NovelToon NovelToon

Terjerat Mantan Posesif

Jalan-jalan

Malam hari di kediaman Mahendra.

" Tumben tadi minta di jemput supir sayang?" tanya Laras bunda runa.

Keluarga kecil Mahendra tengah makan malam di ruang makan.

" Emangnya Roy kemana?" tanya Hendra setelah meminum air putih.

" Tadi pulang sama Roy." balas runa.

Memang kedua orang tuanya tidak ada yang tau kalo runa sudah menjalin Hubungan dengan laki-laki. Bahkan sejak kelas 10 sampai sekarang kelas 12.

Hendra maupun Laras melarang keras putri tunggalnya cinta-cintaan saat SMA. Tentu Hendra tidak terima sampai putri tersayangnya di sakit laki-laki lain. Ia hanya percaya kepada Roy untuk menjaga runa. Selain karena sudah tetanggaan, Hendra dan bima ayah Roy juga sahabat sejak SMA. Jadi mereka sudah seperti keluarga.

Andaikan mereka tau kalau putri merekalah yang sering membuat laki-laki patah hati. Bisa-bisa Laras jantungan saat tau kelakuannya di sekolah.

" Bunda kira kamu lagi marahan sama Roy."

" Ngga lah bunda, emang kita anak kecil apa masih suka berantem." bantah runa.

" Ohh yah....terus siapa yang kemarin ngambek tiga hari gara-gara di tinggal Roy pergi ke bandung." sindir Hendra tersenyum mengejek.

" Ngga tau tuh, runa amnesia."

" Ohhh mau ayah telfon Roy nih..." Hendra pura-pura merogoh sakunya seakan mengambil hp.

" Ihh ayah apaan sih, iya...iya runa yang ngambek. Besar kepala nanti dia kalo tahu."

" Lagian gengsi banget anak ayah ini kaya bunda kamu aja." ucap Hendra mengusap kepala putrinya tapi matanya melirik istrinya.

" Enak aja bunda di bawa-bawa, kamu tuh mas gengsinya yang tinggi sejak dulu." balas Laras tak terima di tuduh.

" Lah bukannya kamu yang suka sama mas duluan tapi ngga ngaku." goda Hendra menaik turunkan alisnya.

" Ihh ngga yah." bantah Laras tapi pipinya bersemu merah malu.

Runa memutar bola matanya malas. Ini kenapa jadi mereka yang flashback.

***

Di kamar runa tengah vidio call dengan kedua sahabatnya. Runa merebahkan tubuhnya di kasur dengan laptop yang menyala yang menampilkan gambar Cika, Amel, dan dirinya yang memenuhi layar leptop berlogo apel krowak.

[Iya kesel banget gue, mana itu hp kesayangan gue lagi.] adu runa memasang wajah cemberut.

[Terus gimana? mau lo ambil besok?] tanya Amel.

[ Iyalah besok gue ambil.]

[Tumben pricess runa kalah sama cowok?] ucap Cika di sebrang.

[Ini bukan masalah kalah menang yah, tapi tadi gue udah capek banget habis ulangan malah kena copet.] balas runa menyebut Abi copet.

[Mana ada copet seganteng Abi run.] ucap Cika.

[Lah itu, dia ambil hp gue tanpa ijin. Apa namanya kalo bukan copet.] bantah runa.

Mereka cukup lama saling ngobrol lewat vc. Hanya membahas hal-hal random tidak penting. Setidaknya dengan ini runa cukup melupakan hpnya sampai besok.

Tok

Tok

" Sayang ada Roy nih di bawah." panggil Laras mengetuk kamar putrinya.

" Iya bunda sebentar."

Cklek 

" Ngapain malam-malam Roy ke sini bun?" tanya runa.

" Katanya mau ngajak kamu keluar."

"Kemana?"

" Kamu tanya sendirilah, bunda mana tau." balas Laras.

Runa menuruni tangga menuju ruang keluarga.

Terlihat Roy dengan duduk di sofa sembari menonton tayangan tv yang menyala.

" Emang ada yang nyuruh lo makan?" sindir runa yang melihat stoples kripik kentang pedas kesukaannya di pangkuan Roy.

" Hehe.... habisnya enak." ucap Roy menampilkan gigi putihnya.

" Makanya beli."

" Kalo ada yang gratis kenapa harus beli."

" Mau pergi kemana?" tanya runa mengabaikan kripiknya yang tinggal setengah.

Runa ikut duduk di sofa depan Roy duduk. Mengambil bantal sofa menaruhnya di atas pangkuannya.

" Gua pengin makan bakso mang Iwan nih, temenin yuk."

Bakso mang Iwan memang terkenal sangat enak. Meskipun warungnya lesehan tapi di jamin bersih dan higienis. Warungnya pun tidak jauh dari komplek perumahan mereka. Hanya cukup jalan kaki.

" Okeh tapi tlaktir yah."

" Gampang lah."

" Gue siap-siap dulu."

"Hmm."

Kalo soal bakso runa tidak pernah menolak. Bakso menjadi salah satu makanan favorit runa yang harus ia makan minimal tiga kali dalam satu Minggu.

Meskipun terlahir hidup mewah bukan berarti runa tidak suka makanan pinggir jalan. Adalah satu dua yang ia suka.

Kembali ke kamar runa hanya mengambil kardigan dan mempoles bibirnya dengan lipstik agar tidak kering. Meski kenyataannya bibirnya selalu terlihat basah dan pink. Sangat idaman perempuan-perempuan.

" Yok jalan."

" Bunda runa pergi dulu yah." pamit runa berteriak agar bundanya yang di dalam kamar mendengar.

" Kebiasaan, ngga sopan." Roy menyentil kening runa pelan.

" Ihh sakit tau." rengek runa lebay.

" Ululuh....bayina om Hendra kesakitan." goda Roy mengusap-usap bekas jentiknya.

" Gue ngambek nih." ancam runa tidak suka di anggap bayi. Heyy dirinya sudah hampir tujuh belas tahun ya enak ajah di panggil bayi.

" Gitu aja ngambek." Roy memeluk leher runa agar berjalan.

" Ishhh....awas." runa menghempaskan tangan Roy di lehernya. Dikira tidak berat apa, berat banget lohh.

Komplek tempat mereka tinggal tidak banyak penghuninya. Hanya ada sekitar tiga puluh rumah yang menempati. Jadi suasananya juga tenang dan nyaman.

Karena perumahan di sini harganya cukup mahal. Hanya orang-orang yang benar-benar kaya yang bisa menghuni di sini. Tentu saja penjagaan yang juga sangat ketat. Tidak sembarang orang bisa keluar masuk.

" Non runa sama den Roy mau kemana nih malam-malam." sapa satpam yang berjaga di depan pagar.

" Biasa pak nemenin bocil makan bakso."

" Enak aja, lo yah yang ngajak gue. Dasar fitnah." bantah runa berdecak pinggang.

" Hahaha ya udah sok atuh." balas satpam itu membuka gerbang agar keduanya bisa keluar.

Warung bang Iwan di sebelah kiri gerbang kompleks tidak terlalu jauh. Warungnya saja sudah terlihat dari sini.

Malam ini warung bang iwan tidak terlalu ramai. Membuat runa sangat senang. Ia memang tidak terlalu suka pergi ke tempat yang berisik karena itu sangat menggangu.

Runa memilih mencari tempat duduk, sedangkan Roy yang memesan. Ia memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan raya. Melihat kendaraan yang berlalu lalang memanjakan mata.

Disini tidak hanya ada warung bakso. Banyak pedang kaki lima yang mangkal. Seperti penjual tahu golek, mie ayam, sate, wedang ronde, segala jenis es, dan goreng-gorengan.

" Nih persenan lo." Roy menyodorkan semangkok bakso berisi, bakso bulat besar isi daging, bakso urat, bakso kecil, juga tetelan.

" Ihhh makasih." dengan tangan kecilnya runa mulai meracik berbagai saos ke dalam mangkuknya.

" Jangan banyak-banyak." tegur Roy menahan tangan runa yang hampir memasukkan sendok sambal yang ketiga kalinya.

" Ihhh ngga enak kalo ngga pedes." Protes runa.

" Mau lo masuk rumah sakit lagi."

Runa memanyunkan bibirnya namun tak berani membantah. Siapa juga yang mau masuk rumah sakit.

Meskipun pencinta makanan pedas namun lambung runa tidaklah sekuat itu untuk bisa tahan dengan cabai. Ia pernah masuk rumah sakit selama satu Minggu karena memakan makanan seblak idaman ciwi-ciwi geng Z.

Tentu Hendra dan Laras marah besar saat tau putrinya makan makanan sembarangan. Laras tidak berhenti menasihati runa agar tidak makan jajanan pinggir jalan lagi.

Roy terkekeh kecil saat melihat runa menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan-kiri setiap mengunyah bakso.

Apakah memang itu kebiasaan perempuan jika mereka menyukai makanan yang mereka suka? Entahlah Roy tidak tau. Tapi yang pasti runa selalu melakukan hal itu.

" Habis." lapor runa menunjukkan mangkuknya yang sudah kandas tinggal kuah sedikit.

" Mau lagi?" tawar Roy.

" Ngga udah kenyang gue." ucap runa mengelus perutnya yang sedikit membuncit karena kekenyangan.

Roy tersenyum mengusap kepala runa.

" Bentar lagi gue selesai."

Runa hanya mengagukan kepalanya. Ia sibuk mengamati orang-orang yang mulai ramai. Mungkin karena semakin malam jadi banyak anak-anak muda yang nongkrong.

" Mau pulang atau jalan-jalan dulu?"

" Pulang aja gue udah ngantuk." balas runa. Matanya juga sudah mulai merah tanda mengantuk.

" Bentar gue bayar dulu." ucap Roy yang di balas anggukan kepala runa.

***

" Gue denger-denger lo udah putus sama Abi." ucap Roy memecah keheningan.

Mereka tengah berjalan pulang.

" He'em." balas runa cuek.

" Kenapa?" tanya Roy penasaran.

Perasaan yang ia lihat hubungan keduanya terlihat baik-baik ajah. Jika kalian pikir ada something di antara keduanya, kalian salah besar.

Roy benar-benar murni menganggap runa sebagai adiknya, juga runa yang sudah menganggap Roy sebagai abangnya.

Sebenernya Roy sedikit setuju dengan hubungan runa dengan Abi dari pada pacar-pacar runa sebelumnya yang menurutnya kurang baik.

Sedangkan Abi meskipun terkenal dingin dan irit bicara. Tapi Roy tahu kalo Abi anak yang baik. Apalagi dengan prestasinya yang membawa nama baik sekolah. Meskipun ia jarang berkomunikasi langsung dengan Abi.

Hanya beberapa kali itu pun saat runa memberi tahu ia menjalin hubungan dengan Abi.

" Gue ngga suka cowok yang ngebosenin dan lurus. Masa apa-apa harus gue dulu yang peka. Dia cuma bisanya iya-iya doang." ucap runa.

" Aneh lo di kasih cowok yang baik salah yang nakal komplen. Mau loh apa sih markonah."

" Yang menantang gitu, ngajak gue naik gunung, naik motor ngebut di jalan, ngajak gue bolos sekolah, pokoknya gitu deh pasti seru banget." ujar runa membayangkan cowok idamannya.

" Dan nama gue runa Liliana Mahendra bukan markonah." tambah runa.

" Terserah lo deh." Roy angkat tangan jika harus menasihati sahabatnya itu. Ada aja jawabannya kalo lagi di kasih tahu.

" Udah sana masuk." suruh Roy saat mereka sudah tiba di depan rumah runa.

" Iya, inget yah mulai besok loh anter jemput gue lagi yah."

" Hmm."

Saat masih pacaran dengan Abi, dari rumah runa memang selalu di antar Roy namun di tengah jalan ia akan meminta berhenti dan berpindah ke motor pacarnya. Agar orang tua runa tidak curiga.

Awalnya Roy menolak tapi dengan segala ancaman tuan putri akhirnya Roy hanya pasrah. Untunglah sampai mereka putus om Hendra tidak tau. Kalo ketahuan mau di taruh di mana mukanya. Pasti Roy malu banget karena tidak bisa mengemban amanah om Hendra.

" Udah pulang sayang?" tanya Laras yang tengah menonton tv dengan ayahnya yang tiduran di paha Laras. Romantis sekali bukan.

" Bunda kok mau nahan beban seberat itu?" sindir runa melirik ayahnya yang anteng tak menghiraukan kehadirannya.

Hendra memang terkenal bucin Jika sudah menyangkut sang istri.

" Orang sirik kuburannya sempit." balas Hendra semakin menduselkan kepalanya ke perut sang istri.

" Mau bayii." guman Hendra pelan.

" Hehh!....ngga mau ayah runa punya adik. Awas aja kalo tiba-tiba dengar bunda hamil. Runa bakal kabur ke rumah nenek." ancam runa. Enak saja dirinya yang hampir lulus SMA punya adik. Bisa jadi bahan ketawaan sahabat-sahabatnya nanti.

" Orang ayah sama bunda yang buat kok kamu yang sewot." Hendra memang senang sekali menjahili putrinya.

Toh siapa juga yang mau punya anak lagi. Satu aja udah bikin pusing tujuh keliling apalagi tambah. Bisa-bisa ia mati muda.

Hendra juga tidak sanggup jika harus melihat istrinya berjuang keras melahirkan lagi. Cukup satu kali ia melihat istrinya kesakitan.

" Pokoknya runa ngga terima punya adik titik." teriak runa sembari menaiki tangga.

" Suka banget sih jailin anaknya." gemas laras mengusap-usap kepala suaminya.

" Hehe....Ayuk sayang." Hendra mengubah tubuhnya menjadi duduk menatap istrinya penuh cinta.

" Kemana?" tanya Laras bingung.

" Buat adek, aku kangen." ucap Hendra tiba-tiba mengangkat tubuh istrinya bridal style.

" HEHH!"

Menolak Putus

Pagi-pagi runa sudah bersiap dengan seragam sekolahnya. Di depan meja riasnya runa menyisir rambut panjangnya. Tidak lupa menyelipkan jepit rambut berbentuk sepasang kelinci berwarna putih. Yang membuat runa semakin imut. Tidak lupa bedak bayi dan lipstik agar tidak pucat.

" Okeh siap mari kita berangkat."

Hari ini runa sangat bersemangat. Setelah satu tahun lebih akhirnya dirinya bergelar jomblo kembali.

Tentu dengan gelar jomblonya, runa harus tampil cantik agar bisa menggaet para pria untuk mengejarnya. Jiwa playgirl nya meronta-ronta. Meskipun tanpa berdandan juga laki-laki mengantri ingin jadi pacarnya.

" Good morning bunda tercinta, good morning ayahanda yang kaya raya." sapa runa tersenyum lebar menyambut Hendra dan Laras yang sudah duduk di meja makan.

" Aduh kayanya anak bunda bahagia banget hari ini." ucap Laras melihat putrinya yang tidak berhenti tersenyum.

" Runa mah selalu bahagia bunda, apalagi kalo tanggal muda." balas runa sembari menggigit roti dengan selai coklat.

" Tanggal muda tanggal tua buat kamu mah sama aja." balas Hendra menyeruput teh buatan istri tercinta.

" Tidak penting tanggal ayahandaku yang penting transferan lancar hati pun senang." balas runa.

" Pelan-pelan sayang." tegur Laras saat melihat runa meminum susunya terburu-buru.

" Ahhh.....udah telat bunda, runa berangkat dulu yah." Runa bergantian mencium pipi ayah dan bundanya.

" Dadahh." pamit runa pergi.

" Hati-hati sayang." teriak Laras saat runa buru-buru pergi.

" Telat dari mana orang baru jam enam. Aneh anak kamu Bun." ucap Hendra mengecek jam di tangannya.

" Anaknya rajin kok di bilang aneh, ada-ada kamu mas." balas Laras menyelesaikan sarapannya. Hari ini ia berniat akan ikut suaminya ke kantor.

Runa membuka gerbang rumah Roy tanpa permisi. Sudah biasa, bahkan runa selalu menganggap rumah om bima itu rumah keduanya.

" Pagi Tante." sapa runa yang melihat Mira mamah Roy tengah menyiapkan sarapan.

" Ehh cantik.....pagi juga sayang."

" duduk-duduk, kamu udah sarapan belum?" tanya Mira.

" Udah tadi, Roy mana Tan?" tanya runa yang tidak melihat batang hidung sahabat kecilnya yang berbeda tiga bulan.

" Tuh Roy." ucap Mira yang melihat putranya baru turun.

" Apaan sih pagi-pagi udah berisik ajah." ucap Roy menuruni tangga. Suara brisik runa membuat telinganya terganggu.

" Ngga boleh gitu sayang!" tegur Mira pada putranya.

" Marahin aja Tante." Kompor runa.

" Diem bocil." Roy mendudukkan pantatnya di kursi samping runa.

" Ehhh anak cantik udah siap aja, rajin banget." ucap bima yang baru bergabung.

" Pagi om."

" Pagi juga sayang."

" kok runa ngga ikut makan?" tanya bima menatap putri sahabatnya.

" Tadi udah di rumah, jadi mau minum jus aja." balas runa menampilkan cengir nya.

Keluarga bima menikmati sarapan paginya di temani runa yang asik meminum jusnya.

" Cepetan naik!"

" Tungguin tali sepatu gue lepas." rengek runa yang jongkok di teras rumah Roy.

Beberapa kali runa mencoba untuk mengikatnya namun berakhir tidak rapi atau malah jadi aneh bentuknya.

" Ngga bisa royy.... bantuin." mata runa sudah mulai berkaca-kaca. Ia memang payah jika urusan mengikat sepatu. Padahal runa sudah sering belajar tapi tetap saja hasilnya jelek. Sedangkan runa selalu mau yang sempurna.

" Ck'..... nyusahin banget sih bocil." Roy jongkok di depan runa. Menarik tali sepatu runa. Dalam beberapa detik saja tali sepatu runa sudah tapi terikat.

" Jangan panggil aku bocil paman!"

Roy menarik tangan runa untuk berdiri. Memakaikan helem berwarna pink di kepala kecil runa. Selain tidak bisa mengikuti sepatu, runa juga tidak bisa mengaitkan helm.

" Kaya gini masih ngga mau di panggil bocil?"

" Ngga tau ngga denger." runa naik motor besar itu di bantu Roy. Tangannya memeluk pinggang sahabatnya agar tidak jatuh.

" Sapiii...gooooo."

Roy mendengus pelan mendengar ucapan runa. Enak saja Ducati nya di samakan dengan sapi uncle mutho.

Mengegas motornya membelah jalanan yang mulai ramai. Sebisa mungkin Roy menghindari lewat jalan utama yang terkenal macet. Ia lebih suka dengan jalan sepi dan tenang.

Mereka berhenti di lampu merah. Tak sengaja mata bulat runa melihat sekelompok motor yang sangat ia kenali yang juga ikut berhenti tak jauh di belakang.

" Jalan Roy udah hijau itu." runa menepuk pundak Roy.

" Iya,iya sabar ngapa sih?"

Runa menengok kebelakang, benar saja motor-motor yang tadi berhenti di lampu merah mengikuti mereka.

" Lelet banget sih nih motor, cepetan royy."

" Haaah?.....Apaaa?." Roy sedikit menengok wajahnya kebelakang saat mendengar suara runa yang kurang jelas.

" Ngebutt royyyy!" teriak runa di telinga Roy yang tertutup helem saat melihat motor Abi mulai dekat.

Ya motor di di belakang yang mengikuti mereka adalah motor mantan kekasihnya dan antek-anteknya.

" Haah? rambut? rambut lo kenapa?" Roy ikut berteriak.

" Setan!" umpat runa kesal.

" Apasih cill ngga jelas banget."

Di belakang empat motor mengikuti mereka. Sengaja menjaga jarak tidak terlalu jauh juga tidak terlalu dekat. Motor Roy tiba di depan gerbang, ia memarkirkan motornya berjejer rapi di tempatnya.

" Lo tadi ngomong apa, gue ngga denger?" tanya Roy sembari melepaskan helem di kepala runa.

" Ngga jadi." balas runa cemberut.

" Idih kenapa tuh bibir di maju-majuin, minta di cium? sana minta sama Abi."

" Ngapain sih bawa-bawa mantan ngga jelas banget." entah kenapa runa jadi sebal saat mendengar nama mantannya yang itu. Apalagi perkara hp nya kemarin yang di ambil secara paksa dan belum di kembalikan sampai sekarang.

" Lagian ya nih bibir masih suci." imbuh runa menyentuh bibir pink nya.

Meskipun sering bergonta-ganti pasangan, runa sangat menghindari physical touch. Mentok-mentok hanya berpegang tangan.

" Iya deh yang paling suci."

" Ana aku mau bicara sebentar." tiba-tiba Abi menarik tangan runa yang hendak pergi bersama Roy.

" Ihh...lepas!" runa menghempaskan tangan Abi yang lancang menyentuhnya. Namun sulit karena abi cukup kuat menahannya.

" Boleh gue bawa ana sebentar?" ijin Abi pada Roy.

Meskipun Abi tidak perlu meminta ijin pada Roy, tapi ia tau kekasihnya itu sangat dekat sahabat kecilnya. Ia pun tidak cemburu karena sejak awal sudah tahu hubungan keduanya.

Berpikir sebentar akhirnya Roy mengagukan kepalanya. Sepertinya mereka butuh waktu berdua.

" Inget jangan kasar, omongin baik-baik!" ucap Roy menepuk pundak Abi dua kali.

" Roy jangan tinggalin gue!" teriak runa melihat Roy yang berjalan santai membiarkan dirinya bersama Abi.

" Kelarin dulu urusan loh." ucap Roy mengangkat tangan kanannya tanpa membalikkan badan.

" Sialan lo Roy!"

" Jangan mengumpat ana aku ngga suka." tegur Abi menarik tangan runa agar mengikutinya.

Saat masih pacaran Abi memang lebih suka memanggil kekasihnya ana. Katanya agar berbeda dari yang lain.

" Lo mau bawa gue kemana woyy?" teriak runa yang sedikit kesulitan mengikuti langkah panjang Abi.

" Aku kamu ana!" protes Abi setelah mendudukkan runa di kursi taman belakang sekolah yang jarang anak-anak datangi.

" Lo lupa kita udah putus hah?"

Saat berpacaran Abi memang tidak menuntut banyak hal dari runa. Justru runa lah yang sering memanfaatkan Abi dengan menguras ATMnya dan mantan kekasihnya itu tidak masalah.

Hanya saja Abi meminta agar mereka tidak menggunakan loh gue katanya itu tidak sopan jika status mereka pasangan. Sebenarnya runa ogah menuruti tapi demi taruhan itu akhirnya Runa sedikit menurunkan egonya menuruti permintaan Abi.

Toh sejak dulu ia pacaran tidak ada mantannya yang memintanya mengunakan aku kamu saat berbicara. mereka lebih suka menggunakan panggilan sayang seperti baby, bub, sayang, cintaku, dan masih banyak lagi. Sudah bisa dibayangkan bagaimana tersiksa dirinya saat masih menjalani hubungan dengan cowok yang irit bicara dan kaku.

Tapi anehnya runa bisa bertahan sampai satu tahun. Apa mungkin dirinya di guna-guna? Entahlah. Atau mungkin karena uang Abi lancar?

Diantara para mantannya memang hanya Abi lah yang banyak mengeluarkan uang untuknya.

" Emang aku iya in?" Abi balik bertanya.

Runa tidak menjawab ia melipat kedua tangannya di dada memalingkan muka.

Abi berjongkok di depan runa. Mengamati wajah kekasihnya yang sudah satu hari sangat ia rindukan. Biasanya setiap malam mereka akan vc sampai tertidur.

" Kenapa kamu tiba-tiba minta putus? Aku ada salah?" tanya abi lembut.

Tangannya menyingkirkan anak rambut yang nakal menutupi wajah cantik runa. Membawanya di belakang telinga

" Lo ngga denger kemarin gue bilang apa?" runa menyingkirkan tangan Abi dari rambutnya.

" Gue.udah.bosen.sama.lo!" ucap runa menekan setiap katanya. Ia menatap mata tajam Abi.

Abi terdiam mendengar kalimat itu terulang kembali. Tatapannya berubah lebih tajam .

" Bosen?.....Hahaha." tiba-tiba tawa mengerikan keluar dari bibir abi.

Abi mencengangkan senderan kursi mengurung tubuh runa. Mata tajam yang biasa memandang lembut runa kini berubah bak mata seekor elang yang siapa membunuh mangsanya.

" Denger ini baik-baik, lo sama gue ngga akan pernah putus. Sampai kapanpun yang udah jadi milik gue akan tetap jadi milik gue. Termasuk lo runa Liliana Mahendra."

" Mata ini...." Abi menyentuh kedua mata runa membuat sang empu menutup matanya. Takut tiba-tiba di colok.

" Hidung, bibir...." Abi mengusap lama bibir kecil ini yang dengan berani mengatakan kata putus.

Tubuh runa mulai bergetar. Nafasnya mulai tidak beraturan. Entah hilang kemana keberanian dalam tubuhnya. Tubuh runa kaku seperti es.

Ia seperti tidak mengenal sosok di hadapannya ini. Abi yang ia kenal hanyalah laki-laki penurut dan irit bicara bukan seperti psikopat.

" bahakan nafas ini semua milik gue." hembusan napas Abi menyentuh kulit wajah runa.

"You are mine!" bisik Abi rendah di telinga runa.

Abi melumat bibir runa kasar. Melampiaskan amarahnya yang berkobar di dadanya. Tangannya membingkai kepala runa agar tidak berontak. Mengabaikan pukulan-pukulan kecil yang runa berikan.

" Ehmm...." runa berusaha melepaskan pangutan keduanya. Tapi apalah daya kekuatannya kalah dengan tubuh Abi yang lebih besar.

Runa mengepalkan kedua tangannya kuat. Tanpa sadar air matanya membasahi pipinya. Lelah berontak akhirnya Runa pasrah membiarkan Abi menciumnya dengan bebas.

Abi yang merasakan air mata dela menyentuh pipinya. Ia melepaskan bibirnya meski tak rela. Dengan santai Abi mengusap air mata runa yang semakin deras mengalir dengan senyuman kecil di bibirnya tanpa ada rasa bersalah.

" Hiks....hiks."

" Ssstss....tenang baby it's okey." bukannya berhenti runa malam semakin mengeraskan tangisannya mendengar ucapan Abi.

Abi membawa runa ke dalam pelukannya. Mengusap bahu runa agar tenang.

" Jangan menguji kesabaranku ana, aku tidak sebaik itu." ucap Abi pelan namun menusuk.

" Kalo sampai aku dengar kata putus lagi dari bibir ini, aku perkosa kamu!" bisik Abi matanya menatap tajam hamparan bunga-bunga indah di depannya.

Pingsan

Di kelas runa jadi lebih sering melamun. Ia sama sekali tidak tertarik dengan pelajaran yang guru terangkan di depan. Jangankan melihat, mendengarkannya saja tidak. Pandangannya kosong.

Cika menyenggol amel yang duduk di belakang kursi runa. Ia menunjuk runa dengan dagunya.

" Kenapa?" tanya Cika tanpa suara.

Amel mengangkat bahunya tidak tau. Ia juga heran kenapa sahabatnya yang selalu ceria itu tiba-tiba mlempem kaya kerupuk terendam air. Setelah guru keluar, Cika dan amel langsung menarik kursi mendekati meja runa.

" Lo kenapa run?" tanya Amel menyentuh pundak runa.

Tubuh runa tersentak saat bahunya tiba-tiba di sentuh. Ia baru sadar ternyata sudah jam istirahat.

" Iya, lo lagi ada masalah?" tanya Cika.

Runa menatap Amel dan Cika bergantian. Runa bingung apa ia harus menceritakan kejadian tadi pagi kepada sahabatnya.

" Ngga kok, emang gue kenapa?" runa tersenyum balik bertanya. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat.

Toh runa yakin sebentar lagi juga mantannya itu tidak akan mengganggunya lagi. Mungkin, runa pun tak yakin saat ingat sikap Abi tadi.

" Beneran?" tanya Cika ragu.

" Iya, yuk ke kantin gue laper." runa berusaha bersikap seperti biasanya.

Amel dan Cika saling berpandangan. Keduanya yakin ada yang runa sembunyikan dari mereka. Tapi mereka tidak akan memaksa runa untuk cerita jika belum siap.

" Ayok."

Mereka beranjak keluar kelas menuju kantin untuk mengisi perut. Di kantin runa dan sahabatnya punya meja tersendiri yang khusus untuk mereka. Jadi tidak perlu repot-repot berebut meja untuk makan. Orang kaya bebas.

" Mau pesen apaan nih?" tanya Cika.

" Biasa bakso sama jus apel." ucap runa dengan cengirannya.

" Bakso terus, sekali-kali nasi kek." di antara mereka Amel memang yang sedikit menjaga pola makan.

" Ngga mau pokoknya bakso." kekeh runa.

" Lo mau apa mel?"

" Nasi goreng deh sama es teh." ujar Amel.

" Okeh."

Cika menghampiri penjual kantin dan menyebutkan pesenannya. Tidak perlu mengantri nanti ada yang akan mengantarkan ke meja mereka.

Cika kembali ke meja menunggu makanan mereka datang. Ia mendudukkan pantatnya di samping runa. Tak lama makanan mereka sudah tiba. Dengan semangat empat lima runa langsung meracik baksonya.

" Makasih pak Joko." ucap Cika kepada penjual kantin langganan mereka.

" Sama-sama neng."

Runa menggeleng-gelengkan kepalanya tersenyum bahagia hanya karena menikmati bakso seharga dua puluh ribu. Sejenak ia melupakan masalahnya.

Cika dan amel ikut tersenyum melihat sahabat mereka sudah kembali ceria. Selama mereka bersahabat tidak pernah melihat runa melamun apalagi menjadi pendiam.

Kantin heboh saat Abi dan ketiga temannya datang.

" Ya ampun kak Abi tambah ganteng benget sih."

" Kulitnya mulus banget."

" Kak Abi l love you."

" Kak genta juga ganteng."

" Ihhh kak Alex senyum ke gue."

" Geer banget lo."

" Kak Deni aku padamu."

" Lebay banget mereka, kaya ngga pernah liat cowok ganteng aja." sinis Amel yang melihat adik kelasnya pada heboh.

" Emang ganteng sih, iya kan run?" ucap Cika meminta pendapat runa.

" Hmm." balas runa cuek.

Ia memalingkan wajahnya saat tidak sengaja beradu pandang dengan mantan kekasihnya. Runa jelas melihat saat bibir itu tersenyum miring menatapnya. Runa berusaha melupakan kejadian tadi pagi. Ia tidak boleh takut pada Abi. Semakin ia lemah maka mantannya itu akan bersikap semena-mena terhadap dirinya. Ayah Hendra tidak pernah mengajarkan runa jadi pengecut. Jika ada yang orang mengganggunya maka ia harus berani melawan.

Abi, genta, Alex, dan deni duduk di meja seberang. Tepat sebelah meja runa. Yang membuat runa kesal karena letak duduk Abi yang menghadapnya membuat runa serasa di awasi pemilik mata elang itu.

" ponsel lo udah di balikin belum?" tanya Amel saat ingat dengan hp runa yang di ambil Abi.

" Udah kok." balas runa mengaduk-aduk baksonya tak selera.

Sejak kedatangan mantannya, bakso di depannya yang biasanya habis hanya dalam waktu singkat menjadi hambar bagi runa. Perihal ponselnya memang sudah Abi kembalikan saat di belakang sekolah tadi. Dan yang membuat runa emosi, semua kontak teman-teman cowoknya sudah hilang tanpa sisa. Tentu saja pelakunya sang mantan psikopatnya.

Runa begitu kasihan kepada selingkuh-selingkuhannya yang tidak bisa menghubunginya lagi. Gagal deh ia memeras uang cowok-cowok itu.

Runa memegang perutnya yang tiba-tiba terasa sakit. " Gue ke toilet dulu ya, mules." ucap runa berlari kecil menuju toilet dekat kantin.

" Ehhh...temenin ngga?" tawar Cika.

" Ngga usah." balas runa berteriak.

" Cepet habisin makanan lo, kita susul runa." suruh Amel yang di angguki Cika.

Setelah makanan mereka habis, keduanya langsung menyusul runa ke toilet.

" Run lo di mana?" Amel dan Cika memeriksa setiap pintu kamar mandi namun tidak. Menemukan keberadaan sahabatnya.

" Astaga mel runa pingsan!" teriak Cika mendapati sahabatnya yang tergeletak lemah di salah satu kamar mandi.

Amel langsung mendekati runa. Ia menatap khawatir sahabatnya. Pasti karena tadi runa menuangkan banyak sambal saat makan  bakso. Sudah tahu tidak bisa makan pedas masih aja ngeyel.

" Aduh gimana ini mel?"

" Tenang gue panggil Roy dulu, lo temenin runa di sini."

Amel yang hendak pergi mengurungkan niatnya saat melihat kedatangan Abi yang tiba-tiba muncul.

Tanpa berkata, Abi membopong tubuh lemas runa. Cika memberi jalan Abi agar lebih mudah membawa runa dari kamar mandi yang sempat. Meksipun wajahnya datar namun Cika dan amel bisa melihat raut khawatir di wajahnya. Keduanya mengikuti langkah lebar abi yang membawa runa ke parkiran.

"Kalian ijinin runa ke guru mapel." suruh Abi saat melihat sahabat runa berdiri tak jauh darinya.

" Iya gampang, yang penting bawa runa ke rumah sakit." ucap Amel.

Abi membuka pintu mobil penumpang samping kemudi. Meletakkan runa di sana dengan hati-hati. Setelah memastikan runa duduk dengan nyaman, Abi langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Percayalah jantung Abi rasanya mau copot saat tadi mendengar anak-anak mengatakan runa pingsan di kamar mandi. Tanpa ba-bi-bu ia langsung membelah kerumunan di tempat kejadian. Untung saja hari genta sahabatnya membawa mobil. Jadi ia tidak membutuhkan waktu lama untuk memcari kendaraan roda empat.

Selama pacaran hanya baru kali ini ia mendengar kekasihnya itu pingsan. Abi sama sekali tidak peduli dengan kata putus yang runa ucapkan. Bagi Abi runa tetaplah kekasihnya dari dulu sampai sekarang.

Sampai di rumah sakit abi langsung memanggil dokter untuk menangani runa. Ia menunggu kekasihnya di depan ruang pasien. Menunggu dokter yang tengah memeriksa runa. Abi tidak bisa duduk tenang, ia mondar-mandir di depan pintu. Rasa khawatir menghantuinya saat tadi merasakan tubuh runa yang dingin dan penuh keringat.

Katakanlah ia lebay, tapi bagi Abi melihat perempuan tercintanya sakit membuat ia merasa gagal menjaganya. Meskipun itu bukan salah dirinya.

Di koridor rumah sakit Roy berlari kencang menghampiri abi. Setelah mendapat kabar runa masuk rumah sakit, Roy langsung meninggalkan kelasnya untuk menyusul runa. Sampai di rumah sakit ia langsung bertanya ruangan atas nama runa Liliana Mahendra.

" Gimana keadaannya?" tanya Roy yang masih ngos-ngosan habis lari.

" Dokter belum keluar." balas Abi.

Roy mendudukkan pantatnya di kursi yang tersedia di depan ruangan. Ia menghembuskan nafasnya pelan. Bingung harus mengatakan apa pada om Hendra.

Sebagai orang yang di beri amanah secara langsung tentu saja Roy tidak mau mengecewakan om Hendra dan Tante Laras. Tapi apalah daya nasi sudah menjadi bubur. Sekarang yang harus ia pikirkan adalah bagaimana cara memberitahukan jika putri semata wayangnya masuk rumah sakit. Keduanya mendekati dokter saat keluar dari ruangan runa.

" Gimana dok keadaan pacar saya?"

" Gimana dok keadaan adek saya?

Tanya Roy dan Abi berbarengan. Dokter laki-laki itu bergantian menatap kedua anak itu.

" Tidak perlu khawatir, mag nya hanya kambuh dan sekarang sudah baik-baik saja." balas dokter itu.

" Saya boleh masuk dok?" tanya abi yang di angguki Roy.

" Boleh, tapi jangan berisik yah pasien masih tertidur." peringkat dokter itu.

" Baik terimakasih dok."

"Sama-sama, mari." pamit dokter itu pergi yang diikuti perawatan wanita di belakangnya.

Roy dan Abi berdiri di samping sisi kanan dan kiri ranjang runa.

" Bandel banget sih lo run, udah bilangan jangan makan pedas. Liatkan sekarang tangan lo di tembel jarum lagi. Mana tuh hidung di tutup tabung."

" Sumpah jelek banget lo run." meskipun bibir Roy mengatakan ledekan, tapi percayalah hatinya sungguh khawatir melihat keadaan sahabatnya.

Sedangkan Abi tetap diam. Ia membiarkan Roy mengajak ngobrol dengan runa yang masih menutup mata. Abi berpindah duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Memberi waktu mereka berdua.

Tiba-tiba tangan yang Roy genggam bergerak. Roy langsung memencet tombol di samping ranjang memanggil dokter. Tidak lama dokter pun datang dan memeriksa keadaan runa sebentar setelah itu pergi setelah runa sadar.

" Akhirnya lo sadar run." ucap Roy tersenyum lega.

" Haus." guman runa pelan. Abi langsung menyodorkan gelas berisi air putih di bibir runa yang ia bantu agar tidak tumpah.

" Udah." Abi mengembalikan gelas itu di atas meja.

Tubuh runa yang masih lemas membuatnya kesulitan bergerak bebas. Namun tangannya menyentuh kepalanya dari tadi. Abi yang peka langsung duduk di kursi dekat ranjang runa.

" Mana yang sakit?" tanya abi lembut memegang tangan runa yang tidak di infus.

" Kepalanya sakit." tanpa sadar runa merengek memegang kepalanya yang terasa nyut-nyutan.

Saat sakit runa memang akan menjadi gadis yang sangat manja. Apapun yang ia minta harus di turutin. Pokonya ia hanya mau di sayang dan di perhatikan.

Dengan lembut Abi memijat kepala runa pelan. Runa tidak menyangka ternyata mantan psikopatnya pandai memijat. ia memejamkan matanya menikmati sakit kepalanya yang berlangsung berkurang.

Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Sedangkan Roy tengah mengambil baju ganti milik runa di rumah sekalian mengabari om Hendra.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!