Adrian mengusap kasar wajahnya, melepas jas dan dasinya lalu ia lempar di atas tempat tidur yang masih sama rupanya seperti tadi pagi. Berantakan, dan banyak baju-baju kotor berserakan di atasnya. Adrian duduk di sofa dengan memijit keningnya. Ia membuang kasar napasnya saat mendengar derit pintu kamarnya terbuka.
“Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?” tanya Adrian dengan suara berat, dengan melihat arloji yang melingkar di tangannya.
Seorang perempuan dengan pakaian yang seksi, indah, dan mahal, yang didesain khusus dari designer ternama itu terkejut saat mendapati suaminya yang sudah pulang terlebih dulu dari kantor.
“Mas, sudah pulang?” tanyanya sambil menutup pintu dan langsung mendekati suaminya.
Tubuh indah dan sintalnya itu berjalan dengan anggun dan cantik ke arah suaminya. Bak model papan atas, jenjang kakinya yang indah, dan tubuhnya yang indah berlenggak-lenggok, lalu duduk di pangkuan suaminya, dan mencium kilas bibir suaminya.
“Dari mana saja kamu? Ini sudah malam, memangnya apa sih yang kamu lakukan di luar sana sampai jam segini baru pulang?” tanya Adrian dengan tatapan geram pada istrinya yang setiap hari selalu begitu, menghabiskan waktu yang tidak penting bersama teman-temannya.
“Ish ... Mas ini seperti gak tahu saja! Ya aku sama teman-temanlah! Hangout di cafe,” jawabnya dengan bergelayut manja.
Adrian menghela napasnya. Jawaban yang sama terlontar kembali dari mulut Naura. Selalu hangout, dan hangout yang Naura lakukan setiap hari tidak ada bosannya.
“Stop, Naura!” Adrian menghentikan sentuhan Naura yang semakin membangkitkan hasratnya.
“Kenapa? Bukannya Mas suka?” tanya Naura.
“Mau sampai kapan kamu begini, Naura? Ini sudah sangat keterlaluan! Aku sudah terlalu membebaskan kamu selama ini! Sekarang sudahi semuanya, Ra, aku ingin hidup berumah tangga yang normal seperti lainnya. Bisa menimang anak, memiliki kamu dan anak-anak yang sangat aku cintai. Aku ingin seperti itu, Naura!” ucap Adrian dengan nyalang dan penuh penekanan.
Naura turun dari pangkuan Adrian, ia berkacak pinggang menatap tajam Adrian yang masih duduk di sofa.
“Mas tanya sampai kapan aku begini? Jawabannya, sampai aku puas dengan kesenanganku ini. Sejak awal Mas sudah tahu, kan? Sudah kesepakatan kita juga, Mas memperbolehkan aku melakukan apa pun yang aku suka. Ini yang aku suka, Mas! Kok Mas jadi tanya sampai kapan? Lalu untuk anak, Mas juga sudah tahu, bukan? Kalau aku tidak mau memiliki anak! Aku belum siap. Kenapa tiba-tiba meminta anak?” jawab Naura tak kalah nyalangnya.
“Kamu hanya memikirkan kesenangan dan kebahagiaanmu sendiri, Ra! Kamu tidak pernah memikirkan kebahagiaanku! Aku ingin memiliki anak, Ra! Sudah cukup waktumu bersenang-senang dengan temanmu, kamu sudah harus memiliki anak. Kita sudah sepuluh tahun menikah, Ta!” geram Adrian dengan tatapan tajam pada Naura.
Pernikahan mereka sudah sepuluh tahun lamannya. Namun, Naura masih belum mau memiliki anak. Ia sangat ingin menerapkan childfree dalam hidupnya. Ia tidak mau memiliki anak, tidak mau repot urusan anak, dan yang paling utama adalah dia tidak mau memiliki anak karena takut tubuh indahnya itu akan rusak setelah melahirkan. Akan kendor, gendut, banyak stretch mark, dan lain sebagainya yang dialami ibu-ibu setelah melahirkan.
Naura juga beranggapan kalau dirinya masih terlalu muda untuk memiliki anak, padahal usianya sudah menginjak kepala tiga, dan usia segitu katanya sudah tidak produktif lagi. Namun, karena mamang ia tidak ingin memiliki anak, mau sampai kapan pun Naura tetap ingin pernikahannya bebas dari anak.
“Mas mau punya anak? Aku tidak mau, Mas kan tahu sejak awal, kalau aku belum siap, dan bahkan tidak ingin memiliki anak? Aku tidak mau merusak tubuhku yang indah ini dengan melahirkan, Mas! Tidak mau!” ucap Naura.
“Astagfirullah, Naura .... Aku kira kamu akan berubah seiring berjalannya waktu, aku kira kamu bisa memenuhi keinginanku untuk memiliki anak, dan tidak ada lagi pikiran kamu tentang Childfree , tapi ternyata aku salah, kamu masih sama, kamu tetap tidak mau memiliki anak.” Adrian semakin geram, tapi ia tahan untuk tidak bicara kasar lagi pada istrinya.
“Mas menikah lagi saja. Aku akan carikan perempuan untuk Mas nikahi, dan bisa memberikan keturunan untuk Mas.” Ucapan Naura membuat mata Adrian membulat tajam menatap Naura.
“Kamu bilang apa tadi? Kamu menyuruhku menikah lagi untuk memiliki anak? Kenapa? Kamu ini sehat, kamu normal, kamu bisa memiliki anak, aku minta anak dari kamu, bukan dari perempuan lain, Naura!” geram Adrian.
“Aku gak bisa, aku gak mau hamil, Mas! Menikahlah lagi, akan aku carikan perempuan yang pantas untuk kamu nikahi, dan aku terima itu, karena aku tidak mau hamil!” ucap Naura dengan begitu entengnya menyuruh suaminya menikah lagi.
Padahal Naura dan Adrian sepasang suami istri yang normal, tidak ada masalah dalam hal reproduksinya, tapi Naura malah menyuruh suaminya menikah lagi supaya dapat keturunan, dan dirinya tetap bebas, tidak terbebani, direpotkan, dan tidak berubah bentuk tubuhnya karena anak.
“Gila kamu, Ra!” sarkas Adrian.
“Terserah Mas mau bilang aku gila atau apa. Aku tetap tidak mau hamil dan punya anak. Jadi menikahlah dengan perempuan lain, kalau Mas mau punya anak. Aku akan carikan perempuan untuk Mas nikahi sesegera mungkin, supaya Mas memiliki anak,” ucap Naura.
“Idemu gila, Ra! Kita ini sama-sama normal, di antara kita tidak ada yang mandul, Naura? Kenapa sih kamu berpikiran begini, membuat ide gila seperti ini?” ucap Adrian.
“Ya supaya kita cepat punya anak. Lagian Mama kamu juga sudah pengin menimang cucu, kan? Ya dengan cara yang menurut kamu gila ini, kamu bisa cepat-cepat punya anak, dan memberikan cucu pada Mamamu?” jawab Naura santai sambil menatap layar gawainya.
“Kamu sedang bicara dengan Suamimu, Naura! Bukan layar gawaimu yang kamu tatap!” ucap Adrian dengan nyalang.
Naura malah tersenyum lebar saat melihat pesan dari Desti, sahabatnya. Dia mendapat kabar kalau orang suruhan Desti sudah menemukan perempuan yang cocok untuk menjadi madunya, dan cocok untuk Adrian nikahi.
“Aku sedang membaca pesan dari Desti. Tenang saja, Mas akan segera memiliki anak. Lusa aku akan urus semuanya, aku sudah menemukan perempuan yang cocok untuk kamu nikahi,” ucap Naura dengan santai lalu meletakkan ponselnya, dan pergi ke arah lemari pakaiannya untuk mengambil pakaian ganti.
“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiranmu, Ra!” sarkas Adrian.
Adrian langsung membuka kemejanya, lalu dengan kasar membuangnya ke keranjang baju kotor dan masuk ke dalam kamar mandi, dengan membanting pintu kamar mandi.
“Aneh, disuruh kawin lagi malah marah? Aku kurang baik apa coba? Aku rela cari madu untuk kamu, malah begini?” ucap Naura lirih.
Adrian melepaskan celananya lalu melilitkan handuk di pinggangnya. Adrian menatap wajahnya di kaca yang ada di dalam kamar mandi. Ia mengembuskan kasar napasnya, lalu berjalan ke arah shower, menyalakan saluran air, dan membiarkan tubuhnya di bawah shower.
Adrian menengadahkan wajahnya, membiarkan air dari shower membasahi wajahnya yang tampan. Pahatan yang begitu sempurna, membuat siapa pun yang melihat Adrian terpesona karena ketampanannya. Adrian mengingat semua yang sudah ia lalui bersama Naura, dari awal bertemu, pacaran, lalu menikah. Ia mengingat semua kenangan indah bersama Naura saat dulu. Kenangan mereka yang romantis dan bahagia. Sekarang semua itu musnah, Naura mementingkan kebahagiaannya sendiri, tidak pernah mengerti Adrian, dan tidak pernah tahu apa yang membuat Adrian bahagia. Bahkan semudah itu Naura menyuruh dirinya untuk menikah lagi. Secara terang-terangan meminta dirinya untuk membagi tubuhnya dengan perempuan lain.
“Apa aku sudah sangat membebaskanmu, Ra?” gumam Adrian.
Selesai membersihkan diri, Adrian langsung memakai baju tidurnya, dan merebahkan tubuhnya di sebelah Naura yang sedang berbaring tanpa melepaskan gawainya. Adrian tidak peduli dengan apa yang sedang Naura lakukan. Ia memilih memejamkan matanya, daripada melihat kelakuan istrinya yang semakin tak keruan.
Adrian merasakan sentuhan di dadanya. Sentuhan lembut dari jari lentik istrinya itu. Adrian langsung menepisnya saat Naura menyentuhnya supaya membangkitkan gairahnya.
“Kenapa?” tanya Naura.
“Mau apa kamu?”
“Aku menginginkannya, Mas,” jawab Naura dengan tatapan sayu.
“Aku akan melakukannya jika kamu tidak meminum pil kontrasepsi lagi!” tekan Adrian, lalu ia menyingkir memilih tidur di kamar tamu.
“Huh ... diajak ena-ena malah menolak. Sok banget kamu, Mas! Awas kamu kalau minta jatah gak bakal aku kasih!” gerutu Naura, lalu dia melanjutkan permainan panasnya sendiri. Bermain solo sampai mendapat kepuasan.
Wanita cantik bertubuh seksi itu hanya berdiri melihat wanita dekil, hitam, kecil, kurus, yang sedang duduk dan menunduk di depannya.
Bruk!
Naura menaruh map di depan perempuan yang duduk di depannya. Perempuan yang ia cari untuk dijadikan madu, bernama Asti Asyifa.
“Pertama, kamu dilarang jatuh cinta dengan suamiku. Yang kedua, kamu harus memberikan anak pada kami berdua dari rahimmu. Dan, yang ketiga, kamu tidak berhak atas anak itu nanti. Paham?”
Mendengar ucapan sinis wanita di depannya, Asyifa pun mengangguk. “I—iya, Mbak. Saya paham.”
“Bagus! Kalau kamu sudah paham, kamu bisa baca surat perjanjian kerja ini. Kontrak kerja kamu lebih tepatnya!”
Asyifa yang langsung membacanya dengan teliti. Dia tidak mau nantinya kalau sudah menjalankan tugasnya, ada hal yang nantinya akan merugikan dirinya.
Hanya saja, hatinya ternyata tetap pedih saat kontrak itu menyatakan bahwa Asyifa tidak memiliki hak apapun atas anaknya nanti. Namun, Asyifa tak punya pilihan.
Tabungan dan pesangonnya sudah habis dan dia sudah di PHK sejak dua tahun lalu dari pabrik tempatnya bekerja. Padahal, dia memang membutuhkan biaya untuk sekolah kedua adiknya, yang sebentar lagi akan masuk SMA dan SMP.
Tak lama, Asyifa pun membubuhkan tanda tangan di sana.
Melihat itu, Naura melipat tangannya angkuh. “Baik, Ini uang DP dariku. Nanti malam, kamu siap-siap untuk dijemput orang, dan kamu harus meninggalkan dua adikmu.”
“Tidak masalah, kan? Toh, adik-adikmu itu harus mandiri,” ucap wanita itu lagi, dengan nada meremehkan.
Tangan Asyifa mengepal. Namun, dia hanya bisa mengangguk. “Iya, Mbak. Saya sudah menjelaskan semuanya pada adik saya, kalau saya akan bekerja dengan Mbak sebagai Asisten Rumah Tangga. Saya tidak memberitahukan yang sebenarnya, supaya adik saya bisa belajar dengan tenang kalau saya tidak di rumah.”
“Ya sudah, kamu pergi cari baju yang lumayan bagus untuk nanti malam menemui suamiku,” ucap Naura.
Setelah selesai dengan tujuannya, Naura pun pulang meninggalkan Asyifa yang meremang.
Baru kali ini, ia melihat wanita yang terang-terangan mencarikan madu untuk melahirkan anak dari suaminya hanya karena tidak ingin tubuhnya rusak dan kendur.
Namun, itu bukanlah tempatnya untuk menilai. Bukankah dirinya kini lebih menjijikan?
Asyifa menghela napas panjang. “Tidak apa-apa. Ini untuk adik-adikmu,” lirihnya menahan pedih pada diri sendiri.
Di sisi lain, Adrian yang baru pulang dari kantor, tampak terkejut. Entah ada setan apa yang merasuki Naura malam ini. Wanita itu tampak menyambutnya dengan mesra. Padahal biasanya saat Adrian pulang, Naura belum ada di rumah.
Entah karena nongkrong di Cafe atau nge-mall dan bikin konten supaya semua orang tahu kalau dirinya hidup bahagia, bebas, dan banyak harta.
Apalagi, setelah perdebatan mereka beberapa waktu lalu saat Naura dengan gilanya meminta Adrian untuk menikah lagi karena meminta keturunan, keduanya makin terasa dingin.
“Kamu tumben sudah di rumah? Tidak keluyuran sama geng kamu itu?” tanya Adrian akhirnya sembari berjalan ke kamarnya.
“Cuma pengen menyambut suamiku, apa tidak boleh?” jawab wanita itu cepat.
“Benarkah?”
Setelah menikah, Naura bahkan tidak pernah masak untuknya. Wanita itu bahkan ke dapur hanya untuk ambil minum dan makan saja! Tapi, Adrian tak pernah mempermasalahkan karena dia memang mencintai Naura.
Kini, Naura tampak gelagapan. “I—iya, ya sudah buruan bersihkan badanmu, lalu makan malam bersama, aku sudah masak, aku tunggu di ruang makan.”
Adrian menghela napas.
Tanpa basa-basi, di pun segera membersihkan diri dan menuju ruang makan.
Hanya saja, ia kembali terkejut saat menemukan sosok perempuan asing yang tampak sederhana dan anggun di sana bersama Asyifa.
Meski demikian, pakaiannya terkesan pasaran dan seperti seorang ART yang biasa bekerja di rumahnya.
Tapi, bukankah pembantu mereka harusnya pulang setiap sore?
“Hai, Mas? Sini makan dulu,” sapa Asyifa, membuyarkan lamunan Adrian.
“Dia siapa, Ra?” tanya Adrian tampak tak suka, “Apa dia pembantu baru kita?”
Perempuan yang Adrian kira pembantu hanya menunduk, sementara Naura tampak tersenyum. “Bukan, dia bukan pembantu. Dia calon istrimu, Mas. Namanya Asyifa,” jawabnya cepat.
“Maksudmu?”
“Kita semalam sudah bicara, bukan, Mas? Kamu minta anak, kan? Jadi, aku carikan calon istri yang bisa memberikanmu anak. Karena itu, jangan minta padaku lagi!” jawab Naura.
“Yang benar saja, Ra! Pikiran kamu di mana sih?” geram Adrian.
Asyifa terdiam. Mendadak, dia ragu dengan pekerjaan yang harus ia jalani nantinya sebagai seorang madu.
Hanya saja, wanita sosialita di sampingnya justru tampak yakin. “Aku serius, Mas. Lusa, kalian menikah siri!”
Rahang Adrian mengeras, tercetak jelas guratan kemarahan di wajahnya. “Kamu sebenarnya mikir gak sih, Ra?” marahnya, “aku memang mau anak, tapi dari kamu dan bukan yang lain!”
“Mas, kan aku sudah bilang dari awal kalau aku tidak mau hamil. Tapi, Mas terus maksa. Ya udah, ini jalan satu-satunya kalau Mas mau memiliki anak!” ucap Naura, “nikahi Asyifa!”
“Oh iya, aku sudah mengurus pernikahan kalian. Kalian menikah dengan siri, lusa pernikahan kalian!”
“Gak bisa, Ra! Aku gak mau!” ucap Adrian nyalang.
“Konsekuensinya, kamu gak bisa memiliki keturunan selamanya. Ingat Mas, ibumu sudah mendesak kamu untuk memiliki anak, dan aku tidak bisa!” tegas Naura.
Brak!
Adrian memukul meja, sampai Asyifa terjingkat.
“Benar-benar gila kamu, Ra!”
Tanpa kata, Adrian lalu masuk ke dalam kamarnya.
Meski kemarahan pria itu bukan padanya, tapi tetap saja Asyifa takut.
Rasanya, dia ingin kabur dari sana. Sayangnya, Naura sudah membayar penuh uang perjanjian yang sudah digunakannya untuk kedua adiknya.
Seolah tahu pikirannya, Naura tiba-tiba menatapnya tajam. “Kamu masuk kamar saja, Syifa. Tenang saja, kamu tetap akan menjadi istri kedua Mas Adrian!”
Naura masih membujuk Adrian untuk mau menikahi Asyifa. Tidak mudah bagi Adrian untuk membagi cintanya. Meskipun Naura seperti itu, dia tetap mencintai Naura apa adanya. Dia begitu yakin pada Naura, kalau suatu hari nanti Naura akan berubah. Namun pada kenyataannya Naura malah memilih memiliki madu, karena dia tidak mau hamil dan melahirkan. Dia tetap pada pendiriannya, tidak mau merusak tubuh cantiknya itu, karena sudah bisa dipastikan, perempuan sehabis melahirkan tubuhnya tidak akan seindah dulu saat belum memiliki anak. Itu yang ada di pikiran Naura. Padahal semua itu bisa diatasi, apalagi bagi seorang Adrian, dia kaya raya, bergelimang harta, sudah pasti akan memenuhi kebutuhan untuk perawatan tubuh istrinya setelah melahirkan nanti.
“Mas, jangan begini, kita masih bisa punya anak dengan cara itu. Mas bisa punya keturunan dengan menikahi Syifa, Mas? Aku ikhlas untuk itu. Kita kan sudah pernah bahas ini sebelumnya? Kalau aku tidak ingin hamil, untuk itu aku memutuskan mencarikan istri untukmu, biar dia bisa memberikan kamu keturunan. Hanya menunggu dia melahirkan saja, habis itu sudah selesai pernikahan kalian, kita punya anak, kamu punya keturunan, dan mamamu punya cucu? Selesai, kan?” bujuk Naura.
Adrian hanya diam dengan pikirannya sendiri, dia tidak menyangka istrinya memiliki ide gila seperti itu. Yang Adrian mau, Naura yang harus menjadi ibu dari anak-anaknya, bukan perempuan lain.
“Kau tahu konsekuensinya apa, Ra? Bisa jadi kau akan kehilangan aku dan cintaku, jika kau menyuruhku menikah lagi!” ucap Adrian.
“Itu tidak mungkin, karena mas sangat mencintaiku, aku percaya itu. Pikirkan baik-baik, aku ingin mas segera menikahi Syifa.”
Entah apa yang dilakukan Naura, tapi Adrian memang akhirnya menuruti keinginan gila istrinya itu untuk menikahi Asyifa.
Hanya saja, Asyifa dibawa Adrian ke sebuah rumah kecil di perumahan baru agar tak seatap dengan Naura.
Kini sepasang suami istri baru itu berada di sana.
Adrian memperhatikan lingkungan yang belum banyak dihuni, bahkan masih banyak rumah yang belum selesai dibangun.
“Asyifa, nanti kalau ada apa-apa kamu bilang sama asistenku. Nanti uang bulanan kamu saya titipkan padanya dan dia yang akan aku utus ke sini,” ucap pria itu pada akhirnya.
“Baik, Pak,” ucap Asyifa, takzim.
Adrian menghela napas panjang. “Ya sudah, saya pergi dulu.”
“Yoga tolong bantu angkat koper Asyifa, dan setelah itu langsung ke kantor, kita bahas meeting dengan klien kita!” perintah Adrian pada asistennya.
“Baik, Tuan,” jawab Yoga dengan hormat.
Adrian langsung meninggalkan mereka. Dia tidak ingin lama-lama di rumah Asyifa karena masih tak nyaman dengan istri keduanya itu.
Di sisi lain, Yoga tampak membantu Asyifa memasukkan barang miliknya.
Sebenarnya, barang bawaan Asyifa hanya sedikit. Namun entah Naura membawakan apa lagi, sampai ada dua koper yang ada di sini..
Untungnya, tak butuh waktu lama, semua pun rapi.
“Terima kasih, Pak Yoga, sudah membantu saya,” ucap Asyifa.
“Ah iya, Nyonya, sama-sama. Saya pamit ke kantor ya? Menyusul Tuan Adrian.”
“Iya, Pak. Tapi, jangan panggil saya Nyonya lagi, ya?” pinta Asyifa.
“Loh kenapa? Bukannya benar saya panggil Nyonya? Kan Nyonya istri kedua Tuan Adrian?” bingung pria itu.
“Sudah panggil saja Asyifa, jangan Nyonya lagi,” ucap Asyifa.
“Ya sudah saya panggil Mbak Asyifa saja. Sepertinya, Mbak Asyifa masih muda sekali?” ujar Yoga.
“Saya masih dua puluh dua tahun, Pak.”
“Pantas saja!” ujar Yoga. “Ya sudah saya pamit, Mbak. Nanti Tuan menunggu lama,” pamit Yoga.
“Baik, Pak. Hati-hati, ya.”
Yoga tersenyum, lalu segera pergi. Hanya saja, itu tak berlangsung lama karena begitu tiba di kantor, Adrian tampak geram.
“Kamu tahu aku sudah berapa lama menunggu kamu, Yoga? Dari mana saja sih? Disuruh bawakan masuk koper saja lama sekali?”
“Iya, maaf, Tuan. Tadi saya ngobrol dulu sama Istri mudanya Tuan,” jelasnya.
”Oh iya, dia baik sekali. Beruntung sekali Tuan punya istri muda yang ramah dan sopan santunnya terjaga,” puji Yoga lagi.
Bukannya senang, Adrian justru tambah geram.“Beruntung? Asal kamu tahu Yoga, kalau bukan karena aku sangat mencintai Naura dan tak mau bercerai darinya, aku tidak akan menikahi Asyifa yang kerempeng dan dekil.
“Dia bagai langit dan bumi dengan Naura!” kesal atasannya itu.
“Maaf, Tuan. Tapi, saya rasa Nyonya Asyifa hanya belum dipoles dengan berbagai macam skincare. Coba Tuan kasih perawatan yang sama dengan Nyonya Naura,” ucap Yoga berani, “Kalau sudah kenal perawatan tubuh, bakalan kalah Nyonya Naura, Tuan!”
“Orang sudah setelannya begitu, ya tetap begitu lah! Gak mungkin berubah!” ucap Adrian.
“Jangan salah tuan, nanti kalau Istri Muda Tuan sudah glowing bisa-bisa Tuan kepincut deh,” ledek Yoga.
Asistennya itu memang berani karena sudah lama dengan Adrian.
Meski kaya, atasannya itu sebenarnya tak suka membanding-bandingkan orang. Yoga bahkan sudah dianggap Adrian seperti saudaranya sendiri.
Tak segan, Adrian memberikan biaya kuliah untuk dua adik Yoga, sampai perawatan ibunya di rumah sakit.
Hanya saja, mood-nya berubah akhir-akhir ini akibat menghadapi kelakuan Naura.
Sebenarnya, Yoga sedikit berharap pada Asyifa. Mungkin dengan adanya istri kedua, mampu membuat Adrian kembali menjadi seperti dulu?
“Ck! Jangan bahas soal Asyifa. Aku yakin perempuan itu cuma mau duit saja, makanya mau jadi istri kedua!” gerutu Adrian, “Lebih baik, kita segera ketemu klien!”
Yoga menggelengkan kepala. “Ya sudah pasti lah, pasti butuh duit. Nyonya Naura juga pastinya nyari perempuan yang sedang butuh banyak uang.”
“Gak mungkin orang sudah kaya raya dan cantik jelita mau dijadikan istri kedua yang hanya diminta anaknya saja, kan? Nanti, gak bisa ditindas dong!” ucap asisten Adrian itu lagi.
Mata Adrian sontak menatap Yoga tajam, seolah mengingatkan agar Yoga tak terlalu banyak bicara.
Namun, Yoga hanya mengendikan bahu, tak takut.
Percayalah, dia ingin terbaik untuk Adrian.
Dan Naura, sepertinya bukanlah orang yang tepat untuk mendampingi pria sebaik dirinya….
Sayangnya, enam bulan sudah berlalu dari hari itu.
Tapi, Adrian sama sekali tidak pernah menemui Asyifa lagi.
Ia hanya mengutus Yoga untuk membawakan jatah bulanannya.
Kabar Asyifa, selalu didapatkannya dari Yoga. Entah mengapa, asistennya itu selalu antusias menceritakan kabar istri keduanya itu padanya meski tidak diminta.
“Tuan, yakin Tuan gak mau menemui Asyifa? Sudah setengah tahun, Tuan. Pasti Tuan akan terkejut kalau melihat Nyonya Muda,” ucap Yoga tiba-tiba.
“Gak ada topik pembicaraan lain, Ga? Aku lagi riweh ngurus Naura, jangan kau tambah dengan pembicaraan gak penting soal Asyifa!” kesal Adrian.
Memang, apa hal dari Asyifa yang bisa membuatnya terkejut?
“Serius, Tuan! Asyifa sekarang udah glowing. Jadi, ngapain yang riweh diurusi? Sedangkan di tempat lain ada yang lebih baik? Gak riweh, dan gak neko-neko. Kayaknya penurut juga,” kata Yoga lagi.
“Memang benar-benar ya kamu, Ga? Balik ke ruang kerjamu kalau hanya ingin bahas Asyifa!” perintah Adrian.
“Oke, Bos!” Yoga langsung keluar dari ruangan Adrian, sebelum atasannya itu bertambah geram padanya.
Sebenarnya, ada hal yang tidak pernah diinfokan Yoga pada Adrian.
Dia sendiri menginginkan Istri yang seperti Asyifa, tapi sayangnya dia sudah milik sang atasan.
**
Di sisi lain, Adrian meremas rambutnya. Sebenarnya, ia sadar bahwa Yoga tak salah.
Kepalanya sudah pusing dengan kelakukan Naura yang semakin hari semakin menjadi.
Pulang kumpul dengan teman-temannya sampai malam.
Rumah tidak diurus.
Kalau Adrian pulang kerja, selalu tidak disambut dengan baik.
Dan, yang lebih membuat Adrian naik darah, Naura sama sekali tidak mau disentuh Adrian karena Adrian tidak mau menemui Asyifa. Dia lebih memilih main solo dibandingkan minta jatah pada Adrian.
Pria itu sampai tidak tahu harus bicara dari mana untuk menasehati istrinya. Padahal, di kota berbeda, ibu Adrian dan ibu Naura sudah sangat menginginkan cucu dan meneror dirinya.
“Sudah di rumah bertengkar mulu sama Naura, di sini malah diajak ribut sama asisten sendiri,” gerutu pria itu kesal.
Sepulangnya dari kantor, Adrian merasa harus membicarakan ini segera dengan Naura. Tapi, lagi-lagi istrinya itu justru menolak.
“Mas! Kalau kamu mau kita seintim dulu, kamu harus sentuh Asyifa dan hamili dia segera!” teriak Naura sembari menyingkirkan tangan Adrian, “apa susahnya sih Mas? Toh, dia istrimu juga, bukan orang lain!”
Tangan Adrian, mengepal menahan amarah.
Pria tampan itu bisa saja memaksa Naura untuk “melayaninya”, tapi ia tak mau melakukan tindakan kasar yang akan disesalinya.
“Baik. Jika itu maumu,” geramnya.
Adrian lalu memilih keluar rumah dan mengambil kunci mobilnya. Tak lupa, dia juga membawa kunci serep rumah Asyifa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!