Devano Pranata Yoga
Anak pertama dari Tuan Aldyan Pranata Yoga dan Nyonya Audi Jessica. Devano memiliki senyum yang begitu indah, dan juga tatapan hangat yang menenangkan. Namun, semua itu menghilang setelah kepergian sang kekasih tercinta yang bernama Aurora Jingga.
Aurora Jingga, wanita yang memiliki lesung pipi yang menambah kecantikan parasnya. Tidak hanya cantik parasnya saja, Aurora juga memiliki sifat penyayang dan penyabar, membuat Devano semakin tergila-gila padanya.
Safira Maharani
Wanita yang memiliki wajah yang biasa-biasa saja, namun memiliki hati yang sangat luar biasa. Safira adalah putri bungsu dari keluarga Dirgantara, yang masih satu keturunan dengan keluarganya Keisha. Safira termasuk gadis yang suka berbagi dan peduli pada orang-orang disekitarnya.
Davina Pranata Yoga
Anak keduanya Tuan Aldyan Pranata Yoga dan Nyonya Audi Jessica. Davina memiliki sifat yang bertolak belakang dengan Kakaknya, Devano. Jika Devano si murah senyum, maka Davina si pelit senyum dan berwajah dingin.
Jika Devano si penyelesai masalah, maka Davina lah si pembuat masalah. Dan jika Devano si pendiam, maka Davina lah si cerewet yang tiada tandingannya.
Satu lagi,
Jonathan Putra Candra.
Putra tunggal Ken Candra dan juga Keisha Vernita Moga. Nathan adalah pria yang memiliki sifat yang sama dengan ayah dan ibunya. Dia bahkan jauh lebih dingin dan galak dari kedua orangtuanya.
☆ ☆ ☆
Jessica menatap punggung Dev yang sudah menjauh, lalu menghembuskan nafasnya dengan perlahan.
"Sayang, jangan terlalu pikirkan tentang Dev. Beri dia waktu untuk menerima semuanya, lambat laun, Dev kita pasti akan kembali tersenyum cerah," ucap Aldy menenangkan hati Jessica.
"Berapa lama lagi, Sayang? Dua tahun terakhir ini Dev semakin banyak berubah. Kita bahkan tidak pernah lagi melihatnya bergurau atau sekedar meluangkan waktu untuk Davin. Dia lebih pendiam dari sebelumnya, aku takut terjadi sesuatu pa—"
"Sayang, jangan berpikir yang tidak-tidak. Kita harus yakin, bahwa takdir yang Tuhan tuliskan tidak pernah salah, semua pasti akan indah pada waktunya," potong Aldy.
Aldy semakin mendekat lalu memeluk tubuh istrinya itu. Dielusnya kepala Jessica dengan lembut dan juga penuh kasih sayang.
"Ibu! Ayah!"
Jessica dan Aldy terperanjat kaget. Keduanya menatap ke arah Davin tajam. Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum manis tanpa dosa.
"Ini, Davin hanya ingin memberikan ini pada Ibu," ucap gadis itu sambil berlutut di depan Jessica.
"Ini karya pertama Davin. Ya, walaupun tidak sebagus karya orang lain," lanjut Davin. Gadis itu memasang sebuah gelang di pergelangan tangan Jessica lalu menciumi punggung tangan Jessica dan juga Aldy.
"Maaf karena kemarin Davin membuat masalah lagi," ucap Davin penuh penyesalan.
"Belajarlah dari kesalahan! Dan jangan pernah ulangi kesalahan yang sama lagi! Apalagi sampai mencoba melakukan kesalahan yang baru!"
Jessica menatap wajah cantik putrinya lalu tersenyum pada gadis itu.
"Jaga dirimu, dan biasakan untuk mengikuti peraturan lalu lintas," ucap Jessica mengingatkan anak gadisnya yang selalu kena tilang itu.
"Siap Komandan!"
Davin kembali tersenyum cerah. Ia sedikit membungkuk lalu mencium kedua pipi Jessica dan beralih memeluk tubuh Ayahnya.
"Lihat! Dia manja di hadapan kita. Tapi sangat dingin dan sangar di hadapan orang lain," ucap Jessica setelah Davina berjalan menuju pintu utama.
"Itulah sifat Ibunya, jika bukan dari Ibunya? Lalu dari siapa lagi ia mendapatkan sifat dingin seperti itu," jawab Aldy. Pria itu selalu menyalahkan Jessica jika sudah membahas sifat kedua anaknya.
"Anda lebih dingin Tuan Aldyan Pranata!"
"Tidak! Sayang! Kau lah yang lebih dingin dan kejam," sanggah Aldy lalu tertawa kecil.
"Baiklah, istrimu ini selalu kalah dari dulu. Dan Kaulah si pemenang yang tidak ada puasnya!"
"Hahahaha, aku bercanda, Sayang."
Sejenak, Aldy dan Jessica bisa tertawa lepas. Walau sebenarnya hati keduanya sedang tertuju pada sang anak sulung yang sudah berubah drastis itu.
"Ibu."
Davin menyentuh bahu Jessica lembut, menyadarkan sang Ibu dari lamunannya.
"Eh, iya, Nak. Ada apa?" tanya Jessica. Wanita 49 tahun itu berusaha membuang semua pikiran buruknya tentang Dev, putra pertamanya dan Aldy.
"Kita sudah sampai, Bu." Davin menatap wajah Jessica. Diraihnya tangan Jessica, "Ibu jangan terlalu pikirin Kak Dev, Davin akan terus berusaha mengembalikan Kak Dev, Davin janji," lanjut gadis itu tersenyum pada sang Ibu.
"Semoga Tuhan memudahkan semuanya."
Jessica kembali tersenyum, walau hati dan pikirannya masih tertuju pada Dev. Jessica dan Davin keluar dari mobil secara bersamaan.
Karena akhir pekan, Jessica memutuskan untuk mengunjungi panti asuhan yang ia bangun 25 tahun yang lalu.
Jessica menatap bangunan yang sudah banyak berubah itu, ini semua berkat bantuan yang Aldy berikan. Aldy memutuskan untuk merenovasi tempat bersejarah dan berharga itu. Ia bahkan menambahkan beberapa fasilitas terbaik untuk digunakan oleh anak-anak asuh dipanti tersebut.
"Bunda."
Seorang gadis berusia 14 tahun berlari menghampiri Jessica dan Davin. Diciumnya punggung tangan Jessica dan Davin secara bergantian. Lalu gadis itu memeluk tubuh Jessica erat.
"Michelle, kamu apa kabar, Sayang?" tanya Jessica pada gadis yang bernama Michelle itu. Jessica melepaskan dirinya dari pelukan Michelle lalu menatap kedua netra indah Michelle.
"Kabarku baik, Bunda. Bagaimana dengan Bunda dan Kak Davin?" jawab Michelle lalu balik bertanya pada Jessica dan juga Davin.
"Kami juga baik."
"Ah, maaf, Bunda ... Ayo masuk, aku jahat ya, karena mengajak Bunda mengobrol di sini," ucap Michelle yang merasa bersalah.
"Ayo, Bu." Davin berjalan di samping Jessica, sedangkan Michelle berjalan di belakang Jessica. Ia dan juga beberapa anak lainnya membawa beberapa barang yang Jessica bawa.
"Bibi, Bibi di sini?" ucap seorang wanita pada Jessica. Wanita itu mendekat lalu mencium punggung tangan Jessica dan berjabat tangan dengan Davin.
"Kau sudah lama, Sa?" tanya Jessica pada wanita yang duduk sambil memangku seorang anak laki-laki di hadapannya.
"Tidak, Bi. Safira dan juga Nathan baru saja sampai," jawab wanita yang bernama lengkap Safira Maharani itu.
"Nathan? Apa anak itu ikut denganmu?" tanya Davin antusias. Davin dan Nathan memang akrab sejak kecil, berbeda dengan Dev yang kurang suka dengan sikap dingin Nathan.
"Hehehe, dia ada taman bermain bersama anak-anak yang lain."
Davin menatap Jessica, meminta izin pada wanita itu untuk menemui Nathan.
"Berikan pada Bibi, Sa," ucap Jessica setelah Davin pergi, ia tersenyum menatap Safira dan juga anak laki-laki yang masih dipangku oleh wanita itu.
Safira membalas senyuman Jessica, lalu memberikan bocah itu pada Jessica. Jessica memangku sang pangeran kecil, diciuminya pipi tembem si pangeran kecil yang tampan.
"Bibi, bagaimana kabar Kak Dev? Sudah lama dia tidak pernah kesini lagi," tanya Safira yang memang tidak tau tentang kabar Dev 2 tahun terakhir ini.
"Banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini, Sa. Dev sudah tidak seperti yang dulu kau kenal, Dev sekarang lebih pendiam dan dingin," jawab Jessica. Wanita itu kembali memikirkan Dev yang sudah banyak berubah.
"Apa yang terjadi, Bi? Bukannya Kak Dev orang yang ceria? Kenapa bisa berubah menjadi dingin?"
Jessica menarik napas panjang. Sebenarnya, ia tidak ingin membahas itu sekarang. Namun, entah mengapa ia merasa ada sedikit harapan pada Safira. Jessica merasa Safira mampu mengembalikan Dev-nya yang dulu.
"Kau masih ingat Aurora?" tanya Jessica. Jessica menurunkan si kecil dari pangkuannya lalu membiarkan seorang pengasuh mengambil dan membawanya keluar.
"Iya, Bi. Aku masih ingat, Kak Dev sangat mencintainya."
"Dia sudah tiada, dia sudah pergi dan membawa pergi semua senyuman Dev," ucap Jessica dengan mata yang menatap ke arah dinding ruangan.
"Maksud Bibi?"
"2 tahun yang lalu, Aurora mengalami kecelakaan, dan kecelakaan itu terjadi saat dirinya sedang bersama Dev. Aurora menghembuskan napas terakhirnya tepat di dalam dekapan Dev."
"Hal itulah yang membuat Dev masih terpukul sampai saat ini. Aurora adalah wanita yang baik, tidak salah jika Dev sangat mencintainya selama ini. Tapi sangat salah karena Dev sampai sekarang belum menerima kepergiannya."
"Aku turut berduka, Bi. Aku benar-benar tidak tau semua itu, dan paman Ken ataupun Bibi Keisha tidak pernah menceritakan semuanya," ucap Safira. Wanita itu berpindah duduk di samping Jessica. Ia bisa merasakan apa yang Jessica rasakan selama ini.
"Sa, bisakah kau membantu Bibi?"
"Tentu saja, aku akan membantu Bibi, selama aku mampu melakukannya," jawab Safira tersenyum.
"Kembalikanlah Dev. Bibi yakin kau bisa." Jessica menatap mata Safira. Wanita itu bisa melihat kalau Safira juga menginginkan hal yang sama, seperti apa yang Jessica dan juga keluarnya inginkan selama ini.
"Tapi Kak Dev ....," Safira berhenti.
"Akan Safira coba, Bi," lanjutnya karena tidak ingin melihat Jessica bersedih terlalu lama.
"Terimakasih, Nak. Bibi dan Paman Aldy akan sangat mendukungmu." Jessica menatap Safira yang selama ini sudah ia anggap seperti anaknya.
Safira adalah wanita yang baik hati. Ia sangat perduli dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Terutama mereka yang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Hal itulah yang membuat Safira sering berkunjung ke panti asuhan ini. Ia bahkan sudah melakukannya sejak masih duduk di bangku SMP.
Safira dan Dev memang saling mengenal sejak kecil. Dev bahkan selalu bersemangat jika bertemu dengan Safira. Tapi semua itu tidak lebih dari sekedar rasa kasih sayang sebagai seorang teman masa kecil, tidak pernah lebih.
Berbeda dengan Safira, Safira ternyata selama ini memendam rasa pada Dev. Walau ia tau, Dev tidak pernah memiliki rasa yang sama dengannya, karena semua cinta Dev hanya diberikan pada wanita yang bernama Aurora Jingga, kekasih dan cinta pertama seorang Devano Pranata Yoga.
☆ ☆ ☆
Hari semakin sore, Jessica dan juga Davin memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sebelum pulang, Jessica menyempatkan dirinya untuk menemui semua anak asuh yang berada di panti itu, Jessica memeluk mereka secara bergantian, menyalurkan semua kasih sayang dan kehangatan yang selama ini mereka tidak pernah dapatkan.
"Bibi pulang dulu. Kau juga pulanglah dan istirahatlah, Sa," ucap Jessica pada Safira.
"Aku akan pulang satu jam lagi, Bi. Aku masih ingin di sini, menemani mereka."
"Baiklah, jaga kesehatanmu, Nak. Jika ada waktu luang, bermainlah ke rumah Bibi lagi," ucap Jessica tersenyum.
"Safira pasti akan datang, Bibi tenang saja."
"Hei, tersenyumlah Nona, kau sangat pelit senyum, sama seperti Nathan!" lanjut Safira sambil menatap ke arah Davin dan juga Nathan.
"Mereka memang seperti itu, biarkan saja, Sa."
"Astaga, apa tadi salah bicara? Kenapa kalian berdua menatapku seperti itu?!" Safira tersenyum kaku. Sungguh, ia menyesal karena sudah menyapa kedua gunung es yang pelit senyum itu.
Masih pagi-pagi sekali, Safira sudah rapi dengan setelan baju panjang selutut dan juga rok gucci panjang berwarna hitam.
Safira pamit kepada kedua orangtuanya untuk mengunjungi makam salah seorang Ibu dari seorang anak jalanan yang ia kenal.
Setengah jam kemudian, sampailah Safira di sebuah pemakaman yang terletak di pinggir kota. Ia turun dari mobilnya bersama seorang anak perempuan berusia 7 tahun.
Safira merangkul anak itu memasuki area pemakaman. Tidak butuh waktu yang lama. Kini keduanya sudah duduk di sebuah makam sang Ibu dari anak perempuan yang ikut duduk di samping Safira.
Safira meletakkan buket bunga yang ia bawa, lalu mendoakan agar sang penghuni makam tenang di dalam sana. Usai berdoa, Safira menaburkan bunga-bunga indah di atas makam tersebut, lalu mengajak si anak perempuan itu untuk pulang.
Belum satu meter Safira melangkah. Ia sudah berhenti dan mematung, menatap ke arah seorang pria yang duduk di samping makam dengan raut wajah yang begitu menyedihkan.
'Kak Dev? Apa benar itu Kak Dev?' batin Safira bertanya-tanya. Safira melirik anak perempuan yang ada di sampingnya. Lalu meminta anak itu menunggunya sebentar saja.
Safira melangkah mendekati Dev yang sedang terduduk di samping makam Aurora?
"Kak Dev?" sapa Safira, lalu duduk di samping pria itu.
Dev menoleh, namun tidak mengucapkan apapun. Bahkan ia tidak menampakkan raut wajah ceria ketika bertemu dengan teman masa kecilnya itu.
'Kasihan sekali Kak Dev.' batin Safira mengasihi kondisi Dev sekarang.
Dev bangun lalu melangkah meninggalkan Safira. Pria itu menatap lurus jalanan di depannya. Tanpa menoleh ke belakang lagi.
Sementara Safira, gadis itu menyempatkan dirinya mendoakan Aurora lalu menyusul langkah Dev.
"Kemana dia?" tanya Safira mengedarkan pandangannya mencari sosok Dev. Namun nihil, Dev sudah hilang entah ke mana.
☆ ☆ ☆
Tok .... tok .... tok
Davin mengetuk pintu kamar Dev. Cukup lama, pintu itu tidak kunjung terbuka juga, dan akhirnya, Davin kembali mengetuk dengan ketukan yang cukup keras.
"Hehehe, Ibu dan ayah memanggil Kakak, ada hal penting yang harus dibicarakan," ucap Davin memberi tahu Dev yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Hmmm."
Hanya itu yang keluar dari mulut Dev. Pria itu menutup pintu kamarnya lalu melangkah mendahului sang Adik.
Dev berjalan dengan pikiran yang entah melayang kenapa. Sampai ia tidak sadar bahwa dirinya sedang menuruni anak tangga.
"Kak Dev, apa yang Kak Dev pikiran?" tanya Davin yang menahan tubuh tegap Dev agar tidak terjatuh. Gadis itu menatap mata Dev, yang entah apa yang sedang mata itu lihat sekarang.
"Aku baik-baik saja, jangan khawatir padaku!" ucap Dev lalu menyingkirkan tangan Davin yang memegang lengannya.
'Kenapa jadi seperti ini? Mana Kak Dev yang sayang padaku? Mana Kak Dev yang selalu berkata manis itu?' batin Davin bersedih. Ditatapnya punggung Dev yang sudah menjauh dan masuk ke dalam ruang keluarga.
"Ibu, Ayah. Apa yang ingin Ibu dan Ayah bicarakan denganku?" tanya Dev lalu duduk di samping kanan sang Ibu.
"Ada hal penting, ini tentang masa depanmu, Nak. Mengertilah!" jawab Aldy mewakili Jessica.
"Baiklah, Aku akan menjadi pendengar yang baik."
"Sayang." Jessica menyentuh bahu Dev lalu tersenyum saat pria itu menoleh kepadanya.
"Emm, begini, Nak. Ibu dan Ayah sudah menemukan calon istri yang baik untukmu. Menikahlah dengannya," ucap Jessica langsung pada intinya.
"Siapa?"
"Safira, apakah kau masih mengingatnya?" jawab Jessica lalu balik bertanya.
"Aku akan menikah dengannya, jika itu yang Ayah dan Ibu inginkan. Ibu tenang saja," jawab Dev lalu bangkit hendak keluar dari ruang keluarga. Namun langkahnya terhenti ketika sang Ayah memanggil namanya.
"Devano Pranata Yoga!"
Dev kembali duduk. Ia sadar, ia sudah keterlaluan selama ini. Bahkan sifat dinginnya sudah di luar batas wajar.
"Maaf. Maafkan aku yang selalu membuat Ayah dan Ibu khawatir padaku," ucap Dev tertunduk.
"Sayang." Jessica menyentuh tangan Aldy. Mengisyaratkan Dev harus diajak berbicara dengan tenang tanpa terbawa emosi sedikit pun.
Aldy menghela napas. Sungguh butuh kesabaran extra untuk menghadapi kedua anaknya. Terutama Davin yang selalu membuat masalah.
"Dev, Ayah tau kau sangat mencintai Aurora. Tapi, tidak harus seperti ini juga. Belajarlah menerima dan mengikhlaskan kepergiannya. Agar Aurora juga bisa tenang di sana."
"Tidak bisa Ayah. Aku sudah mencobanya," jawab Dev lalu mengangkat kepalanya menatap Aldy.
"Cobalah lagi, Ibu dan Ayah yakin, kau pasti bisa. Bahkan Adikmu sangat gigih untuk mencari cara agar kau kembali tersenyum," ucap Jessica.
Dev tidak menjawab apapun. Selama ini ia sudah berusaha untuk menerima kepergian Aurora. Namun semuanya terasa begitu sulit dan berat. Apalagi mengingat kenyataan kalau Aurora meninggal saat sedang bersamanya, dan bahkan sedang dalam dekapannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!