NovelToon NovelToon

Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

Memilih Pergi

Harris Zlatan meremas kertas di tangannya dengan penuh kemarahan, melemparkannya dengan kasar. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal. Ia terduduk lemas di tepi ranjang anak sulungnya, Maya Arini Zlatan, seakan kehilangan kekuatan untuk bergerak.

"Mas, kamu kenapa?" suara Nadia Firman, istrinya, terdengar panik saat ia berlari menghampiri Harris yang terlihat sangat terguncang. Nadia memandang suaminya dengan khawatir, melihatnya berusaha mengendalikan napas yang berat.

Matanya mengikuti arah pandang Harris, yang tertuju pada kertas yang baru saja ia lempar. Dengan ragu, Nadia meraih kertas itu. Ia membuka lembaran yang sudah remuk, hampir robek, dan terkejut menemukan sebuah surat dari Maya.

Pa, Ma, Maya dari dulu selalu menuruti apa maunya Papa dan Mama, tidak ada satu pun yang Maya tolak. Apa pun itu. Papa dan Mama melakukan itu demi kebaikan Maya. Maya menuruti semua hanya demi kebahagiaan Papa dan Mama. Tidakkah satu kali pun ada pertanyaan apakah Maya menyukainya? Apakah Maya senang menjalaninya? Maya tidak benar-benar bahagia Pa, Ma.

Bibir Nadia bergetar saat membaca setiap kata yang tertulis di surat itu, air matanya mulai mengalir.

Ma, Pa, maafkan Maya. Sungguh Maya sangat sayang Papa dan Mama, tapi boleh kan untuk kali ini Maya tidak menuruti permintaan Papa dan Mama. Maya hanya ingin menikah dengan laki-laki yang Maya cintai Pa, Ma. Maya berharap Papa dan Mama mengerti, Maya akan baik-baik saja. Tidak perlu mencari, maafkan Maya harus pergi.

Tangan Nadia gemetar saat membaca surat itu, dan air matanya mulai tumpah. Ia tak bisa menahan tangisannya lagi. Perasaannya hancur, kacau. Sebuah perasaan yang sangat sulit dipahami kini menguasainya—antara rasa marah karena kepergian Maya yang diam-diam dan menolak perjodohan, atau rasa sedih karena Maya ternyata tidak bahagia dengan apa yang telah mereka rencanakan untuk hidupnya. Nadia merasa bingung, terjepit antara rasa kecewa dan kasih sayang yang mendalam untuk putri mereka.

***

Hujan turun dengan deras, namun itu tak menghalangi langkah cepat Marsha Aulia Zlatan. Kakinya berlari tanpa henti, seolah ada api yang membakar dirinya setelah mendengar kabar buruk: Harris, papanya, dilarikan ke rumah sakit.

"Marsha, hujan! Nih, payungnya!" seru Sarah, sahabatnya yang terkejut melihat Marsha yang sudah jauh di depan. Sarah berlari mengejar, menggerutu dalam hati, 'Basah banget deh dia!' Namun, ia tahu bahwa apa pun yang dikatakan tidak akan menghentikan Marsha, yang hatinya hanya tertuju pada satu tujuan—papanya.

Begitu sampai di rumah sakit, Marsha buru-buru menuju loket administrasi, di mana ia menemukan Hana Zlatan, tantenya, sedang berdiri dengan wajah cemas. Tanpa bisa menahan kegelisahan, Marsha langsung mendekat dan bertanya dengan suara tercekat, "Tante, Papa kenapa?"

Hana menatapnya dengan kaget. "Marsha, kamu kenapa basah gitu?" tanyanya, terkejut melihat kondisi anaknya yang hampir sepenuhnya kuyup.

"Kan hujan, Tan. Papa kenapa?" jawab Marsha terburu-buru, masih dengan ekspresi cemas. Ia terus menunggu penjelasan, tak sabar untuk mengetahui keadaan sang papa.

Hana menggiring Marsha ke salah satu ruang tunggu rumah sakit, berusaha menenangkannya. Ia tahu betapa cemasnya Marsha, dan berusaha memberikan penjelasan yang menenangkan. "Papa kamu cuma syok, sekarang udah lebih baik. Dia lagi istirahat. Nanti, atau paling lama besok, sudah bisa pulang kok," ujar Hana dengan suara lembut, mencoba meredakan kegelisahan anaknya.

Marsha menghela napas panjang, sedikit merasa lega mendengar penjelasan itu. Namun, baru sekarang ia merasakan betapa dinginnya tubuhnya, dengan pakaian yang masih basah akibat kehujanan ditambah suhu ruangan yang tidak kalah dingin.

"Marsha boleh lihat Papa?" tanyanya, penuh harap. Matanya memandang Hana dengan penuh permohonan, namun Hana tampak ragu.

"Nanti aja ya, sayang," jawab Hana dengan lembut. "Di dalam masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan Mama sama Om Candra untuk menenangkan Papa." Hana berdiri dan memberi senyuman tipis, meski Marsha bisa melihat kekhawatiran di matanya.

Marsha menunduk, kecewa dan merasa sedikit kedinginan. Ia tak bisa berbuat banyak, hanya bisa pasrah dan mengikuti keputusan tantenya.

"Gila, ya, lo! Hujan deras begini masih nekat dihantam juga. Basah, kan? Percuma gue kasih payung!" Sarah mendekat dengan penuh kekesalan. Ia duduk di samping Marsha yang sudah memeluk tubuhnya sendiri, berusaha mengatasi rasa dingin yang meresap. "Nah, kan, dingin! Ngeyel banget sih!" Tanpa rasa iba, Sarah malah mencubit pelan lengan Marsha dengan gemas. "Tadi kan udah gue bilang..."

"Aduh, sakit!" keluh Marsha, sambil cemberut. Ia tak bisa berbuat banyak selain pasrah.

Namun, tiba-tiba mata Sarah tertuju pada seseorang yang sedang berjalan ke arah mereka. Sosok itu terlihat begitu familiar. Moreno Arsya, sepupu Marsha, yang juga anak semata wayang dari Hana dan Candra Arsya, sedang melangkah menuju mereka.

Reno—begitu dia biasa dipanggil—lebih tua lima tahun dari Marsha. Saat ini, dia menjabat di salah satu anak perusahaan keluarga Harris dan Hana. Tapi lebih dari itu, Reno adalah lelaki yang sejak kecil Marsha sukai. Mereka saling mencintai, tetapi hubungan mereka terhalang oleh status sepupu. Meskipun tidak pernah ada larangan resmi dari keluarga, keduanya memilih untuk menyimpan perasaan itu, menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan segalanya.

Sarah bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Ia hanya bisa tersenyum tipis, mengamati kedekatan yang terpendam di antara Marsha dan Reno.

"Sha, STM lo datang," bisik Sarah dengan penuh semangat. Sebagai sahabat yang sudah sangat mengenal Marsha, Sarah tahu betul semua seluk-beluk kisah cinta Marsha. Bahkan, Sarah memberi label STM (Saudara Tapi Mesra) untuk Reno, agar tidak ada yang curiga jika mereka sedang membicarakan hubungan mereka yang lebih dari sekedar saudara.

Marsha yang masih menggigil, mengelus lengannya sambil mendongak mengikuti arah pandang Sarah. Begitu matanya bertemu dengan sosok Reno yang berjalan menuju mereka, darah Marsha serasa berdesir. Reno, dengan penampilannya yang selalu memukau, tersenyum hangat saat matanya bertemu dengan Marsha. Senyum itu membuat hati Marsha serasa meleleh. Ingin rasanya ia berlari memeluk pria tampan yang selama ini begitu berarti bagi dirinya.

Namun, meskipun perasaan itu begitu kuat, Marsha hanya bisa diam di tempat. Dengan canggung, ia mencoba menenangkan diri dan mempertahankan gengsinya, meskipun sebenarnya hatinya berdebar tak karuan.

Begitu sampai di depan Marsha, Reno segera melepas jasnya dan memakaikannya pada Marsha. "Kamu kenapa hujan-hujanan, sih?" tanya Reno dengan nada lembut penuh perhatian. Ia duduk di samping Marsha, memperhatikan wajahnya dengan seksama, lalu tanpa berpikir panjang, tangannya terulur untuk merapikan rambut Marsha yang basah dan berantakan akibat hujan.

Sarah yang melihat momen itu, tak bisa menahan diri. Dengan sengaja ia melontarkan kata-kata nakal dengan suara cukup lantang agar Marsha dan Reno mendengarnya. "Mau juga deh satu yang kayak Kak Reno, masih ada nggak ya?" ujarnya, membuat Marsha langsung menoleh dan melayangkan cubitan balasan padanya.

"Nggak usah centil!" bisik Marsha kesal, wajahnya merah padam. Ia berusaha menjaga suasana tetap tenang, meski di dalam hatinya bergejolak.

"Kamu nggak pusing kan habis hujan-hujanan gini? Sini kalau mau sandaran," kata Reno, sambil menepuk bahunya pelan. Perhatian Reno yang tulus membuat Sarah semakin heboh. Ia tak bisa menahan diri untuk iseng menggoda sahabatnya.

"Kaaak, aku juga mau!" celetuk Sarah dengan nada manja, membuat Marsha geli mendengarnya.

Marsha, yang berusaha mempertahankan sikap dinginnya, tetap diam dan tidak merespons ucapan Reno. Namun, meskipun ia terlihat tenang, sebenarnya hatinya sangat ingin bersandar pada Reno, bahkan rasanya ingin memeluknya erat. Tapi gengsi yang menguasai dirinya membuatnya bertahan, tidak menunjukkan perasaan yang sebenarnya.

"Nggak apa-apa, Sha," kata Reno dengan lembut, sambil menyandarkan kepala Marsha di bahunya. Dengan penuh kasih sayang, ia mengelus rambut Marsha yang basah dan berantakan akibat hujan. Matanya tampak menerawang, seolah ada banyak hal yang dipikirkan, tetapi ia tetap menjaga Marsha tetap nyaman di sisinya.

Sarah, yang tak pernah bisa diam, melihat momen itu dan langsung melontarkan komentar khasnya. "Obat nyamuk lagi deh!" serunya sambil mengeluarkan ponselnya, tampak asyik dengan dirinya sendiri.

Marsha dan Reno hanya bisa tersenyum tipis mendengar celotehan Sarah yang sudah begitu familiar. Mereka berdua sudah terbiasa dengan tingkah laku Sarah yang selalu hadir seperti obat nyamuk—mengusik, tetapi justru membuat suasana jadi lebih hidup dan tak terlalu serius.

"Kak, Papa baik-baik aja, kan?" tanya Marsha dengan cemas, suara penuh kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.

"Baik kok, kata dokter, cuma syok," jawab Reno dengan suara tenang, meskipun matanya terlihat kosong, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Marsha menatapnya dengan rasa penasaran yang semakin besar. "Papa syok kenapa, sih, Kak? Kok bisa sampai nggak sadarkan diri begitu?" tanyanya, hatinya dipenuhi kecemasan dan kekhawatiran tentang kondisi papanya.

Reno terdiam, pandangannya kosong, seakan mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Ia tampak ragu dan bingung, seperti ada sesuatu yang tak mampu untuk diungkapkan.

"Kak?" Marsha bertanya lagi, kali ini suaranya lebih lembut, Tetap tidak mengalihkan pandangannya dari bahu Reno. Ia ingin tahu, dan tak sabar menunggu penjelasan.

Tiba-tiba, Reno tersadar. Bahunya terasa kosong, dan saat ia melihat ke samping, Marsha sedang menatapnya dengan penuh kekhawatiran. "Kakak kenapa?" tanya Marsha, ekspresinya kini serius, seolah ingin memastikan apakah semuanya baik-baik saja.

Reno tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya sendiri. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan yang masih sulit untuk dijelaskan.

Reno lama menatap wajah Marsha, senyumnya lembut namun penuh makna. Dengan hati-hati, ia menyelipkan rambut Marsha yang terurai ke belakang telinganya, seolah tak ingin melewatkan momen ini. Dapat Menatap wanita yang ia cintai sedekat ini membuat hatinya berdebar. Ia terus memandangi wajah Marsha, semakin dalam, seakan mencoba mengabadikan setiap detil yang ada.

Namun, di tengah momen itu, Reno mulai merasa ragu. Hubungan yang selama ini ia jalani bersama Marsha terasa berbeda, ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Rasa bimbang itu semakin tumbuh, membuatnya ragu akan segala sesuatu yang terjadi antara mereka.

"Kakak juga kurang tahu sebenarnya, nanti kita tanya Mama aja," jawab Reno akhirnya, berusaha menyembunyikan kebingungannya.

Marsha mengernyit, merasakan ada yang tidak beres. Ia bisa melihat jelas bahwa Reno seolah sedang melamun, pikirannya terjebak dalam sesuatu yang sulit dijelaskan. Ada yang disembunyikan Reno darinya, dan itu membuat hati Marsha sedikit terganggu.

...***...

Sebagai Pengganti

Marsha perlahan mengangkat kepalanya dari bahu Reno saat melihat Tiara—mama Sarah—datang menghampiri mereka. Reno, yang sempat bingung, langsung mengikuti arah pandang Marsha, mencoba mengerti kenapa Marsha tiba-tiba bergerak.

“Mamanya Sarah,” bisik Marsha pelan, memberi tahu Reno agar ia tidak lagi merasa bingung. Marsha juga merasa kurang nyaman jika terus bergelayut di bahu Reno, jadi ia memutuskan untuk bangkit dan berdiri.

Dengan langkah tenang, Marsha dan Sarah kemudian menghampiri Tiara dan menyalaminya dengan sopan. Tiara tersenyum ramah, seolah sudah mengetahui apa yang terjadi.

“Marsha, tadi Sarah yang kabari Tante,” kata Tiara setelah Marsha dan Sarah menciumi punggung tangan Tiara sebagai tanda hormat. Marsha mengangguk, merasa sedikit lebih tenang melihat kehadiran Mama Sarah di sana.

Tiara pamit dan bergegas pergi untuk menjenguk Harris. Ia hanya memberikan senyuman dan anggukan singkat kepada Reno, seakan-akan sedang terburu-buru. Tak lama kemudian, Tiara kembali dan pamit untuk pulang bersama Sarah.

Sarah menoleh kepada Marsha dengan wajah penuh pengertian. "Pulang dulu ya, Sha. Sabar, tadi gue lihat Om Harris baik-baik aja kok," ujarnya sambil berusaha menenangkan sahabatnya. "Gue nggak ngerti kenapa lo nggak boleh masuk, rasanya nggak ada yang aneh di dalam." Sarah berbisik, ingat betapa anehnya keadaan yang membuat Marsha tak bisa menemui papanya sendiri.

"Thanks ya, Sar. Doain Papa cepat sembuh," kata Marsha dengan harap, lalu memberikan kode untuk melanjutkan percakapan mereka lewat pesan singkat. Ia melambaikan ponselnya, berharap bisa berbicara lebih lanjut.

Sarah membalas dengan anggukan, mengangkat kedua jempolnya. "Pasti," katanya, memberi jaminan dengan penuh keyakinan.

~

Hana menghampiri Reno, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bolak-balik mengurus berbagai urusan, mulai dari administrasi hingga masalah perusahaan. Tak hanya itu, ia juga masih khawatir tentang Maya yang belum ditemukan keberadaannya. Dengan lembut, ia memberi instruksi pada Reno, "Kamu antar Marsha pulang ya, Ren. Om Harris masih harus menjalani pengecekan lebih detail, tadi tensinya tiba-tiba naik."

Reno menatap Marsha yang tertidur lelap di sampingnya, kemudian menjawab, "Tadi Marsha bilang dia mau lihat Om Harris dulu, Ma." Hana menatap Marsha dengan penuh iba, merasa kasihan pada gadis itu yang terlihat begitu lelah.

"Besok aja deh, Ren. Sekarang bawa Marsha pulang dulu, biar dia bisa istirahat. Kasihan, tadi kehujanan, nanti bisa sakit lagi," kata Hana, khawatir. Ia kemudian berbalik untuk kembali ke kamar rawat Harris, namun Reno memanggilnya dengan cepat, menghentikannya sejenak.

"Ma," Reno memanggilnya pelan, menatap Hana dengan ekspresi penuh pertanyaan. "Soal masalah tadi, apa benar harus Marsha yang menggantikannya?" Ia bertanya dengan suara penuh keraguan, sulit menerima keputusan besar yang datang begitu mendadak dari keluarganya.

Hana menatap Reno dengan penuh keprihatinan, lalu menggelengkan kepala. "Entahlah, Ren. Mama juga nggak tahu," jawabnya pelan. Ia duduk di samping Reno, berbisik agar Marsha yang sedang tertidur tak mendengarnya. "Maya belum ditemukan, kemungkinan besar dia sudah keluar negeri, atau mungkin dia masih di sini," tambahnya dengan suara penuh kekhawatiran.

Reno menatapnya bingung. "Maksudnya?"

Hana menatap ke depan, tampak berpikir sejenak. "Ada penemuan dari orang suruhan Papa, sepertinya ada yang menyalahgunakan identitas Maya. Papa bilang mereka masih mencari tahu, apakah Maya benar-benar keluar negeri atau tidak."

Reno semakin bingung. "Kenapa nggak cek CCTV di bandara aja, Ma?"

Hana menghela napas, wajahnya semakin tegang. "Semua CCTV menunjukkan sosok yang mirip Maya, baik di bandara maupun di stasiun. Bahkan di hari yang sama, dengan jarak waktu yang hanya beberapa menit. Tapi, Ren, bandara dan stasiun itu jaraknya jauh sekali, nggak mungkin bisa ditempuh secepat itu."

Reno memijat pelipisnya, merasa kepalanya semakin pusing memikirkan semua yang sedang terjadi. Sementara itu, Marsha yang sedari tadi tertidur tanpa sadar, perlahan menggeliat dan semakin menggenggam lengan Reno, membuat pelukannya semakin erat. Hana melihat pemandangan itu dengan senyum kecil, merasakan keanehan yang ada pada hubungan antara Reno dan Marsha.

"Udah ah, kasihan deh, tuh adikmu udah nggak sadar, malah ngira kamu ini guling," Hana tertawa pelan, memecah keheningan. "Mama mau balik ke kamar Om Harris dulu, Tante Nadia lagi ngobrol sama dokter waktu Mama keluar."

Reno hanya bisa mengangguk dengan senyum pahit di wajahnya. Mendengar kata "adik" dari Hana, entah kenapa membuat hatinya sedikit sesak. Ia menyadari, meskipun hubungan mereka rumit dan penuh kebingungannya, ikatan keluarga tetap saja tak bisa dipungkiri, bahkan di tengah segala kerUmitan yang melingkupi mereka saat ini.

Flashback On

“Mbak, Mas Harris kenapa?” Hana berlari cepat menghampiri Nadia yang tampak terpaku dengan wajah panik di depan ruang ICU. Reno dan Candra mengikuti langkahnya dari belakang. Nadia tampak sangat terpuruk, rambutnya berantakan, wajahnya penuh kekhawatiran, dan matanya sembab, terus mengeluarkan air mata tanpa henti.

“Ma-Maya kabur, Han...” Nadia berbicara dengan suara tertahan, hampir tak bisa menguasai diri. Ia terjatuh lemah, dan langsung dirangkul oleh Reno, membantunya duduk di kursi yang ada di dekat mereka. Semua yang ada di sana terdiam beberapa saat, kebingungan dan terkejut mendengar apa yang baru saja Nadia katakan.

“Tenang, Mbak. Aku akan minta bantuan orang-orang Mas Candra untuk mencari Maya,” Hana berkata sambil melirik suaminya, memberi isyarat untuk berbicara lebih lanjut berdua. Sementara itu, Reno masih menenangkan Nadia yang tak henti-hentinya terisak.

“Nad, ini,” suara Nadia terdengar lemah saat ia menyerahkan secarik kertas milik Maya kepada Hana.

Hana segera mengambil surat itu, membukanya, dan membaca isinya bersama Candra. Matanya sesekali melirik Nadia, dan sesekali mengerutkan keningnya, merasa ada yang tidak beres. Hana menghela napas berat, merasakan beban yang tiba-tiba semakin besar. Tanpa berkata apa-apa, ia menyerahkan surat itu kepada Reno, lalu menarik Candra menjauh dari Nadia untuk berbicara lebih privat.

Reno membaca surat itu dengan cermat. Rahangnya mengeras saat ia memahami dampak dari keputusan Maya. Jika pernikahan ini batal, seluruh perusahaan keluarga mereka akan terancam bangkrut. Rasa kesal menyelimuti dirinya, tak habis pikir bagaimana Maya bisa melakukan ini. Di awal, ia tahu Maya setuju tanpa paksaan, namun sekarang surat itu seolah-olah menyalahkan perjodohan ini sebagai keputusan yang dipaksakan. Dengan kesal, Reno menyimpan surat itu saat kedua orang tuanya mendekat.

“Mbak, orang-orang Mas Candra sudah mulai mencari Maya. Tenang saja, ya. Sekarang, kita fokus pada kesehatan Mas Harris,” Hana berkata lembut, mencoba menenangkan Nadia sambil menggantikan posisi Reno di sampingnya.

“Benar, Mbak. Orang-orang saya sudah berpengalaman, semoga mereka segera mendapatkan kabar baik,” tambah Candra dengan suara tenang, berusaha memberikan harapan pada Nadia yang tengah terpukul.

“Tapi bagaimana dengan operasional perusahaan, Can? Kita sudah di ambang kehancuran,” suara Nadia terdengar putus asa. “Satu-satunya cara untuk menyelamatkan semuanya adalah dengan menikahkan Maya, tapi dia malah pergi. Waktu kita tinggal kurang dari dua bulan, Hana. Bagaimana jika dia tidak ditemukan?” Nadia benar-benar frustasi, air matanya terus mengalir.

Hana terdiam, tampak kebingungan menghadapi situasi yang semakin sulit ini. Nadia menegakkan kepalanya, lalu menatap Hana dengan penuh harap. “Han, bagaimana kalau kita menggantikan Maya dengan Marsha?” kata Nadia dengan suara pelan, namun penuh keyakinan.

Semua terkejut mendengar usulan itu, terutama Reno. Wajahnya memucat, rahangnya mengeras, dan matanya nanar menatap Nadia dengan penuh kebingungan. Bagaimana mungkin Marsha, wanita yang ia cintai lebih dari sebagian hidupnya harus ia biarkan menikah dengan orang lain. Reno tak ingin itu terjadi.

“Tapi Marsha masih sekolah, Mbak,” Hana tetap ragu dengan ide Nadia.

“Bulan depan Marsha sudah genap 18 tahun, Han. Secara hukum, dia sudah dianggap dewasa dan bisa menikah,” Nadia menjawab dengan penuh keyakinan, berharap ide itu benar-benar bisa menjadi solusi. Ia meyakinkan dirinya bahwa tidak ada hukum yang akan dilanggarnya dengan langkah ini.

Hana dan Candra saling berpandangan, merasa belum yakin. Mereka tahu Marsha masih berstatus pelajar, dan lebih dari itu, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab. Bagaimana dengan perasaan Marsha? Apakah dia bersedia untuk melakukan ini? Dan yang lebih penting, bagaimana dengan keluarga calon suami Maya? Apakah mereka akan menerima keputusan mendadak ini, menggantikan calon pengantin yang seharusnya dengan seorang pelajar?

Keraguan itu menggelayuti pikiran mereka, karena tidak hanya menyangkut hukum, tapi juga perasaan dan kehormatan yang bisa terguncang dalam proses ini.

Flashback Off

Tangan Reno dengan lembut mengelus lengan Marsha yang kini melingkar di perutnya, sebuah sentuhan penuh kasih yang mencoba memberi ketenangan. Ia merasa gelisah, berpikir keras. Tidak ada yang lebih ia inginkan selain menjaga Marsha, bukan hanya sebagai bagian dari rencana yang sudah mereka buat bersama, tetapi sebagai kekasih yang ia cintai.

Namun, usulan untuk menggantikan Maya dengan Marsha membebaninya. Reno merasa ragu, bahkan marah. Ia tidak ingin Marsha terjebak dalam situasi yang begitu rumit dan berbahaya, apalagi jika itu berisiko mengubah masa depan mereka. Ia ingin berjuang untuk hubungan mereka, seperti yang telah mereka rencanakan sejak awal—tanpa paksaan, tanpa tekanan.

Tapi pertanyaannya kini, bagaimana cara ia bisa melawan semuanya? Bagaimana ia bisa memastikan bahwa Marsha tidak akan terpaksa menjalani jalan yang tidak ia pilih, sementara ia juga harus menghadapi tuntutan keluarga dan perusahaan yang tak bisa ditunda? Pertanyaan itu menggantung di benaknya, tanpa jawaban yang jelas.

***

Ada Syaratnya

Sebulan telah berlalu sejak Harris dirawat di rumah sakit. Setelah lebih dari sepekan menjalani perawatan intensif dan sekitar dua pekan pemulihan di rumah, kini ia kembali bekerja seperti biasa. Kabar baik ini membuat Marsha merasa sangat lega. Seingatnya, ini adalah masa sakit terlama yang pernah dialami Harris.

Di pagi hari yang cerah, Marsha tiba di sekolah dengan semangat yang berbeda.

"Selamat pagi, Pak!" sapanya ceria kepada Agus, satpam sekolah, sambil melambaikan tangan.

"Pagi juga, Neng geulis!" balas Agus dengan nada semangat yang sama, bahkan menirukan gerak tubuh Marsha, membuatnya tertawa kecil.

"Sarapan, Pak," ujar Marsha sambil meletakkan dua kotak makanan di meja pos keamanan.

"Terima kasih banyak, Neng," balas Agus, sambil memindahkan kotak makanan itu ke sudut meja agar aman. Ia kemudian menatap Marsha dengan penasaran. "Wah, riang banget hari ini, Neng. Apa ada kabar menang olimpiade lagi?"

Marsha tertawa mendengar candaan Agus. "Pak Agus ada-ada aja. Mana ada olimpiade setiap bulan? Baru tiga bulan lalu saya ikut Olimpiade Sains Nasional, masa sekarang olimpiade lagi. Yang ada juga rehat, Pak, baru selesai ujian semester."

"Jadi kenapa, dong? Ada kabar bahagia?"

"Iya, Papa saya udah keluar dari rumah sakit, Pak. Sekarang beliau sehat seperti sedia kala. Makanya hati saya lega, bawaannya bahagia terus," jawab Marsha sambil tersenyum lebar.

"Syukur alhamdulillah. Saya doakan semoga Papanya Neng selalu sehat dan panjang umur, ya," ucap Agus tulus.

"Aamiin, Pak! Terima kasih," sahut Marsha dengan penuh semangat.

Marsha kemudian melangkah pergi, berpamitan, "Saya ke perpustakaan dulu, ya, Pak. Mau ‘bersemedi’ sebentar."

Agus tertawa mendengar istilah khas Marsha itu, lalu melambaikan tangan.

Sebelum menuju perpustakaan, Marsha sempat berteriak kecil kepada Cakra, rekan Agus yang sedang berjaga di depan gerbang. "Pak Cak, jangan lupa sarapannya, ya!"

"Siap, Neng. Terima kasih banyak," jawab Cakra sambil tersenyum hangat.

Dengan hati riang, Marsha melanjutkan langkahnya, menikmati pagi penuh energi dan rasa syukur.

Salah satu kebiasaan rutin yang telah dilakukan Marsha selama bertahun-tahun di sekolah adalah membawakan sarapan untuk petugas keamanan dan petugas kebersihan. Tradisi ini ia mulai sejak duduk di bangku SMP dan terus ia jalankan hingga sekarang.

Alasan di balik kebiasaan ini sederhana namun penuh kepedulian. Marsha menyadari bahwa petugas keamanan dan kebersihan sekolah harus datang lebih awal daripada guru maupun murid. Jika murid dan guru saja sudah masuk pagi-pagi sekali, tentu mereka harus hadir lebih awal lagi, pikir Marsha.

Kebiasaan ini bermula ketika ia melihat Maya, sering terlihat terburu-buru di pagi hari karena tidak sempat sarapan. Marsha memperhatikan bahwa Maya terkadang hanya membawa bekal seadanya atau bahkan tidak makan sama sekali. Hal itu membuat Marsha tergerak untuk membawakan sarapan sebagai tanda kepeduliannya.

Apa yang dimulai sebagai niat sederhana kini menjadi rutinitas yang penuh makna. Melalui tindakan kecilnya, Marsha menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang tanpa lelah memastikan sekolah tetap aman dan bersih bagi semua orang.

Flashback On

"Kamu itu terlalu baik sama orang, Dek. Hampir semua orang kamu kasihani,” ujar Maya suatu hari, nada suaranya lembut namun serius.

Marsha mengerutkan kening, bingung dengan pernyataan kakak kelas yang dekat dengannya itu. “Memangnya salah, Kak, kalau aku berbuat baik?” tanyanya polos.

“Bukan salah, Dek. Justru bagus banget. Tapi kamu harus ingat, nggak semua orang itu perlu dikasihani. Kebaikan kamu itu jangan sampai berubah jadi sesuatu yang malah merugikan kamu,” jawab Maya, tatapannya lembut namun penuh makna.

“Maksudnya gimana, Kak?” Marsha masih belum sepenuhnya mengerti.

Maya tersenyum kecil sebelum menjelaskan, “Maksudnya, kamu harus hati-hati. Jangan sampai kebaikan kamu dimanfaatkan orang lain. Bantu orang sesuai kemampuan kamu, dan pastikan bantuan itu memang benar-benar dibutuhkan. Jangan asal membantu hanya karena kamu merasa kasihan.”

Perkataan Maya membuat Marsha terdiam sejenak. Ia mulai memahami bahwa kebaikan tidak hanya soal memberi, tetapi juga tentang kebijaksanaan dalam menilai situasi.

Flashback Off

Di Perpustakaan

"Sha, ngapain sih lo di sini? Orang-orang pada sibuk siap-siap tanding. Kasih support kek, atau ikut lomba sekalian," bisik Sarah tiba-tiba di telinga Marsha.

Marsha bergidik kaget. Bulu tengkuknya langsung meremang mendengar suara Sarah yang muncul entah dari mana. Dengan pasrah, ia menutup buku referensi yang sedang dibacanya, lalu menghela napas panjang.

"Ya udah, deh," gumam Marsha sambil beranjak menuju meja pustakawan untuk meminjam buku. Sarah hanya diam mengikuti langkahnya dari belakang, memasang wajah puas seolah misinya berhasil.

"Lo ya, Sar. Bisa banget datang pagi-pagi cuma pas class meeting doang," keluh Marsha ketika mereka berjalan berdampingan menuju kelas.

"Yah, gimana, Sha. Class meeting itu seru banget, tau!" Sarah membela diri sambil terkekeh.

Marsha mendengus. "Bukan itu maksud gue. Maksudnya, kalau lo bisa bangun pagi buat ini, kenapa nggak setiap hari aja datang pagi?"

"Gue kan bukan lo, nona perfeksionisme," jawab Sarah sambil memutar bola matanya.

Marsha hanya menghela napas lagi, terlalu lelah untuk berdebat lebih jauh.

Sesampainya di kelas, Sarah menunjuk meja Marsha sambil tersenyum usil. "Tuh, di meja lo ada gift lagi. Masih cokelat. Apa nggak lo kasih tahu aja kalau lo nggak makan cokelat?"

Marsha hanya melirik sekilas. "Buat apa?" tanyanya datar.

"Ya biar diganti sama yang lain dong. Sesuatu yang lo suka, yang bisa lo nikmatin."

"Nggak, ah. Harusnya dia stop aja ngirimin bingkisan kayak gitu. Gue aja nggak tahu dia siapa dan maunya apa," jawab Marsha santai sambil duduk.

Sarah mendengus gemas. "Ya ampun, Sha. Masih nanya juga? Jelas-jelas dia suka sama lo, dong. Lo ini oon atau gimana, sih?"

Marsha menoleh heran pada Sarah, tapi hanya mendapati tatapan penuh kekesalan bercampur geli dari sahabatnya itu.

**

Marsha menatap kartu ucapan yang terselip di bingkisan cokelat di atas mejanya. Lagi. Sudah hampir dua bulan ini ia menerima bingkisan serupa, tidak setiap hari, tapi cukup sering untuk membuatnya bertanya-tanya. Siapa pengirimnya?

Setiap kartu selalu diakhiri dengan tanda tangan yang sama: V. Kata-kata di dalamnya pun beragam, mulai dari ucapan manis hingga motivasi sederhana. Namun hari ini, pesannya lebih singkat:

Semoga hari-harimu menyenangkan. ~V~

Tak lama setelah membaca pesan itu, ponsel Marsha bergetar. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal muncul di layar:

V: [Hai, lagi apa?]

Marsha mendesah lelah. Dengan malas, ia mengetik balasan:

Marsha: [Hai. Thanks. Bisa stop aja nggak? Gue nggak nyaman.]

Balasannya datang dengan cepat, seperti sudah dipersiapkan:

V: [Maaf. Please jangan tolak ya. Aku usahakan, semoga suatu hari bisa langsung ketemu kamu.]

Marsha terdiam, jari-jarinya menggantung di atas layar. Bukannya merasa tersentuh, ia justru semakin tidak nyaman. Ia memutuskan untuk tidak membalas pesan itu lagi.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama ia mencoba menghentikan V. Sudah beberapa kali Marsha memberitahu dengan tegas agar pengirim berhenti mengirimkan bingkisan atau menghubunginya. Namun, usahanya selalu sia-sia. Setiap kali ia memblokir nomor, V kembali dengan nomor yang baru. Sampai saat ini, sudah tiga kontak berbeda yang Marsha blokir, semuanya mengaku sebagai V.

Rasa bingung dan frustrasi menyelimuti pikirannya. Apakah V tidak memahami batasan? Atau memang sengaja mengabaikannya? Yang pasti, perhatian berlebihan ini bukan lagi terasa menyenangkan, melainkan mengganggu.

Tok! Tok! Tok!

Marsha mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca ke arah pintu kamarnya. "Ya?" sahutnya.

Dari balik pintu, muncul ART keluarga, menyampaikan pesan dengan sopan. "Permisi, Non. Nyonya minta Non Marsha ke bawah sekarang."

Marsha mengernyit, bingung. "Hah? Ada apa, Bi?"

"Kurang tahu, Non. Tapi disuruhnya sekarang," jawab ART itu sambil tersenyum kecil.

Marsha mengangguk pelan. "Iya, bentar, Bi. Aku beresin ini dulu," ujarnya sambil melirik meja belajarnya yang penuh dengan barang-barang kiriman dari V.

Setelah ART itu pergi, Marsha segera membereskan tumpukan barang di mejanya. Semua barang dari V ia simpan rapi ke dalam sebuah lemari khusus, jauh dari pandangan. Meski sering merasa terganggu dengan perhatian berlebihan itu, ia tak ingin membuangnya begitu saja.

Namun, untuk makanan yang ia terima—terutama cokelat—Marsha punya kebiasaan lain. Ia lebih memilih membagikannya kepada teman-temannya di kelas. Bagi Marsha, cokelat bukanlah favorit, dan daripada terbuang, lebih baik diberikan kepada mereka yang bisa menikmatinya.

Setelah memastikan meja kembali bersih dan rapi, Marsha melangkah keluar kamar menuju lantai bawah, bertanya-tanya apa yang sedang menunggunya di sana.

Marsha terkejut dan merasa aneh melihat seluruh keluarga dari pihak papanya berkumpul di ruang tamu, kecuali Reno dan Maya. Wajah mereka tampak serius, dan itu membuat perasaan Marsha semakin tidak enak.

"Ada apa ini, Ma?" tanya Marsha, mencoba memahami situasi yang terasa berbeda.

Nadia, ibunya, memanggilnya dengan lembut. "Duduk dulu sini, Nak," katanya. Marsha menurut dan duduk di samping mamanya.

"Ada apa, sih? Kok pada tegang gitu mukanya?" tanya Marsha, curiga. Ia menoleh pada Hana, bibinya, yang duduk di depannya. "Tante, Kak Reno mana?" tanyanya, biasanya kalau orang tua Reno datang berkunjung kerumahnya, dia pasti selalu ada.

Hana menghela napas dan menjawab pelan, "Reno ada urusan, Sha. Tadi katanya nggak bisa datang ke sini."

Marsha mengernyit, merasa ada yang tidak beres. Itu bukan kebiasaan Reno yang ia kenal. Setidaknya, Reno pasti akan memberi kabar terlebih dahulu. Terlebih lagi, tadi sore mereka masih sempat saling berkabar. Marsha pun merasa gelisah.

Dengan hati-hati, Marsha mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menghubungi Reno langsung, bertanya-tanya mengapa ia tidak memberitahunya atau sekadar memberi kabar. Suasana di sekitarnya terasa dingin dan canggung, semakin membuat Marsha merasa tidak nyaman.

"Sha," Nadia memanggil lembut, sambil perlahan menurunkan ponsel Marsha yang masih di tangannya. Marsha menoleh dengan tatapan bingung, menunggu ibunya melanjutkan perkataan.

"Perusahaan Papa bangkrut," kata Nadia, suaranya berat dan penuh kekhawatiran.

Marsha terkejut, hanya bisa terdiam, wajahnya penuh rasa kaget dan bingung. "Hah!?" Itu saja yang keluar dari mulutnya, tubuhnya mendadak terasa kaku, bingung dan linglung.

Candra, direktur keuangan di perusahaan keluarga itu, melanjutkan penjelasan dengan serius, "Masalah keuangan. Perubahan pasar dan teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan, hingga akhirnya perusahaan kehilangan pangsa pasar." Ia menghela napas, lalu menambahkan, "Pendapatan yang terus menurun tidak cukup untuk menutupi biaya operasional perusahaan, Marsha."

"Terus, hubungannya dengan Marsha apa, Om?" tanya Marsha, semakin tidak mengerti.

Candra menatapnya, dan suara Nadia yang lembut kembali terdengar, "Ada rekan bisnis Papa yang ingin membantu, Sha."

"Bagus dong, Om! Kalau gitu, kenapa semua pada tegang begini?" Marsha mulai merasa semakin bingung dan cemas.

Nadia merangkul Marsha, mencoba memberikan kenyamanan meski wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. "Mereka minta syarat, Sha."

"Syarat? Apa ada hubungannya sama Marsha?" Suara Marsha mulai serak, hatinya berdebar. Melihat wajah mereka, ia merasa bahwa ini bukanlah permintaan yang mudah atau menyenangkan untuk didengar. Nadia hanya mengangguk pelan, sementara Hana di depannya menatap dengan pandangan penuh iba, membuat Marsha semakin tidak nyaman.

"Apa?" tanya Marsha, suaranya hampir tidak terdengar, namun dipenuhi rasa takut yang semakin menggebu.

Dengan suara yang lembut namun berat, Nadia akhirnya berkata, "Kamu harus menikah dengan anaknya."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!