[PAP dong ... mastiin kalau kamu beneran gadis, takutnya bencong]
[500 juta? Seenak apa ngent*d denganmu? Kamu pasti hanya penipu]
[2 juta, send your phone number]
[Minat ... DM]
[500 ribu, hotel+driver dariku]
Egi mengklik tanda "X" pada website aplikasi berlogo X seraya mendesah. Decakan di bibir gadis muda berusia 20 tahun itu terdengar getir saat mencibir komentar pada postingannya.
Tangan kurus dengan urat biru menonjol menarik sebuah tas ransel usang yang terletak di meja bersebelahan dengan monitor komputer yang ia sewa di satu-satunya warnet yang masih beroperasi di tengah gelombang pesatnya kemudahan teknologi.
Ya, Egi memang gadis miskin yang masih memakai jasa warnet sesekali untuk berselancar di media sosial. Meski dia tidak lulus SMP, tetapi Egi kursus komputer demi naik kasta dalam mencari pekerjaan. Meski yah ... dia hanya mampu bekerja serabutan saja, asal bisa makan dan tidur tidak sampai menggelandang.
Usai membayar beberapa rupiah, Egi melangkah cepat ke bangunan besar berwarna putih pucat seberang warnet. Ponselnya berdering, yang dengan mudahnya ponsel layar monokrom itu mendarat di telinganya, tanpa perlu dia melihatnya.
Satu-satunya orang yang menghubunginya adalah perawat atau pegawai rumah sakit tempat adiknya, Elvano dirawat.
"Halo ...."
Egi melangkah sembari terus mendengarkan apa kata si lawan bicara. Air muka gadis itu tampak suram
"Saya sudah di halaman, tolong sabar sebentar."
Ponsel hitam itu masuk ke saku celana jeans pudar dengan robekan di beberapa tempat. Dia baru pulang bekerja, dan belum sempat ganti pakaian. Hari ini adalah hari dimana dia memutuskan apakah El bisa terus di rawat atau dipulangkan.
Langkah Egi semakin cepat saat memasuki ruangan Dokter yang sejak dua hari ini merawat El.
"Sore, Dok." Egi menyapa dan berdiri di ujung ruangan.
Dokter Vincent sedang membaca laporan di tangannya, sejenak menaikkan wajahnya yang masam dan kaku, tatapan tajamnya menyapu wajah hingga ke kaki Egi yang celana jeans nya terbuka di bagian paha. Egi bukannya sengaja berpakaian begini untuk menggoda, tetapi dia sungguh tidak sempat berganti pakaian dulu. Jeans ini juga bukan model sobek-sobek seperti yang dipakai cewek kekinian, tapi sobek dimakan usia.
Egi sadar, lalu dengan gerakan pelan nan canggung, ia menurunkan ransel usangnya untuk menutupi kaki.
"Seperti apa yang saya katakan sebelumnya." Dokter Vincent berkata serta menghela napas setelah menilai Egi tidak punya maksud apa-apa dengan pakaiannya, sehingga suaranya yang terkesan mengerikan itu tidak terlalu jelas terdengar. Egi yang sedikit takut menghadapi dokter satu ini, memajukan kepala agar mendengar dengan jelas apa yang Dokter Vincent katakan.
"Harapan hidup adikmu sangat tipis. Skor GCS nya 3, artinya dia akan berada dalam kondisi hidup tetapi mati. Sejujurnya, kami hanya tinggal menunggu detak jantungnya berhenti saja, jika malam ini dia tidak bisa merespons kami. Dan ...."
"Dokter ... saya tahu permintaan saya ini berlebihan, tapi hanya dia yang saya punya dalam hidup saya." Kepala Egi menunduk, membiarkan air matanya jatuh begitu saja membasahi lantai ruangan ini. Dia tahu, bagi orang miskin seperti dirinya sembuh adalah mustahil pada kondisi ini. Uang di kantongnya sisa 50 ribu saja, jadi dari mana dia dapat uang sebanyak itu untuk operasi. Tapi ini El, Elvano adiknya, yang dia besarkan sendiri dengan nyawa sebagai taruhannya. Bagaimana dia melepaskan adiknya ini begitu saja tanpa usaha?
"Tolong selamatkan dia." Suara Egi hilang di telan tangis. Ia menatap Dokter berbadan tegap itu penuh permohonan, tanpa mengesankan dia butuh dikasihani. "Saya akan melakukan apa saja asal adik saya bisa sembuh."
"Carilah biaya untuk operasi Elvano—!"
"Saya sudah melakukannya, Dokter ... tapi uang sebanyak itu, tidak mudah mendapatkannya bagi saya!" Mata Egi memerah. Antara kesal dan marah. Bagaimanapun usahanya, uang hampir 500 juta didapat dari mana? Atau setidaknya, uang muka barang 10 juta, dia tidak bisa menyediakannya.
Vincent membuang napas seraya menjatuhkan kertas di tangannya, gusar atas tindakan cengeng Egi. Vincent memang dermawan dengan beberapa kali membantu pasien, dan dia tidak tahu kalau akan banyak sekali pasien yang bermuka sok memelas sepeti Egi untuk mendapatkan kemurahan hatinya.
"Maaf, tapi saya menyarankan yang terbaik untuk kondisi mu sekarang." Vincent memutar kepalanya menghadap Egi. "Bukan sesuatu yang jahat jika melepas semua beban sehingga membuat pundakmu sedikit ringan."
Hati Egi sedikit tersentak, tetapi dia juga tidak bisa melawan apa kata dokter itu yang sebenarnya memang benar. Bisa Egi membiarkan El meninggal dengan melepas alat medis penopang hidup yang melekat di tubuh El, tetapi Egi pasti kesepian di rumah setelah itu. Suka dan duka yang Egi alami bersama El selama 14 tahun ini terasa sia-sia. Belum lagi rasa bersalah yang pasti akan terus menghantuinya.
"Dokter ... bisakah—"
"Maaf, Virginia ... tapi kami sudah memberi kesempatan beberapa hari untukmu mencari dana. Subsidi kami tidak sebesar yang kau kira jika berharap kebaikan dari kebijakan rumah sakit. Selain Elvano, ada banyak pasien lain yang juga membutuhkan keringanan biaya perawatan dan pengobatan." Vincent berkata tegas, tanpa memindahkan pandangannya dari atas kepala Egi yang masih menunduk. Lagipula, Vincent menduga kalau Elvano berkendara ugal-ugalan di jalan sehingga mengalami kecelakaan mengerikan seperti ini. Dana rumah sakit terlalu berharga untuk diberikan pada remaja yang arogan seperti itu, kan?
Isi kepala Egi berputar sangat cepat. Dua hari untuk mencari dana ratusan juta itu apa terlihat mudah bagi dokter ini? Iya kalau dia punya penjamin untuk berhutang. Iya kalau dia mampu membayar iuran bulanan jaminan kesehatan. Iya kalau dengan jaminan sosial itu, perawatan El tetap diutamakan. Kalau tidak bagaimana?
Dia hanya punya tenaga dan tubuh. Rencananya menjual keperawanan tidak berjalan mulus. Dua hari ini dia bertemu pria brengsek yang menawar dirinya tak sampai 2 juta. Padahal Egi butuh ratusan juta, dan ada apa hari ini? Egi bahkan tak layak ditawar 500 ribu dengan tampilan lusuhnya.
Egi mencoba berhitung sejenak. Di dunia ini, tak ada pria yang benar-benar baik dan lurus seperti saint, kan? Dia yang akan melakukan operasi, jadi apa tidak bisa kalau ditukar saja! Tidak usah dibayar, tapi Egi akan melakukan barter.
Apa saja yang penting El segera di tangani.
"Saya akan bayar Dokter dengan keperawanan saya, jika Dokter bersedia merawat adik saya sampai pulih."
Napas Vincent berhenti 10 detik lamanya mendengar kata-kata Egi barusan. Menjual sesuatu yang abstrak untuk kehidupan seseorang? Apa itu sepadan? Vincent tidak percaya pada apa yang dia dengar. Juga dia tidak percaya hal seperti itu layak diperjual belikan. Lagipula, dia bukan penyembah keperawanan.
"Jam kerja saya telah habis, Saudara Virginia! Sebaiknya anda meninggalkan ruangan saya." Vincent berdiri seraya menarik tas kerjanya. Sesuatu yang tak kasat mata, ditukar dengan perjuangan berjam-jam di ruang operasi, perawatan yang intens dan perhatian khusus? Huh, kalau begitu, dulu harusnya Vincent sekolah dibayar saja dengan daun dan ucapan terimakasih.
Namun, baru saja Vincent akan melangkah, Egi mencegat langkah pria tersebut. Kepala Egi mendongak, menatap mata hitam yang kelam itu dengan berani.
"Saya hanya punya adik saya di dunia, Dokter... dan saya hanya punya keperawanan yang menurut saya sepadan dengan kesembuhan adik saya."
Nekat dan terlalu percaya diri. Vincent membalas tatapan Egi muak. "Seenak apa keperawanan itu, ha? Bedanya sama yang sudah punya anak 3 apa? Sama saja, asal anda tau!"
Egi berkedip dua kali. Tidak tahu bagaimana karakter dokter ini, tapi kenapa dia tidak tergiur dengan sesuatu yang suci? Kehormatan wanita terletak di sana, hey!
"Jika anda merasa menikmati gadis perawan dalam sekali berhubungan kurang menarik, saya membiarkan anda menikmati saya berkali-kali, sampai anda merasa cukup, lalu anda meminta saya pergi."
Vincent agak terkejut mendengar itu. Rela menjadi budak demi adiknya, yang suatu saat bisa saja makin memberatkan ketika sudah selesai operasi.
"Saya tidak akan menuntut apapun dari anda, Dokter! Saya bersumpah! Semua resiko akan saya tanggung sendiri! Nama anda tetap saya jamin bersih!"
*
*
*
"Hah!"
Egi sedikit kaget melihat Dokter Vincent mencabut begitu saja benda yang belum lama dipaksakan masuk ke bagian kewanitaannya. Perlahan ia kembali ke dunia nyata usai sejenak memikirkan kembali apa yang membuatnya jatuh diatas ranjang dokter ini. Matanya basah memang, antara menahan sakit fisik dan nyeri di hati.
"Maaf!" Egi merasa tidak enak hati. "Saya akan melakukannya dengan baik nanti."
"Kalau kau tidak rela, sebaiknya berhenti saja ... aku nggak pernah maksa kalau kau lupa!" Vincent kesal. Ia tak suka air mata. Tidak suka drama cengeng yang meratapi selaput dara yang terkoyak. Baginya, janda beranak lima atau perawan itu sama saja. Kenapa sibuk sekali menangisi kegadisan seakan itu bisa dibanggakan kemana-mana atau bisa mengenyangkan perut yang lapar hanya dengan memandangnya!
"Sa-sakit Dokter!"
"Aku udah berusaha selembut mungkin! Dan tekstur barang pria semuanya begitu! Memang kamu ngarep yang nusuk kamu yang lembek kaya ubur-ubur?" bentak Vincent.
"Saya akan melakukannya lebih baik lagi, Dok ... maaf kalau saya nggak bisa nahan sakit!" Egi menggigit bibir dan mengusap lengannya yang merinding. Newbie tetap saja keki, harusnya lebih mengerti sebagai pria yang lebih dewasa. Tapi kenapa ya kelihatannya Vincent tidak menyukai sesuatu yang murni? Dia menerima kehormatan membuka kakinya pertama kali, la kok malah marah begini?
Justru pria itu makin misuh-misuh. "Ingat ya, kau yang menawarkan. Dan aku nggak bisa ngasih uang cuma-cuma!"
Vincent merangkak kembali ke atas tubuh Egi lalu perlahan merebah, berusaha kembali mengatur suasana hatinya yang sempat berantakan. Sana sini penuh tanda merah dan keadaan gadis kecil berusia 20 tahun itu kacau balau.
"Do-Dokter? Boleh aku memelukmu? A-aku takut ...."
Vincent menarik sudut bibirnya saat membiarkan Egi memeluknya. Sekali lagi mencumbu gadis ini lalu dengan upaya yang benar-benar luar biasa, Vincent berhasil menembus keperawanan Egi.
Gadis muda itu sampai lemas dan tidak punya tenaga untuk menangis. Vincent tidak peduli gadis ini berdarah dua atau seribu kali. Ia hanya ingin bayaran sepadan dengan uang senilai 500 juta.
Sepanjang malam, entah berapa kali dia melakukannya. Dengan keadaan sadar dan pikiran tanpa beban.
***
"Minum ini!" Vincent sudah selesai membersihkan diri. Ia melemparkan sebotol air dan pil ke arah Egi yang bergerak perlahan.
Egi sungguh seperti habis berkelahi dengan sepuluh ekor beruang sekaligus. Ia kelelahan. Sungguh.
"Uangnya sudah aku transfer, kamu bisa bayar biaya operasi adikmu besok!" Vincent meraih ponsel.
Apa Egi perlu bersujud sekarang? Tentu tidak.
"Tolong bersikaplah biasa saja! Kau tahu hubungan kita tidak istimewa meski aku suka pada tubuhmu! Jadi jangan terlalu baper! Kau tidak berarti apa-apa, sama seperti yang lain!" Vincent segera berlalu meninggalkan Egi yang masih kaget mendengar ucapan Vincent.
Ia tak mengerti kenapa Vincent berkata begitu. Dan apa yang harus dibaperi? Egi sudah tahu kalau dia hanya seorang penjaja semata. Dan Vincent adalah kliennya.
Tidak apa-apa, asal Elvano bisa pulih seperti sedia kala.
...
Vincent memutar ponsel di tangannya setelah melakukan operasi pada Elvano 2 jam yang lalu. Pikirannya melayang entah kemana. Ia jelas lelah, tapi dia merasa energinya masih full.
Pintu ruangan Vincent terbuka. Suara Jefri langsung menggema.
"Serius lo biayain penuh anak itu?" Jefri langsung duduk di kursi seberang Vincent dan meletakkan siku di atas meja. Dia barusan mendengar gosip bahwa anak SMP itu dioperasi dan dirawat sepenuhnya disini setelah uang jaminan di bayar seperlimanya secara tunai. Ia tahu anak itu dibawah asuhan Vincent, jadi dia agak hafal tabiatnya. "Serius udah move on dari Lana?"
Kening Vincent mengernyit saat menatap Jefri. "Apa hubungannya sama Lana?"
Lana adalah istri Vincent. Ya, istri ... terdengar aneh ketika move on dari wanita yang berstatus istri. Hubungan mereka sekusut benang, tarik ulur seperti tarik tambang, dan sekompleks kampung padat penduduk masalahnya.
"Lo simpati sama cewek itu, kan?" Jefri meralat. "Atau lo make a deal sama anak itu? Misal dia jadi baby lo?"
Seperti yang sudah-sudah, Jefri akan menghakiminya sekeras itu. Vincent bukan pria baik—jelas, hanya pekerjaannya memang di ranah yang membuatnya terlihat seperti malaikat, tapi di kalangannya, dia hanya pria penyuka organ wanita yang satu itu. Dia butuh itu, dan Lana enggan memberi. Tapi untuk Baby, Vincent tidak pernah mau, walau banyak yang mau. Uang bukan soal, tapi dia malas akan tuntutan. Jadi dia lebih suka sesekali melakukan dengan wanita, sisanya dia urus sendiri meski mood-nya terkadang malah hancur lebur.
Jefri tahu Vincent luar dalam, jadi jangan heran kalau dia tahu riwayat hidup Vincent. "Cari Baby yang masih bersih, lo harus jaga diri lo. Penyakit sekarang mengerikan Bro!"
"Virgin?"
"Exactly!"
Vincent tersenyum miring. "Gue bakal jadi perusak, predator kalau gitu."
"What's wrong? Dunia ini banyak cewek yang butuh uang buat lifestyle-nya, pendidikannya, dan kadang hanya untuk pelampiasan semata!" Tangan Jefri terbuka untuk menunjukkan betapa tak salahnya apa yang dia sarankan. "Lo datang sebagai malaikat penolong, yang one day dia akan jadi bucin ke elo!"
"Gue nggak mau! Gue hanya mau senang-senang tanpa rasa posesif gila dari wanita! Cukup gue ke Lana yang gila sampai level menjijikkan."
"Lepasin Lana, dan jalani hidup seperti yang lo mau, Vin ... kalian udah mantan! Lo aja yang anggap dia kembali demi cinta kalian berdua, padahal Lana hanya cari perlindungan dari orang-orang yang telah dirugikan olehnya!" Jefri iba. Vincent menampung mantan istrinya yang katanya kena kekerasan dari kekasihnya saat ini. Vincent saja yang terus membohongi diri kalau Lana kembali karena cinta mereka. Keadaan sebenarnya, dia tahu kalau hal itu bulsit semata.
Vincent menarik tubuhnya berdiri dan melepas kemeja abu muda bergaris hitam itu. Tampak oleh temannya bekas cakaran tipis di punggung Vincent.
"Lo nggak jahat-jahat amat kok, Vin ... itu hanya sebuah selaput. Dan ada nyawa yang selamat karena lo!" Jefri berdiri dan menepuk pundak sahabatnya. Dia tahu, dan ini akan jadi rahasia mereka. Lagipula, Jefri yakin ... Vincent bukan orang yang mudah terjebak romansa hanya karena cinta satu malam seperti ini. Mereka hanya menjual dan membeli, tak ada yang dilanggar, tak ada yang dirugikan.
Vincent menarik napas dalam, saat ingat ada bekas cakaran Egi di punggungnya. Bahkan ada gigitan gadis yang kelihatan lembut itu di dekat tulang selangkanya. Bibir Vincent tanpa sadar tersenyum. Egi berani menggigitnya, dan itu lucu sekali.
Benar-benar seperti digigit oleh kucing kecil yang begitu imut.
"Serius, Bro! Lu kagak dosa kok, gue yakin, anak itu pasti sangat berarti untuk Kakaknya."
Vincent sontak menoleh ke arah Jefri yang terkekeh saat mengendik ke arah bekas cakaran di punggungnya.
"Vincent?!"
Lana masuk begitu saja bahkan Vincent belum sempat menyembunyikan bekas cakaran Egi. Pria itu dengan cepat menyambar bajunya dan memakainya lagi.
Lana bisa melihatnya dengan jelas. Ada rasa tak rela, tetapi ia menutupinya dengan baik. Senyum lembut wanita itu terukir. Namun dalam hati ia bersumpah akan mencari tahu siapa wanita yang tidur dengan prianya.
"Aku segera pulang, hanya ada sekali visit di ruang operasi." Vincent mengancingkan baju serampangan.
"Aku tunggu disini, boleh kan?" Ia melirik Jefri. Berdua saja pasti mereka berbagi rahasia. Lana curiga.
Jefri menghela napas saat melirik sinis Lana. "Nempel terus kek benalu!" gumamnya sangat lirih.
"Ah, tapi aku lupa bawa ponsel, boleh pinjam ponsel mu?!" Ia mengambil ponsel Vincent begitu saja, lalu tidak menunggu basa basi, dibukanya daftar kontak Vincent.
Nama-nama mencurigakan ia kirim ke ponselnya, namun Vincent diam saja. Ia tahu pria itu bukan pria yang sembrono. Bertahun-tahun ia menikah dengan Vincent, sampai membuatnya hafal betul karakter Vincent.
Sebuah nomor baru terlihat menghubungi, membuat Lana menyerahkan ponsel ke Vincent lagi.
"Ada telepon!"
Vincent tersenyum saat menjawab panggilan itu. Namun Lana bisa melihat ada perubahan di wajah Vincent.
"Ya, sama-sama! Tunggu saja sampai dia sadar, baru ucapkan terimakasih."
Lana tersenyum. Pasti itu orangnya.
Usai melihat kondisi Elvano, Vincent berniat kembali ke ruangannya. Biasanya di ruang tunggu depan ruangan ini, akan ada keluarga pasien, tetapi kali ini, di depan ruangan Elvano, Vincent tidak menemukan satupun keluarga anak yang belum melewati masa kritisnya tersebut.
Ini aneh. Biasanya banyak yang meratap dan menyerbu penuh harap dokter yang menyelamatkan nyawa keluarga mereka.
"Pasien ini tidak ada yang menunggui?" Vincent bertanya pada seorang perawat yang bersama dengannya kala itu. Ia mencari-cari ke segala sisi.
"Oh, kakaknya?" Perawat itu melongok keluar. "Pas operasi tadi dia ada kok, Dok, tapi nggak tau dia kemana sekarang."
Vincent mengerutkan bibir. Kakak? Orang tuanya kemana? "Udah 3 jam ya? Kita pantau sampai 5 jam kedepan, kalau tidak ada masalah kita pindahkan ke ruang ranap."
"Baik Dok." Perawat itu mengangguk lalu segera undur diri, membiarkan Vincent yang sudah selesai dengan tugasnya itu sendirian.
Pikiran Vincent kemana-mana saat ini. Dia tidak terlalu memperhatikan siapa urutan wali untuk Elvano. Pikirnya karena Egi adalah anak muda jadi orang tuanya yang biasanya ketakutan sendiri menghadapi dokter dan vonis, menjadi ujung tumpuan keluarganya. Anak itu kemana-mana sementara orang tuanya menunggui Elvano, begitu dugaannya.
"Dia beneran nggak punya siapa-siapa kah?!" Meski begitu, harusnya Egi berada disini menunggu kabar baik dari "usahanya" kan? Anak itu sungguh berusaha malam itu, tidak mungkin sekarang dia melepas sia-sia semuanya.
Vincent berjalan ke arah ruangannya sendiri sembari membuka ponsel untuk menghubungi Egi. Namun beberapa kali ia menelpon, Egi tetap tidak menjawab.
Vincent belum menyerah. Beruntung panggilan terakhirnya terhubung.
"Saya izin tidak masuk kerja, Pak! Saya nggak kuat berdiri apalagi jalan ...."
Mata Vincent bergerak nanar, kakinya seketika berhenti melangkah ke tujuan awal. Ia justru ke bagian administrasi dimana data Elvano berada. Dengan cepat Vincent menemukan alamat itu dan berlari menuju mobil untuk ke rumah Elvano.
Jujur saja Vincent syok sepanjang jalan ke rumah Egi. Dia tidak pernah berpikir ada daerah seperti ini di kota besar. Kumuh dan berdesakan. Entah bagaimana mereka bernapas dan mendapatkan angin.
Ia melangkah pelan menuju bagian belakang perumahan yang merupakan rumah sewa, sampai dia menemukan nomor yang merupakan tempat tinggal Egi.
Vincent mengetuk, tetapi ternyata pintu itu tidak tertutup sempurna. Begitu masuk, Vincent dibuat kaget dengan kosongnya ruangan ini. Definisi bersih sesungguhnya, dimana hanya ada dua kasur kecil, meja lipat, dan lemari dari kardus yang dilapisi kertas bungkus kado. Tidak ada peralatan makan, masak, dan perabot selayaknya sebuah rumah. Benar-benar hanya sepetak dengan sebuah kamar kecil bertutup tirai usang. Memprihatinkan sekali.
Di atas kasur tipis itu berbaring seorang wanita yang tidak terganggu sama sekali akan kehadirannya. Vincent mendekat, menyentuh badan Egi yang dengan pakaian rumah ini, terlihat begitu kecil.
Lebih kurus dari kemarin itu.
"Virginia ...." Vincent menyentuh kening Egi. "Astaga, panas sekali."
Ia menarik Egi agar menelentang. "Oh My God!" bisiknya syok.
Vincent segera menghubungi ambulans. Anak ini seperti keracunan. Apa dia mencoba bunuh diri?
Usai menelpon ambulans, Vincent kembali mencoba membangunkan Egi. "Virginia! Denger suaraku? Hei, sadarlah!"
Vincent melakukan itu dengan hati mencelos bercampur ketakutan. Ini apa ada hubungannya dengan kejadian kemarin? Kalau iya, apa yang harus dia lakukan sekarang?
Vincent memeriksa lagi nadi yang pada awal kedatangannya tadi sudah diperiksa. Ia menduga Egi kurang cairan, tetapi melihat busa yang keluar dari mulut Egi, lalu ketika mata sayu itu dicek oleh Vincent tidak memberikan respons apa-apa, Vincent berpikir Egi berusaha bunuh diri.
Usai melakukan pemeriksaan awal keadaan Egi, Vincent mengambil air yang berada di botol terdekat. Ia membaui botol itu, lalu mencari yang lain, apa saja yang dia rasa adalah sesuatu untuk percobaan bunuh diri.
Tidak ada satupun.
Ini mustahil.
Tak lama, ambulans datang. Vincent segera memasang infus dan membawa Egi ke rumah sakit. Sengaja ia mencari ambulans yang peralatan pertolongan pertamanya cukup bagus.
Beberapa waktu dia merasa hatinya hancur lebur. Ia merasa kalau apa yang dilakukan Egi adalah hasil dari perbuatannya juga, terlepas dari beban yang sudah dipikulnya sejak lama. Ia turut andil menambah-nambahin beban gadis muda ini.
Ketika sampai di rumah sakit, Vincent menggendong sendiri Egi ke brankar lalu mendorongnya seorang diri ke IGD. "Bersihkan lambungnya! Kurasa dia menelan sesuatu yang beracun. Pasang oksigen juga!"
Semua orang saling pandang di ruangan ini, sampai satu orang dokter jaga bertanya dengan curiga.
"Ini siapa, Dok?!"
"Memangnya dia harus seseorang yang kalian kenal untuk ditolong? Dia sekarat asal kau tau!" raung Vincent dengan tatapan penuh amarah. "Periksa dia! Atau—"
Vincent membuang muka. "Suster, ambilkan aku semua yang aku perlukan! Ini nyawa manusia, tidak perlu tau siapa dia! Aku yang bertanggung jawab penuh atas dia!"
Siapapun yang berada di sana mengkerut nyalinya, sehingga langsung melakukan apapun yang Vincent perintahkan.
Keributan itu terdengar oleh Lana yang sejak berjam-jam lalu menunggu Vincent seperti orang bodoh. Ia mengintip dari luar pintu IGD yang terbuat dari kaca. Sedikit dia bisa melihat apa yang terjadi, dimana Vincent sedang berusaha sekuat tenaga menyelamatkan seseorang.
"Ibu, tolong jangan melihat ke dalam!" Seorang satpam menegur dengan sopan yang langsung membuat Lana mundur dan dengan ramah tersenyum.
"Itu yang ditolong Vincent siapa? Apa dia dalam kondisi kritis?" Lana mengeluarkan jurus terbaiknya saat menggali informasi.
"Maaf, Bu. Itu rahasia. Mengenai apa yang dilakukan dokter, maupun siapa yang ditolong beliau adalah kerahasiaan yang wajib kami jaga." Satpam tersebut mempersilakan Lana pergi dengan sopan sebelum kembali ke posnya.
Mencebik kesal, Lana duduk di kursi panjang diluar IGD bersama beberapa orang yang sedang berada disana.
"Itu wanita yang katanya sedang mencoba bunuh diri."
"Iya, yang nolong kebetulan dokter sini, dari keluar ambulans sampai ke dalam sana dibawa langsung oleh dokter yang itu."
Lana melihat kemana orang-orang menatap, kemudian ia tersenyum.
Foto Vincent terpampang di sebuah baliho besar rumah sakit. Dia memang menjadi dokter terbaik di kota ini dan mendapat penghargaan dari presiden langsung.
"Siapapun kamu, jika menyentuh Vincent, maka urusanmu adalah denganku." Lana bergumam dengan senyum tersungging miring.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!