingatnya terus. Lebih baik aku fokus bekerja, siapa tahu bisa pulang cepat untuk menjemput Cia."
Di persimpangan jalan Devano tak sengaja melihat Misca berdiri di bawah terik matahari untuk menunggu angkot yang lewat.
Mobilnya terhenti tepat di depan Misca. Kaca pintu sebelah kiri dibuka bersamaan munculnya wajah tampan Devano menggunakan kacamata hitam.
"Loh, Tu-tuan bukannya daddynya Nona Cia?" tanya Misca mencoba mengingat-ingat wajah Devano, takut salah orang.
"Naik!" titah Devano membingungkan Misca.
"Na-naik, Tuan? Na-naik ke mana?" tanya Misca polos.
"Ke badan saya!" sahut Devano asal.
"Haa-apa? Sa-saya naik ke i-itu Tuan gitu maksudnya?" tunjuk Misca ke arah pangkuan Devano.
Akan tetapi, pria itu malah mengira Misca menunjuk ke bagian gundukan yang bersemayam di dalam celana.
"Hyaakk ... dasar cegil! Maksudnya ke dalam mobil, bukan ke situ. Dikata adikku nap*su apa liat body triplek begitu. Cepat naik atau saya tinggal!" ujar Devano kesal.
"Isshh, ada ya, ganteng-ganteng galak. Kalau memang niat nolongin nggak usah pakai mencela juga kali," timpal Misca dengan suara kecil nyaris tak terdengar.
"Apa kamu bilang? Saya galak?" tanya Devano, melirik tajam.
"Ehheheh ... ma-maaf, Tuan. Keceplosan hehe ...."
Misca bergegas naik ke dalam mobil sambil menaruh barang belanjaan di belakang, "Sudah, Tuan. Ayo, saya harus buru-buru karena siang nanti Tuan Kris dan Nyonya Salsa akan pulang. Jadi, saya harus menyajikan mak---"
"Kamu kira saya supir!"
Setelah menyadari apa yang salah darinya. Misca pun terkekeh malu, lalu turun dari mobil untuk pindah ke depan duduk tepat di samping Devano.
Pria itu menggelengkan kepala, lalu memakai sabuk pengaman. Di mana pada saat Devano ingin mengunci sabuk, tiba-tiba keduanya sama-sama menoleh dan ...
"Cup!"
...*...
...*...
...*...
...Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!