NovelToon NovelToon

The Monster: Resilience

Prologue

Sore itu, matahari perlahan tenggelam di ujung cakrawala, menciptakan semburat warna jingga dan ungu di langit. Wira berdiri di dek kapal pesiar, menghadap ke arah laut yang luas bersama Felisa dan Andrew. Suasana damai menyelimuti mereka, angin laut membelai wajah, dan suara riuh rendah para penumpang terasa hangat di sekitar mereka.

“Pemandangannya indah sekali, ya, Kak,” ujar Wira sambil menghela napas panjang. "Jarang-jarang aku bisa liburan seperti ini."

Felisa tersenyum sambil mengusap pundak adiknya. "Makanya, jangan kerja terus. Sesekali nikmati hidup, seperti hari ini. Lihat, bukan cuma indah tapi juga bikin tenang."

Andrew, yang sudah cukup akrab dengan mereka setelah beberapa jam berbincang, ikut menambahkan. "Kalian benar. Kadang kita perlu waktu sejenak untuk melepas stres. Aku sendiri juga jarang bisa seperti ini."

Wira tersenyum tipis. "Kalau begitu, kita nikmati saja sore ini sebelum pulang ke kehidupan masing-masing."

Mereka terus berbincang sambil menyaksikan matahari perlahan tenggelam, meninggalkan langit yang mulai meredup. Suasana terasa begitu damai. Namun, mereka tak menyadari bahwa malam ini akan membawa sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan.

Malam Hari, Pukul 00.00

Wira terbangun di kamar kabinnya karena suara langkah-langkah tergesa-gesa di luar pintu. Ia mengernyit, bingung dengan kegaduhan yang terdengar di lorong kapal. “Ada apa ini?” gumamnya sambil mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk. Ia mengenakan jaket dan berjalan pelan ke pintu, hendak melihat apa yang terjadi.

Begitu pintu kabin terbuka, suara jeritan dan tangisan terdengar semakin jelas. Di lorong, beberapa orang berlari dengan wajah pucat dan ketakutan. Salah satu penumpang yang berpapasan dengan Wira tergagap sambil menunjuk ke arah dek bawah. “Mereka... mereka dibunuh... ada... ada monster...,” katanya ketakutan sebelum berlari lagi.

Jantung Wira berdetak cepat. “Apa maksudnya monster?” Ia mencoba berpikir rasional, meyakinkan diri bahwa mungkin saja ini hanya kesalahpahaman. Tapi instingnya memaksanya untuk segera mencari Felisa dan memastikan kakaknya baik-baik saja.

Wira berlari menuju kabin Felisa yang berada beberapa pintu di sebelahnya. Namun, di tengah jalan, ia mendengar suara lain dari dek bawah—suara geraman rendah yang tak manusiawi. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Ketika ia mengintip ke dek bawah melalui celah dinding, pandangannya membelalak. Di sana, di bawah cahaya lampu kapal yang remang, terlihat sesosok makhluk tinggi besar yang tampak humanoid namun tubuhnya dipenuhi lapisan keras yang mengkilap seperti logam. Makhluk itu sedang mencengkeram seorang penumpang yang berteriak histeris.

Dengan gerakan dingin, makhluk itu menusukkan cakar tajamnya ke dada pria tersebut, mengoyaknya hingga darah muncrat dan membasahi lantai. Wira terpaku, matanya membesar. Namun, ada sesuatu yang aneh—makhluk itu tampak terguncang ketika darah manusia mengenai kulitnya, seperti merasa tidak nyaman atau bahkan takut.

Makhluk itu segera melepaskan korban yang sudah tak bernyawa dan memandang sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang melihat. Wira menahan napas, tubuhnya gemetar ketakutan, dan nalurinya memberontak, memaksanya untuk segera pergi dari tempat itu.

“Aku harus kabur…” gumamnya, sadar bahwa situasi ini benar-benar mengerikan.

Saat ia mundur, mencari jalan keluar, suara jeritan kembali memenuhi udara. Ia menoleh dan melihat makhluk itu mulai menyentuh kepala manusia satu per satu, menatap mata mereka dalam-dalam. Begitu selesai, manusia itu jatuh tergeletak, dan beberapa detik kemudian tubuh mereka berubah: kulit mengeras, mata menjadi merah, dan mereka mulai bergerak dengan gerakan kaku. Kini, makhluk-makhluk itu bergerak menuju manusia lainnya, menyerang tanpa ampun. Wira tahu ia harus cepat meninggalkan kapal.

Dalam ketakutan, ia berlari menuruni lorong yang gelap, mencoba mencari Felisa dan Andrew di tengah kekacauan. Suasana semakin mencekam, jeritan dan suara kaca pecah memenuhi udara. Ia merasa tubuhnya lemas, namun ia terus memaksa dirinya bergerak.

Namun, baru beberapa langkah, salah satu makhluk yang sudah terinfeksi mencegat jalannya. Makhluk itu meraih Wira, mencengkeram bahunya dengan kekuatan mengerikan, dan mulai mengangkat tangannya ke wajah Wira, bersiap menghisap inderanya.

Wira mencoba meronta, namun makhluk itu terlalu kuat. Dalam kepanikan, ia melihat ada pipa gas di dinding tak jauh dari mereka. Dengan sisa tenaga, ia meraih pipa tersebut dan memukulnya ke wajah makhluk itu, menyebabkan gas mendesis keluar dan menghantam wajah makhluk tersebut.

Makhluk itu meronta kesakitan, melepaskan cengkeramannya dari Wira. Tanpa menunggu lebih lama, Wira langsung berlari secepat mungkin, mencoba mencari jalan keluar dari kapal yang sudah berubah menjadi medan pembantaian ini.

Beberapa Jam Kemudian

Wira sudah berhasil dievakuasi oleh tim militer yang datang menyelamatkan para penumpang yang selamat. Ia duduk di dek kapal militer, menggigil dengan selimut yang disampirkan di bahunya. Di kejauhan, ia bisa melihat kapal pesiar yang kini sudah diselimuti kegelapan.

Ledakan terdengar, diikuti cahaya terang yang menyala dari arah kapal pesiar. Tim militer mencoba melawan makhluk itu dengan tembakan senapan, rudal, bahkan bahan peledak. Namun, makhluk itu tak bergeming. Serangan demi serangan tak mempan, seolah makhluk itu kebal terhadap semua serangan mereka.

Wira hanya bisa menyaksikan dari jauh, tubuhnya bergetar. Saat ia menatap ke arah kapal, matanya membelalak melihat sosok besar yang kini berdiri di tengah-tengah kapal pesiar. Makhluk yang tadi dilihatnya di dek bawah kini telah bertransformasi menjadi jauh lebih besar, tinggi menjulang seperti raksasa. Tubuhnya penuh lapisan tebal dan kuat, yang tak tergoyahkan oleh ledakan maupun peluru.

Tiba-tiba, Wira mendengar suara dalam kepalanya, suara berat dan menakutkan yang menggema di pikirannya.

"Hai manusia, aku akan menyerap semua panca indera... berdoalah untuk keselamatan."

Suara itu mengerikan, seperti ancaman yang menusuk ke dalam jiwa. Di sekeliling Wira, para penumpang yang selamat hanya bisa menatap ngeri. Kini, ia tahu bahwa makhluk itu bukan sekadar ancaman bagi kapal, tetapi ancaman bagi seluruh umat manusia.

Chapter 1: The Beginning

Langit berawan dan suram di atas kamp evakuasi. Suara kendaraan militer dan orang-orang berbicara dengan penuh kekhawatiran mengisi udara. Di sekeliling Wira, para survivor duduk dalam kebingungan, kelelahan, dan ketakutan, seolah bayangan mimpi buruk di kapal pesiar tadi masih terus menghantui. Hanya beberapa hari berlalu sejak tragedi itu, tapi kini dunia terasa begitu berbeda. Alien yang disebut “Ruo” oleh media telah menyebar dengan cepat, dan mereka menjadi teror baru yang tak terhentikan. Setiap kali ada penyerangan, Ruo menyerap indera manusia yang tertangkap dan mengubah mereka menjadi makhluk tak bernyawa yang sama mengerikannya. Mereka kebal terhadap peluru, ledakan, api—segalanya.

Wira mengamati sekeliling kamp yang penuh sesak. Ia mengenakan jaket lusuh yang dipinjamkan oleh petugas, namun pikirannya tertuju pada satu hal yang terus menghantui.

"Felisa… di mana kamu?" gumamnya pelan, tangannya bergetar saat berulang kali mencoba menghubungi telepon kakaknya, tapi tetap tidak ada jawaban. “Ayolah, Kak... Tolong jawab,” ucapnya frustasi.

Seseorang menepuk pundaknya, membuatnya sedikit terkejut. Petugas medis bertubuh tinggi itu memberikan senyuman tenang, meskipun wajahnya juga memancarkan kelelahan yang mendalam. "Maaf, kami harus memeriksa semua survivor, termasuk kamu. Ini hanya prosedur standar, untuk memastikan semuanya baik-baik saja."

Wira mengangguk lemah. Ia mengikuti petugas itu ke sebuah tenda besar tempat beberapa survivor lain sudah duduk berbaris. Setiap orang diperiksa satu per satu oleh petugas medis, wajah mereka dipenuhi keletihan dan luka-luka kecil yang belum sepenuhnya sembuh.

Di luar tenda, Wira mendengar suara desingan helikopter dan kendaraan militer yang terus bersiaga, siap menghadapi segala kemungkinan. Semua orang tahu betapa berbahayanya Ruo. Terlalu banyak laporan yang beredar tentang bagaimana Ruo berhasil menyerang tanpa ampun. Mereka tidak hanya mengancam keselamatan, tetapi juga kemanusiaan. Wira bisa merasakan ketakutan merayapi tubuhnya, namun ia mencoba tetap tenang.

Wira mengambil tempat duduk di sudut tenda dan memperhatikan sekelilingnya. Survivor lain tampak terdiam dalam kecemasan, beberapa bahkan gemetar. Meskipun dalam hati ia juga ketakutan, Wira mencoba menunjukkan ketenangan.

Beberapa menit berlalu, dan salah satu dokter medis mulai memeriksa setiap survivor satu per satu, mengobati luka-luka kecil atau memeriksa tanda-tanda gangguan kesehatan. Suasana relatif tenang di dalam tenda, setidaknya untuk sesaat. Namun, saat salah seorang petugas mendekati seorang pria di baris depan, tiba-tiba ada yang aneh.

Pria itu mengangkat kepalanya dan menatap petugas medis dengan pandangan kosong yang tajam. Tidak ada ekspresi, tidak ada emosi—hanya tatapan dingin tanpa jiwa.

Petugas itu mundur satu langkah, menyadari sesuatu yang mengerikan. "K-kamu... bukan manusia, kan?"

Sebelum sempat ada yang bereaksi, pria itu bergerak cepat, lebih cepat dari yang bisa diikuti oleh mata manusia biasa. Dalam sekejap, ia mendorong petugas tersebut hingga terdengar suara retakan keras. Orang-orang di tenda menjerit, dan kekacauan segera pecah.

"T-tolong! Ruo menyusup ke sini!" seseorang berteriak panik, membuat semua orang di dalam tenda berebut keluar dengan ketakutan.

Ternyata bukan hanya satu, tetapi ada beberapa Ruo yang menyamar sebagai survivor. Mereka semua beraksi bersamaan, menyerang orang-orang di sekitar mereka tanpa ampun. Dengan kekuatan fisik luar biasa, mereka merobohkan tenda dan menahan siapa saja yang mencoba melawan atau kabur.

Wira terpaku sejenak, mencoba memproses apa yang terjadi di sekelilingnya. Para Ruo begitu cerdas—mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga strategi untuk menyusup dan menyembunyikan diri sampai momen yang tepat untuk menyerang. Mereka benar-benar jauh lebih cerdik daripada yang Wira duga.

“Lari!” salah satu survivor berteriak sambil berusaha menyeret tubuhnya yang terluka menjauh. Wira tersadar dan ikut bergerak, mencoba mencari jalan keluar di antara kekacauan yang melanda. Di sekelilingnya, suara jeritan dan gemuruh menghantui, menciptakan kepanikan yang semakin mencekam.

Salah satu Ruo melihat ke arah Wira dan mulai mendekatinya, berjalan pelan namun pasti dengan pandangan kosong dan gerakan yang begitu mantap. Wira merasa jantungnya berdetak cepat, hampir tak bisa bernapas. Ia mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk menyelamatkan diri.

Saat Ruo itu semakin dekat, Wira melihat ada tong air besar di dekat pintu tenda yang terbalik. Dalam sekejap, ia memiliki ide. Dengan gerakan cepat, ia mendorong tong tersebut ke arah Ruo, berharap bisa menciptakan jarak. Tong itu menghantam Ruo dengan suara keras, namun makhluk itu nyaris tak terpengaruh. Ia terus maju, seolah rintangan kecil seperti itu tak ada artinya.

Wira berlari keluar tenda, melewati beberapa tentara yang sedang mencoba menahan para Ruo dengan tembakan. Namun, peluru-peluru itu hanya memantul tanpa efek berarti, bahkan bom granat pun tak menggoyahkan mereka. Para tentara yang bertahan hanya menjadi korban berikutnya, tersapu oleh kekuatan mengerikan para Ruo yang mendekat tanpa henti.

"Kenapa… kenapa mereka tak bisa dihentikan?" Wira berpikir putus asa. Namun, ia tahu satu hal—ia harus bertahan, menemukan cara untuk selamat dari serangan ini, dan mencari tahu di mana Felisa berada.

Di balik kabut dan debu akibat kekacauan, Wira menatap pergerakan para Ruo yang merobohkan segalanya di jalur mereka, menghadirkan mimpi buruk yang nyata bagi setiap manusia yang mencoba melawan. Ia harus tetap hidup, setidaknya untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang berputar di pikirannya.

Namun, di dalam hatinya yang gelap, ada sesuatu yang mulai berbisik. "Ini adalah kesempatan… kesempatan untuk sesuatu yang lebih besar…"

Setelah berlari dari kekacauan di kamp, Wira merasa dunia di sekitarnya telah benar-benar runtuh. Kini dia sendirian, terlunta-lunta tanpa tujuan, lapar, lelah, dan tanpa tahu di mana kakaknya, Felisa. Langit yang mendung tampak tidak menunjukkan belas kasih; angin dingin menusuk tulangnya yang mulai merasakan bekas-bekas luka dari serangan Ruo dan kelelahan dari pelariannya.

Dengan tubuh yang sudah lemah, Wira berusaha mencari makanan. Ia melihat sebuah supermarket di ujung jalan, meskipun bangunan itu tampak terbengkalai, kaca-kacanya pecah dan pintu depan tergantung lepas. Mungkin ada sisa-sisa makanan yang bisa ia ambil di sana. Tanpa berpikir panjang, Wira masuk ke dalam supermarket.

Di dalam, Wira mencoba menyusuri lorong-lorong yang gelap, berharap menemukan makanan atau air yang masih bisa dikonsumsi. Namun, saat ia sampai di bagian tengah supermarket, suara gaduh terdengar dari balik rak-rak makanan yang sudah kosong. Tiba-tiba, sekelompok orang muncul dari bayang-bayang, membawa beberapa kantung plastik besar yang berisi makanan dan perbekalan. Mereka segera menyadari kehadiran Wira dan menatapnya dengan sorot mata waspada.

“Hey, anak muda! Kamu pikir kamu bisa seenaknya datang dan mengambil barang-barang kami?” salah satu dari mereka berkata dengan nada mengancam, wajahnya berlumur debu dan goresan luka, tanda bahwa dia juga mengalami situasi buruk yang sama.

Wira mencoba menjelaskan. “Saya hanya mencari makanan. Saya tidak punya apa-apa…”

Namun, kata-katanya tidak membuat mereka bersimpati. Salah seorang dari mereka melangkah maju, menatap Wira dari atas ke bawah dengan ekspresi penuh kebencian. “Kamu kira hidup di sini mudah? Kami semua juga kelaparan! Kalau mau bertahan hidup, berjuanglah sendiri!” Tanpa aba-aba, ia melemparkan tinjunya ke arah Wira, menghantam wajahnya dengan keras.

Wira, dengan tubuhnya yang tidak terlalu besar dan kini semakin lemah, tak mampu melawan. Serangan demi serangan menghantam tubuhnya. Ia mencoba melindungi diri, tetapi perlawanan itu sia-sia. Tubuhnya jatuh ke lantai, dan ia hanya bisa merasakan nyeri di seluruh tubuhnya. Seiring mereka berlalu, meninggalkan Wira yang terkapar, ia hanya bisa merasakan perih dan marah yang mendalam. Bahkan, ia tidak mendapatkan apa-apa, tidak satu pun makanan atau air.

Dengan terhuyung-huyung, ia keluar dari supermarket. Tubuhnya terasa remuk, memar menghiasi wajahnya, dan ia tidak memiliki tenaga lagi untuk menangis. Kelaparan makin menyiksanya, dan ia mulai merasa perutnya seperti mencengkeram dari dalam. Tanpa pilihan lain, ia mulai mengais tempat sampah di tepi jalan. Bau busuk menusuk hidungnya, tetapi rasa lapar telah menghilangkan perasaan jijiknya. Apa pun yang bisa dimakan, akan ia makan.

Ia menemukan sisa-sisa makanan yang sudah berjamur, sedikit roti yang sudah kering dan basi, dan beberapa sisa makanan yang sudah setengah busuk. Dengan penuh keputusasaan, Wira memasukkan makanan itu ke mulutnya, membiarkan rasa pahit dan anyir memenuhi lidahnya. Meski hampir membuatnya muntah, makanan itu sedikit memberikan kekuatan.

Dengan perut yang sedikit terisi, Wira merasakan kelelahannya semakin berat. Tubuhnya sudah memerlukan istirahat, dan ia tahu bahwa ia harus mencari tempat yang aman untuk berlindung sementara. Ia berjalan sempoyongan, matanya menyisir bangunan-bangunan yang sudah setengah runtuh di sekitarnya.

Di ujung jalan yang sepi, ia melihat sebuah rumah kecil yang tampak sepi dan hancur sebagian. Jendela-jendelanya pecah, pintunya nyaris tidak tergantung lagi, namun rumah itu setidaknya bisa memberi sedikit perlindungan dari angin malam yang dingin. Ia masuk ke dalam rumah tersebut, melewati pecahan kaca dan perabotan yang berserakan.

Wira menemukan sebuah sudut ruangan yang terlindung, cukup untuk membuatnya merasa aman meski tidak nyaman. Ia duduk dengan punggung menempel di dinding yang dingin, tubuhnya terasa ngilu di setiap sendi. Perlahan, matanya mulai terasa berat, dan ia membiarkan kelelahan menelan dirinya. Dalam kegelapan dan kesepian, Wira akhirnya tertidur, pikirannya mengambang antara ketakutan dan keinginan untuk bertahan hidup.

Chapter 2: First Blood

Keesokan paginya, Wira terbangun dengan perasaan tubuh yang masih lelah. Matahari sudah meninggi, sinarnya memecah masuk melalui jendela-jendela yang pecah, menyoroti debu yang berputar di udara. Sambil menahan nyeri, Wira bangkit dan mencari air di sekitar rumah yang sudah berantakan itu. Ia menemukan keran yang masih berfungsi, mencuci muka dan perlahan membersihkan luka-lukanya. Air dingin menyentak kulitnya, memberikan kesadaran baru dan sedikit rasa segar.

Setelah selesai membersihkan diri, ia memutuskan untuk mengeksplorasi isi rumah itu. Ia menemukan sebuah jaket lusuh yang masih bisa dikenakan, serta sebuah tas kecil yang bisa dipakainya untuk menyimpan beberapa barang. Memastikan dirinya cukup siap, Wira keluar dari rumah tersebut, kembali menyusuri jalanan yang penuh kehancuran.

Di sepanjang jalan, ia mengamati dengan seksama. Kekacauan yang ia saksikan tampak bukan akibat serangan Ruo, melainkan ulah manusia sendiri. Pintu-pintu dan jendela yang rusak menunjukkan adanya upaya masuk paksa, penjarahan, atau mungkin keributan yang terjadi ketika semua orang panik dan kehilangan kendali. Ruo, setahunya, tidak perlu menghancurkan pintu atau jendela; mereka terlalu kuat untuk mengindahkan penghalang seperti itu.

Perutnya mulai meronta minta diisi, namun Wira belum menemukan apa pun. Di tengah perjalanan, matanya menangkap sebuah bengkel sepeda motor. Merasa mungkin ada sesuatu yang berguna, ia masuk ke dalam bengkel dan mengamati setiap sudutnya. Wira berhasil menemukan beberapa alat yang bisa dipakai sebagai senjata: kunci inggris besar, pisau bengkel, korek api, dan pilok. Meskipun pilok terasa aneh untuk dibawa, entah kenapa ia merasa barang itu akan berguna.

Ia menyusuri jalan kembali, membayangkan rencana berikutnya, ketika suara teriakan minta tolong menggema dari sebuah gang sempit di sebelah kanan. Ia langsung mendekat, memperlambat langkah dan mengintip di sudut bangunan. Terlihat dua pria besar dengan wajah beringas tengah mendesak seorang wanita untuk menyerahkan tasnya. Wanita itu tampak ketakutan, tangannya gemetar sambil melindungi tasnya.

Wira menyadari bahwa melawan mereka secara langsung adalah tindakan konyol. Tingginya yang hanya 165 cm dan fisiknya yang kecil membuatnya jelas tidak mungkin menang dalam duel fisik. Ia harus memanfaatkan otaknya untuk situasi ini. Wira melihat ke arah bengkel yang baru saja ia datangi, mengingat susunan barang dan lantai di sana. Sebuah ide mulai terbentuk.

Dengan langkah mantap, Wira mendekat dan berteriak, "Hei, kalian dua tikus got berwajah jelek! Berani-beraninya ganggu perempuan yang nggak bersalah, dasar pengecut!" Wajahnya menyiratkan ejekan yang sengaja dibuat agar mereka terpancing.

Salah satu dari pria besar itu melirik Wira dengan tatapan penuh kemarahan. "Siapa lo, cebol? Hari ini akan jadi hari terakhir lo berani teriak kayak gitu!" ancamnya sambil menunjuk Wira dengan tinju terkepal.

"Pria jelek seperti kalian pasti nggak pernah dicintai seumur hidup, kan? Pengecut yang cuma bisa nyusahin orang lain. Selamanya kalian cuma tikus kotor yang hidupnya nggak ada harganya!" Wira berkata sambil tertawa kecil dengan wajah penuh ejekan.

Wajah pria-pria itu memerah karena marah. "Lo minta mampus, anak kecil!"

Seperti yang ia harapkan, kedua pria itu mengejar Wira. Wira berlari cepat menuju bengkel yang sudah ia pelajari tadi. Sesampainya di sana, ia segera masuk ke bagian terdalam yang gelap dan sempit, bersembunyi di balik sebuah rak besar yang terisi suku cadang.

Pria-pria itu masuk dengan tergesa, mata mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan. Salah satu dari mereka tersandung sesuatu, dan tanpa sengaja menabrak tumpukan sepeda motor yang tergantung di lantai dua. Dengan bunyi yang menggelegar, sebuah sepeda motor jatuh dari atas, menghantamnya dengan keras. Pria itu berteriak kesakitan, tubuhnya terhimpit oleh motor yang berat. Temannya panik, berusaha mengangkat motor dari tubuh pria yang tertindih.

Pada saat itu, Wira yang sudah bersiap langsung menghantam pria yang menunduk dengan kunci inggris di tangan. Hantaman itu tepat mengenai belakang kepala pria tersebut, menyebabkan ia langsung ambruk tak sadarkan diri di lantai.

Wira berdiri sejenak, memandangi dua pria yang tergeletak. Ia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa ia telah berhasil menggunakan kecerdikannya untuk mengatasi situasi ini. Tetapi perasaan dingin menyelinap di dalam hatinya; ini adalah langkah kecil yang mungkin tidak akan menjadi yang terakhir di tengah dunia yang telah berubah menjadi penuh kekacauan.

Sebelum meninggalkan tempat itu, Wira kembali ke arah wanita yang tadi ia selamatkan. Wanita itu masih berdiri di sana, tampak bingung dan ketakutan.

“Cepat pergi dari sini,” katanya dengan nada datar. “Mereka mungkin akan bangun lagi.” Wira memberi isyarat pada wanita itu untuk cepat-cepat menjauh dari tempat kejadian.

Wanita itu menatap Wira dengan rasa syukur bercampur bingung. "Terima kasih… Aku nggak tahu gimana harus membalas kebaikanmu."

Wira hanya mengangguk kecil. "Nggak perlu terima kasih. Berhati-hatilah, dunia di luar sudah berbeda," ujarnya singkat, lalu ia melangkah pergi, melanjutkan perjalanannya dengan tekad yang mulai terbentuk dalam benaknya.

Setelah berhasil menyelamatkan wanita itu, Wira sebenarnya sudah berniat untuk segera melanjutkan perjalanan. Namun, wanita itu—dengan suara yang lembut namun mendesak—menghentikannya.

“Kau kelihatan sangat kelaparan,” katanya, matanya meneliti wajah Wira yang penuh luka. “Di markas kami, masih ada sedikit makanan. Kau mau ikut? Anggap saja ini balas jasaku.”

Wira terdiam sejenak. Sebenarnya, ia ragu menerima tawaran ini, tapi rasa lapar yang terus menyerang perutnya memaksa untuk mengiyakan.

“Baiklah,” jawab Wira singkat, berusaha terdengar santai. “Aku tak akan menolak makanan gratis.”

Wanita itu tersenyum, dan Wira mengikuti langkahnya menyusuri jalanan yang porak-poranda. Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan sebuah rumah yang tampak usang. Mereka melewati halaman belakang yang dilengkapi dengan kebun kecil, lalu masuk ke dalam basement rumah tersebut.

Begitu tiba di dalam, udara pengap basement menyelimuti mereka. Di dalamnya, tampak tiga orang yang langsung memperhatikan kehadiran mereka dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Wira mengamati mereka satu per satu, mencoba membaca karakter mereka dari penampilan dan bahasa tubuh.

Wanita itu memecah kesunyian. “Teman-teman, ini pria yang menyelamatkanku tadi. Aku tak bisa meninggalkannya setelah dia menolongku, jadi... aku membawanya ke sini.” Suaranya lembut tapi terdengar tulus.

Ia kemudian berbalik menghadap Wira. “Namaku Nora, dan ini teman-temanku.”

Ia pertama kali menunjuk seorang pria tinggi, bertubuh kekar dengan otot yang menonjol. Matanya penuh pengawasan, sementara ekspresinya tampak tenang namun mengintimidasi.

“Ini Bima,” kata Nora. “Dia yang biasanya keluar untuk mencari makanan atau peralatan yang kita butuhkan.”

Wira hanya mengangguk sambil memperhatikan Bima dengan seksama.

Nora lalu menunjuk seorang pria berkacamata yang berpenampilan rapi. Wira memperhatikan bahwa tangannya memegang sebuah laptop kecil dengan layar yang menampilkan informasi yang tidak bisa ia lihat dari jarak itu.

“Ini Rizki. Dia ahli IT, dan dia juga yang bertugas memantau perkembangan dunia di luar. Dia cukup ahli dalam membuat alat komunikasi juga,” kata Nora, tersenyum.

Rizki mengulurkan tangannya. “Senang bertemu denganmu. Kau pasti lelah, ya?” katanya ramah.

Wira membalas jabatan tangannya dengan sopan. “Lumayan,” balasnya singkat, namun penuh rasa hormat.

Kemudian, Nora memperkenalkan seorang wanita muda yang tampak riang dan tersenyum hangat. “Ini Flora,” katanya. “Dia yang memastikan makanan di sini cukup dan dikelola dengan baik. Dia juga memasak untuk kami.”

Flora mengangguk sambil tersenyum manis. “Selamat datang! Mudah-mudahan perutmu tidak terlalu kosong lagi setelah ini.”

Wira tersenyum, merasa sedikit tersentuh. “Terima kasih. Aku sudah lama tidak merasakan makanan rumahan. Senang rasanya ada orang yang masih bisa memasak di tengah situasi seperti ini.”

Flora tersenyum lebih lebar, tampak senang dengan pujiannya.

Terakhir, Nora memandang Wira dengan sedikit ragu namun penuh rasa hormat. “Nah, aku sendiri… seperti yang kau lihat tadi, aku punya sedikit pengetahuan medis. Jadi, aku bertanggung jawab merawat luka-luka kami, memastikan semuanya sehat, dan menjaga sanitasi.”

Wira mengangguk lagi. “Ah, itu sangat membantu. Terima kasih sudah mempercayakan tempat ini kepadaku.”

Para anggota kelompok tampak lega mendengar kesopanannya, namun dalam hati, Wira terus mengamati dan mencatat setiap sifat dan keahlian mereka. Meski ia tak tahu bagaimana kelanjutan dari pertemuan ini, satu hal sudah pasti: kelompok ini bisa menjadi tempat perlindungan sementara dan juga sumber daya yang potensial untuk bertahan hidup.

Flora menghidangkan makanan, dan Wira memakannya dengan perlahan namun penuh rasa syukur. Ia merasakan kenyamanan yang sangat jarang ia temui sejak tragedi itu terjadi, dan rasa aman sementara mulai menyusupi hatinya.

Malam hari, Pukul 21.02

Malam itu, sekitar pukul 21.02, Wira duduk bersama dengan Nora, Bima, Rizki, dan Flora di dalam basement yang menjadi markas kecil mereka. Suasana hening dan redup, hanya diterangi cahaya dari lilin-lilin yang berkelap-kelip, memancarkan kehangatan yang menenangkan di tengah dunia yang kacau.

Mereka duduk melingkar, seolah membentuk lingkaran kepercayaan yang belum sepenuhnya terjalin. Setelah beberapa obrolan ringan tentang keadaan dunia dan strategi bertahan hidup, akhirnya Wira mengambil napas dalam, menyiapkan diri untuk menceritakan sesuatu yang lebih dalam.

“Aku… aku belum sempat memberitahukan ini,” katanya, suaranya terdengar berat namun penuh determinasi. “Aku bukan hanya orang yang terjebak di tengah kekacauan ini… aku adalah salah satu dari sedikit yang selamat dari tempat kejadian pertama. Aku ada di sana, di atas kapal itu, saat serangan pertama terjadi.”

Para anggota kelompok terdiam, menatap Wira dengan rasa penasaran dan ngeri. Nora tampak menahan napas, Flora menggigit bibirnya, dan Rizki serta Bima menatap Wira dengan serius.

“Di atas kapal itu, aku menyaksikan sendiri… monster-monster itu,” lanjut Wira, suaranya kini mulai dipenuhi nada marah dan getir. “Mereka bukan hanya menghabisi orang-orang, tapi… mereka melakukannya tanpa belas kasihan, tanpa emosi, seakan hidup manusia tak lebih dari sekadar bahan bakar untuk mereka bertambah kuat.”

Ia terdiam sejenak, seolah mengenang setiap detik dari pengalaman traumatis itu. “Aku melihat mereka tumbuh… memakan kita seperti mangsa. Mereka bukan hanya memusnahkan tubuh manusia, mereka mengambil setiap makhluk hidup di sana sebagai sesuatu yang bisa mereka konsumsi… sebagai bagian dari kekuatan mereka.”

Wira mengangkat pandangannya, menatap teman-temannya dengan mata yang menyala penuh amarah dan tekad yang hampir membakar udara di sekitarnya. “Sejak saat itu, ada satu tujuan dalam hidupku. Aku akan menghancurkan mereka. Aku takkan berhenti sampai semua monster itu lenyap… sampai tidak ada yang tersisa dari mereka, bahkan jika aku harus memburunya sampai ke neraka.”

Rahang Wira mengeras, dan suaranya berubah rendah namun dalam. “Aku ingin memberi mereka rasa sakit yang abadi, membuat mereka membayar setiap nyawa yang mereka renggut… hingga tak ada satu pun dari mereka yang tersisa untuk mengingat kemenangan mereka hari ini.”

Teman-temannya menatap Wira dengan kagum, hampir terhipnotis. Mereka bisa merasakan amarah yang terpancar dari Wira—amarah yang membara namun terkontrol, seolah mengisyaratkan kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Nora, dengan tatapan yang penuh hormat, berkata pelan, “Kau… benar-benar berbeda, Wira. Seperti ada sesuatu dalam dirimu yang membuat kami merasa… aman.”

Flora menggenggam tangan Wira, matanya berkaca-kaca. “Aku merasakan harapan… harapan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya sejak semua ini terjadi.”

Rizki menundukkan kepala dan menghela napas panjang. “Kalau ada orang yang punya peluang untuk melawan makhluk-makhluk itu, mungkin… mungkin orang itu adalah kau, Wira.”

Bima hanya mengangguk pelan, ekspresinya tak banyak berubah, tapi di matanya terpancar rasa hormat yang mendalam.

Malam itu, di tengah ruangan yang dingin dan sunyi, Wira menjadi lebih dari sekadar orang yang selamat dari bencana. Ia menjadi sebuah simbol harapan bagi mereka, sebuah api kecil yang memberikan mereka alasan untuk terus bertahan, untuk tidak menyerah dalam menghadapi monster-monster yang hampir menghancurkan dunia.

Namun, di dalam hati Wira sendiri, ia tahu amarah ini adalah bagian dari rencana yang lebih besar. Amarahnya adalah alat, senjata untuk menumbuhkan kekuatan dan memimpin mereka. Dan meski teman-temannya tak menyadarinya, api yang mereka lihat hanyalah permukaan dari ambisi yang jauh lebih dalam dan gelap.

Pagi Pukul 01.52

Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 01.52, namun Wira terjaga, matanya terbelalak memandang langit-langit basement yang gelap. Suasana sunyi, hanya terdengar desah napas dari teman-temannya yang tertidur lelap di sekitarnya. Namun bagi Wira, tidur adalah hal yang tak bisa ia raih. Kegelisahan terus menggerogoti pikirannya.Akhirnya, ia bangun dengan gerakan hati-hati, mencoba agar tidak membangunkan mereka. Ia berjalan ke meja, meraih sebuah kertas bekas dan pena yang ada di sana, dan duduk di atas kursi yang cukup tua. Matanya menatap jauh ke depan, dan pikirannya mulai merangkai kata-kata. Wira tahu ini adalah cara terbaik baginya untuk melepaskan sebagian dari beban yang ia rasa. Perlahan, ia mulai menulis.

"Hati manusia mulai dicuri,

rasa manusia mulai dicuri,

apa yang tersisa dari kami?

Manusia adalah makhluk yang rentan,

kita bisa mati karena kedinginan,

kita bisa gila karena kesepian,

Oh Tuhan, aku tidak tahu ini ujian atau pembalasan,

tapi yang manapun itu aku menolak dalam diam,

aku memilih untuk melawan,

pengorbanan dan perasaan adalah sisa kekuatan yang manusia kerahkan."

Wira menyelesaikan puisinya dan melipat kertas itu dengan hati-hati. Ia menyimpannya di saku bajunya, merasakan ketenangan sejenak. Kata-kata yang ia tulis adalah bentuk pembuktian pada dirinya sendiri, sebuah pengingat bahwa di tengah semua kehancuran ini, ada satu hal yang masih bisa ia pertahankan—perlawanan.

Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah bunyi alarm peringatan yang sangat keras memecah kesunyian malam. Semua orang terbangun dengan kaget, wajah mereka penuh kecemasan. Rizki segera melompat bangun, matanya fokus, dan segera berkata, "Ada Ruo yang mendekat. Kita harus bersiap!"

Wira, tanpa basa-basi, segera beraksi. Dalam sekejap, semua ketegangan yang ada di sekitarnya seolah memancar dari setiap gerakannya. Wira mulai berpikir dengan cepat, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Ia ingat betul bagaimana ia berhasil mengalihkan perhatian Ruo dengan gas pendingin saat di kapal. Itu adalah satu-satunya cara yang ia tahu untuk menghadapi mereka.

“Apa kalian punya ruang freezer di sini?” tanya Wira dengan suara tegas. Flora, yang sudah sedikit panik, menjawab cepat, “Iya, ada di ruang bawah. Bisa untuk menyimpan makanan beku dalam waktu cepat.”

Wira mengangguk, berpikir keras. “Apakah kalian bisa memaksakan mesin pembeku untuk bekerja lebih cepat, dalam waktu 10 menit?”

Rizki mengangkat alis, ragu sejenak. "Bisa, tapi itu akan memakan banyak energi dan risiko merusak mesin, tapi… kita tidak punya pilihan."

Wira menatap mereka semua dengan serius, “Lakukan itu. Sekarang juga.”

Dengan itu, Wira menjelaskan rencananya. Ia akan memancing Ruo masuk ke dalam ruang pendingin, di mana ia dan Bima akan mengulur waktu selama 10 menit untuk membuat Ruo membeku. Pada saat itulah, Bima harus memotong leher Ruo saat dia mulai beku sepenuhnya. Namun, meski rencana ini terdengar hampir mustahil, Wira percaya itu satu-satunya cara.

Nora tampak khawatir dan segera berkata, “Tapi, Wira… ini sangat berisiko. Kalau kalian gagal—”

“Percayalah padaku,” Wira memotongnya, menatap Nora dengan tatapan yang penuh keyakinan. “Aku akan memastikan kalian selamat. Kalian harus lari lewat jalur evakuasi. Ini rencanaku, dan aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi pada kalian.”

Setelah itu, Wira menginstruksikan Nora dan Flora untuk segera bergerak menuju jalur evakuasi, sementara ia bersiap dengan jaket 3 lapis dan celana 2 lapis untuk melawan dingin yang akan datang. Ia memeriksa pisau dan perlengkapan yang ada di sampingnya, memastikan semuanya siap.

Tak lama setelahnya, suara derak keras terdengar, pintu basement dihantam dengan kekuatan yang mengerikan. Ruo, dengan tubuhnya yang besar dan menyeramkan, muncul di ambang pintu. Tatapannya kosong, matanya seperti buruan yang mencari mangsa.

Wira berdiri dengan tenang, menghadapi Ruo yang kini langsung mengarah padanya. Senyuman kecil muncul di wajah Wira, meski di dalam hatinya, ia tahu ini adalah ujian besar. Ruo mulai mengejarnya, dan Wira segera berlari menuju ruang pendingin yang terletak di bagian belakang. Ruo mengejarnya tanpa ragu, menghancurkan setiap halangan yang ada di jalannya.

Begitu mereka masuk ke dalam ruang freezer, mesin pembeku langsung bekerja keras, mendinginkan ruangan itu dengan kecepatan luar biasa. Ruo mulai bergerak lambat, pernafasannya terengah-engah, sementara Wira berlari menghindar dari serangan-serangannya.

Namun, Ruo tiba-tiba berhasil menangkap Wira. Kepalanya dicengkeram dengan kekuatan yang sangat besar. Wira merasakan tangan Ruo semakin mengencang di tengkuknya, dan rasa sakit mulai menyebar ke seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, Wira hampir tak bisa bernapas. Namun, ia masih memiliki satu senjata lagi.

Dengan cepat, Wira mengeluarkan kaleng pilok dari sakunya, dan menyemprotkannya tepat ke arah Ruo. Ruo terhenti sejenak, terbatuk-batuk, kesulitan bernapas. Wira pun mulai kesulitan bernapas, piloknya hampir habis.

“C'mon…” Wira berbisik, sambil memaksakan tubuhnya untuk tetap bergerak.

Saat detik-detik terakhir, Wira terjatuh. Kepalanya semakin berat, dan ia merasa akan kehilangan kesadaran. Namun, tepat pada saat itu, 10 menit hampir habis.

“Sekarang, Bima!” teriak Wira dengan suara yang hampir hilang.

Bima yang berada di luar ruangan segera berlari masuk. Dengan kekuatan yang luar biasa, ia langsung menebas leher Ruo yang kini telah membeku. Kepalanya jatuh dengan suara keras, dan Ruo tak lagi bergerak. Mesin pendingin berhenti mendesis, dan udara menjadi sangat dingin.

Wira terjatuh lemas ke lantai, dan Bima segera membawanya keluar. Flora, yang sudah siap dengan api di luar ruangan, segera menyalakan api dan melepas pakaian Wira untuk menghangatkannya. Mereka semua tampak sangat khawatir. Suasana di dalam markas itu penuh ketegangan, namun ada rasa lega yang menghampiri mereka.

Di saat itu, Nora melihat secarik kertas yang terjatuh dari saku Wira. Ia meraihnya dan membaca puisi yang ditulis oleh Wira tadi. Matanya membelalak, terkesima dengan apa yang ia baca.

"Wira… kau…" pikir Nora dalam hati, merasa kagum dan terinspirasi oleh kata-kata yang baru saja ia temukan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!