Hai, perkenalkan namaku Adelia Adena. Kata orang, hidupku sangatlah sempurna, memiliki orangtua kaya yang cukup loyal dan baik juga anak tunggal, hingga tidak perlu repot-repot memperdebatkan tentang orang tua yang pilih kasih pada anaknya. Benar, hidupku amatlah sempurna.
Memiliki teman-teman yang baik, dan satu hobi. sebagai anak tunggal aku diperlakukan dengan sangat baik, tapi tidak di manjakan. Meski tidak memiliki saudara, papa selalu mengajariku menjadi anak yang mandiri, dalam artian aku tidak boleh bergantung pada orang lain, aku harus pandai mengerjakan ini itu sendiri.
Aku tidak keberatan, karena kurasa itu tidak bertentangan dengan karakterku yang bisa di bilang suka mencoba segala hal baru dan aku tidak keberatan jika hal itu membuatku harus keluar dari zona nyaman. Aku mudah berteman dengan siapa pun sehingga aku memiliki banyak teman yang ada di sisiku.
"Del, kapan nih kita naik gunung lagi? Dah lama kan kita gak muncak?."
"Hmm, iya banget, ya. Nanti deh, kita obrolin lagi sama anak-anak yang lain, biar bisa atur waktu."
"Ok, siap, Bu Boss." ujar Erika yang merupakan sahabat dekatku. Sebagai tambahan, aku dan Erika sangat suka sekali bepergian seperti mendaki ke beberapa gunung, dan itu sering kami lakukan ketika memasuki masa liburan sekolah.
Aku sekarang menginjak kelas II SMA, aku bersekolah di Sekolah Swasta yaitu SMA Kartini yang ada di Jakarta. Sekolah ini merupakan sekolah khusus untuk anak perempuan yang di dirikan oleh sebuah yayasan.
Meski begitu tidak berarti bahwa aku tidak memiliki teman laki-laki. Aku punya beberapa teman lelaki yang aku kenal, di antaranya ada Janied, kairav dan Kailash yang merupakan saudara kembar, juga ada kenzie yang aku sukai. Mereka adalah teman yang memiliki hobi yang sama yaitu mendaki.
Secara penampilan, aku gadis yang cantik, memiliki postur tubuh tinggi dan aku suka berpenampilan menarik dan cukup cantik. Ketika keluar aku lebih suka memakai Hotpants dan tank top, meksi lebih sering kena ultimatum dari papa, hahaha. Tapi anak dewasa, kau pasti tahu, sedikit lebih sulit diberitahu.
Tapi tenang, aku sesekali tetap memperhatikan gaya berpakaianku ketika keluar rumah. Meski belum menutup auratku secara sempurna sebagai seorang muslimah, aku tetap mengutamakan berpakaian sopan ketika keluar rumah, seperti menggunakan baju yang menutupi dada dan celana panjang, atau leggings.
Kami tinggal disebuah rumah yang cukup besar, berlantai dua dengan nuansa bergaya eropa modern. Aku suka tinggal disini, dan kuharap selamanya kami akan tinggal disini.
"Adelia, minggu depan adekmu akan kesini. Kamu tidak akan keberatan, kan?." tanya Mama selepas aku pulang sekolah.
"Sayang, biarkan Adelia berganti pakaian terlebih dahulu." itu suara Papa yang baru saja keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Mama.
"Oh, iya, sayang. Maaf." ujar Mama membentuk dua jari tanda peace. Atau meminta maaf karena tidak sadar dengan pertanyaannya baru saja.
"Hmm, baik, Ma. Tidak apa-apa. Adel ke kamar dulu." sahutku segera berlalu, melepas seragam sekolahku dan kemudian segera menuju kamar mandi untuk mandi agar sedikit lebih segar karena hari ini melelahkan sekali. Aku tidak selalu di jemput oleh supir ketika pulang sekolah, hal tersebut karena aku sendiri yang menolaknya, dengan alasan aku lebih suka jika bersepeda.
Ya, terkadang ketika aku malas bersepeda, baru kemudian aku akan menelepon agar segera di jemput, selebihnya aku selalu bersepeda bersama beberapa sahabatku yang bernama Erika juga Shanaz.
Hal tersebut biasa bagiku, karena aku suka berpetualang. Jika aku manja, maka ketika mendaki aku hanya akan ditinggal atau tertinggal, atau bisa saja aku hanya akan menjadi beban bagi rekan yang lain. Sebagai anak yang terbiasa mandiri, hal tersebut sangat jarang ada di kamus hidupku.
Aku segera menyelesaikan ritual mandiku dan segera mengenakan pakaian, aku memakai sebuah dress berwarna putih bermotif bunga Lily dibagian ujung bawahnya, sementara rambutku, aku biarkan tergerai begitu saja dan kutambahkan sebuah jepitan dari motif yang sama seperti dress yang kukenakan agar serupa.
Berjalan menuruni anak tangga, karena memang kamarku ada dilantai bawah. Kulihat Mama dan papa tengah asik bercengkrama. Aku bahagia, karena keduanya harmonis. Hampir tidak pernah aku menyaksikan keduanya berdebat didepan mataku sendiri. Erika bilang, orangtuaku adalah couple idola banyak orang, terlebih bagi ia sendiri.
Karena orangtua Erika sering kali bercekcok, meski masih bersama. Kurasa itu salah satu alasan Erika sering menginap di rumah selain karena ia memang sahabatku. Orangtua Erika juga sepertinya tidak begitu peduli pada Erika.
Erika punya dua saudara, kakaknya bernama Elana dan Elina. Ia adalah anak terakhir, sebagai anak terakhir, ia seringkali harus mengalah dari kedua kakak-kakaknya. Sebab itu, setiap bercerita ia selalu mengatakan iri akan kehidupanku. Iri akan aku yang menjadi anak tunggal dan berharap jika ia bisa sepertiku, menjadi satu-satunya.
"Ma, maaf membuat kalian lama menunggu." ucapku menghampiri Mama dan papa. mendengar ucapan ku mama dan papa hanya membalasnya tersenyum.
"It's ok, sayang. No problem." jelas papa agar aku tidak merasa bersalah, mama yang mendengar itu hanya menghembuskan nafasnya.
"Kamu saja, Ma. Yang bicara pada Adelia." kata papa lagi.
"Kok mama sih, Pa. Berdua dong." sahut mama penuh penekanan. Sementara aku hanya geleng-geleng kepala karena keduanya tampak lucu dimataku.
"Baiklah." ujar papa setuju.
"Kamu ingat Liliana, Sayang?." tanya Mama menatapku lekat seolah menuntut jawaban segera.
"Liliana?." tanyaku memastikan yang seolah otakku sedang bekerja untuk mengingat nama itu. Walau aku tidak berhasil mengingatnya. Aku menggeleng tanda bahwa aku tidak berhasil mengingat satu nama itu. Sedang papa hanya mengangguk-ngangguk.
"Maaf, Ma." jawabku menunduk lesu.
"Oh, bukan salahmu, Nak. Wajar jika kamu tidak ingat." tambah Mama. Menatapnya menunggu jawaban.
"Jadi, siapa itu Liliana?." tanyaku tidak sabar.
"Dia sepupumu, Sayang. Anak Tante Diana!." kata Mama.
"Adik papa." tambah Papa seolah khawatir aku tidak mengingat nama itu.
"Oh, baiklah. Jadi ada apa dengan Liliana?" tanyaku agar segera menuju ke inti pembicaraan.
"Dia akan kemari Minggu depan." ucap Mama.
"Tepatnya akan tinggal disini!" tambahnya lagi.
"Jadi?." tanyaku bingung. Karena sebenarnya aku tidak mengerti apa yang mereka obrolkan. Liliana akan kemari Minggu depan dan akan menginap. Jadi apa masalahnya?
"Apa masalahnya? Biarkan saja dia menginap." sahutku cuek, karena sebenarnya aku tidak begitu peduli.
"Tidak hanya menginap, Sayang. Tapi dia akan tinggal disini bersama kita." itu Papa yang berbicara.
"Selamanya." tambahnya kemudian. Papa dan Mama kemudian menjelaskan jika alasan mereka Memberitahukan hal tersebut padaku adalah untuk menanyakan bagaimana pendapatku apa aku setuju atau tidak. Sebenarnya aku agak terkejut dan sedikit bingung, mengapa anak yang bernama Liliana itu harus tinggal kemari.
Benar, aku mungkin berharap memiliki saudara tapi kupikir itu benar-benar saudaraku, anak yang juga lahir dari rahim mama dan juga anak dari papaku. Agak aneh rasanya, meski aku mengatakannya bahkan sebelum mencobanya.
"Kenapa Liliana harus tinggal bersama kita? Memangnya kemana Ayah dan Ibunya?" tanyaku bergantian menatap keduanya. Kini gantian mama dan papa yang berpandangan.
"Oh, ayolah. Katakan saja dengan cepat." tuntutku tidak sabar.
"Tante Diana kabur sayang dengan meninggalkan sejumlah hutang yang cukup besar." jawab mama nampak frustasi.
"Lalu, kenapa ia tidak membawa anaknya serta?." tanyaku yang berhasil membuat Papa tersedak minumannya sendiri karena mendengar pertanyaan ku yang sedikit cuek.
"Biar bagaimana pun, Diana itu adik papa, sayang." jawab Papa seolah tidak ingin ada yang keberatan akan hal itu. Meski aku hanya gadis SMA. Tapi aku tidak bodoh, dan sudah dari dulu setiap ada hal yang dirasa penting mama dan papa akan membicarakannya dahulu padaku, mungkin agar aku tidak terkejut.
Entah akhirnya papa menolak adanya penolakanku dengan alasan agak klasik, bahwa papa adalah kepala keluarga yang harus di hormati keputusannya.
Kali ini, benar. Sepertinya ini kali pertama aku melihat Papa sepertinya tidak suka pendapatku dan mama.
"Jadi sebagai walinya, papa juga harus membayarkan segala hutang-hutangnya?" tanyaku kali ini.
"Adelia," panggil Papa sedikit agak ketus. Yang berhasil membuat mama terkejut. Karena sama sepertiku, ini mungkin juga kali pertama Mama melihat papa seperti ini.
"Benar, papa yang akan membayar hutangnya dan sudah papa lakukan. Serta Liliana akan tinggal disini, mungkin sampai Diana mendapatkan pekerjaan bagus!."
"Dia akan menjemput anaknya? Jadi maksudmu, setelah dia mendapat pekerjaan yang layak, dia akan mengambil anaknya. Lalu bagaimana hutangnya, dia akan menggantinya?." Itu suara Mama. Mungkin beginilah perasaan Erika, sedikit tidak nyaman dan aku merasa cukup sedih.
"Dia iparmu, Hana. Tolong, kalian berdua jangan mendebatku." suara Papa kemudian hendak berlalu. Tapi segera di tahan oleh Mama dengan mencekal sebelah tangan papa.
"Apalagi, Hana?" tanya Papa sepertinya tak suka.
"Apalagi katamu? Kita bahkan belum memberitahu Adelia apa intii sebenarnya dari ini semua." ungkap Mama dengan nada cukup tinggi yang berhasil membuat Papa mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali duduk ke meja semula.
"Kita akan pindah dari sini." kata Papa nyaris tak terdengar. Bagai petir di siang bolong, aku cukup terkejut, tapi masih berusaha terlihat tenang.
"Hutang Diana ada banyak, bahkan mencapai milyaran, sebab itu kita akan pindah dari sini ke desa, kita sudah tidak punya apa-apa." ujar Mama geram menatap Papa yang kini hanya diam saja. Kemudian berlalu dari sana.
Aku benar-benar terkejut, merasa bahwa ini hanya omong kosong belaka, dan bahwa mereka hanya sedang ingin mengerjaiku saja. Tapi melihat mereka yang tidak kembali lagi, membuat aku merasa yakin bahwa semua ini nyata, dan aku tidak sedang salah dengar. Aku tidak tahu harus meresponnya seperti apa, karena aku benar-benar begitu terkejut.
Setelah pembicaraan hari itu. Mama dan papa sepertinya tidak saling berbicara, keduanya nampak saling mendiamkan. Terbukti dari sarapan yang biasanya ada di atas meja kini tak ada apapun.
Asisten rumah tangga yang biasa bekerja di rumah sudah dihentikan oleh Mama, dengan alasan bahwa kami akan pindah. Tepatnya tidak punya apa-apa.
Meski memiliki Asisten rumah tangga, Mama biasanya lebih suka memasak sendiri, dengan alasan itu adalah tugas Mama yaitu melayani suami dan memberikan yang terbaik bagi anaknya.
Mama bilang, meski punya pembantu rumah tangga, tidak semua tugas harus diserahkan pada seorang asisten, meski mereka dibayar untuk itu. Mama bilang seperti namanya tugas mereka hanya membantu meringankan saja.
Aku tahu sebenarnya Mama berat melakukannya, apalagi asisten rumah tangga itu sudah lama bekerja dirumah ini, kami sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Setelah asisten itu dihentikan, Mama menjadi lebih sering melamun, namun berusaha terlihat baik-baik saja saat aku mencoba mendekati mama.
Aku merasakan perasaan mama, karena aku pun merasakan hal yang sama, kesal dan sedih secara bersamaan. Siapa yang tidak kesal, setelah melarikan diri dengan semua hutangnya, kini anaknya pun hendak di berikan kepada kami. Pun hutang yang papa bayarkan tidak termasuk hutang alias papa membayarkannya secara cuma-cuma.
"Mas, aku tahu kakak laki-laki itu berkewajiban mengurus adik perempuannya, tapi itu sebelum ia menikah. Aku tidak keberatan kamu membantunya, tapi tidak sebanyak itu mas!." itu suara Mama, yang sepertinya tengah berdebat dengan Papa.
"Ayolah. Biar bagaimana pun Diana adalah adikku satu-satunya." itu pembelaan diri Papa. Muak sekali, aku pikir drama-drama kehidupan yang cukup menyebalkan tidak akan terjadi di hidupku yang cenderung sempurna.
"Shitt, Mas. Keterlaluan kamu, kamu gak memikirkan aku juga Adelia." bantah mama kecewa. Setelah itu tak terdengar suara apapun hanya suara pintu di banting lumayan keras. Seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Masuk, gak dikunci." ucapku mempersilahkan seseorang masuk ke dalam kamar.
"Lagi apa sayang?." tanya Papa setelah masuk ke dalam.
"Gak ada ngapa-ngapain, Pa." sahutku singkat, jujur saja aku masih kecewa akan keputusan Papa, aku mencoba memahaminya tetapi sial, rasanya susah sekali.
"Maaf, sayang. Kalian mungkin kecewa akan keputusan Papa, tapi inilah yang terbaik." jelasnya menjelaskan.
"Terbaik? Apa maksud Papa?." tanyaku memastikan.
"Kita keluarga, tentu saja harus membantu!" jelas Papa enteng.
"Keluarga papa." bantahku kemudian mengemasi pakaianku ke dalam sebuah koper.
"Cukup, Adelia. Papa sedang tidak ingin berdebat. Kita tunggu kedatangan Liliana, dia akan tiba sebentar lagi." setelah mengatakannya papa segera beranjak pergi dari kamarku.
Aku segera menyelesaikan pekerjaanku sekarang, karena sebenarnya aku sudah Melakukannya sejak semalam, jadi sekarang hanya tinggal sebagian kecil saja. Mama tidak mengatakan apa-apa, hanya tersenyum sambil menggenggam tanganku.
Aku pun tidak berkomentar banyak, khawatir pada Mama karena ia nampak berbeda sekali. Jika biasanya Mama selalu tampil cantik dengan hiasan tipis yang biasa dipakainya, sekarang mama nampak biasa saja dan tidak mengenakan riasan apa-apa, meski dimataku mama tetap cantik.
Kurasa papa tidak menyadari itu. Karena papa terlihat biasa saja dan susah di tebak. Aku mencoba agar biasa saja, karena aku tahu hidup itu tidaklah selalu sempurna. Seperti hidupku sekarang.
Oh, ya, berita kepindahanku dari sekolah pun sudah diketahui oleh teman-temanku semua. Karena itu dari semalam hingga hari ini hpku tidak berhenti berdering karena pesan masuk juga panggilan dari semua sahabat-sahabatku.
Aku belum juga tidak berniat membaca pesan-pesan itu, karena hanya akan membuatku kembali merasakan kesedihan. Rindu karena perpisahan dan harus beradaptasi di lingkungan baru. Aku tidak tahu bagimana rasanya hidup di Desa.
"Sudah selesai berkemas, Sayang?." tanya Mama, aku hanya menjawabnya dengan menganggukkan kepala tanda bahwa aku sudah menyelesaikannya. Mama bilang gadis yang bernama Liliana sudah tiba sekarang dan juga Erika ada dirumah, dan sekarang mereka tengah berkumpul di ruang tamu.
Sebelum bergegas menemui mereka aku Ijin terlebih dahulu untuk bersiap, mengganti baju kemudian akan segera menyusul mama dibawah. Aku menyelesaikan dengan cepat aktifitasku dan segera turun ke lantai satu.
Fokus utamaku saat ini adalah pada gadis yang bernama Liliana. Tepatnya dia sepupuku, tapi rasanya malas sekali, kesan pertamaku tentang Liliana sudah buruk sejak awal sebelum aku bertemu dengannya.
Dia gadis yang biasa saja, dia cantik tapi penampilannya biasa saja. Mungkin sedikit mirip denganku, jika seandainya kacamata yang melekat di kedua matanya dilepas, mungkin garis wajahnya akan terlihat mirip denganku, sesekali ia mencuri pandang ke arahku tapi kemudian ia lebih banyak menunduk.
Mungkin ia gadis yang baik. Tapi sayangnya, di hatiku sudah tidak ada lagi tempat untuknya. Apalagi jika teringat bahwa semua ini terjadi karena ia dan mamanya. Maksudku, tentu hutang sebanyak itu mereka habiskan berdua, bersenang-senang. Itu pikirku sejak awal, tapi melihat bagaimana penampilannya kurasa mungkin ia tidak berfokus disana.
Ya, bisa saja mereka membeli banyak aset diluar negeri kemudian melarikan diri, karena mengetahui kakaknya siap melunasi semua hutangnya, sekalipun harus mengorbankan keluarganya sendiri. Ah, rasanya muak sekali.
"Adelia," panggil Erika dengan mata berkaca-kaca, menyadarkanku yang tengah sibuk memperhatikan Liliana dan lupa bahwa ada sahabatku disini. Aku segera menghampirinya dan sebelum aku berhasil mencapai tempat duduk, Erika sudah lebih dulu memelukku erat. Cukup kencang, kurasa ia menangis terbukti dari bahunya yang berguncang.
"Hiks, aku bakal sendirian lagi mulai sekarang." ucapnya terbata-bata, mengeluarkan semua isi hatinya. Jujur akupun merasa hal yang sama, hanya saja aku tidak ingin menangis. Karena itu benar-benar menyedihkan.
Liliana masih ada disini, sibuk memperhatikan kami dengan wajah yang cukup bingung. Meksi begitu aku dan Erika sibuk berdua dan tidak memperhatikannya.
Lagian untuk apa. Sebenarnya mungkin ia tengah berbahagia sekarang. Aku benci perasaan ini.
"Adelia, bisa gak kamu jangan pergi? Tinggal aja sama aku, kita bisa cari Apartemen berdua." keluhnya kini beralih menatapku penuh harap. Jika bisa, aku akan mengatakan iya. Tapi sayangnya, realitanya adalah kebalikannya. Andai aku memiliki saudara, mungkin aku masih bisa memutuskannya sendiri.
"Gak bisa yah, masih dibawah umur." sahut Erika lagi menjawab pertanyaannya sendiri.
"Tante, huwaaaaaa." tangis Erika pecah dan kini giliran aku yang berusaha menenangkannya. Ini tidak pernah ada dalam pikiranku, bermimpi sekali pun tidak pernah.
Aku tidak pernah berencana meninggalkan kediamanku yang hangat dan nyaman. Serta sahabat yang seperti rumah kedua bagiku. Ini semua terjadi setelah Liliana hadir di hidupku.
Meliriknya sekilas dan kudapati ia pun tengah melirik ke arahku, kemudian tertunduk. Basi, aku tidak suka drama, dan sepertinya Liliana suka.
Setelah melepas kepergian Erika, kini hanya ada kami berdua diruang tamu. Sungguh, benarkah aku akan pergi dari sini? Tepatnya kami?.
"Maaf." itu suara Liliana memecah keheningan diantara kami. Menatapku sekilas kemudian menunduk lagi. Aku tersenyum sekilas, rasanya malas menghadapi makhluk yang seperti ini. Tapi sudahlah, aku pun tidak punya tenaga untuk membalasnya.
"Adelia, kalian sudah berkenalan?." tanya Papa menghampiri kami. Rasanya lengkap sudah penderitaanku.
"Adelia, sudah berkemas?!." tanya Mama, seolah mengetahui keresahanku.
"Ayolah, berkemas bisa nanti. Saling kenal saja dulu, bagaimana pun nanti kalian serumah." ucap Papa entengnya seolah tidak punya masalah.
"Bahkan mungkin nanti kalian bisa saja sekamar!" tambahnya lagi. Hal itu berhasil membuatku menatap Papa, terkejut. Kulihat juga raut terkejut diwajah Liliana, entah terkejut atau sungkan aku tidak tahu. Sebenarnya aku tidak peduli.
"Kenapa harus sekamar?." kali ini Mama yang bertanya mewakili pertanyaan ku.
"Ya, Papa rasa di Desa rumahnya kecil, sayang." jawab Papa enteng. Mama hanya berdecak kesal mendengarnya. Entah seolah kehabisan energi dan kata-kata berdebat dengan Papa.
"Kita akan berangkat besok. Sekarang, bawa Liliana ke kamarmu!." perintahnya.
"Kenapa harus ke Kamarku? Maksudku, ini bukan desa. Dia bisa dikamar mana saja, asal bukan kamarku." bantahku tidak terima.
"Adelia, hanya semalam. Dan, ini juga sudah bukan rumah kita." sahut Papa tak menerima bantahan. Aku benci Papa. Tidak pernah terbayang jika papa pun bisa semenyebalkan ini.
Kupikir orang-orang yang dahulunya kagum akan papa, kurasa sekarang mereka memilih mundur teratur. Menyebalkan sekali, bukan? Harus sekamar dengan seseorang yang terlibat menghancurkan hidup kita.
Aku segera beranjak pergi dari sana tanpa mengatakan apa-apa lagi, kudengar Papa meminta Liliana agar segera mengikutiku ke kamar. Dan seolah anak yang baik dan penurut, ia segera beranjak dari tempat duduk dan mengikutiku.
"Kak Adelia, tunggu." panggilnya yang sengaja ku abaikan. Ya, papa sempat menjelaskan jika aku lebih tua satu tahun dibanding Liliana, dan ia berharap aku cepat mengakrabkan diri dan menganggap dia sebagai adikku.
"Oh, astaga, yang benar saja, Pa." gerutuku pada diriku sendiri. Aku menghentikan langkahku agar Liliana tak tertinggal. Meski tidak menyukainya, tapi aku pun tidak sejahat yang dibayangkan. Aku hanya tidak menyukainya.
Karena terburu-buru mengikutiku dan tidak memperhatikan langkah, akhirnya Liliana menabrak punggungku.
"Kak Adelia, maaf!" ucapnya tertunduk. Hanya berdecak sebagai jawaban bahwa aku tidak menyukainya. Aku benci Liliana. sebenarnya kenapa juga dia selalu meminta maaf, apa dia tahu aku tidak menyukainya?
"Masuklah, disini kamarku." ucapku datar tanpa menatapnya.
"Terima kasih, Kak Adelia." ujarnya lagi kali ini tersenyum menatapku meski lagi-lagi ujung-ujungnya ia menunduk.
"Adelia saja, kau tak perlu memanggilku kakak, aku bukan kakakmu." sahutku malas.
"Tapi, tetap saja. Kau kakak sepupuku, usia kita berbeda satu tahun, aku. ." ucapnya terbata-bata seolah aku akan menelannya hidup-hidup. Sesekali ia akan mencuri pandang.
"Baiklah, terserah kau saja." sahutku malas, kenapa Liliana cerewet sekali. Sekilas aku melihatnya tersenyum, yang benar saja. Liliana bergegas masuk ke dalam setelah kubukakan pintu, ia hendak mengeluarkan isi kopernya. Tunggu, kurasa barangnya tak banyak.
"Kita hanya semalam disini, kau tak perlu membongkar barangmu." sahutku mengingatkan barangkali ia lupa. Sedang aku, setelah mengantarkannya ke kamar, aku bergegas menuju ke balkon kamarku. Barangkali aku hendak menyendiri disaat terakhir kali aku ada disini, di rumah ini.
Aku menangis. Benar, aku menangis. Hal yang sangat jarang sekali aku lakukan. Bahkan aku lupa kapan terakhir aku menangis. Tapi hari ini, aku kembali menumpahkan air mataku. Entah karena apa.
Entah karena menangisi keadaan kami yang tiba-tiba berubah menjadi menyedihkan, atau menangis karena akan meninggalkan kehidupan kami yang nyaman dan akan memulai kehidupan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Atau mungkin kecewa karena gagal memahami papa yang menurutku siapapun pasti susah melakukannya. Aku tidak keberatan jika sebenarnya papa hanya membantu melunasi hutangnya saja tapi jika sampai harus mengorbankan hidup kami juga, kurasa aku tidak bisa memahaminya.
Kami bahkan harus pergi dari rumah yang sudah lama kami tempati. Boleh beri satu alasan mengapa aku tidak boleh marah pada Papa?
Om Arsen meminta pada Kak Adelia untuk menunjukkan kamar yang akan kami tempati. Awalnya kak Adelia menolak dengan alasan, aku bisa menempati kamar mana saja, selama itu bukan kamarnya. Tapi, sepertinya keinginan Om tidak bisa dibantah, om menegaskan bahwa kamar yang di tempati kak Adelia sekarang tidak akan menjadi kamarnya lagi, karena kami akan segera pindah dari sini.
Tanpa membantah dan mengatakan apapun lagi, kak Adelia segera beranjak dari tempat duduk dan segera pergi dari sana menaiki lantai dua, sedang om meminta aku untuk segera mengikutinya.
Langkah kaki yang cepat membuat aku kewalahan mengikuti langkah kak Adelia di tambah rumah ini sangat besar dan luas, aku khawatir tertinggal dibelakang dan kehilangan jejak kak Adelia.
"Kak Adelia, tunggu." panggilku yang sepertinya kak Adelia tak mendengar panggilanku. Ya, Om sempat menjelaskan jika aku lebih tua satu tahun dibanding kak Adelia, dan ia berharap aku cepat mengakrabkan diri dan menganggap dia sebagai kakakku.
"Oh, astaga, yang benar saja, Pa." gerutunya pelan pada dirinya sendiri.
Meski ia mengucapkannya dengan pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya. Karena khawatir tertinggal, aku mempercepat langkahku tanpa melihat kedepan lagi karena fokus melihat lantai ditambah aku perlu menyeret koper ini. Sebenarnya ini koper kecil, tapi entah mengapa rasanya berat sekali.
Hal ini kembali mengingatkanku akan Ibu. Setiap apa yang kulakukan jika menurut ibu itu lamban ia akan selalu mengatakan jika aku payah dan tidak bisa di andalkan. Meski, aku dan Ibu tidak dekat, tepatnya, ibu tidak suka jika berdekatan denganku.
Mungkin tepatnya setelah ibu dan papa berpisah, entah mengapa ibu jadi tidak menyukaiku, tapi aku tidak membenci ibu. Meski ibu sering marah-marah, ia tidak pernah membiarkan aku kelaparan sendirian di rumah, ia selalu meninggalkan uang. Karena ibu lebih sering diluar dan pulang hanya beberapa hari sekali.
Meski kenyataannya setiap pulang, Ibu tidak pernah berhenti memakiku dengan berbagai macam umpatan, sungguh, aku tidak pernah membenci Ibu dan membiarkan kata-kata itu singgah berlama-lama dihatiku. Kini, aku merindukan Ibu.
Aku merasa canggung disini dan asing. Ini adalah kali kedua aku kesini, meski aku tidak ingat kapan pertama kalinya, tapi Om bilang jika itu sudah lama sekali, jadi wajar jika aku merasa canggung tapi perlahan-lahan kami akan menjadi dekat karena kami keluarga.
Aku ingin pulang. Walau aku merasa ada yang aneh. Ya, Ibu tidak pernah pulang lagi sejak meninggalkanku terakhir kali, dan ada yang datang ke rumah dan mengatakan jika rumah kami akan disita, perempuan itu bilang jika ibu sudah meninggalkanku dan melarikan diri karena memiliki hutang yang cukup banyak, dan sebenarnya ibu menjadikanku jaminan bersama hutangnya.
Aku dijual oleh Ibu. Meski awalnya aku tidak percaya, tapi melihat sikap ibu padaku, mau tidak mau aku harus percaya. Tapi sungguh, aku berharap ibu pulang dan mengatakan jika semua yang terjadi adalah kebohongan.
Langkahku kupercepat agar aku tidak tertinggal semakin jauh oleh kak Adelia. Aku tahu, ia tidak menyukaiku. Tapi aku memaklumi itu. Meski aku nampak lemah dari luar, dan itu benar adanya, tapi aku tidaklah bodoh. Aku bisa membaca situasi dan aku tahu apa yang tengah terjadi.
Bisa datang ke rumah ini, artinya aku sudah bukan jaminan lagi, aku sudah ditebus oleh Om Arsen. Meski terdengar layaknya barang, tapi itulah faktanya. Aku tahu, yang menerimaku disini hanyalah om Arsen.
Meski begitu, aku tahu Tante Hana lidia meski tidak suka padaku tapi ia pun tidak menunjukkan tanda-tanda permusuhan. Ya, ia hanya mengabaikan ku, tapi itu lebih baik dibanding ia bersikap seperti ibu yang selalu mengataiku dengan berbagai umpatan yang menyakitkan.
Meski kak Adelia tidak menyukaiku, tapi aku tahu ia pun tidak jahat sebenarnya. Hanya saja, situasi ini menyebabkan siapapun pasti akan melakukan hal yang sama.
Bagaimana tidak, hidupmu yang awalnya selalu nyaman tiba-tiba akan segera berubah. Seseorang memberitahumu jika kamu akan segera pindah dan meninggalkan segala kemewahan, dan pindah ke tempat terpencil.
Aku tahu, mungkin kak Adelia hanya sedang terguncang. Sebenarnya aku takut, tapi sekarang aku hanya punya mereka. Aku berjanji apapun yang akan terjadi, aku tidak akan membenci dan selalu ada untuk kak Adelia. Aku hanya perlu menjalani ini dan melewatinya.
Karena terburu-buru mengikuti langkah kak Adelia dan tidak memperhatikan langkah, akhirnya aku menabrak punggung kecilnya yang sepertinya memutuskan berhenti agar aku tak tertinggal jauh.
"Ceroboh sekali," umpatku pada diri sendiri, aku khawatir ia marah padaku sekarang.
"Kak Adelia, maaf!" ucapku tertunduk. Hanya berdecak sebagai jawaban bahwa ia tidak menyukainya, tapi aku mengerti perasaanya dan tidak berharap lebih. Selain maaf, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Dan kupikir, lain kali aku harus meminta maaf secara benar, karena aku dan Ibuku lah penyebab hidupnya akan berubah sebentar lagi.
"Masuklah, disini kamarku." ucapnya datar tanpa menatapku.
"Terima kasih, Kak Adelia." ujarku lagi, kali ini tersenyum menatapnya meski lagi-lagi aku akhirnya memilih menunduk. Sungguh, kak Adelia cantik sekali. Dan kupikir, hidupnya pasti sempurna sekali selama ini. Dan, maaf. Ya, hanya itu.
"Adelia saja, kau tak perlu memanggilku kakak, aku bukan kakakmu." sahutnya malas.
"Tapi, tetap saja. Kau kakak sepupuku, usia kita berbeda satu tahun, aku. ." ucapku terbata-bata seolah akan ada yang akan menelanku hidup-hidup. Meski sesekali aku mencuri pandang.
"Baiklah, terserah kau saja." sahutnya malas. Kenapa aku cerewet sekali. Biasanya aku tidak se-cerewet ini. Sekilas aku melihatnya nampak murung, aku khawatir sekali.
Aku bergegas masuk ke dalam setelah di bukakan pintu, aku hendak mengeluarkan isi koperku. Sebenarnya barangku tidak banyak, hanya beberapa lembar baju dan satu boneka Teddy usang yang sudah lama.
"Kita hanya semalam disini, kau tak perlu membongkar barangmu." ujarnya mengingatkan. Sedang setelah itu, setelah mengantarkanku ke kamar, dia bergegas menuju ke balkon kamar ini. Setelah kuperhatikan, ternyata kamar ini memiliki balkon yang cukup luas.
Tidak jadi membongkar barangku karena besok kami akan berangkat pagi, aku baru sadar jika kamar ini bernuasa warna putih, yang menenangkan mata. Sepertinya kak Adelia suka warna putih.
Kurasa pasti menyenangkan memiliki kamar sendiri, bisa memilih warna dan mendekornya sesuai dengan tema yang diinginkan sendiri. Aku? Dirumah aku memang memiliki kamar sendiri, kamar yang pastinya tidak seluas dan semegah ini. Hanya kamar kecil tapi aku sekarang merindukannya.
Beralih menatap kak Adelia yang tengah berdiri sendirian diluar balkon, pandangannya kosong dan menatap kedepan sana. Tunggu, sepertinya kak Adelia menangis.
Mengetahuinya menangis. Aku segera beranjak keluar dari kamar dan memutuskan untuk menunggu diluar kamar saja. Sepertinya kak Adelia perlu waktu untuk sendiri.
"Maaf, kak Adelia." ucapku pelan menutup pintu. Aku tahu pastilah tidak menyenangkan menjadi ia sekarang dan parahnya aku adalah penyebab tangisan seseorang itu. Jika bisa memilih, aku memilih ada dirumah, meski selalu kena umpatan. Tapi itu masih lebih baik, karena tidak merusak senyuman seseorang.
"Liliana, kenapa ada diluar? Apa Adelia tidak membiarkanmu masuk?." tanya Om Arsen hendak membuka pintu kamar memastikan bahwa perkataannya benar. Sungguh aku takut, takut menjadi penyebab perdebatan orang lain, terlebih ayah dan anak ini.
Aku yakin sebelum ini, mereka adalah keluarga harmonis. Tapi setelah ini, semuanya nampak berbeda. Terlihat dari penampilan Om Arsen yang terlihat cukup berantakan dibanding terakhir kali aku melihatnya saat ia menebusku saat itu.
Entah mendapat kekuatan dari mana, aku mencekal tangan Om Arsen yang hampir saja berhasil membuka pintu dan mengusik seseorang yang tengah ada didalamnya.
"Ada apa Liliana?." tanya Om Arsen kini beralih menatapku dan melepaskan tangannya dari handle pintu.
"Tidak, Om. Kak Adelia baik, lilian hanya ingin melihat-lihat saja." sahutku cepat.
"Baiklah, om hanya khawatir saja." jawabnya tersenyum, tapi nampak kusut mungkin dari pikirannya. Tapi, aku memaklumi itu.
"Kak Adelia baik, Om." jelasku. Sukses menarik senyumnya dan beranjak dari sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!