NovelToon NovelToon

Melukis Cinta Bukan Mengukir Benci

PERGI MENINGGALKAN MASALAH

Harris Zlatan meremas kertas ditangannya dan melemparnya dengan kasar, wajahnya merah menahan amarah dengan napasnya yang tersengal-sengal, ia terduduk tidak berdaya.

"Mas, kamu kenapa?" Nadia Firman, istrinya setengah berlari menghampiri Harris yang sudah bersandar di tepi ranjang Maya Arini Zlatan, anak sulungnya. Nadia panik melihat suaminya yang sedang berusaha mengontrol napasnya.

Nadia mencari arah mata Harris yang tertuju pada kertas yang di lemparkannya tadi, dengan ragu Nadia mengambilnya. Ia membuka kertas yang sudah remuk nyaris robek yang ternyata adalah sebuah surat dari Maya.

Pa, Ma, Maya dari dulu selalu menuruti apa maunya Papa dan Mama, tidak ada satu pun yang Maya tolak. Apa pun itu. Papa dan Mama melakukan itu demi kebaikan Maya. Maya menuruti semua hanya demi kebahagiaan Papa dan Mama. Tidakkah satu kali pun ada pertanyaan apakah Maya menyukainya? Apakah Maya senang menjalaninya? Maya tidak benar-benar bahagia Pa, Ma.

Air mata Nadia berlinang, bibirnya bergetar membaca setiap kalimat yang tertulis di kertas itu.

Ma, Pa, maafkan Maya. Sungguh Maya sangat sayang Papa dan Mama, tapi boleh kan untuk kali ini Maya tidak menuruti permintaan Papa dan Mama. Maya hanya ingin menikah dengan laki-laki yang Maya cintai Pa, Ma. Maya berharap Papa dan Mama mengerti, Maya akan baik-baik saja. Tidak perlu mencari, maafkan Maya harus pergi.

Nadia menangis, air matanya tidak terbendung lagi. Perasaannya benar-benar kacau sekarang, ia tidak tahu harus marah karena kepergian Maya yang diam-diam karena menolak perjodohan atau harus sedih karena ketidakbahagiaan Maya selama ini.

***

Hujan deras tidak menghentikan langkah Marsha Aulia Zlatan yang tergopoh-gopoh untuk mencapai pintu rumah sakit. Ia seakan tersengat listrik begitu mendengar kabar Harris─Papanya masuk rumah sakit.

"Marsha, hujan! Ini payungnya sama gue." Sarah Deborah, sahabatnya yang kebetulan sedang bersama Marsha saat menerima kabar buruk itu. Ia hanya bisa berusaha mengejar Marsha yang sudah jauh di depan. "Kan, basah deh dia!" desis Sarah, ia hanya pasrah dengan ulah sahabatnya itu.

Marsha yang begitu masuk rumah sakit langsung mendapati Hana Zlatan─Papanya sedang berada di loket administrasi. Ia pun langsung menghampirinya dengan tidak sabar. "Tante, Papa kenapa?" tanya Marsha panik,

"Ya ampun Marsha kamu kenapa basah begini?" bukannya menjawab Hana mengernyit melihat seragam Marsha yang sudah basah sebagian.

"Hujan, Papa kenapa Tan?" Marsha menjawab apa adanya, ia masih panik ingin tahu keadaan Papanya.

Hana menggiring Marsha untuk duduk di salah satu ruang tunggu di sana, untuk mengajak berbicara Marsha agar tetap tenang. "Papa kamu hanya syok, udah mendingan kok. Sekarang lagi istirahat, nanti atau paling lama besok juga udah boleh pulang."

Marsha menghela napas lega, kini baru ia rasakan dinginnya akibat kehujanan ditambah ruangan yang tidak kalah dingin. "Marsha boleh lihat Papa?" ucapnya penuh harap, namun Hana terlihat ragu.

"Nanti aja ya, sayang. Di dalam masih ada hal penting yang dibicarakan Mama kamu dan Om Candra buat menenangkan Papa kamu juga." Hana berdiri meninggalkan Marsha yang kecewa dan kedinginan, ia hanya bisa pasrah menurut.

"Gila ya lo, hujan deras begini dihantam. Basah kan! Percuma gue ngeluarin payung." Sarah menghampiri penuh dengan kekesalannya, ia duduk di samping Marsha yang sudah dengan posisi memeluk dirinya sendiri karena kedinginan. "Nah, dingin kan. Ngeyel sih!" bukannya iba, Sarah malah mencubit pelan lengan Marsha dengan gemas. Nggak mau dengerin sih tadi.

"Aduh, sakit!" sungut Marsha, ia hanya bisa cemberut.

Mata Sarah membulat begitu melihat seseorang yang ia kenal sedang berjalan ke arahnya dan Marsha. Moreno Arsya─sepupu Marsha yang juga anak semata wayang dari Hana dan Candra Arsya.

Reno lebih tua lima tahun dari Marsha, yang kini juga menjabat disalah satu anak perusahaan Harris dan Hana sebagai pewaris perusahaan keluarga mereka. Reno adalah laki-laki yang Marsha sukai sejak kecil, begitu pula dengan Reno─mereka saling mencintai satu sama lain. Namun status mereka yang sebagai sepupu membuat hubungan lebih dari sekedar saudara itu terhambat walaupun tidak pernah mendengar larangan di keluarga mereka, mereka cukup tahu diri untuk saling menyimpan rasa sampai dirasa waktu yang tepat untuk dibicarakan ke keluarga mereka.

"Sha, STM lo datang." bisik Sarah antusias. Sebagai sahabat, Sarah sangat tahu seluk-beluk kisah dan perjalanan cinta Marsha, bahkan ia memberi label Reno STM (Saudara Tapi Mesra) agar tidak ada orang yang mengetahui jika mereka sedang membicarakannya.

Marsha yang kedinginan mengelus-elus lengannya mendongak ke arah yang ditunjuk Sarah, darahnya berdesir begitu melihat Reno dengan penampilannya yang selalu memukau yang memang sedang berjalan ke arahnya. Reno tersenyum begitu Marsha menyadari kedatangannya, Marsha serasa meleleh seketika ingin rasanya ia berhamburan berlari memeluk pria tampan yang disayanginya itu. Namun itu hanya angan-angan yang berada di pikirannya, kenyataannya ia tetap diam di tempat dengan mode so(k) cool-nya.

Begitu sampai di depan Marsha, Reno langsung membuka jasnya dan memakaikannya pada Marsha, "Kamu kenapa hujan-hujanan?" ucap Reno penuh perhatian. Ia duduk di samping Marsha dan memperhatikan wajahnya dengan saksama, tangannya terulur merapikan rambut Marsha yang basah dan berantakan karena hujan.

"Mau juga deh satu yang kayak kak Reno, masih ada nggak ya?" celetuk Sarah sengaja berucap dengan suara yang cukup lantang untuk didengar pasangan sejoli ini. Marsha melayangkan cubitan balasan untuknya.

"Nggak usah centil!" bisik Marsha kesal,

"Kamu nggak sampai pusing kan habis hujan-hujanan gini? Sini kalau mau sandaran." Reno menepuk bahunya pelan membuat Sarah semakin menjadi heboh. Sarah yang memang suka iseng itu pun mulai menggoda sahabatnya.

"Kaaak, aku juga mau." ucap Sarah dengan nada yang dimanjakan membuat Marsha geli mendengarnya.

Masih dengan so(k) coolnya Marsha bergeming tidak menghiraukan ucapan Reno, tapi sebenarnya ia ingin sekali langsung bersandar kalau perlu sekalian memeluk Reno dengan erat. Namun gengsinya masih menguasai.

"Nggak apa-apa, Sha." dengan lembut Reno menyandarkan kepala Marsha di bahunya, ia pun mengelus pelan rambut Marsha dengan penuh rasa sayang, matanya menatap jauh menerawang.

"Obat nyamuk lagi deh!" celetuk Sarah sambil mengeluarkan ponselnya, Reno dan Marsha hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan dan tingkah Sarah yang sudah biasa mereka hadapi yang menjadi obat nyamuk, semprotan kecoa dan cicak.

"Kak, Papa baik-baik aja kan?"

"Baik, kata dokter hanya syok,"

"Papa syok kenapa sih kak? Kok sampai nggak sadarkan diri gitu." tanya Marsha penasaran dan tentu saja ia masih khawatir dengan keadaan Papanya. Reno terdiam, tatapannya kembali kosong lurus ke depan. Ia terlihat ragu dan bingung.

"Kak?" Marsha masih menunggu tanpa memindahkan kepalanya dari bahu Reno.

"Kakak kenapa?" Reno tersadar begitu bahunya kosong, kini Marsha sedang menatapnya khawatir.

Lama Reno menatap wajah Marsha, seraya tersenyum ia menyelipkan rambut Marsha yang terurai ke belakang telinganya. Seolah-olah ini adalah momen yang tidak boleh dilewatkan bisa menatap wanita yang ia cintai sedekat ini, ia terus memandangi wajah Marsha semakin dalam. Keadaan membuatnya mulai ragu dengan hubungan yang sedang ia jalani bersama Marsha selama ini.

"Kakak juga kurang tahu sebenarnya, nanti kita tanya Mama aja." Marsha mengernyit, ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan oleh Reno darinya. Jelas sekali ia melihat Reno seperti melamun sesaat, entah apa yang ada dipikirkannya.

***

SEBAGAI PENGGANTI

Marsha mengangkat kepalanya dari bahu Reno ketika Tiara─ Mama Sarah datang menghampiri mereka, Reno langsung mengikuti arah pandang Marsha dengan bingung.

“Mamanya Sarah,” bisik Marsha memberi tahu Reno, agar ia tidak lagi bingung kenapa Marsha tiba-tiba mengangkat kepalanya dari bahu Reno ia juga tidak enak jika harus tetap bergelayut di bahu Reno. Marsha dan Sarah kemudian berdiri menghampiri Tiara dan menyalaminya.

“Marsha, tadi Sarah yang kabari Tante,” ucap Tiara setelah Marsha dan Sarah menciumi punggung tangan Tiara dengan sopan. Marsha hanya mengangguk tersenyum ramah pada Tiara. Tiara pun pamit pergi untuk menjenguk Harris, ia hanya tersenyum mengangguk menyapa Reno. Seperti ia sedang terburu-buru karena tidak lama Tiara kembali dan pamit untuk pulang bersama Sarah.

“Pulang dulu ya, Sha. Lo yang sabar, tadi gue lihat Om Harris baik-baik aja kok.” ucap Sarah memberi tahu, “Gue nggak ngerti kenapa lo nggak boleh masuk, nggak ada yang aneh didalam.” Bisik Sarah kemudian, mengingat sahabatnya itu entah kenapa belum diizinkan melihat Papanya sendiri.

“Thanks ya Sar, doain Papa cepat sehat.” ucap Marsha penuh harap, lalu ia memberi kode dengan melambaikan ponselnya untuk melanjutkan bisikin Sarah tadi lewat chat saja.

Sarah mengangkat kedua jempolnya, “Pasti.” ucapnya meyakinkan.

~

“Kamu antar Marsha pulang ya, Ren. Om Harris masih harus melakukan pengecekan lebih detail lagi, tadi tensinya tiba-tiba tinggi.” Hana datang menghampiri Reno, hampir seharian ia bolak-balik mengurus administrasi, masalah perusahaan dan juga Maya yang belum juga ditemukan keberadaannya.

“Tadi Marsha katanya mau lihat Om Harris dulu, Ma.” Reno memberi tahu. Hana menatap iba pada Marsha yang tengah tertidur disamping Reno.

“Besok aja deh Ren, sekarang bawa Marsha pulang istirahat kasihan tadi kehujanan kan, nanti malah sakit pula.” Hana hendak kembali ke kamar rawat Harris, namun Reno memanggilnya dengan cepat.

“Ma,” Hana berbalik dan menunggu Reno melanjutkannya ucapannya, “Soal masalah tadi, apa memang harus Marsha yang menggantikannya?” sambung Reno dengan berat. Ia belum bisa terima dengan keputusan keluarga besarnya itu.

“Entahlah Ren, Mama juga nggak tahu.” Hana kembali duduk disamping Reno, ia berbisik khawatir Marsha mendengarnya. “Maya belum ditemukan, kemungkinan besar dia keluar negeri atau malah masih di dalam.”

“Maksudnya?”

“Penemuan orang suruhan Papa, sepertinya ada yang menggunakan identitas Maya. Papa bilang masih dicari tahu Maya pakai yang keluar negeri atau tidak.”

“Kenapa nggak lihat CCTV-nya Bandara Ma?”

“Semua CCTV menunjukkan itu Maya, baik di Bandara maupun Stasiun. Dihari yang sama, di waktu yang hanya berbeda beberapa menit. Bandara dan Stasiun jarak yang jauh nggak mungkin bisa ditempuh secepat itu, Ren.”

Reno memijat pelipisnya, ia semakin pusing memikirkannya. Marsha yang sedari tadi tidak sadar memeluk lengan Reno menggeliat pelan membuat pelukannya semakin erat pada Reno. Hana hanya tersenyum kecil melihat anaknya mematung karena ulah keponakannya itu.

“Udah ah, kasihan tu adikmu udah nggak sadar mana guling mana kamu.” kekeh Hana, “Mama balik ke kamar Om Harris dulu, Tante Nadia lagi menemui dokter pas Mama keluar.” Reno mengangguk mengiyakan, ia tersenyum miris mendengar kata ‘adik’ dari Hana.

Flashback On

“Mbak, Mas Harris kenapa?” Hana berlari menghampiri Nadia yang masih berdiri dengan panik dan cemas di depan ruang ICU. Reno dan Candra menyusul dibelakangnya. Nadia tampak kusut, wajahnya terlihat frustrasi, matanya sembab dan tak henti mengeluarkan air mata.

“Ma-Maya kabur Han...” ucap Nadia terbata, ia terkulai lemah yang langsung disambut oleh Reno untuk duduk di kursi yang berada disana. Untuk beberapa saat tidak ada yang menanggapi ucapan Nadia, semua tampak kaget dan kebingungan.

“Tenang Mbak, aku bakal minta tolong orang Mas Candra untuk mencari Maya.” Hana melirik suaminya, memberi kode untuk berbicara berdua, sedangkan Reno masih merangkul Nadia untuk menangkannya.

“Han,” panggil Nadia lemah, ia memberi secarik kertas milik Maya.

Hana mengambilnya dan ia langsung membuka dan membacanya bersama Candra, matanya melirik Nadia, sekali ia juga mengerutkan alisnya. Hana menghela napas berat, ia memberikan kertas itu pada Reno kemudian menarik Candra untuk berbicara menjauh dari Nadia.

Reno membaca surat itu, rahangnya mengeras, ia tahu betul apa akibatnya jika Maya tidak jadi melaksanakan pernikahan ini, perusahaan keluarga mereka akan hancur dan bangkrut. Ia mendengkus kesal bisa-bisanya Maya melakukan ini semua, padahal di awal ia menyetujuinya tanpa ada paksaan dan sekarang isi suratnya seolah-olah ia adalah korban keterpaksaan perjodohan ini. Reno menyimpan surat itu begitu melihat kedua orang tuanya kembali.

“Mbak, orang Mas Candra udah bergerak untuk mencari keberadaan Maya, Mbak tenang aja ya, sekarang kita fokus pada kesehatan Mas Harris.” Hana datang menenangkan Nadia mengambil alih posisi Reno.

“Benar Mbak, orang saya sudah ahli, mudahan cepat dapatkan kabarnya.” Candra menimpali dengan tenang.

“Tapi gimana dengan operasionalnya Can, perusahaan kita sudah diambang batas.” Nadia terdengar putus asa. “Satu-satunya cara adalah menikahkan Maya, tapi dia nggak mau dan pergi. Waktunya kurang dari dua bulan Hana, bagaimana kalau dia tidak ditemukan?” Nadia benar-benar frustrasi, ia terus menangis.

Hana hanya diam, ia juga tampak bingung bagaimana mengatasi masalah ini. Nadia menegakkan kepalanya, ia menatap Hana penuh harap. “Han, bagaimana kalau kita gantikan Maya dengan Marsha?” ucap Nadia, semua mata tertuju pada Nadia dengan kaget, terutama Reno. Darahnya berdesir, matanya nanar menatap Nadia tidak percaya. Bagaimana mungkin Marsha harus menggantikan posisi Maya, tidak mungkin Reno membiarkan itu terjadi.

“Tapi Marsha masih sekolah Mbak,” Hana masih belum yakin dengan ide Nadia.

“Bulan depan Marsha 18 tahun Han, secara hukum dia udah dewasa kan, sudah bisa menikah.” Nadia masih terus berharap dengan apa yang ia ucapkan memang benar apa adanya. Tidak ada hukum yang akan dilanggarnya.

Hana dan Candra saling tatap, mereka tidak begitu yakin mengingat Marsha masih bersekolah. Ia juga punya perasaan bagaimana dengan perasaannya, apakah dia mau? Dan bagaimana dengan keluarga calon suaminya, apakah mereka bersedia calon pengantinnya digantikan dengan Marsha,  pelajar sekolah.

Flashback Off

Tangan Reno mengelus lembut lengan Marsha yang kini melingkar diperutnya. Ia tidak ingin Marsha menggantikan Maya, ia juga tidak ingin membiarkan itu terjadi. Reno pun berniat akan memperjuangkan hubungannya dengan Marsha sebagai mana mestinya rencana mereka berdua diawal. Tapi bagaimana caranya?

***

Marsha berjalan cepat menyusuri setiap sudut rumahnya. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Maya. Ia kembali ke kamar Maya yang sudah ia datangi sebelumnya, masih terkunci.

Setengah berlari Marsha mencari asisten rumah tangganya di dapur, berharap ada jawaban atas kebingungannya beberapa hari ini. Ia kehilangan sosok Maya yang biasa mengisi kebisingan dirumah bersamanya.

“Bibi, Kak Maya kemana? Kenapa kamarnya dikunci?”

“Kata Ibu Non Maya pergi liburan. Kalau soal kamar Non Maya Ibu yang kunci Non, Bibi nggak tau apa-apa.”

Marsha mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menghubungi Nadia. Harris ternyata dirawat lebih lama dari perkiraan, membuat Nadia harus selalu dirumah sakit. Pulang hanya untuk sekedar mengganti pakaian, atau sesuatu yang penting lainnya.

“Oke Bi, terima kasih ya. Saya hubungi Mama aja.” pamit Marsha sambil meninggalkan assisten rumah tangganya.

“Ma, kakak kemana?” tanya Marsha begitu panggilannya terhubung, ia ingin menyamakan jawaban dengan asisten rumah tangganya, baru berlanjut menanyakannya lebih jelas pada Mamanya soal Maya.

Terdengar helaan napas berat dan panjang di ujung telepon, Marsha semakin mengerutkan alisnya. “Kakak kan pergi liburan sayang,”

Kini Marsha berusaha menahan amarahnya, “Papa lagi sakit kok bisa-bisanya kakak pergi liburan sih, Ma.” Marsha tidak habis pikir kenapa Nadia membiarkannya dan malah terlihat biasa saja.

“Yaa kan kakak pergi liburan dulu, baru Papa sakit.” jawab Nadia sekenanya, selagi masih diterima secara logis ia berharap Marsha tidak mencurigainya apalagi sampai mencari tahu lebih jauh.

“Ya, tetap dikasih tahu aja Ma. Biar pulang dulu gitu, kan nanti tinggal lanjut liburannya lagi. Ini juga nomornya nggak aktif dari kemarin, di sosmed juga. Kakak sebenarnya liburan kemana sih, Ma? Tiba-tiba menghilang.”

Nadia memegang dadanya, rasa sesaknya seketika kembali menyeruak. Entah dimana dan bagaimana Maya sekarang, sebagai Ibu sungguh ia merasakan khawatir yang luar biasa. Nadia hanya berharap Maya baik-baik saja dan bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya, seperti apa yang diinginkan Maya dalam suratnya.

Nadia pun tetap bersikeras bahwa Maya memang sedang liburan dan akan segera diberitahukan, intinya tidak perlu memikirkannya sekarang, dia tidak tahu apa-apa. Begitulah yang dimasukkan dalam pikiran Marsha.

***

ADA SYARATNYA

Sebulan kemudian. Harris sudah kembali dari rumah sakit, ia hanya memerlukan perawatan selama lebih dari sepekan, pemulihan dirumah lebih kurang dua pekan dan hari ini ia sudah kembali bekerja seperti biasanya. Kabar baik ini tentu saja membuat Marsha merasa jauh lebih lega, karena seingat Marsha ini adalah sakit terpanjang Harris selama ia tahu.

"Selamat Pagi Paaak," sapa Marsha semangat dan  riang pada Agus, security sekolahnya.

"Pagi Neng geuliiis," balas Agus ikutan semangat dan menirukan gerakannya membuat Marsha tergelak melihatnya.

"Sarapan." Marsha meletakkan dua kotak makanan diatas meja yang berada didalam pos security.

"Terima kasih Neng," ucap Agus sambil menggeser kotak makanan itu ke sudut meja bagian dalam agar tidak terjatuh. "Riang amat hari ini, Neng. Ada menang olimpiade lagi ya?"

Marsha terkekeh mendengarnya, sejak kapan ada olimpiade diadakan setiap bulan. Baru juga tiga bulan lalu ia dan dua orang temannya dari kota lain meraih juara umum Olimpiade Sains Nasional mewakilkan provinsi tempat sekolahnya berada. Masa mau olimpiade lagi, yang ada juga rehat sebentar karena baru selesai ujian semester.

"Enggak Pak, Papa saya udah keluar dari rumah sakit, udah sehat sediakala makanya bahagia saya bertambah. Riang aja bawaannya."

"Saya doain Papanya Neng sehat selalu panjang umur yak."

"Aamiin...." doa Agus disambut kencang oleh Marsha.

"Lanjut deh Pak, biasa saya mau bersemedi dulu." pamit Marsha meninggalkan pos security. Bersemedi yang Marsha maksud adalah menghabiskan waktunya di perpustakaan sampai dengan waktu bel masuk sekolah berbunyi.

"Pak Cak, sarapan dulu!" seru Marsha pada Cakra, partner kerjanya Agus hari ini.

"Ya Neng, terima kasih." balas Cakra dari depan gerbang sekolah yang sedang bertugas mengawasi murid-murid yang baru datang.

Salah satu kegiatan rutin Marsha disekolah adalah membawakan sarapan untuk security dan cleaning service sekolahnya, dan itu sudah ia lakukan hampir setiap tahun sejak ia duduk dibangku SMP.

Alasannya adalah security dan cleaning service sekolah harus lebih pagi berada disekolah daripada para murid dan guru. Guru dan murid aja masuk pagi sekali, apalagi mereka, pikirnya. Berawal dari Maya yang ia lihat sering kesiangan dan tidak sempat sarapan, mau tidak mau harus membawa bekal atau sarapan seadanya. Membuatnya berpikir untuk membawakannya juga untuk mereka.

Flashback On

"Kamu terlalu baik sama orang dek, hampir semuanya kamu kasihani." komentar Maya kala itu,

"Emang nggak boleh kak?" Marsha merasa heran kenapa perbuatan yang menurutnya baik ini bisa menjadi tidak baik.

"Boleh banget, tapi ingat tidak semua orang perlu kamu kasihani. Jangan sampai kebaikan kamu jadi keburukan buat kamu."

"Maksudnya?"

"Ya jangan sampai kamu dimanfaatkan, bantu sesuai kemampuan kamu dan jika itu memang diperlukan. Bukan asal membantu."

Flashback Off

Di perpustakaan.

"Sha, ngapain sih disini orang pada siap-siap mau tanding, kasih support kek, ikut lomba kek."

Marsha bergidik, bulu tengkuknya meremang karena tiba-tiba Sarah datang dan berbisik di telinganya. Seketika Marsha langsung menutup buku referensi untuk pelajaran yang sedang ia baca. Marsha menghela napas pasrah, dengan terpaksa menuju pustakawan dan membuat prosedur peminjaman buku. Sarah hanya diam mengekor langkah Marsha didepannya.

"Lo ya Sar, bisa datang pagi-pagi cuma waktu begini." keluh Marsha sembari berjalan bersisian menuju kelas.

"Mau gimana, class meeting itu seru tahu, Sha." Sarah mencoba membela diri.

"Bukan itu maksud gue, ini membuktikan kalau lo bisa bangun lebih pagi, kenapa nggak tiap hari aja datang kaya gini."

"Gue bukan lo, mulai deh nona perfeksionisme." Sarah memutar bola matanya mengejek yang hanya kembali ditanggapi helaan napas pasrah oleh Marsha.

"Di meja lo ada gift lagi tuh, masih cokelat. Apa nggak di kasih tahu aja lo nggak makan cokelat."

"Buat apa?"

"Biar diganti sama yang lain lah Sha, yang bisa lo nikmati gitu."

"Nggak ah, harusnya dia stop kirim bingkisan gitu, gue aja nggak tahu dia siapa dan mau apa."

"Ya elah Sha, masih tanya juga?" Marsha menoleh heran pada Sarah. "Ya jelas dia suka lo lah, ada oon-nya juga ya lo." dengkus Sarah gemas pada sahabatnya.

***

Marsha memperhatikan tulisan di kartu ucapan yang diselipkan pada cokelat yang ia terima lagi hari ini. Sudah hampir dua bulan, tidak setiap hari namun cukup sering ia menerima bingkisan tanpa tahu siapa pengirimnya. V, hanya itu yang tertulis dibawah setelah kata-kata manis atau pun kata motivasi. Hari ini lebih singkat.

Semoga hari-harimu menyenangkan. ~V~

V: [Hai, lagi apa?]

Marsha: [Hai, Thanks. Bisa stop aja nggak. Gue nggak nyaman.]

V: [Maaf. Please jangan tolak ya. Aku usahakan, semoga suatu hari bisa langsung ketemu kamu.]

Marsha bergeming, ia tidak membalas pesannya lagi. Berkali-kali di kasih tahu masih saja mengirim sesuatu, di blokir dia akan menghubungi lagi dengan nomor yang lain. Sampai hari ini sudah tiga kontak yang Marsha blokir yang mengaku atas nama V.

Tok! Tok! Tok!

Marsha menoleh kearah pintu kamarnya, "Ya?"

"Permisi Non," ARTnya muncul dari balik pintu, "Nyonya minta Non Marsha kebawah sekarang."

"Hah?" Marsha mengernyit, "Iya bentar Bi, aku bereskan ini dulu." Marsha menunjukkan barang-barang dari V yang menumpuk di mejanya.

Sesuai ucapannya hanya sebentar setelah selesai ia menyimpan semua barang dari V dan yang lainnya ke dalam lemari khusus. Hanya barang, tapi kalau makanan ia selalu membagikannya pada teman-temannya dikelas terutama jika itu cokelat.

Marsha kaget dan aneh melihat semua keluarga dari pihak Papanya berkumpul, kecuali Reno dan Maya. Wajahnya terlihat serius membuat perasaan Marsha semakin tidak enak.

"Ada apa ini Ma?"

"Duduk dulu sini," panggil Nadia lembut, Marsha menurut dan duduk disebelah Mamanya.

"Ada apa sih? Kok pada tegang gitu mukanya," tanya Marsha curiga, Marsha menoleh pada Hana di depannya, "Tante, Kak Reno mana?" biasanya Reno pasti ikut hadir jika kedua orang tuanya berkunjung kerumahnya.

"Lagi ada urusan kayaknya Sha, tadi katanya nggak bisa ikut kesini."

Marsha mengernyit, ini bukan kebiasaan Reno yang ia kenal. Paling tidak ia pasti akan memberi kabar padanya, toh tadi sore mereka masih saling memberi kabar. Marsha mengeluarkan ponselnya ingin menghubungi Reno, menanyakannya langsung, suasananya juga dingin banget membuat Marsha tidak nyaman.

"Sha," Nadia bersuara sambil menurunkan ponsel Marsha yang dihadapannya, Marsha menoleh aneh pada Mamanya, menunggu ia melanjutkan ucapannya. "Perusahaan Papa bangkrut."

"Hah!?" hanya wajah kaget yang bisa Marsha tunjukkan, ia seketika linglung.

"Masalah keuangan. Perubahan pasar dan teknologi menjadi penurunan pendapatan hingga perusahaan kehilangan pangsa pasar." Candra selaku direktur keuangan di perusahaan keluarganya itu menerangkan pada Marsha, "Pendapatan yang menurun secara drastis tidak menutupi biaya operasional perusahaan, Marsha." lanjutnya lagi.

"Terus hubungannya dengan Marsha apa, Om?"

"Ada rekan bisnis Papa kamu yang ingin membantu Sha,"

"Bagus dong Om, terus kenapa pada tegang gini sih?" Marsha semakin bingung.

"Mereka minta syarat Sha." Nadia berkata dengan lembut, merangkul Marsha disampingnya.

"Syaratnya ada hubungannya sama Marsha?" Marsha mulai merasakan debaran di dadanya, dari raut yang ia lihat sepertinya bukan syarat yang menyenangkan untuk disampaikan padanya. Nadia mengangguk, Hana didepannya tampak menatap iba pada keponakannya yang mulai terlihat semakin tidak nyaman.

"Apa?" tanya Marsha dengan suara serak.

"Kamu harus menikah dengan anaknya."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!