Pagi itu Maura sudah berkutat di pasar , ia bermaksud membeli kebutuhan mingguan dapurnya.
Hari itu Maura pergi sendiri tanpa ditemani Rido, suaminya. Rido harus pergi pagi-pagi karena ada urusan penting di kantor tempat kerjanya.
Dengan menenteng keresek berisi belanjaan, Maura tampak keluar dari kerumunan para pembeli di pasar itu.
Kepala tengok kanan kiri, Maura sedang mencari tukang ojeg untuk mengantarnya pulang. Maura pun harus pulang cepat karena si bungsu Nara, harus pergi ke sekolah.
Sedang berjalan di pinggir jalan, tiba-tiba sebuah Fortuner hitam nyelonong kearahnya. Dengan refleks Maura menghindar, "Aduh..., hai hati-hati dong, ada orang di sini!", teriak Maura dengan nada penuh kekesalan.
"Maaf-maaf..., Nyonya..., ada anak kucing tiba-tiba berlari", teriak si pengemudi sesaat setelah menepikan mobilnya. Dan ia pun turun menghampiri Maura yang sedang memunguti beberapa sayuran yang terjatuh karena keresek yang dibawa Maura terjatuh saat Maura menghindar tadi.
Saat pria itu ikut memunguti sayuran, kepala mereka pun tak sengaja berbenturan.
"Aduh...", ucap Maura sambil memegangi kepalanya.
"Oh...maaf..., Maura....?, ini benar Maura kan?", ucap pria itu.
Maura pun tersentak mendengar namanya di sebut, itu suara yang sudah tidak asing ditelinganya, suara itu yang selalu membuat debaran aneh dalam hatinya.
Perlahan Maura mengangkat kepala, ia sungguh penasaran dengan si pemilik suara itu.
Untuk beberapa saat Maura mematung, ia menatap sosok gagah yang kini berjongkok dihadapannya.
Bibirnya seketika kelu, matanya masih bisa mengenali sosok itu, namun bibirnya terasa berat untuk berucap.
"Aku Bagas, Maura..., Bagaskara...", ucap pria penuh penekanan saat menyebutkan namanya.
"Mas...Mas Bagas...?", ucap Maura dengan suara bergetar, matanya menatap tajam ke arah pria di depannya.
"Iya, aku Bagas..., Bagaskara kekasihmu dulu", kekeh Bagas.
"Mas Bagas?, bagaimana kabarnya Mas, lama sekali tidak bertemu", ucap Maura dengan tersenyum.
"Sebaiknya kita ngobrolnya di sana, ini jalan, banyak orang lalu lalang", ajak Bagas, ia yang semula jongkok , berdiri diikuti Maura.
"Kita ngobrol dulu di sana, sambil sarapan", ajak Bagas, ia menunjuk ke arah kedai yang menjual aneka menu sarapan. Di sana ada bubur ayam, kupat tahu, dan lontong kari.
"Aduh..., maaf Mas, bukannya aku menolak, tapi aku harus segera pulang, anakku mau sekolah, tidak ada yang mengantar", ucap Maura, ia menolak dengan halus.
"Oh..., sayang sekali, padahal aku ingin ngobrol, rasanya kangen", kekeh Bagas lagi, ia tidak henti-hentinya tersenyum saat menatap Maura.
"Degh...", getaran itu kembali menyapa relung hati Maura, entah kenapa, pesona tampan Bagaskara kembali membangkitkan kenangan saat mereka pacaran dulu. Maura menunduk menyembunyikan rona merah di wajahnya.
"Ternyata kamu masih tetap seperti dulu Maura", ucap Bagas lagi.
"Euh..., sudah Mas, saya harus segera pulang, takut terlambat mengantar anak ke sekolah", ucap Maura sambil tetap menunduk.
"Ya, sudah kalau begitu, saya antar pulang sekalian, rumah kamu ke arah mana?", ajak Bagas penuh semangat.
"Tapi Mas...", Maura hendak menolak, tapi bingung harus bicara apa lagi.
"Sudah, jangan kebanyakan mikir, ini kesempatan kita bertemu, ayolah!", ajak Bagas lagi, ia berjalan menuju mobil sambil menyambar belanjaan dari tangan Maura.
Maura pun akhirnya tidak bisa menolak, ia berjalan mengikuti Bagas.
"Rumahmu ke arah sana kan?", tanyai Bagas begitu mereka sudah berada di dalam mobil.
"Euh..., iya", jawab Maura singkat.
Ia melihat Bagas sudah banyak berubah, dulu saat dirinya kuliah, Bagas masih menganggur, hal itulah yang membuat orang tua Maura melarang dirinya terus berhubungan dengan Bagas.
Hingga akhirnya mereka berpisah, karena Maura harus kuliah dan dipaksa tinggal bersama kakaknya di kota.
Sejak itulah mereka lost kontak, dan baru hari ini bertemu kembali.
"Kamu...", ucap Bagas dan Maura hampir bersamaan.
"Ladies first", ucap Bagas sambil tetap tersenyum dan melirik sekilas ke arah Maura.
"Mas aja duluan...", imbuh Maura lagi.
"Nggak..., kamu duluan, ayo mau ngomong apa?", imbuh Bagas lagi.
"Eum..., ya sudah, aku yang ngomong duluan", ucap Maura sambil tersenyum.
"Tetap tersenyum Maura", ucap Bagas tiba-tiba.
"Tersenyum???, kenapa???", Maura menatap penasaran.
Bagas menepikan mobilnya , lalu ia kembali menatap ke arah Maura.
"Aku selalu merindukan senyummu itu Maura, lesung pipitmu itu yang selalu aku rindukan", ucap Bagas lagi.
"Mas..., ingat..., kita sudah berkeluarga, Mas ada istri, dan aku sudah ada suami, ini salah, tidak seharusnya kita menggali kembali kenangan di masa lalu, itu semua sudah usai", ucap Maura.
"Hah..., bagi kamu mungkin iya, tapi bagi aku tidak Maura, aku masih menyimpan rasa itu sampai saat ini, aku selalu mencintaimu sampai sekarang", aku Bagas.
"Apa...?..., tapi Mas itu sudah mau dua puluh tahun berlalu", Maura tampak kaget dengan pengakuan Bagaskara.
"Dua puluh lima tahun Maura, dan rasa cinta itu masih ada hingga sekarang, aku bahagia sekali bisa bertemu kamu lagi", Bagas menatap Maura.
"Mas..., kita sudah berbeda, itu sudah mustahil terulang lagi",
"Aku tahu itu Maura, dan itu yang selalu menyiksa perasaan aku selama ini",
"Tapi Mas mencintai istri Mas kan?", tanyai Maura lagi.
"Ya..., gimana lagi, kalau sudah resmi, jalani saja, walau sebenarnya hanya kamu yang selalu ada dibenak aku", aku Bagas lagi.
"Sudah Mas..., jangan buat aku terbuai",
"Terbuai...?, kalau begitu..., Mas juga yakin Maura, dihati kamu masih ada aku kan?", tatap Bagas lagi, ia kini bahkan hendak meraih tangan Maura. Namun Maura menghindar.
"Kenapa Maura...?, jawab dengan jujur", ucap Bagas sambil kembali melajukan mobilnya.
"Itu sudah usai Mas, dihadapan kita sudah ada keluarga, ada suami , ada anak, malu, sudah bukan waktunya lagi",
"Anak-anak sudah besar, masa depan mereka masih panjang, jangan sampai kita merusaknya, hanya untuk mewujudkan cinta kita di masa lalu",
"Cinta itu buta Maura, cinta tidak melihat usia dan waktu, kalau masih bisa, kita ulang lagi saja",
"Hus..., bicara apa lagi Mas, akan banyak orang yang ajan tersakiti nanti, aku tidak mau itu terjadi",
"Ya..., kita jalaninya diam-diam dong, jangan sampai keluarga kita tahu, cukup kita berdua saja yang tahu, bagaimana?",
Maura terdiam, ia seakan mati kutu , pengakuan Bagas tadi jujur saja membuat hatinya goyah, karena Maura pun sama, ia masih menyimpan rasa cinta kepada Bagas.
"Diam berarti setuju kan?", todong Bagas.
"Ih...apaan sih Mas..., tidak semudah itu, akan ada banyak halangan dan rintangan di depan nanti",
"Kita lalui semua itu bersama, yang penting, jangan sampai suami dan istri kita tahu, please Yang", ucap Bagas setengah memaksa.
"Stop di depan Mas, sudah sampai, rumahku di belakang garasi ini", ucap Maura.
"Aku minta nomer kamu",
"Nanti saja Mas, aku buru-buru, kalau masih ada kesempatan buat kita, pasti kita dipertemukan lagi nanti, terima kasih tumpangannya", Maura pun segera turun.
"Ya sudah, hati-hati ya...", ucap Bagas dengan nada kecewa.
Maura segera berjalan menuju rumahnya, dan saat mau belok, Maura sempatkan untuk menengok ke belakang, dan ternyata mobil Bagas masih stay di ujung gang, dan ia pun melambaikan tangannya sebelum kembali melajukan mobilnya.
"Astaghfirullah..., Bagas...", Maura menyandarkan tubuhnya ke tembok, tubuhnya terasa lemas, tak bisa dipungkiri, pertemuannya hari ini dengan Bagaskara, membuat hatinya sock, apalagi mendengar semua pengakuan Bagas mengenai perasaannya.
Hati Maura pun bergetar, ada rasa bahagia dan sedih yang kini ia rasakan. Maura merasa bahagia, karena Bagas mampu memelihara cinta mereka dalam waktu lama. Dan Maura pun merasa sedih, karena walaupun adanya begitu, tidak mungkin bisa menyatukan kembali cinta mereka.
"Bu..., Ibu sedang apa, kok berdiri di situ, ini sudah siang Bu, Tiara harus sekolah kan"?, sebuah suara mengagetkan Maura. Dan ia pun membuka kedua matanya yang terpejam.
Sesosok tubuh mungil sedang berdiri tepat dihadapannya, ia menatap lekat dirinya.
"Ibu sakit ya?, Ibu pasti pusing lagi", imbuh Tiara, ia memegang lengan ibunya , dan menggusurnya menuju pintu .
"Ah...iya, Ibu agak pusing sedikit, maaf ya, membuat Tiara khawati, ibu hanya sedikit cape saja sayang", senyum Maura , ia tersenyum dan segera masuk ke dalam rumah mengikuti langkah kecil Tiara yang menuntunnya masuk.
Tiara juga yang membukakan pintu untuknya. Setelah menyimpan kresek belanjaan di meja, Maura melirik jam dinding.
"Astaghfirullah..., sudah mau jam tujuh, bisa telat ke sekolah kalau begini", gumamnya.
"Ibu, aku sudah siap, ini benar kan bajunya?", kembali suara Tiara mengagetkannya.
Tiara sudah berdiri disampingnya, ia sudah memakai seragam sekolahnya.
"Alhamdulillah..., anak sholeh, anak pintar ibu, benar sayang ini seragamnya, sebentar, Ibu betulkan dulu ya", dengan segera Maura membetulkan pakaian anaknya.
"Terima kasih ya sayang, kamu sudah membantu ibu, kamu ini kecil-kecil sudah mandiri, kalau ibu tidak ada di rumah, kamu sudah bisa mengurus dirimu sendiri", Maura beberapa kali mengecup pipi putri bungsunya itu.
"Tiara kan sayang itu, Tiara lihat ibu sibuk, jadi kalau Tiara bisa melakukannya sendiri, Tiara tidak akan menunggu ibu", celoteh Tiara.
"Ya sudah, sudah rapi, kita berangkat sekarang, nanti telat",
"Buku-bukunya sudah sayang, ini bekal snack nya, dan botol minuman juga sudah ibu simpan di tas ya", Maura tampak sibuk memasukkan bekal sekolah Tiara.
"Iya Ibu...", ucap Tiara yang ternyata sedang memakai sepatu.
Sekilas Tiara melihat wajahnya di kaca lemari makan, ia tidak akan sempat ganti baju, atau pun untuk memperbaiki polesan lipstik dan bedak, ia hanya menyambar sebuah cardigan saja untuk melapisi pakaiannya.
"Ayo berangkat!", Maura membawakan tas Tiara dan segera meraih tangan mungilnya untuk pergi ke sekolah.
Lagi-lagi, Maura mengantar anaknya dengan berjalan kaki, memang tidak terlalu jauh jarak antara rumah dengan sekolah Tiara. Bukan hanya itu, Maura belum bisa mengendarai sepeda motor, padahal di garasi ada sepeda motor nganggur.
Dengan ceria Tiara berjalan didepannya, ia tipe anak yang tidak banyak menuntut, ia selalu ikut dan menurut saja apa kata Ayah ibunya.
Hati maura yang terenyuh melihatnya, di jalan mereka banyak bertemu dengan teman-teman sekolah Tiara, mereka sudah sat set dengan sepeda motornya.
"Ayo ikut Mba, biar tidak telat..!", sebuah sepeda motor berhenti disampingnya.
"Mamah Dian, terima kasih", senyum Maura, ia pun segera membimbing Tiara untuk naik ke sepeda motor .
'Alhamdulillah ternyata masih ada orang baik', batin Maura bicara.
Dengan sekejap mereka pun sudah tiba di sekolah, Maura kembali mengucapkan terima kasih saat turun dari sepeda motor Mamah Dian.
Dian dan Maura kebetulan satu kelas, jadi mereka sudah saling kenal, begitu pun dengan Maura dan ibunya Dian.
"Iya sama-sama Mba...", jawab Mamah Dian dengan tersenyum.
Mereka pun segera menuju kelas, maklum Tiara masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar, jadi harus masih di antar sampai kelas.
"Ayo masuk!", Maura menarik lengan anaknya yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu.
Tiara tetap diam, ia mematung ditempatnya. "Ada apa sayang, mau jajan dulu?", tawari Maura saat melihat Tiara yang masih diam di tempat.
Tiara menggelengkan kepalanya. "Lalu tunggu apa lagi, ayo masuk, dan duduk di kursimu!", ajak Maura kembali.
"Itu...", ucap Tiara sambil menunjuk ke dalam kelas yang sudah ramai, karena yang masuk bukan hanya anak, tetapi dengan ibu-ibunya.
"Apa..., ada apa...?", Maura masih bingung.
"Kursinya sudah ada yang nempatin ibu", gumam Tiara.
"Oh..., ayo ibu antar", Maura masuk sambil menarik perlahan kengan anaknya.
"Dimana kursinya sayang?", Maura pun bingung karena kemarin suaminya yang mengantar Tiara sekolah.
"Itu...", kembali Tiara menunjuk ke arah deretan kursi didepannya.
"Yang ini?", Maura menunjuk ke arah deretan kursi ke empat dari depan.
Tiara pun mengangguk. "Maaf Dik, ini tempat duduknya Tiara bukan?", tanyai Maura pada seorang anak laki-laki yang duduk di kursi yang Tiara tunjuk.
"Bukan..., ini tempat aku", ucapnya polos.
"Ini tempat duduk Tiara ibu, kemarin juga Tiara duduk di sini", Tiara menimpali.
"Lho ..., bagaimana ini, mana yang benar?", Maura tampak bingung.
"Iya ini tempat duduk Tiara, tapi ini saudara aku ingin duduk di sini", ucap seorang anak lain.
Untunglah Bu guru Mia segera masuk, ia yang akhirnya mengatur kembali posisi duduk anak muridnya.
Semua pengantar sudah duduk di ruang tunggu, seperti biasa untuk kelas satu, masih ditunggui oleh orang tuanya.
Maura pun ikut duduk di sana bersama ibu-ibu yang lainnya.
"Mamah Maura, yang tadi itu murid baru, baru pindah ke sini, jadi ingin duduk bersama Rania, saudaranya", jelaskan Bu Anggi.
"Oh ..., pantesan rasanya baru melihat anak itu Bu, tidak apa, Bu Mia sudah mengatur kembali tempat duduknya tadi" , senyum Maura.
"Katanya dia itu anak kaya Bu, ayahnya seorang pengusaha, ibunya juga sama, mereka pasangan pengusaha kaya", imbuh Bu Anggi lagi.
"Oh..., begitu, tapi kenapa tidak di antar ya", senyum Maura lagi.
"Tadi di diantar ayahnya Bu, hanya sebentar, nanti di jemput lagi katanya, mereka belum mempunyai asisten rumah tangga juga",
"Oh... Begitu ya", Maura menerawang, kok ingatannya tertuju pada sosok Bagas yang tadi pagi bertemu di pasar.
"Ada apa Bu Maura, kok melamun?", tatap Bu Anggi.
"Ah nggak Bu, saya hanya sedang mengingat teman saja, apa mungkin anak itu abak teman saya tadi, karena katanya dia dan keluarganya baru pindah ke sini", jelaskan Maura.
"Oh..., bisa saja begitu Bu",
'Wah gawat, kalau benar anak itu anaknya Mas Bagas, aku bisa bertemu tiap hari dong, pasti akan sering bertemu dia juga di Sekolah, Tuhan..., kok bisa begini...', batin Maura bicara.
Disaat ia ingin menghindari masa lalunya, eh masa lalu itu seakan terus mengejarnya.
'Apa ini yang dinamakan takdir cinta?, apa mungkin kisah aku dengan Mas Bagas harus kembali terulang?', kembali Maura membatin.
Sampai ia tidak menyadari, ada sepasang mata sedang menatapnya dari balik kaca sebuah fortuner hitam yang sudah terparkir di pinggir jalan.
"Kamu masih tetap seperti dulu Maura, cantik, tubuhmu pun tetap langsing", puji Bagas yang sedari tadi menatap Maura.
"Ternyata anak kita sekolah di tempat yang sama, akan ada banyak kesempatan untuk kita bertemu, atau mungkin inilah yang di sebut takdir, kita tidak berjodoh waktu dulu, tapi kita berjodohnya sekarang", gumam Bagas lagi sambil terus saja tersenyum.
"Aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi Maura, ini kesempatan aku untuk bisa bersamamu lagi, walau harus bertaruh nyawa, karena mencintai milik orang itu taruhannya nyawa, aku akan lakukan itu sayang", imbuh Bagas lagi.
Rasa cinta yang selama hampir dua puluh lima tahun ini ia pendam untuk Maura, seakan kembali membuncah.
"Kali ini aku harus mendapatkanmu Maura, aku tersiksa dengan memendam rasa ini, lama sekali, namun rasa itu masih tetap sama, dihadapan aku memang sudah Riana, istriku. Tapi, dia hanya sebatas pelampiasan saja, saat aku bersamanya, hanya kamu yang selalu ada dibenakku", ucap Bagas lagi.
Rupanya Bagas benar-benar bertekad untuk menuntaskan semua rasa cinta terpendamnya kepada Maura, ia tidak peduli dengan statusnya dan status Maura saat ini.
"Tidak apa sayang, aku akan menjadikanmu ratu di hatiku lagi", senyum Bagas.
Bagas pun menyempatkan mengambil foto Maura beberapa kali dengan ponsel pintarnya, dan itu ia lakukan secara diam-diam di balik kaca mobilnya.
"Aneh ya, dulu aku tidak punya satu pun fotomu, namun wajahmu selalu terpampang dalam ingatanku", kembali Bagas menyunggingkan senyuman sambil menatap foto Maura dari layar ponselnya.
"Sepertinya suamimu sibuk ya, kamu pergi ke pasar sendiri, dan kini mengantar sekolah pun sendiri, tapi baguslah , jadi aku bisa leluasa mendekatimu", Bagas terus saja bicara sambil matanya tak lepas dari sosok Maura, cinta sejatinya, mantan terindahnya.
Tak terasa waktu berlalu cepat, terlihat para murid kelas satu mulai ada yang keluar kelas. Namun Bagas tetap di mobilnya, ia membiarkan para ibu yang menjemput anaknya bubar dulu.
Namun tetap, perhatiannya tidak lepas dari sosok Maura yang terlihat ikut berbaur dengan ibu-ibu lainnya.
Sempat terlihat seorang ibu mengajak Maura dan anaknya ikut, namun tampak Maura menolaknya, karena ia sedang menunggu anaknya jajan.
Jelas hal itu hampir membuat hati Bagas deg-degan, bisa batal rencanya jika Maura mengiyakan ajakan ibu teman anaknya itu.
Suasana sudah agak lengang, sengaja Bagas menyuruh anaknya untuk tidak keluar dari sekolah sebelum dirinya menjemput.
Maura pun melihat itu, anak yang tadi pagi duduk di kursi Tiara masih duduk di kursi tunggu di samping kelasnya.
"Tiara..., kasihan temanmu itu, siapa namanya?", tanyai Maura sesaat setelah Tiara selesai jajan.
"Oh..., itu teman baru aku Mah, Gaga namanya", ucap Tiara sambil menyuapkan jasuke kesukaannya.
"Kok masih di sana, apa tidak ada yang menjemput?", tanyai Maura lagi.
"Ya...nggak tahu lah, Tiara kan belum kenal dia Mah", ucap Tiara ringan, ia anteng saja menikmati makanannya.
"Tunggu sebentar, kita temani dia dulu sampai yang menjemputnya datang ya, kasihan, dia kan baru disini, pasti belum kenal daerah ini juga", Maura membimbing Tiara untuk kembali masuk dan menghampiri Gaga.
"Assalamu'alaikum sholeh, masih menunggu ya?, siapa yang mau menjemput?", sapa Maura lembut begitu sudah berada dihadapan Gaga.
"Wa'alaikumsalam...", jawabnya dengan suara pelan dan patah-patah. Tampaknya Gaga masih mengenali Maura, ibu yang tadi pagi menegurnya saat duduk di kursi anaknya.
Gaga hanya diam, ia tampak sedikit resah, entah takut, malu, atau bingung.
"Tenang sholeh, tidak apa-apa ibu temani dulu sampai yang menjemputmu datang ya, namamu Gaga Kan?", ucap Maura lagi.
Kini Gaga hanya mengangguk perlahan. "Oh iya, ini ada jus mangga, tadi ibu beli dua, boleh kamu minum", Maura menyodorkan jus kepada Gaga.
"Ini sholeh, tidak apa-apa, ambil saja", ulangi Maura.
Akhirnya Gaga mau juga menerima jus pemberian Maura dan mulai meminumnya.
"Terima kasih Bu", ucapnya lagi.
"Iya, sama-sama anak pintar", Maura tersenyum melihat Gaga. Hatinya entah kenapa langsung respect terhadap anak itu.
Wajahnya yang tampan, membuat Maura gemas.
'Benar kata Bu Anggi tadi, anak ini anak orang berada, penampilannya rapi, tubuhnya tampak terawat, kulitnya putih', Maura membatin.
'Mata anak ini mengingatku pada...', belum selesai Maura membatin, sebuah suara yang juga sudah tidak asing mengagetkannya dari arah samping.
"Sayang...",
"Mas Bagas...?", Maura menyebut nama itu dengan suara bergetar, walau ia tahu panggilan itu ditujukan pada Gaga, tapi panggilan itu seakan ditujukan pada dirinya juga.
Dulu panggilan itu sering sekali terucap dari mulut Bagas untuk dirinya.
Dengan senyuman manisnya Bagas pun mengangguk.
"Jadi..., jadi...Gaga ini anaknya Mas?", tanyai Maura.
"Iya..., dan ini anak kamu Maura?", Bagas balik bertanya.
"Iya Mas, ini Tiara, anak bungsu aku", Maura memperkenalkan Tiara.
"Ayo salim sayang, ini teman Mamah sekolah dulu", ucap Maura.
Dengan segera Tiara pun bersalaman dengan Bagas.
"Oh...ini teman sekolah Mamah, dan kini aku dan anaknya Om juga satu sekolah, satu kelas lagi", celoteh Tiara.
Ucapan Tiara ampuh membuat Maura dan Bagas tertawa spontan.
"Iya..., benar itu, ini bukan suatu kebetulan kayaknya, tapi ini sudah takdir, kalau kita harus tetap bersama, Maura", ucap Bagas to the point.
Maura menunduk mendengar ucapan Bagas barusan. Hatinya seketika ketar ketir, kalau setiap hari ia harus bertemu dengan Bagas, tidak menutup kemungkinan rasa yang dulu ada bisa kembali berbunga mekar.
"Lho..., kok malah sedih begitu, harusnya bahagia sayang, kita bisa kembali seperti dulu", kini tanpa ragu Bagas berbisik di telinga Maura.
"Mas..., ada anak-anak nih...", Maura melebarkan kelopak matanya sambil bicara perlahan.
"Mereka masih kecil Maura, mana ngerti, tenang saja, ayo kita pulang!", ajak Bagas lagi.
"Oh...iya, ini sudah siang, kita juga pulang nak", Maura melirik ke arah Tiara yang sedang membuang tempat jasuke yang sudah kisong ke tempat sampah.
Begitu juga Gaga, ia pun membuang gelas jus pemberian Maura yang sudah habis ia minum.
"Kamu ikut mobil aku saja Maura", ajak Bagas lagi.
"Euh..., tidak usah Mas, rumah kita dekat kok", tolak Maura.
"Dekat sih dekat, kasihan anakmu, ini panas lho", paksa Bagas lagi.
"Ayo, jangan kebanyakan mikir, ikut saja!", kembali Bagas mengajak.
"Iya Mah, ikut Om saja, aku cape kalau harus jalan kaki panas-panas begini", celetuk Tiara.
"Tuh kan, anak pintar, ayo ikut Om saja", tanpa menunggu persetujuan Maura, Bagas langsung meraih tangan Gaga dan Tiara untuk menaiki mobilnya.
Melihat itu, Maura pun tidak punya pilihan selain ikut. Ia berjalan lemas dibelakang Maura.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!